Friday, January 21, 2011

“Sore Tugu Pancoran”, Refleksi Sentilan Iwan Fals

DI tahun 1985, Iwan Fals pernah menulis sebuah lagu berjudul “Sore Tugu Pancoran”. Lagu yang terdapat dalam album dengan title sama itu bercerita tentang Budi, seorang bocah di bawah umur, yang harus bekerja keras membantu keluarga lantaran himpitan ekonomi yang melanda.

Di sekitar Tugu Pancoran, Jakarta Selatan, Budi menjanjakan koran untuk menambah penghasilan keluarganya. Pekerjaan ini dia jalani siang hingga sore, bahkan malam hari. Padahal, pagi harinya, Budi harus bersekolah seperti anak-anak lainnya.

Iwan Fals tentu tak asal membuat lagu ini. Dia memang dikenal jeli melihat masalah-masalah sosial di sekitarnya. Setidaknya, apa yang terjadi pada Budi tentu merupakan potret yang terjadi di jalanan, ketika itu, 25 tahun yang lalu.

Sayangnya, kini, setelah 25 tahun berlalu, masih banyak teman-teman Budi berkeliaran di Tugu Pancoran. Memang, tidak semua berjualan koran. Ada yang menjual rokok, atau minuman ringan. Tapi, yang paling banyak, justru menjadi pengamen jalanan, bahkan pengemis.

Tak hanya di Pancoran. Hampir di semua penjuru kota di Indonesia masih terdapat anak-anak terlantar, yang nasibnya mungkin jauh lebih buruk daripada Budi. Mereka berkeliaran di jalan, tidak sekolah, apalagi memikirkan masa depan.

Di perempatan lampu merah Tomang, Jakarta Barat, setiap sekitar pukul 01.00 dini hari, sepulang dari kantor saya selalu menemui anak-anak kecil tidur di troatoar, di bawah tiang lampu merah. Pakaian mereka tentu kumal, compang-camping tak karuan, karena memang tak ada yang mengurusnya.

Pertanyaannya, apa yang selama ini dikerjakan pemerintah negeri ini? Dua puluh  lima tahun setelah Iwan Fals menyentil, perubahan itu tak juga terjadi. Bahkan, menurut Kementrian Sosial, di tahun 2010, anak-anak terlantar di Indonesia mencapai 5,5 juta orang!

Padahal, dalam Undang Undang 1945, pada pasal 34 ayat 1, jelas sekali disebutkan bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Di tahun 2002, Pemerintah juga pernah menerbitkan undang undang nomor 23 tentang Perlindungan Anak, sebagai lanjutan dari Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Ah, ternyata elit-elit politik di negeri ini belum juga berubah. Janji-janji muluk  hanya bagian dari retorika. Politik tetap jadi panglima. Semua dipolitisasi. Bahkan, sepak bola pun dipolitisasi. Gila!

Untung, masih banyak pribadi-pribadi di negeri ini yang begitu peduli terhadap sesama. Secara sukarela, pribadi ataupun kelompok, mereka membantu merawat anak-anak terlantar dan fakir miskin, agar bisa hidup lebih layak.

Mereka membantu anak-anak malang ini agar bisa tetap tersenyum, bersekolah, dan yang paling penting, mereka membantu anak-anak ini agar tetap punya masa depan. *

Salam Fals

Sore Tugu Pancoran
(Iwan Fals)

Si Budi kecil kuyup menggigil
Menahan dingin tanpa jas hujan
Disimpang jalan tugu pancoran
Tunggu pembeli jajakan Koran

Menjelang maghrib hujan tak reda
Si Budi murung menghitung laba
Surat kabar sore dijual malam
Selepas isya melangkah pulang

Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu
Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu
Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu
Dipaksa pecahkan karang lemah jarimu terkepal

Cepat langkah waktu pagi menunggu
Si Budi sibuk siapkan buku
Tugas dari sekolah selesai setengah
Sanggupkah si Budi diam di dua sisi

Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu
Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu
Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu
Dipaksa pecahkan karang lemah jarimu terkepal

Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu
Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu
Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu
Dipaksa pecahkan karang lemah jarimu terkepal


No comments:

Post a Comment