Monday, December 20, 2010

Eddie Vedder, Rocker Pecinta Anak



Eddie Vedder (Foto: Iljournal.today)
EDDIE Vedder memang tak semanis Jon Bon Jovi. Namun, dia juga tak seurakan Billy Idol atapun Steven Tyler, apalagi seekstrem mendiang Kurt Cobain. Vedder adalah sosok rocker sederhana, tak banyak tingkah, sehingga sulit sekali bagi media yang nyinyir untuk membuat berita-berita kontroversi tentang vokalis Pearl Jam, band rock yang menjulang di era 1990-an itu.

Namun, di atas panggung, Vedder berubah menjadi sosok yang energik, agresif, hiperaktif, bahkan cenderung eksplosif. Tak hanya gerak tubuh, mimik dan ekspresi air mukanya pun kerap berubah-ubah sesuai “nyawa” lagu yang dia bawakan. Penghayatan Vedder memang pol saat bernyanyi.


Dulu, di era 1990-an, bahkan sampai sekarang, begitu banyak penyanyi-penyanyi terkenal Indonesia yang menjiplak habis Vedder. Mulai gaya menyanyi, sampai stage act pria kelahiran Illinois, Amerika Serikat (AS) ini.


Dengan lagu-lagu Pearl Jam yang banyak bertemakan sosial, memang  sangat memungkinkan Vedder mengeksplor kelebihannya dalam berekspresi. Vedder sendiri sangat tahu jiwa setiap lagu Pearl Jam. Maklum, dari total lebih dari 120 lirik lagu di sembilan album Pearl Jam (1991-2009),  seratus persen merupakan hasil karyanya.


Vedder percaya, setiap lagu memiliki roh yang  dipengaruhi lirik-lirik yang dia ciptakan. Selain itu, tentu saja, begitu banyak pesan sosial yang dia ingin sampaikan. Hebatnya, Vedder menaruh perhatian sangat besar terhadap anak-anak dan itu dituangkan dalam lagu-lagunya.


Sebut saja lagu “Alive” yang merupakan track andalan di album pertama Pearl Jam “Ten”, di tahun 1991. Lagu ini unik, lantaran bercerita tentang seorang anak yang baru mengetahui, bahwa selama ini hidup bersama ayah tirinya. Sedangkan ayah kandungnya telah lama meninggal.

Atau lagu “Jeremy” juga di album “Ten”, yang penuh pesan untuk orang tua dalam menjaga anaknya. Lagu ini bercerita tentang seorang anak yang melakukan bunuh diri di sekolahnya lantaran tak tahan selalu mendapat  hinaan dan jadi bulan-bulanan teman-teman di sekolahnya.

Satu lagi lagu tentang anak yang membuat saya terenyuh adalah “Daughter”. Lagu yang masuk dalam album “Vs” di tahun 1993 ini, bercerita tentang seorang anak perempuan yang mengalami keterbelakangan mental, namun tak mendapat perlakuan yang pantas dari ibunya!


Hebatnya, ketika itu, dengan lirik-lirik yang “nyeleneh” untuk ukuran Amerika, Vedder mampu membawa Pearl Jam menjadi idola baru. Bersama Mike McCready dan Stone Gossard (gitar), Jeff Ament (bas), serta Matt Cameron (drum), Vedder membuat Pearl Jam disebut-setut sebagai salah satu pionir jenis musik rock alternatif, bersama band legendaris, Nirvana, tentunya.


Bahkan, beberapa pengamat musik di sana memberi label khusus untuk jenis musik yang  mereka mainkan. Ada yang menyebutnya “grunge”. Namun, ada juga  yang menyebutnya dengan nama “Seattle Sound”, merujuk daerah asal Pearl Jam, Seattle, AS. Bersama Pearl Jam, kemudian mencuat juga grup-grup seperti Alice in Chains, Soundgarden, Jane Addiction, Skin Yard, Mudhoney, Love Battery, dan banyak lagi.


Tak terhitung sudah lagu-lagu Pearl Jam yang masuk ke papan atas di berbagai tangga lagu bergengsi di AS. Seperti juga Album-album mereka yang selalu laris-manis di pasaran, termasuk di Indonesia.


Vedder juga sosok musisi yang kooperatif. Berbagai kolaborasi yang dilakukannya menjadi bukti, betapa dia juga sangat dihargai oleh sesama musisi. Dia juga menyumbang dua lagu; “Better Days” dan “The Loang Road” untuk soundtrack film “Eat, Pray, Love” yang dibintangi Julia Roberts dan mengambil lokasi syuting di Bali. Terakhir, Vedder ambil bagian di lagu “It Happened Today” dalam album terbaru REM, “Collapse into Now”, yang baru akan dirilis Maret 2011.


Saya sendiri mengenal Vedder bersama Pearl Jam-nya saat masih usia belasan dan duduk di bangku kelas dua SMA. Ketika itu, kehadiran Pearl Jam membuat variasi yang menarik di telinga ini, yang sebelumnya didominasi lagu-lagu khas Iwan Fals dan dentum heavy metal ala Motley Crue, Poison, Guns N’ Roses, atau rock-rock kental milik Deep Purple sampai Iron Maiden. Ahh…ternyata, tak terasa, telah hampir 20 tahun Vedder  menari-nari di telinga ini. Itu artinya, lebih dari setengah usia saya!



Bekasi, 21 Desember



Rabu, 23 Desember, Eddie Vedder berulang tahun ke-46.



