Monday, July 30, 2012

Grand Funk, Sederhana tapi Fenomenal

GFR - Mark Farner, Don Brewer, dan Mel Schacher
/foto:longshotblues
RIBET! Begitulah kesan saya saat pertama kali mendengar musik Grand Funk Railroad. Saat itu, saya masih duduk di bangku SMA, sekitar awal tahun 1990-an. Ayah saya yang mengenalkan band asal Michigan, Amerika Serikat (AS) itu, usai beliau mendengar lagu-lagu Nirvana. Ayah saya bilang, musik Nirvana tak berbeda jauh dengan Grand Funk.
Saya sudah lupa lagu apa yang pertama kali saya dengar dari grup yang awalnya digawangi oleh Mark Farner (gitar, vokal), Mel Schacher (bass), dan Don Brewer (drum) itu. Yang jelas, kesan ribet itu saya tangkap dari permainan sang pemain bass, yang menurut ukuran saya saat itu sangat njelimet.
Tapi, semakin sering mendengar lagu-lagu mereka, saya justru merasa musik Grand Funk sebenarnya sederhana. Selain itu, kehadiran musik  Grand Funk di telinga saya telah semakin menambah wawasan, untuk seorang remaja tanggung penggila rock n roll, seperti saya ketika itu.
Lantas, saya pun membandingkan musik Grand Funk dengan band-band yang sudah akrab di telinga. Sebut saja Bon Jovi, Cinderella, Guns N’ Roses, Whitesnake, Warrant, ataupun Poison.
Tentu saja tidak nyambung. Hanya, ada satu benang merah yang menghubungkan mereka, rock n roll! Anehnya, saya jusru merasa musik-musik Grand Funk lebih hidup, spontan, dan jujur karena dimainkan sepenuh hati dan perasaan yang bebas.
Ya, sejak kemunculan mereka di awal tahun 1970, Grand Funk memang sudah nyentrik dan fenomenal. Bayangkan, saat band-band rock ketika itu tampil dengan teknik bermusik yang mumpuni, Grand Funk malah bermain semaunya.
Jelas tidak ada raungan gitar melengking khas Jimmy Page ataupun Ritchie Blackmore, seperti pada lagu-lagu Led Zeppelin atau Deep Purple. Farner justru asyik memainkan dengan gayanya sendiri.
Sangat sederhana. Di sebagian lagu, dia bahkan memainkan melodi hanya dengan gitar elektriknya, tanpa sound efect! Juga tak ada gebukan drum dengan rovel-rovel yang variatif ala  mendiang John Bonham di Led Zeppelin. Di Grand Funk, pukulan-pukulan Brewer, malah terdengar serampangan, kasar.
Sebaliknya, mereka justru sangat mengandalkan permainan bass Schacher. Gayanya memang atraktif, terus mengisi seluruh badan lagu. Bahkan, jika Anda jeli, instrumen bass pasti selalu terdengar lebih dominan dibanding gitar Farner. Bisa dibilang, Grand Funk sangat menggantungkan nyawa lagu mereka kepada permainan Schacher.
Cover album Closer to Home (1970)
Tak percaya? Dengar saja lagu “Mean Mistreater”. Di interlude, Scharcher bermain begitu liar. Atau di lagu lagu cover version dari The Animals,  “Inside Looking Out”yang sangat kental nuansa funky-nya. Hal ini tak umum. Karena biasanya, suara gitar yang paling dominan dalam lagu-lagu dengan genre hard rock atau heavy metal, ketika itu.
Tak heran, saat itu, banyak pengamat yang mengkritik musik Grand Funk. Lagu-lagu mereka pun jadi jarang sekali dimainkan di radio-radio. Tapi, Grand Funk tak peduli. Dan terbukti, lama-lama, pendengar mereka pun terbiasa dengan gaya bermusik Farner dan kawan-kawan.
Album pertama mereka, On Time, yang dirilis pada Agustus 1969 langsung mendapat tempat di hati pecinta rock. Album yang menjagokan lagu “Are You Ready”, “Heartbreaker”, dan “Time Machine” ini bahkan terjual mencapai 1 juta kopi! Grand Funk pun mendapat piringan emas untuk album ini.
Begitu juga album kedua mereka, Grand Funk yang dirilis hanya empat bulan kemudian. Seperti album pertama, album ini juga mendapat piringan emas. Album yang menjagokan hits-hits seperti “Got This Thing On The Move”, “In Need”,  “Paranoid” serta “Inside Looking Out” semakin menambah kuat eksistensi Grand Funk di belantara rock dunia.
Namun, banyak yang menyebut, masa keemasan benar-benar diraih Grand Funk saat merilis album ketiga, “Im Your Captain (Closer To Home)”. Tak seperti dua album sebelumnya, album ini bahkan meraih dua platinum! Tingkat penjualannya pun luar biasa. Ini juga terlepas dari upaya Terry Knight, sang manajer berani memasang billboard besar di New York Times Square untuk mempromosikan album ini.
Para penggemar Grand Funk pun makin menjamur. Konser-konser mereka selalu dibanjiri penonton. Bisa dibilang, ketika itu Farner dan kawan-kawan adalah rajanya panggung rock n roll. Mereka bahkan mampu memecahkan rekor penonton konser The Beatles di Shea Stadium New York tahun 1965 (55.600 penonton) hanya dalam dalam 72 jam, saat menggelar konser di stadion yang sama, tahun 1971.
Sementara lagu “Closer To Home” yang berdurasi lebih dari 10 menit, merupakan andalan di album ini, hingga saat ini disebut-sebut sebagai salah satu masterpiece Grand Funk.
Salah satu aksi GFR di panggung
Musik Grand Funk sendiri sangat “rame”. Dengan akar rock n roll yang sangat kuat, mereka dengan seenaknya mencampurnya dengan jenis-jenis musik lainnya. Bahkan, Grand Funk tak sungkan memainkan musik mereka dengan irama disko. Dengar saja lagu “The Loco-Motion”, yang merupakan cover version dari penyanyi legendaris R&B, Little Eva. Lagu ini juga sempat popular saat dibawakan artis cantik Kylie Minouge. Sementara unsur blues kental keluar dari melodi gitar Farner yang juga kerap memainkan piano dan harmonika.

