Tuesday, March 12, 2013

“The Unsung Gerrard”

STEVEN GERRARD (foto:fullfifa)
BRENDAN Rodgers tiba-tiba saja menjadi penggemar fanatik Steven Gerrard. Saking fanatiknya, Rodgers, pelatih Liverpool itu, mengklaim dirinya tak akan bisa melatih “The Reds”—julukan Liverpool— tanpa kehadiran Gerrard.

Rodgers memang merasakan betul betapa klub asal Merseyside yang dilatihnya itu sangat tergantung kepada sosok Stevie G. Bahkan, di usianya yang telah mendekati 33 tahun, Gerrard kata Rodgers, masih memiliki stamina yang super-fit!

 “Dengan kondisi seperti itu, Gerrard masih bisa bermain selama yang dia suka. Mungkin lima atau enam tahun lagi,” ujar Rodgers, yang sebelumnya melatih Swansea City. “Lihatlah Ryan Giggs (40 tahun) atau Javier Zanetti (39 tahun) yang masih disebut-sebut sebagai pemain terbaik di Eropa. Gerrard bisa seperti mereka.”

Kalimat-kalimat sejuk Rodgers tentu bukan sekadar pujian bagi Gerrard, pemain yang telah 15 tahun membela Liverpool, sejak dari tim junior. Ada ketulusan, kejujuran dari hati Rodgers yang paling dalam, yang mengakui betapa kemilau sosok Gerrard.

Performa Gerrard musim ini memang luar biasa. Sebagai kapten—menggantikan Sami Hyypia sejak 2003—kontribusi Gerrard juga sangat kental bagi Liverpool. Sebagai gelandang, Gerrard juga cukup tajam dengan mencetak sepuluh gol plus sembilan assist. Terakhir, dia mencetak gol penentu kemenangan 2-1 Liverpool atas Aston Villa, akhir pekan lalu.

Nama Gerrard, musim ini memang sempat seperti tak berkerlapan. Dia kalah menyala dibanding terangnya sinar pemain-pemain seperti Robin Van Persie, Sergio Aguero, Michu, ataupun Gareth Bale. Bahkan, rekan seklub Gerrard, Luis Suarez lebih sering dibicarakan lewat kontroversi dan gol-golnya. Suarez saat ini masih menjadi pencetak gol terbanyak dengan 22 gol.

Sementara publik sepak bola “Negeri Pangeran Charles” juga lebih sering membicarakan persaingan dua Manchester: MU dan City, ketimbang klub Gerrard, yang sudah pertengahan musim kehilangan kesempatan meraih gelar Liga Primer.

Tak Pernah Tenggelam
Namun, sesungguhnya, Gerrard tak pernah tenggelam. Statistik pun tak berbohong. Di Liga Primer, pria asli Liverpool itu tak sekalipun kehilangan menit bermain. Gerrard tampil di seluruh 32 laga “The Reds” dengan catatan menit bermain mencapai 2.880, sama dengan bek Aston Villa, Matthew Lowton.

Gerrard ibarat “the unsung hero” bagi Liverpool. Tak terlalu mencolok, namun sangat terasa keberadaannya. Di lapangan, dia bisa bermain sebagai second striker, bek kanan, sayap kanan, centre mildfielder, atau holding mildfielder, posisi idealnya saat ini. Gerrard juga tak pernah keberatan “memanggul air”, melakukan pekerjaan “kotor”  menjadi benteng pertama bagi serangan lawan. Apalagi menghunjam gawang lawan lewat tendangan-tendangan kerasnya.

JUARA CHAMPIONS - Steven Gerrard saat membawa Liverpool
juara Liga Champions 2004/05 (foto:thisisanfield)
Dulu, di masa kepelatihan Rafael Benitez—yang disebut-sebut sebagai musim terbaik Liverpool di era modern, karena sukses jadi kampiun Liga Champions 2004/05—Gerrard sering bermain sebagai second striker. Dia bermain lebih dekat ke gawang lawan.

Maka itu, pada 2008/09, dia bisa mencetak 16 gol dalam semusim Liga Primer, terbanyak sepanjang kariernya. Ketika itu dia main sangat nyaman di belakang Fernando Torres, karena Liverpool ketika itu memiliki Xabi Alonso yang berperan sebagai “pengangkut air”.

Tapi, musim ini, Gerrard justru lebih sering memainkan peran Alonso itu. Memang, oleh Rodgers, Gerrard tetap diberi kebebasan berkreasi, termasuk eksekutor bola-bola mati. Namun, kerap kali, tanggung jawab untuk menghentikan serangan lawan, untuk pertama kalinya, justru lebih banyak diemban Gerrard. Tapi, hebatnya, Gerrard toh masih bisa mencetak sepuluh gol.

Bagi Liverpool, Gerrard memang anutan. Dan, dia tahu betul itu. Apalagi, dengan “status”-nya sebagai scouser, alias orang asli Liverpool. Maka itu, loyalitas dan pengabdian di lapangan menjadi nomor satu bagi suami Alex Curran ini.

Memang, jika dibanding Paolo Maldini yang pernah 24 tahun membela AC Milan, lima belas tahun milik Gerrard di Liverpool belumlah apa-apa.  Namun, selama bisa, Gerrard selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi Liverpool.

Dua gelar Piala FA, tiga Piala Liga, dua trofi Community Shield, satu gelar Liga Champions, dan satu Piala UEFA plus dua gelar Piala Super Eropa yang telah disumbangkan Gerrard, memang belum cukup untuk “The Reds”.


Gerrard tahu apa yang sangat didamba Liverpudlian. Sebuah trofi yang terakhir kali mereka menangkan di musim 1989/90 untuk ke-18 kalinya, saat Gerrard masih berusia sepuluh tahun. Trofi yang kini berganti nama, dari The Football League menjadi Premier League alias Liga Primer. Pasti, Gerrard  sangat terpacu untuk mewujudkannya. Namun, tentu, tidak musim ini. *