Ketika semua tangan terpaku di dagu Ragu untuk memulai segala yang baru Lirih terdengar suara ibu Memanggil jiwa untuk maju ….
Dari tanahmu hei Aceh Lahir Perempuan perkasa Bukan hanya untuk dikenang Tapi dia panglima laksamana jaya Memanggil kembali untuk berjuang….
BEGITULAH Iwan
Fals berdendang tentang seorang perempuan hebat, Keumalahayati, namanya.
Seorang pejuang dari Nanggroe Aceh Darussalam, yang hidup di awal abad ke-16,
yang kemudian dikenal dengan sebutan “Laksanama Malahati”.
Pejuang dalam arti sesungguhnya, pahlawan,
berperang, mengangkat senjata demi tanah air tercinta. Dia juga disebut-sebut
sebagai laksamana wanita pertama di dunia.
Ini lagu lama. Dimuat dalam album
“Keseimbangan” yang dirilis tiga tahun lalu. Namun, sejatinya, lagu ini telah
lahir lebih lama lagi. Pertama kali didendangkan Iwan Fals dalam konser
“Hikayat Rindu Tiga Maestro” yang digelar di Aceh, tahun 2007. Iwan Fals,
ketika itu tampil bersama dua sahabatnya: Sawung Jabo dan mendiang WS Rendra.
Lirik lagu berjudul “Malahayati” ini
dibuat oleh Endang “Genta Keumala” Moerdopo, yang juga merilis buku berjudul
“Perempuan Keumala” pada tahun 2008. Buku ini juga bercerita tentang perjuangan
dan kisah hidup Laksamana Malahayati.
Sayang, sebagai sosok pahlawan nasional,
nama Keumalahayati tak terlalu familiar. Setidaknya jika dibandingkan dengan
Cut Nyak Dien atau Cut Nyak Meutia sosok pahlawan wanita yang juga berasal dari
“Tanah Rencong”.
Padahal, banyak sekali teladan atau
hal-hal positif yang bisa diambil dari perempuan perkasa ini. Bukan hanya
keberaniannya dalam mengangkat senjata, namun juga filosofi hidup
Keumalahayati, yang rela meninggalkan semua kepentingan pribadinya serta
keluarga demi negeri tercinta.
Ya, Keumalahayati memang seorang panglima
perang yang gagah berani. Seorang perempuan yang sempat menjabat sebagai salah
satu panglima Kerajaan Aceh Besar di bawah pimpinan Sultan Alauddin Riayat Syah
al-Mukammil pada periode 1589-1604.
Kisah perjuangan Keumalahayati diawali
saat suaminya yang juga seorang laksamana tewas dalam sebuah pertempuran
melawan Portugis di Teluk Haru. Keumalahayati pun bertekad meneruskan
perjuangan sang suami.
Kepada Sultan Al-Mukammil, Keumalahayati
kemudian meminta izin dan dukungan untuk diberi kewenangan membentuk pasukan sendiri.
Pasukan ini terdiri pada janda perang atau innong balee di
Teluk Haru. “Proposal” Keumalahayati disetujui.
Dunia militer dan kelautan memang bukan
hal asing bagi Keumalahyati. Dia adalah putri dari Laksamana Mahmud Syah, cicit
dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-153) yang merupakan pendiri
Kesultanan Aceh Darussalam.
Ilmu kemiliteran dan kelautan Malahayati
sendiri dia dapat karena pernah menempuh pendidikan di sekolah kemiliteran
Kesultanan Aceh, Ma`had Baitul Makdis. Lembaga ini ketika itu bekerja sama
dengan Kerajaan Turki.
Awalnya, pasukan Keumalahayati hanya
sekitar seribu inong balee. Namun, lama-lama berkembang
menjadi lebih dari dua ribu orang dan terus berkembang. Keumalahayati kemudian
menetapkan Teluk Lamreh Krueng Raya, Aceh Besar sebagai pangkalan armada
mereka. Di sana, dia juga membangun benteng kokoh Benteng Inong Balee yang
tingginya mencapai 100 meter.
Salah satu torehan bersejarah
Keumalahayati adalah saat menghajar pasukan Belanda yang coba menginvasi Aceh
yang dipimpin dua dua bersaudara: Cournelis dan Frederick de Houtman, yang
terkenal bengis. Awalnya, mereka yang datang dengan dua kapal: De Leeuw dan De
Leeuwin, memang bersahabat. namun, lama-lama, Kesultanan Aceh mencium niat
busuk yang mereka bawa.
Keumalahayati pun dipercaya untuk
menumpas pasukan Belanda yang dibawa De Houtman bersaudara ini. Tugas ini
dituntaskan Keumalahayati dengan gemilang.