Berubah
Banyak yang mengatakan musik Grand Funk, yang sempat menghapus nama “Railroad”, banyak berubah setelah Craig Frost masuk sebagai pemain kibor tetap pada tahun 1972. Namun, saya sendiri tak merasakan sejauh itu. Yang ada, mendengarkan lagu-lagu GFR, saya tak peduli apakah di lagu itu Frost bermain sebagaiadditional ataupun personel tetap.
Lirik-lirik lagu Grand Funk juga sederhana. Namun, sangat berisi. Grand Funk juga dikenal hebat dalam membuat kiasan dalam syair-syair lagu mereka. Tembang “Closer To Home”, contohnya. Secara harfiah, lagu ini sebenarnya bercerita tentang seorang yang rindu akan rumah.
GFR plus Craig Frost (kedua dari kiri)/foto:lastfm
Namun, oleh banyak pihak, lagu ini diartikan sebagai rintihan kerinduan para tentara AS yang bertugas di Vietnam akan kampung halaman mereka. Tak heran, konon, banyak veteran perang Vietnam yang menitik air mata saat mendengar lagu ini.
Bicara lagu favorit, banyak sekali yang saya suka dari Grand Funk. Namun, salah satu lagu yang paling mengena di hati adalah “We’re an American Band”. Bukan lantaran ini seperti menjadi lagu kebangsaan Grand Funk.
Namun, di lagu ini, saya merasakan betul totalitas para personel mereka. Dari permainan, musik, atau pun liriknya. Mungkin karena lagu ini merupakan tuangan keresahan hati Farner dan kawan-kawan terhadap opini pengamat musik dunia  yang ketika itu dirasa meremehkan band-band rock asal AS.
Lagu ini juga menjadi menarik karena dinyanyikan langsung oleh Brewer, sang pencipta. Bukan Farner seperti biasanya. Dibuka dengan intro gebukan drum Brewer, lagu ini jadi begitu kuat ingin menonjolkan karakter Grand Funk.
Dan, seperti biasa, meski lagu ini tak penuh dengan distorsi gitar, nuansa rock tetap sangat kental terdengar. Lagu ini juga seperti cerita perjalanan Grand Funk sebagai band rock AS.
Di lagu ini, mereka bercerita tentang “kegilaan” Grand Funk pada masa tersebut. Dalam sebuah wawancara dengan VH1, Brewer menyebut, dia menulis lagu tersebut berdasarkan pengalamannya menjalani tur konser selama bersama Grand Funk.Termasuk hubungan mereka dengan para groupies.
Ya, di lagu ini, Brewer, terang-terangan menyebut nama Connie Hamzy, dalam sepenggal lirik yang berbunyi, “Sweet Sweet Connie was doing her act”. Connie Hamzy atau “Sweet Connie”, julukannya, ketika itu memang dikenal sebagai “RatuGroupies” yang kerap memiliki affair dengan para rock star, termasuk Brewer dan Schacher.
Nama-nama lain yang konon pernah menjadi “korban” Connie adalah Alex dan Eddie Van Halen, David Lee Roth, Sammy Haggar (Van Halen), Gene Simmons dan Paul Stanley (KISS), Gedde Lee (Rush),  Willie Nelson, Neil Diamond, Waylon Jennings, Buddy Rich, Don Henley, dan banyak lagi.
Logo GFR
Di Indonesia sendiri, ketika itu, nama Grand Funk sendiri menjulang setinggi langit. Begitu banyak band-band local membawakan lagu dari Farner dan kawan-kawan, termasuk God Bless dan AKA. Bahkan, nama Grand Funk sendiri sempat diplesetkan menjadi granpang, sebutan untuk cewek-cewek enggak bener.
Grand Funk sendiri sempat menyatakan diri bubar dua kali, pada tahun 1976 dan 1983. Namun, pada tahun 1996, tiga personel asli: Brewer, Schacher, dan Farmer bereuni dan sempat menggelar beberapa konser yang seluruhnya sold out, termasuk konser amal untuk Bosnia pada tahun 1997.
Namun, pada tahun 1999, Farner kembali menyatakan mundur dan memutuskan untuk meneruskan solo kariernya. Setahun kemudian, Brewer dan Schacher merekrut vokalis Max Carl dan pemain kibor Tim Cashion, serta mantan gitaris KISS, Bruce Kulick, untuk menghidupkan kembali Grand Funk. Dan, sepanjang tahun 2012 ini, mereka kembali disibukkan tur keliling AS, sejak Januari lalu. Dimulai dari West Palm Beach, Florida, hingga berakhir di Primm, Nevada, Oktober mendatang.
Sumber: Wikipedia, youtube, www.grandfunkrailroad.com, lastfm, berbagai sumber


Diskografi Grand Funk
1969     On Time
1969     Grand Funk
1970     Closer To Home
1971     Survival
1971     E Pluribus Funk
1972     Phoenix
1973     We’re an American Band
1974     Shinin’ On
1974     All the Girls in the World Beware!!!
1976     Born To Die
1976     Good Singin’, Good Playin’
1981     Grand Funk Lives
1983     What’s Funk?



