Thursday, May 7, 2009

Final Idaman (Untung Gue Bener)


JOSEP GUARDIOLA (foto: taringa)

FINAL Idaman akhirnya tercipta juga di Roma, Italia. Di partai puncak Liga Champions 2007/08, 27 Mei mendatang, Manchester United ditantang Barcelona. Seru, itu pasti. Menegangkan, mudah-mudahan. Yang jelas, menurut gue, dua tim ini memang yang paling pantas tampil di final. 

MU dengan segudang prestasinya berintikan kombinasi pemain muda dan senior yang punya jam terbang mumpuni. Sedangkan Barcelona, wuiih, tim asuhan Josep Guardiola ini memang tengah menjulang penampilannya. Permainan mereka di lapangan enak dilihat, atraktif, dan yang paling penting mereka mengusung sepak bola menyerang. 

Jangan heran, kalo saat ini mereka telah mencetak 100 gol di 34 laga La Liga. Jumlah itu jauh lebih banyak dari rekor Barcelona saat bergelar "The Dream Team" asuhan Johan Cruyff di era pertengahan 1990-an. Ketika itu, mereka paling banyak mencetak 91 gol. 

Salut deh buat Guardiola. Enggak nyangka, mantan gelandang bertahan bisa bikin timnya ultraofensif, luarrrr biasaa.

Jadi, gue gak peduli apa kata orang tentang semifinal kedua mereka lawan Chelsea. Memang, di pertandingan itu banyak keputusan wasit Tom Henning Ovrebo yang kontroversial. Gue catat, seharusnya memang, Chelsea setidaknya bisa dapet dua penalti—bukan empat penalti—seperti yang diklaim Didier Drogba dan kawan-kawan.

Yang jelas, duel MU kontra Barcelona di Roma bakal jadi penentu tim mana sebenarnya juara Eropa sejati. Dan, yang paling penting, ini sesuai dengan prediksi gue waktu siaran di I-Radio, Jumat, 1 Mei lalu, he, he, he. Untung bener, kalo salah kan malu. :) * rock n’ roll rules \m/


Monday, May 4, 2009

Senjata Makan Maradona



DIEGO MARADONA (foto: metro.co.uk)
MARET tahun lalu, Diego Maradona, yang saat itu masih berstatus “pengangguran” dengan lantang mengecam FIFA. Maradona, kapten Argentina, saat menjuarai Piala Dunia 1986 itu, menyerang FIFA yang ketika itu baru mengeluarkan wacana untuk melarang negara-negara Amerika Latin menggunakan stadion kandang mereka, yang terletak lebih dari 2.500 meter di atas permukaan laut.

Tak hanya mengecam, Maradona juga menyempatkan diri menggelar kampanye menentang wacana FIFA itu yang dimotori presidennya, Sepp Blatter. Tanggal 17 Maret 2007, dia tampil dalam laga amal di Stadion Hernando Silas, La Paz, Bolivia, yang berketinggian 3.600 meter di atas permukaan laut, bersama presiden negeri tersebut, Evo Morales, sebagai bentuk penentangannya terhadap FIFA.

“Kita semua punya hak untuk bermain di tempat kita dilahirkan. Tak ada yang bisa melarang itu, termasuk Tuhan, apalagi Blatter!” ujar Maradona, agak arogan, ketika itu.

Kini, setahun berselang, Maradona seperti termakan pernyatannya sendiri. Rabu (1/4) di stadion tempat dia sempat bersenda gurau dengan Presiden Morales, Maradona, yang sejak November 2008, menjadi pelatih Argentina, merasakan betapa ketinggian La Paz benar-benar mematikan. Pasukannya pun tak berdaya dihantam Bolivia 1-6. “Setiap gol Bolivia seperti tikaman di jantung saya,” ujarnya, setelah pertandingan.

Untung, Maradona tahu diri. Dengan berbagai alasan, dia menolak menyalahkan faktor ketinggian La Paz sebagai penyebab kekalahan pasukannya. Dia mungkin malu, jika mengingat betapa ngototnya dia membela Bolivia untuk tetap bisa menggunakan Stadion Hernado Siles. Maradona mungkin juga tak ingin orang meledeknya, “Senjata Makan Maradona”, plesetan dari pepatah “Senjata Makan Tuan”.

Padahal, semua orang tahu, di laga tersebut, “Tim Tango” begitu kesulitan mengembangkan permainan. Kaki-kaki Carlos Tevez dan kawan-kawan seperti begitu berat mengikuti irama permainan yang dikembangkan Erwin Sanchez, pelatih Bolivia.

“Mustahil sepertinya bermain di La Paz. Kami sulit sekali bernapas,” ujar Lionel Messi, andalan lini depan Argentina. “Sementara, mereka, para pemain Bolivia, berlari begitu cepat. Kami tak mampu mengejar mereka.”

Maradona sendiri sebenarnya bisa belajar dari para pendahulunya. Jose Pekerman, pelatih yang terakhir kali membawa Argentina menang di La Paz, misalnya, melakukan persiapan adaptasi lebih dari seminggu untuk bisa mengalahkan Bolivia 2-1 tahun 2001. 

Bahkan, di tahun 1973, pelatih Omar Sivori sampai harus membawa pemain Argentina berlatih selama sebulan di sebuah kawasan Argentina, di sekitar Pegunungan Andes, untuk beradaptasi dengan ketinggian, sebelum bisa mengalahkan Bolivia 1-0 di La Paz.

Oksigen Tipis
Ketinggian tempat pertandingan memang amat berpengaruh lantaran tipisnya oksigen. Bahkan, menurut Bonnie Hamre, penulis yang kerap menjelajah Benua Latin, faktor ketinggian bisa menyebabkan berbagai macam gejala fisik yang membahayakan.

Seperti pusing yang luar biasa, perasaan ingin muntah, kelelahan yang sangat, hingga insomnia. Gejala-gejala ini disebut sebagai altitude sickness, dan biasa menyerang di daerah dengan ketinggian 2.424 meter di atas permukaan laut.

Kekalahan di La Paz, jelas menjadi pelajaran yang berharga bagi Maradona. Setidaknya, dia kini sudah punya bekal cukup ketika harus membawa pasukannya kembali tampil di dataran tinggi, saat ditantang Ekuador di Quito, yang berketinggian 2.850 meter di atas permukaan laut, 9 Juni mendatang.*
*tulisan ini dibuat setelah Argentina dikalahkan Bolivia di La Paz, 1 April 2009
+Dipublikasikan di Harian TopSkor Edisi 3 April 2009