Hebatnya, Cournelis De Houtman
tewas langsung di ujung rencong Keumalahayati dalam sebuah duel satu lawan satu
di geladak kapal, pada 11 September 1599. Sementara Frederick berhasil
diringkus dan sempat dipenjara selama dua tahun.
Selain jago bertempur, pintar
strategi perang, Keumalahayati disebutkan juga hebat dalam berdiplomasi, juru
runding yang andal. Salah satu peran besar Keumalahayati dalam hal ini adalah
saat Kerajaan Inggris berniat membuka hubungan dengan Kesultanan Aceh Darussalam.
Disebutkan utusan Ratu Elizabeth
I, James Lancaster, yang tiba di Aceh pada 6 Juni 1602, tidak bisa langsung
bertemu dengan Sultan Al-Mukammi. Melainkan harus “berhadapan” terlebih dahulu
dengan Keumalahayati.
Keumalahayati pun meminta Lancaster
agar terlebih dahulu membuat proposal yang ditandatangani Ratu Elizabeth I yang
ditujukan kepada Sultan Al-Mukammil. Baru, setelah proposal itu dibuat,
Lancaster diperkenankan bertemu dengan sang sultan.
Tentu, masih sangat banyak
torehan prestasi serta kisah perjalanan hidup dari Keumalahayati yang bisa
dipelajari, diteladani. Namun, dari ilustrasi di atas, rasanya sudah cukup
untuk mengerti betapa hebat perjuangan Keumalahayati.
Tentu, bukan hanya dengan
mengabadikan namanya untuk kapal perang atau jalan. Melainkan juga menerapkan
nilai-nilai perjuangannya dalam kehidupan sehari-hari.
FAMILY - My late Mother with me (2nd from left),
brother and Dad in 2003.
I call her “A Rock n’ Roll Mom”. Yes, my mom is “a rock n’ roll person”. It means she is a very, very easy going person, caring, and also struggling in life. Of course, I’m so lucky to have her. I grew up with full of love that she never stop giving to me. No wonder, until now, I still feel that she will always be there when I need her.
Actually, it was not me calling her a rock n roll mom. It was my friends that gave her such a nick name. A lot of my friends said, my mom was very associate. She often had a long chit chat with my friends when they spent the night at our house.
Not just struggling, she’s also a surviving person. She helped my father a lot to solve our economic problem, since my father just a civil servant. She did anything. She’s selling goods, clothes, and other things just to increase our family income. Then she opened a catering service that still runs until now.
My mom never feels tired. What in her mind was only how to make money to guarrantee my brother and me finishing study. Thanks God, we both passed our S-2 degree, because of her hard work, and my father’s, of course.
I was so happy when my father assigned as a state treasurer in Indonesia Embassy in Rome, Italy, around year of 2000. The things look better then, and my mom had the chance to enjoy a nice life there, that she “deserved”.
Like most normal moms, sometimes she got angry, scolded me when I made mistakes, very, very often, actually. But of course, it did’t mean she hates me. Because when everything back to normal, she’s also back to become an angel.
Too many problems I create, too many times i made her upset, but she never lost her affection. She’s always trying to become a good mom, which she really is. Yeahh, in this way,I am agree with Iwan Fals that says mom’s affection likes a spring in his song called “Emak”.
I remember making her sad so bad, when I was in a junior high school. I got run away from home because my mom didn’t allow me to smoke. I hide in my best friend’s house. But I couldn’t stay longer because my father then pick me up dan brought me home. My father said my mom burst into tears and wanted me back so bad.
And when I got home, I felt so guilty making my mom felt so miserable. So since then, I promise to myself not to let her down anymore. But ironically, I always did that again, making my mom crying, keep her in agony, especially when I was in a high school and college. FYI, after that incident, my mom gave me a promise that I may smoke when I got into a senior high school.
was she rock n roll enough?
My mom is realy, really rock n’ roll. Rock n roll, real rock n’ roll I mean.She loves rock n’ roll because it’s a kind of music that adored by my father. So, the songs from The Beatles, Led Zeppelin, Deep Purple Uriah Heep etc, were very familiar in my mom’s ears.
In “my era”, she liked “Wind of Change”, song from Scorpions and “Tears In Heaven” (Eric Clapton) very much. And what makes amazed me, my mom was very attentive about music I heard. As I remember, my mom asking a lot about Bon Jovi, Slaugther, and even Motley Crue.
One time she said, she like very much a voice of the late Dayan, a vocalist of rock progressive, from Surabaya, Grass Rock. My mom also sing a lot in karaoke and again, “Wind of Change” is her favorit song to sing.