Friday, May 11, 2012

Vixen, Bukan Cuma Cantik…

TERBAIK - Vixen formasi terbaik, dari kiri ke kanan: Roxy Petrucci (drum),
Jan Kuehnemund (gitar), Janet Gardner (gitar/vokal), dan Share Pedersen (bass).
(foto: bastetglasba.blogspot)
VIXEN….ah terbayang lagi goyang genit Janet Gardner, sang vokalis, raungan gitar si cantik Jan Kuehnemund, serta gebukan drum lembut namun bertenaga milik Roxy Petrucci. Ya, Vixen, grup heavy metal cewek asal Los Angeles, Amerika Serikat (AS) ini memang sempat menjulang namanya di akhir tahun 1980-an.

Saya ingat betul, saat masih duduk di bangku SMP, pertama kali menyaksikan aksi mereka lewat sebuah program musik di sebuah stasiun televisi swasta, di akhir tahun 1980-an, bernama Rocket dengan host Jeffrey Woworuntu.

“Edge of a Broken Heart” itulah lagu pertama yang saya dengar dari grup yang juga dimotori Share Pedersen, sebagai pemain bass ini. Lagunya asyik, gaya mereka pun menarik, lantaran grup ini terdiri dari cewek-cewek berparas cantik.

Namun, tentu saja ini bukan soal tampang, apalagi goyangan. Sebab, selain “Edge of a Broken Heart”, Vixen juga memiliki hits-hits yang membuat nama mereka pantas disejajarkan dengan grup rock cewek yang terlebih dahulu terkenal, seperti Hearts, Bangles, ataupun Warlock yang berasal dari Jerman.

Lagu “Edge of a Broken Heart” memang merupakan pintu gerbang mereka merambah pentas rock dunia. Lagu yang terdapat di album debut mereka, Vixen di tahun 1989 ini, merupakan karya dari Richard Marx. Namun, tentu tak hanya “Edge of a Broken Heart”. Di album ini, Vixen juga menghasilkan tembang-tembang berbobot lainya, seperi “Crying” dan “I Want You to Rock Me”.

Imbasnya, ketika itu, grup yang didirikan tahun 1980 dan sempat bergonta-ganti personel sebelum album debut mereka ini mendapat kesempatan tampil sepanggung dengan pentolan-pentolan heavy metal, seperti Ozzy Osbourne, Bon Jovi, bahkan Scorpions. Singkat kata, Vixen sudah langsung mendapat nama lewat debut album mereka.

Sebuah prestasi yang tak mudah, mengingat ketika itu, pada periode akhir 1980-an hingga awal 1990-an, aliran heavy metal, hair metal, glam metal, ataupun apa pun namanya, tengah mendapat tempat istimewa di hati pecinta rock. Sehingga, begitu banyak grup-grup bermunculan pada era tersebut.

DUO IKON - Janet Gardner (kiri) dan Jan Kuehnemund
jadi dua ikon Vixen. (foto: bforoencastellano.runboard)
Memang betul, kualitas suara Janet tak sehebat Joan Jett atau Ann Wilson (Hearts). Permainan gitar Jan ataupun gebukan Roxy mungkin tak ada apa-apanya dibanding CC DeVille (Poison) atau Tommy Lee (Motley Crue). Namun, secara kualitas musik, album pertama Vixen ini tetap layak mendapat tempat khusus.

Alur lagu mereka, harmonisasi vokal, serta isian-isian setiap instrument membuat musik mereka begitu asyik didengar. Sementara napas rock jelas sekali keluar dari raungan gitar Jan, yang sekilas mirip Lita Ford, mungkin karena sama-sama blonde.

Tak heran, album kedua mereka,Rev It Up (1990) cukup mendapat tempat di kalangan metal head. Dari album ini, dua lagu “How Much Love”dan “Love is a Killer” sempat jadi hitsdan kerap diputar di MTV.

Hanya sayang, setahun  setelah dirilisnya album ini, Vixen menyatakan bubar. Konon, perbedaan dalam visi bermusik menjadi penyebab utama. Masing-masing personel tak mau mengekang ego, sehingga sulit menyatukan perbedaan di antara mereka.

Mungkin ini juga imbas dari semakin tingginya popularitas mereka. Maklum, ketika itu, jam terbang Vixen juga sudah semakin tinggi.  “Teman-teman” mereka di setiap konser pun sudah merupakan band-band besar. Sebut saja KISS ataupun Deep Purple.

Pada tahun 1997, Roxy kembali menghidupkan Vixen bersama Janet. Namun, tak ada nama Jan dan Share, yang digantikan oleh Gina Stile dan Rana Ross. Setahun kemudian mereka merilis album bertitel Tangerine.

Formasi ini juga tak bertahan lama, karena memang “pasar” heavy metal sudah sepi lantran tergerus tren alternatif rock yang dibawa musisi-musisi asal Seattle. Vixen baru kembali bangkit pada tahun 2001, saat Jan kembali mengajak Roxy dan Janet, plus pemain bass baru, Pat Holloway. Sementara Share telah bergabung dengan band suaminya, Bam, The Dogs D’Armour.