Long Live Vedder, Long Live Rock N’ Roll!





“Alive”



Son, she said, have I got a little story for you

What you thought was your daddy was nothin’ but a…

While you were sittin’ home alone at age thirteen

Your real daddy was dyin’, sorry you didn’t see him, but I’m glad we talked…



Oh I, oh, I’m still alive

Hey, I, I, oh, I’m still alive

Hey I, oh, I’m still alive

Hey…oh…



Oh, she walks slowly, across a young man’s room

She said I’m ready…for you

I can’t remember anything to this very day

 ‘Cept the look, the look…

Oh, you know where, now I can’t see, I just stare…



I, I’m still alive

Hey I, but, I’m still alive

Hey I, boy, I’m still alive

Hey I, I, I, I’m still alive, yeah

Ooh yeah…yeah yeah yeah…oh…oh…



Is something wrong, she said

Well of course there is

You’re still alive, she said

Oh, and do I deserve to be

Is that the question

And if so…if so…who answers…who answers…



PS: Konon, lagu ini diangkat dari kisah nyata yang dialami Vedder
20 Desember 2010


Sunday, December 19, 2010

(Bukan) “Gonzalesdependencia”

FIRMAN UTINA (Jessica Margaretha)
EUFORIA sukses tim nasional (timnas) Indonesia menembus final Piala AFF 2010 terus mencuat di langit negeri ini.  Slogan “Garuda di Dadaku” kini jadi milik semua orang. Gadis-gadis ABG terus bicara tentang Irfan Bachdim. Anak-anak yang gemar bermain bola, punya idola baru bernama Cristian Gonzales. Ibu-ibu rumah tangga pun punya  bahan gosip baru: Eva Siregar, istri Gonzales, yang dianggap berperan besar menjadikan sang suami sebagai pemain naturalisasi pertama di “Tim Merah-Putih”.

Kehadiran Indonesia di final Piala AFF  untuk keempat kalinya memang tak pelak membuat kesukacitaan tersendiri. Tak heran juga jika kali ini, kesukacitaan itu dibarengi harapan untuk tampil sebagai juara. Maklum, di tiga final sebelumnya, Indonesia selalu kandas. Di tahun 2000 dan 2002, timnas kalah dari Thailand. Sementara di tahun 2004, Indonesia tak berdaya di hadapan Singapura.

Imbasnya, di pemberitaan media massa, pembahasan soal timnas pun mendapat porsi yang luar biasa besar. Mulai media cetak, online,  hingga media audio-visual kini begitu rajin membahas kiprah “Tim Merah-Putih”.

Namun, ada beberapa teman yang agak “keberatan” terhadap fenomena ini. Pasalnya, kebanyakan media lebih menyorot kiprah Gonzales-sang pemain naturalisasi-sebagai penentu sukses timnas. Alasan sang teman tadi, di lapangan, Gonzales tak berjuang sendiri. Masih ada 10 pemain lainnya yang ikut menentukan keberhasilan burung Garuda terbang tinggi. Saya setuju, sukses timnas ke final-semoga jadi juara-memang bukan lantaran Gonzales semata.

Memang betul, Gonzales menjadi bintang di dua laga semifinal lawan Filipina. Lewat dua golnya, Indonesia kini bisa bermimpi menjadi yang terbaik se-Asia Tenggara untuk pertama kalinya di ajang Piala AFF. Namun, tak adil rasanya jika pujian itu hanya diberikan untuk Gonzales, 34 tahun.

Gonzales sendiri mengaku jengah, jika hanya dirinya yang dielu-elukan sebagai pahlawan timnas. Dia menyebut tak akan bisa membuat gol jika tak ada bantuan dari rekan-rekan setimnya, orang Indonesia asli.

Saya juga sama sekali tak mengecilkan peran Gonzales, yang sudah mencetak enam gol di tujuh pertandingan membela timnas.  Dalam acara talk show pagi di sebuah stasiun televisi, secara khusus saya juga mengucapkan teirma kasih kepada Eva Siregar, yang kebetulan dihadirkan melalui telewicara lewat telepon. Saya katakan, peran Gonzeal sangat vital di tim asuhan Alfred Riedl ini. Namun, sekali lagi, hal itu tak serta-merta timnas menjadi “Gonzalesdependencia” alias bergantung kepada Gonzales.

Masih ada Firman Utina, Oktovianus Maniani, Arif Suyono, M Nasuha, atau Zulkifli Syukur yang begitu gagah berani berhadapan dengan para pemain Filipina yang tinggi-besar. Masih ada juga Achad Bustomi, M. Ridwan, atau Maman Abdrrahman yang punya jiwa nasionalis tak kalah hebat. Termasuk kiper Markus Horison yang kerap membuat kita deg-degan lantaran kerap mengambil keutpusan keluar sarang.

Di semifinal pertama, Gonzales tak akan bisa mencetak gol jika tak mendapat assist dari Firman. Gonzales juga tak akan bisa mendapat ruang tembak bebas di area Filipina dan mencetak gol, jika Yongki Ari Wibowo atau Okto, tak membuat bek-bek Filipina kehilangan orientasi dalam bertahan, di semifinal kedua.

Filipina bisa saja mencetak gol, jika Markus tak beberapa kali membuat penyelamatan. Jadi, sukses ini memang milik semua pemain, yang tentu saja ditujukan khusus untuk seluruh bangsa Indonesia. Terbang tinggi Garudaku!!

Bekasi, 19 Desember