PESTA rakyat itu berakhir membanggakan. Meski gagal
meraih gelar Piala AFF untuk pertama kalinya, tim nasional Indonesia
arahah pelatih Alfred Riedl berhasil membuat rakyat negeri ini bangga.
Ya, Firman Utina dan kawan-kawan tak hanya mampu mengalahkan Malaysia
dua kali-meski harus kalah dari lawan yang sama di laga menentukan.
Mereka juga berhasil membuat suporter dari seluruh Indonesia bersatu.
Lihatlah, betapa meriahnya Senayan selama digelar Piala AFF, Desember
lalu. Bahkan, bagi saya, lebih meriah daripada Pemilu yang merupakan
pesta rakyat sesungguhnya. Tak ada gontok-gontokan, tak ada saling
hujat, ataupun saling menjatuhkan. Semua sepakat, dengan sukarela,
menyandang “merah-putih” sebagai warna kebangsaan. Slogan “Gaurda di
dadaku” pun begitu melekat hingga ke lubuk hati yang paling dalam.
Semangat suporter Indonesia memang luar biasa. Tak kalah dengan
nasionalisme Irfan Bachdim atau Cristian Gonzaas yang baru kali ini
memperkuat tim nasional. Suporter Indonesia, merekalah pemain ke-12,
yang punya peran penting mengantar “Garuda” hingga melaju ke final.
Fenomena suporter Indonesia di Piala AFF kali ini memang menakjubkan.
Sepanjang 35 tahun hidup saya, belum pernah saya menyaksikan semangat
dan antusias yang begitu menggebu seperti ditunjukkan suporter kita,
kali ini.
Bayangkan, untuk mendapatkan tiket pertandingan, mereka rela mengantre
berhari-hari, bahkan ada yang sampai menginap segala. Hujan, panas, sama
sekali bukan halangan untuk menunjukkan kecintaan terhadap tim
nasional. Mereka juga tidak hanya datang dari Jakarta. Ada yang datang
dari Surabaya, Lamongan, Palembang, bahkan Makassar!
Memang, sempat terjadi kerusuhan. Namun, itu terjadi lantaran kerja PSSI
yang amatiran dalam soal distribusi tiket. Di luar itu, saat mendukung
timnas, apakah kita pernah mendengar suporter bertindak anarkis? Tidak!
Ketika digelar final kedua, 29 Desember lalu, saya bergidik saat
melakukan “sidak” ke Senayan. Lautan orang dengan kostum warna merah,
hadir dengan satu kebanggaan, mendukung tim nasional yang sangat mereka
cintai. Meski saya tahu, sejak awal, mereka ragu, timnas bisa membalas
ketinggalan 0-3.
Namun, mereka toh tetap gegap-gempita mendukung “Tim Merah-Putih” di
lapangan. Mereka sama sekali tak berniat membalas perlakuan suporter
Malaysia yang memalukan di final pertama.
Memang, sekali terlihat di layar kaca , kiper Malaysia, Khairul Fahmi,
mendapat sorotan laser. Namun, sudah. Setelah itu, mereka, para
suporter, fokus mendukung timnas di lapangan. Menyanyikan lagu yang
membakar semangat, meneriakkan yel-yel yang penuh rasa patriotisme.
Di dalam stadion, tak ada lagi perbedaan. Mereka, dengan warna merah,
semua menjadi satu. Hebat! Itulah sanjungan yang tepat untuk semua yang
suporter Indonesia, termasuk beberapa Kompasianers, yang menyempatkan
diri datang ke Gelora Bung Karno. Maka itu, kemenangan 2-1 pun menjadi
kado yang begitu berharga, meski kita gagal juara.
Semoga, semangat dan antusias ini tetap terpelihara dan tak terganggu
intrik-intrik yang kerap terjadi di tubuh otoritas sepak bola tertinggi
di negeri ini. Ya, semoga, mereka, para suporter, tetap bersemangat
mendukung “Tim Merah-Putih”.
Februari mendatang, Timnas U-23 akan menjamu Turkmenistan di ajang
Pra-Olimpiade. Kemudian, November mendatang, kita akan menjadi tuan
rumah Sea Games ke-26. Semoga, mereka, para suporter, tetap berada di
sana, mendukung timnas dengan penuh kebanggaan. Semoga mereka tetap
menjadi suporter yang membanggakan.
Selamat Tahun Baru 2011, semoga tahun ini lebih daripada tahun lalu.
No comments:
Post a Comment