TERKINI - Formasi Vixen terkini, tinggal menyisakan Jan (kanan) sebagai personel awal. (foto: vixenrock)

Sayang, dalam sebuah tur keliling AS deengan tajuk Voices of Metal, pada sekitar tahun 2004, perpecahan kembali terjadi. Janet, Roxy, dan Pat memilih hengkang, sementara Jan melanjutkan Vixen dengan menggamit Jenna Piccolo (vokal), Lynn Louise (bass) dan Kat Kraft (drum). Formasi inilah yang berlanjut hingga sekarang, setelah merilis album terakhir, Live and Learn pada tahun 2006.
sumber: wikipedia, you tube, vixenrock, bastetglasba.blogspot.com


Diskografi
1989    Vixen
1990    Rev It Up
1998    Tangerine
2006   Live and Learn




Sunday, April 22, 2012

Dari Uji Kompetensi Wartawan PWI

PENUTUPAN - Peserta UKW PWI JAYA, MUDA, MADYA, dan UTAMA,
berfoto saat acara penutupan. (foto2: dok pribadi)
JUMAT, 20 April, saya mengirim pesan singkat senada kepada tak kurang dari 20 orang narasumber yang mayoritas merupakan pelaku dan tokoh sepak bola Indonesia. Bunyi pesan-pesan singkat itu hampir sama, saya meminta kepada mereka agar berkenan mengangkat panggilan telepon dari saya pada Sabtu, 21 April.

Itu memang harus saya lakukan demi kelancaran keikutsertaan saya  dalam Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang digelar PWI Pusat untuk wilayah DKI Jakarta (PWI Jaya), 20-21 April. 

Ya, dalam UKW yang digelar di Gedung Sekretariat PWI Jaya, di kawasan Harmoni, memang ada satu mata ujian bernama “Jejaring”. Di sini, peserta diminta membuktikan kepada penguji kemampuannya dalam “memelihara” hubungan baik dengan narasumber.

Dan, Alhamdullilah, rata-rata narasumber memberi respons baik terhadap permintaan saya yang setengah memaksa itu. Mulai dari Ketua Umum PSSI, Djohar Arifin, Rahmad Darmawan (eks pelatih timnas), Jacksen F Tiago (pelatih Persipura), Jimmy Napitupulu (eks wasit FIFA), Ferdinand Sinaga (pemain timnas/Semen Padang) hingga Ketua Umum PSSI versi Ancol, La Nyalla Matalitti, yang menyatakan tak keberatan. Begitu juga dengan Faisal Abdullah, Deputi Menpora Bidang Hukum. Bahkan, Justinus Laksana, Wakil Ketua Umum Badan Futsal Nasional, menyatakan siap, meski tengah berada di Bangkok, Thailand, mendampingi timnas futsal, yang tengah mengikuti ajang Piala AFF.

DISKUSI - Peserta UKW PWI - UTAMA berdiskusi dengan penguji, Kristanto Hartadi (kedua dari kanan).

Namun, tentu bukan hanya “Jejaring” mata ujian yang harus kami lalui. Masih ada mata ujian “Rapat Redaksi”, “Mengevaluasi Rencana Liputan”, “Menentukan Bahan Layak Siar”, “Mengarahkan Liputan Investigasi”, “Menulis Tajuk Rencana”, dan“Kebijakan Rubrikasi” yang tak kalah bikin pusing.

Memang, selintas mata-mata ujian ini tampaknya tak akan sulit, lantaran kami, para peserta, telah mengaplikasikannya dalam pekerjaan sehari-hari di media masing-masing. Namun, dalam situasi ujian, di mana setiap  mata ujian harus dilakukan dengan waktu yang supersingkat, segalanya menjadi berbeda.

Bayangkan, Anda diharuskan membuat tajuk rencana yang isinya tentang sikap dan pandangan media kita, terhadap sebuah isu yang tengah hangat, hanya dalam 30 menit! Lalu, Anda diminta membuat dan merencanakan liputan investigasi untuk reporter, lengkap dengan metode investigasi, tenggat waktu, jumlah reporter, anggaran, juga hanya dalam 30 menit! Ya, semuanya serba 30 menit!

Bagi saya, situasi bertambah sulit, lantaran datang dari latar belakang media olahraga, khususnya sepak bola. Sementara, materi-materi ujian, semuanya menyangkut berita-berita konten harian umum. Mulai politik, sosial, ekonomi, budaya, hingga hukum. Bisa kebayang dong, betapa galaunya saya.

Beruntung, saya mendapat penguji yang sangat kooperatif. Kristanto Hartadi, mantan Pemimpin Redaksi Sinar Harapan dan Andi Usman, mantan wartawan otomotif andal, sangat membantu kami dalam melalui UKW PWI yang didahului Safari Jurnalistik PWI (19/4) ini. Mereka tak sekadar memberikan soal, menilai, dan mengumumkannya kepada kami.

Lebih dari itu, Pak Kris, begitu kami memanggil Kristanto, memberikan ilmu jurnalistik yang sangat luar biasa berguna bagi kami. Begitu juga dengan Pak Andi yang tak bosan membagi pengalamannya. Dari mulut pria yang masih lincah meski telah berusia lebih dari 70 tahun ini, juga, saya jadi tahu perumus“5W, 1H” konsep keramat dalam jurnalistik.

PENGUMUMAN - Panitia saat mengumumkan hasil UKW PWI JAYA, saat penutupan acara.

Dialah Joseph Rudyard Kipling, seorang penulis asal Inggris pemenang Nobel Kesusasteraan 1907. Pak Andi bercerita, Kipling merumuskan konsep “5W, 1H” di tahun 1940-an, lantaran kesal, karena banyak berita di radio yang ditayangkan secara serampangan. Dia berharap“5W, 1H” bisa membuat berita-berita jadi lebih terarah.

Selain Pak Kris dan Pak Andi, rekan-rekan sesama peserta UKW yang dibukaHendry Ch Bangun, Sekjen PWI Pusat, yang juga seorang Kompasianers ini, juga sangat membantu. Kekompakan, tak hanya dalam kelompok, melainkan juga secara keseluruhan, membuat UKW PWI ini menjadi lebih mudah dilalui.

UKW PWI ini sendiri dibagi ke dalam tiga jenjang kompetensi: MUDA untuk wartawan pemula (reporter), MADYA untuk redaktur, dan UTAMA untuk level pimpinan redaksi, seperti redaktur pelaksana, wakil pemimpin redaksi, dan pemimpin redaksi. Saya sendiri, bersama 17 orang lainnya, tergabung dalam jenjang UTAMA. Rekan Kompasianer Noer Alim Harvaima juga tergabung dalam jenjang ini.

Usai mengikuti ujian, saya jadi punya kesan yang sangat mendalam terhadap UKW yang seluruh mata ujiannya harus berlandaskan Kode Etik Jurnalistik ini. Bukan cuma sebagai ajang “verifikasi” bagi wartawan profesional, melainkan juga penambah wawasan bagi para wartawan. Pantaslah, jika UKW ini dimaksudkan di antaranya untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme serta menjaga harkat dan martabat wartawan sebagai penghasil karya intelektual.
Sayang, dalam acara penutupan, panitia mengumumkan ada empat orang dari 44 peserta yang dinyatakan belum kompeten. Kepada mereka, diberikan kesempatan banding, atau mengulang mengikuti ujian enam bulan ke depan.

Saat ini, menurut Bang Hendry, sudah lebih dari seribu seratus wartawan yang telah dinyatakan kompeten melalui sertifikasi dari Dewan Pers. Memang, masih sangat jauh dari total sekitar 14.000 wartawan yang terdaftar sebagai anggota PWI.

Namun, dengan kerja keras PWI Pusat dan dukungan pengurus cabang, bukan mustahil wartawan-wartawan berkompeten akan terus bertambah di negeri ini seperti diisyaratkan Peraturan Dewan Pers No. 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan. 

Lagipula, bukankah angka 1.131 saat ini, seperti disebutkan dalam tulisan Bang Hendry, sudah merupakan jumlah yang luar bisa mengingat UKW PWI ini baru dimulai tahun lalu.
Terima kasih telah membaca, semoga bermanfaat

Salam Rock N’ Roll!

Kode Etik Jurnalistik
Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.
Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.


Friday, March 16, 2012

God Gave Rock and Roll To You


BERJAYA - KISS sempat berjaya di pelataran musik rock dunia di era 1980-90-an.
 (foto: buddytv)
BEGITU banyak lagu yang mengusung tema rock n roll. Sebut saja “Let’s Get Rock”dari Def Leppard, “I Wanna Rock” (Twisted Sister), “Rock n Roll Train” dan “Let There Be Rock” (AC/DC), “Let It Rock” (Bon Jovi), “Rock n Roll” (Status Quo), “Rock The Night” (Europe), “Jailhouse of Rock” (Elvis Presley), “Rock N Roll” (Led Zeppelin), “I’ve Got A Rock ‘N’ Roll Heart” (Eric Clapton), ” It’s Only Rock N Roll”(Rolling Stones), “Your Momma Dont Dance, Your Daddy Dont Rock n Roll”(Poison), ” I Love Rock N Roll” (Joan Jett), “We Will Rock You” (Queen), “Rock Bergema” (Roxx), dan ratusan lagu lainnya yang dibawakan musisi dan penyanyi berbeda.

Namun, ada satu lagu tentang rock and roll yang sangat berkesan di hati saya: “God Gave Rock and Roll To You”, judulnya. Pada awal tahun 1990-an, lagu ini dipopulerkan oleh KISS, kelompok glam metal asal New York, Amerika Serikat (AS) yang beranggotakan Paul Stanley (gitar/vokal), Bruce Kulick (gitar), Gene Simmons (bass), dan Eric Carr (drum).

Lagu ini awalnya dirilis sebagai soundtrack untuk film Bill and Ted’s Bogus Journey.Namun, oleh KISS, lagu ini kemudian dimasukkan dalam album ke-16 mereka, Revenge, pada tahun 1992.

Ketika itu, lagu ini cukup sukses di pasaran. Di AS dan negeri-negeri Britania Raya,”God Gave Rock and Roll To You” cukup lama bertahan di 10 besar tangga-tangga lagu bergengsi di sana.

Ini juga merupakan lagu terakhir KISS yang menampilkan drummer Eric Carr, yang meninggal pada November 1991 lantaran kanker hati. Hanya, lantaran kondisi kesehatannya, di lagu ini, Carr tak bermain drum, melainkan hanya menyumbangkan suara untuk vokal latar. Sedangkan posisi drum dimainkan Eric Singer, yang kemudian direkrut KISS sebagai pengganti Carr.
Maka itu, pernah dalam sebuah acara di stasiun televisi khusus musik, VH1,Simmons menyebut, bahwa lagu ini juga mereka sebuah testamen untuk Eric Carr.

Dulu, semasa SMA, hanya dengan gitar bolong, saya dan kawan-kawan kerap menyanyikan lagu ini, di kantin sekolah saat jam istirahat, atau saat bubaran sekolah. Maka itu, hingga sekarang, saat mendengar lagu ini, ingatan saya selalu melayang, menerawang masa-masa saat mengenakan seragam putih-abu-abu.

“God Gave Rock and Roll To You” ini sendiri sebenarnya bukan asli milik KISS. Lagu ini merupakan cover dari lagu milik kelompok rock asal Inggris, Argent, pada tahun 1972, di album All Together Now.

KISS sendiri, sebenarnya membawakan lagu ini tak jauh berbeda dengan penyanyi aslinya. Cukup sederhana. Hanya memang, menurut saya, KISS memainkannya sedikit modern (untuk ukuran tahun 1990-an) dibanding Argent. Sound yang keluar dari gitar Paul Stanley dan Bruce Kulick pun juga jauh lebih 1990-an, di banding milik Ron Ballard, gitaris Argent, sekaligus pencipta lagu ini. Begitu juga Petra, Midtown, The Truth, dan Bride band-band yang juga pernah meng-coverlagu ini.

Saat koor dalam lagu pun tak jauh berbeda. KISS sama sekali tak memodifikasi bunyi koor atau menambah beberapa bar, misalnya. Mereka tetap menyanyikan seperti ketika Ballard dan kawan-kawan menyanyikannya di era 1970-an.

Hanya barang kali, KISS memang punya kekuatan di sektor vokal lantaran suara khas Paul Stanley. Di lagu ini pula, dia berduet dengan Simmons dan menghasilkan harmonisasi vokal yang unik.

Entahlah, mungkin ini hanya “sentimen angkatan” lantaran saya tumbuh di era 1990-an, sehingga versi KISS lebih mengena di telinga saya, ketimbang komposisi yang dibawakan musisi aslinya. Tentu, ini sangat subjektif, karena generasi kang Ahmad Jayakardi mungkin akan menilai sebaliknya.. he, he, he, he…..

Tapi, bagaimanapun, salut kepada Argent yang telah membuat lagu ini begitu berkarakter. Tak perlu entakan drum dan paduan bass yang mendentum-dentum. Cukup dengan raungan distorsi gitar yang sederhana dan tempo yang sedang-sedang saja, lagu ini sudah sangat bernyawa, sangat rock n roll.

KISS, yang juga punya lagu “I Wanna Rock N Roll All Night”, pun membawakan“God Gave Rock and Roll to You” seperti itu.  Tak perlu habis-habisan, mereka sudah mendapatkan nyawa rock and roll yang kental lantaran kuatnya lirik yang ditulis Ballard.

Lagu ini misalnya, menyebut Anda tak perlu punya banyak uang atau mobil mewah untuk ber-rock n roll ria. Dengarkan saja raungan distori gitar, maka rock n roll akan ada di hati Anda.
Atau, ada bagian lain dalam syair lagu ini yang bertutur:  Anda bisa bernyanyi sesukanya, bermain gitar semaunya, karena Anda punya rock n roll… karena rock and roll untuk semua.
Namun, menurut saya, bagian paling asyik dari syair lagu ini adalah di bagian terakhir yang berbunyi…….

I know life sometimes can get tough!
And I know life sometimes can be a drag!
But people, we have been given a gift, we have been given a role
And that roles name is… Rock and Roll!”

Ya…. hidup kadang memang sulit, sangat sulit bahkan. Tapi, kita beruntung, karena Tuhan telah memberi kita rock and roll!

Salam rock and roll!
sumber: wikipedia, youtube,loudwire,blabbermouth, winnipreg




Friday, January 20, 2012

White Lion, Berkibar di Awal Era 1990-an

KLASIK - White Lion formasi klasik dari kiri ke kanan: James Lomenzo (bass), Mike Tramp (vokal), Greg D'Angelo (drum)
WHITE Lion…. Di era 1990-an, penggemar musik mana yang tak kenal grup asal New York, Amerika Serikat (AS)  ini. Di negeri ini, nama grup yang dulu digawangi Mike Tramp (vokal), Vito Bratta (gitar),  Jame Lomenzo (bass), dan Greg D’Angelo (drum) ini  pertama kali dikenal lewat single “When The Children Cry” yang diambil dari album  kedua mereka, Pride, di tahun 1987. Dan, sejak itu pula petikan dan sayatan gitar Bratta serta lengkingan parau voal Tramp jadi begitu familiar di telinga saya ini.

Nama White Lion, kemudian menjadi salah satu grup favorit saya, saat mulai serius mendengarkan musik, ketika menginjak masa SMA. Di hati saya, White Lion ketika itu mendapat tempat yang nyaris sejajar dengan Bon Jovi, Gun’s N Roes, Mr. Big, Iron Maiden, dan tentu saja Iwan Fals.

White Lion memang merupakan bagian dari kejayaan glam rock, hair metal, hard rock, heavy metal, apa pun namanya, di era pertengahan 1980-an hingga awal 1990-an. Masa di mana ingar-bingar distorsi gitar yang meraung-raung, dentuman bass drum yang berpadu dengan atribut ala rock star.  Rambut panjang, jaket-celana jins belel, plus bandana di kepala.

Namun, ada kalanya, mereka, band-band glam rock ini bersenjatakan lagu-lagu balada. White Lion inilah salah satunya. Lagu “When The Children Cry” membuat album Pride mendapat double platinum. Lagu ini juga sempat bertengger di tangga lagu The Billboard 200 selama tahun penuh.

Ketika itu, berbekal tiga album awal, Fight To Survive (1985), Pride (1987), dan Big Game (1989), White Lion termasuk salah satu grup hair metal papan atas. Di Indonesia, nama White Lion makin dikenal saat merilis album keempat, Mane Attraction, di tahun 1991. Hits-hits seperti “You’re All I Need”, “Till Death Do Us Part”, ataupun “Broken Heart” kerap diputar di radio-radio terkemuka, ketika itu.

Selintas didengar, musik-musik White Lion sepertinya sederhana. Namun, jika dicerna lebih jauh, Tramp dan kawan-kawan ternyata tak sekadar bermain musik. Mereka bermain dengan teknik yang luar biasa.

Mulai ketukan drum yang gantung, dentuman bass yang tak umum, melodi serta kocokan gitar  yang dimainkan dengan teknik tinggi. Coba saja dengar lagu “Till Death Do Us Part” dari album Mane Attraction.

EKSIS - Mike Tramp hingga
kini masih eksis. (foto: braingel.com)
Di bagian interlude, Bratta memainkan melodi yang bukan hanya begitu enak didengar, menyanyat, pas dengan suasana lagu. Melainkan juga dengan teknik gitaran yang tinggi dengan teknik tapping yang luar biasa. Pilihan sound-nya juga luar biasa, benar-benar mampu menyatu dengan nuansa yang dibangun syair lagu.

Tak heran, selain Tramp yang memang menjadi front man, Bratta juga disebut-sebut sebagai ruh utama White Lion. Sebab, praktis, semua musik mereka, salah satunya ditentukan oleh gitaran-gitaran pria bermata sendu itu.

Karakter Kuat
Membuat lagu dengan teknik sulit menjadi sederhana memang salah satu kelebihan White Lion. Lihat saja,  lagu-lagu mereka jadi terdengar easy listening. Padahal, jika Anda coba kulik atau pelajari, susahnya bukan main. Tak heran, meski easy listening, lagu-lagu White Lion dikenal tetap memiliki karakter kuat.

Tak heran juga, nyaris semua lagu balada atau slow rock mereka, selain mendapat tempat di kalangan penggemar musik rock. Selain “When The Children Cry”, White Lion memang juga melahirkan hit-hits balada semacam “Broken Home”, “Till Death Do Us Part”, “Going Home Tonight”, “Cry For Freedom”, “Farewell To You”, dan tentu saja masterpiece balada mereka, “You’re All I Need”.

Tema cinta  yang jadi andalan, dibungkus dengan lirik yang kuat dan melodi garang namun manis, sehingga tak ada kesan mellow sedikit pun. Padahal, syair-syair yang kebanyakan ditulis Tramp sangat, sangat romantis. Tengok saja syair dalam refrain lagu “You’re All I Need” ini.

you’re all I need beside me girl
you’re all I need to turn my world
you’re all I want inside my heart
you’re all I need when we’re apart

Atau lirik di lagu “Wait” yang terdapat di album Pride.
Wait… just a moment before our love will die
Cause I must know the reason why we say goodbye
Wait…. just a moment and tell me why
Cause I can show you lovin´ that you won’t deny

Tak heran, seperti band-band glam rock lainnya, White Lion punya begitu banyak penggemar dari kaum hawa. Tentu saja ini tak lepas dari ketampanan wajah Tramp, sang front man, yang kini jadi suami dari artis Ayu Azhari ini.

Tapi, bukan cuma soal cinta sebenarnya yang jadi andalan White Lion. Sejak dulu, grup yang pertama kali didirikan 1983 ini memang sudah concern terhadap masalah-masalah sosial. Maka itu, selain cinta, tema-tama kehidupan juga begitu banyak menghiasi lagu-lagu White Lion.

Sebut saja “Broken Home”, yang bercerita tentang tingginya tingkat perceraian di AS, sehingga menyebabkan penderitaan luar biasa bagi sang anak. Atau “War Song” di album Mane Attraction yang bertutur tentang kegalauan veteran perang Vietnam. Sementara lagu “Cry Freedom” merupakan kritik penggawa White Lion terhadap kebijakan politik Apartheid yang ketika itu masih berlaku di Afrika Selatan.

Bahkan, White Lion, ketika itu, di tahun 1990-an juga sudah peduli terhadap lingkungan alam. Lagu “Little Fighter” mereka dedikasikan untuk Greenpeace, kelompok pecinta lingkungan yang ketika itu kapalnya dihancurkan oleh sebuah operasi intelejen Prancis.

Di luar itu, vokal Tramp yang unik juga jadi salah satu keunggulan White Lion dibanding grup-grup glam rock kala itu. Vokal Tramp memang tak biasa, tipis tapi sangat berkarakter.
Namun, di lagu-lagu tertentu, Tramp bisa saja menampilkan karakter vokal yang garang, serak-serak parau, khas rocker sejati. Namun, di lagu lainnya, dia bisa bernyanyi kelewat manis seperti dalam tembang “You’re All I Need” atau “Going Home Tonight”.

Hanya memang, patut disayangkan, di saat menjulang mereka justru langsung tenggelam. Ya, White Lion dengan formasi terbaik, Tramp, Bratta, Lomenzo dan D’Angelo, harus bubar di tahun 1991, tahun di mana mereka juga merilis albumMane Attraction.

Pada tahun 2003, sebenarnya sempat terjadi wacana untuk menghidupkan kembali White Lion. Namun, Tramp menyebut, Bratta keberatan, sehingga dia hanya mengajak Lomenzo dan D’Angelo plus Warren De Martini, gitaris RATT. Namun, masalah jadi rumit lantaran Bratta mengajukan tuntutan hukum. Sebelumnya, pada tahun 1999, Tramp juga sempat merilis Remembering White Lion dengan sejumlah musisi.

Lantaran tuntutan Bratta ini, Tramp sempat menggunakan nama Tramp’s White Lion (TWL) pada tahun 2005, saat berusaha membangkitkan kejayaan White Lion. Namun, belakangan, dia kembali menggunakan nama White Lion dan merilis albumReturn of The Pride pada tahun 2008. Mereka juga sempat menggelar tur ke Indonesia.

Pengaruh Bratta
TERBAIK - Vito Bratta sempat dinobatkan 
sebagai Gitaris Terbaik oleh majalah Guitar World. (foto:bobleafe)

Memang sulit dimungkiri, sepanjang karier musik White Lion, setidaknya, hingga album Mane Attraction, pengaruh Bratta begitu kental pada musik White Lion. Betul, Tramp memang memiliki peran besar dalam penulisan lagu.

Namun, saat membentuknya menjadi sebuah musik, peran Bratta yang sangat besar. Lewat sentuhan jari-jarinya lahirlah aransemen-aransemen yang penuh warna namun tetap berada dalam koridor hard rock.

Dengan gitar buntungnya yang keluaran Steinberger, gitaran Bratta memang sangat dominan di setiap lagu White Lion. Hebatnya, dia tak hanya bisa pamer teknik    kecepatan serta sound yang meraung-raung. Namun, Bratta juga bisa bermain sangat indah dengan gitar akustik.

Lagu “When The Children Cry”, ” Broken Home” serta “You’re All I Need” adalah beberapa contohnya. Sementara di beberapa lagu, Bratta juga selalu mampu menggabungkan unsur akustik dan electricdengan sangat manis.

Tak heran, pada tahun 1988 Bratta sempat didaulat sebagai gitaris terbaik oleh MajalahGuitar World untuk kategori Best New Guitarist.  Ketika itu, orang pun percaya, Bratta tak hanya pantas digelari shredder guitarist karena kecepatan bermainnya. Namun juga ciamik dalam pemilihan melodi-melodi yang harmonis dengan teknik tinggi.

Saya sendiri menilai, permainan tergila Bratta ada di album Big Game. Di album ini, dia benar-benar mengeksplor kelihaiannya memainkan instrument enam dawai ini.

Dengar saja lagu-lagu seperti “Going Home Tonight”, “Let’s Get Crazy”, “Cry For Freedom” atau lagu daur ulang grup Golden Earring, “Radar Love” di mana Bratta bermain begitu liar, dengan kecepatan tangannya plus, keindahan sound yang keluar dari gitarnya.

Jika Anda penggemar gitar, pasti ngeh betapa dahsyat permainan Bratta di lagu-lagu ini. Tapi, ya itu tadi, secepat apapun, segila apapun permainan Bratta, melodi-melodi yang keluar dari gitarnya tetaplah terdengar manis.

Namun begitu, di album Mane Attraction, permainan Bratta sebenarnya juga tak kalah gila. Dengar saja lagu “Love Don’t Come Easy” di mana dia bermain tappingbegitu halus di awal lagu. Sementar pada interlude, tapping-tapping itu jadi begitu gila.

Sementara pada lagu “Leave Me Alone” Bratta bermain begitu cepat, dengan kocokan yang dalam, serta aksen-aksen yang kuat, sehingga lagu ini terdengar begitu ngerock. Itu satu lagi kelebihan Bratta. Dia sering membuat fil-fil yang sulit terduga.

Di album ini juga adalah lagu instrumental khusus, “Blue Monday“, yang didedikasikan Bratta dan White Lion untuk mendiang pendekar blues, Stevie Ray Vaughan, yang meninggal saat White Lion mengerjakan album ini.

Kembali Reuni?
Hanya lagi-lagi disayangkan, setelah White Lion bubar, nama Bratta seperti hilang ditelan bumi. Padahal, ketika itu, namanya boleh dibilang sudah diperhitungkan sebagai salah satu gitaris rock terbaik sejajar dengan Paul Gilbert atau Stevie Vai yang tengah berkibar ketika itu.

Rumor pun bertebaran. Ada yang menyebut, Bratta mengalami cedera serius pada tangannya, sehingga tak bisa lagi bermain gitar. Ada juga yang menyebut, dia mengalami depresi berat sehingga trauma melakukan aktivitas musik.

TERKINI - Mike Tramp (tengah) dengan formasi terkini White Lion. (foto: myspace)
Berbeda dengan rekan-rekan segrupnya, yang terus berkibar setelah bubarnya White Lion. Lomenzo dan D’Angelo sempat menggarap proyek Pride and Glory bersama gitaris Zakk Wylde. LoMenzo bahkan terus berkibar dengan bergabung dengan David Lee Roth  serta Megadeth. Sementara Tramp sendiri sempat membentuk grup Freak of Nature. Dia juga sempat merilis beberapa album solo dan menggelar konser solo pertama kalinya di Indonesia, di Fashion CafĂ©, di tahun 2002.

Baru, pada 16 Februari 2007, Bratta untuk pertama kalinya muncul ke hadapan publik dalam sebuah talk show radio terkenal, Eddie Trunk, “Friday Night Rocks”yang ditayangkan secara live. Di acara ini, Bratta bicara banyak soal karier musiknya dan White Lion.
Bratta tak membantah, bahwa dia memang sempat mengalami cedera pada tangannya. “Cedera itu membuat saya sangat menderita. Bayangkan, saat menekan senar gitar, jari-jari saya seperti tersengat setrum,” ujarnya, seperti dikutip ultimate-guitar.

Namun, Bratta menuturkan, alasan utama dia menghilang selama ini adalah lantaran sibuk menemani sang ayah yang sakit keras dan berkepanjangan. Dia khawatir tak bisa berkonsentrasi jika memaksakan diri tetap aktif di musik. “Ayah saya membutuhkan saya,” ujarnya, lirih.

Namun begitu, ketika itu, Bratta juga menyebut tak menutup kemungkinan kembali reuni dengan White Lion formasi klasik. Hanya dia tidak tahu, kapan itu akan terjadi.

sumber: wikipedia, you tube, allmusic, heavymetalparadise, ultimate-guitar, blabbermouth, berbagai sumber

Diskografi
1985 Fight To Survive
1987 Pride
1989 Big Game
1991 Mane Attraction
1999 Remembering White Lion
2008 Return of The Pride