Today, I am more and more realize that my mom gave so many good influences to me, to become a real person. Such influences that I want to give to my children.
03 September 2011 | 05:13 PS: My mom passed away at 13 Augus 2012
FORMASI AWAL - Inilah
formasi awal FireHouse. Dari kiri ke kanan: CJ Snare (vokal), Michael
Foster (drum),Bill Leverty (gitar), dan Perry Richardson
(bass)-foto:lastfm
BENDERANYA
tetap berkibar di antara gempita alternative rock. Ya, di awal era 1990-an,
FireHouse menjadi salah satu satu band glam rock/hard rock/heavy metal yang
masih bisa eksis di tengah gempuran grup-grup beraliran grunge macam Nirvana, Pearl Jam, Jane’s Addiction, ataupun Soundgarden.
Padahal, senjata FireHouse tak beda jauh dengan
band-band heavy metal pendahulu mereka: lagu-lagupower ballad.Lewat album self-tilted, yang berisikan hits macam “Love of A Lifetime”, “All She Wrote” dan “Don’t Treat Me Bad”, grup yang ketika
itu beranggotakan CJ Snare (vokal), Bill Leverty (gitar), Perry Richardson
(bass), dan Michael Foster (drum)ini kembali mampu menyihir pencinta rock, yang
sempat berpaling kepada Seattle Sound.
Album “FireHouse”
pun laris-manis. Di Amerika Serikat (AS) saja, album dengan label Epic Records
ini terjual mencapai 2 juta kopi dan mendapat sertifikasi double platinum dari RIAA, sebuah organisasi yang mewakili industri
musik di AS. Berbagai penghargaan pun disabet. Di ajang American Music Award
1991, FireHouse digelari “Best New Hard
Rock/Heavy Metal Band”. SementaraMajalah
Metal Edge mendaulat mereka sebagai “Best
New Band of 1991”. Majalah Young
Guitar juga tak ketinggalan menghadiahi penghargaan “Best Newcomer”.
Vokal CJ Snare yang unik denganrange yang lumayan lebar serta komposisi musik yang mudah dicerna
membuat FireHouse begitu gampang diterima pasar.Wajar, tak hanya pencinta rock, penggemar
musik secara umum pun menyukai lagu-lagu mereka. Demamnya pun sampai ke
Indonesia.CJ Snare sendiri kemudian menjadi motor grup bersama Leverty. Hampir
semua lagu-lagu di album FireHouse merupakan ciptaan keduanya.
Fenomena
“Love of A Lifetime”
Lagu “Love of
A Lifetime” jelas menjadi senjata pamungkas FireHouse menggedor dominasi
Seattle Sound. Lagu yang bercerita tentang kisah cinta sejati ini tak hanya easy listening, lirik yang dibuat CJ
Snare-Leverty pun bisa membuat orang yang tengah kasmaran semakin mabuk
kepayang. Komposisi dan melodinya juga tidak njlimet, sehingga iramanya sangat mudah diingat.Tak pelak, lagu ini
menjadi salah satu masterpieceFireHouse
sekaligus yang paling terkenal dari grup asal Charlotte, Karolina Utara, AS,
itu.
Hebat, karena ini album pertama FireHouse sejak didirikan
tahun 1989.Bendera FireHouse makin berkibar lewat album kedua dan ketiga mereka:“Hold Your Fire” dan “3” di tahun 1992 dan 1995.Single-single macam “When I Look
Into Your Eyes”, “Here For You”, dan
“I Live My Life For You” semakin mengukuhkan nama mereka di pelataran musik
rock dunia.
DUA MOTOR - CJ Snare (kiri) dan Bill Leverty menjadi motor
dan nyawa FireHouse-foto:rockerxpress
Nama FireHouse pun mulai disejajarkan dengan band-band
heavy metal papan atas. Kesempatan tampil bareng dalam sebuah konser dengan band-band
“senior” seperti KISS, Quiet Riot, Warrant, ataupun Slaughter semakin membuat
bendera FireHouse berkibar.
Namun, seiring itu, semakin lekat juga predikat
mereka sebagai grup rock “manis” lantaran hits-hits mereka kebanyakan memang
lagu-lagu slow rock, yang bertemakan cinta, khas power ballad.
Akar
Rock
Padahal, musik-musik FireHouse tak selamanya manis.
Di album pertama, mereka bahkan sudah memproklamirkan diri sebagai pengusung
rock sejati.Dengar saja lagu “Overnight
Sensation”.
Di lagu ini, CJ Snare dan kawan-kawan benar-benar
mengeksploitasi kemampuan mereka memainkan musik rock. Lengkingan vokal CJ
Snare di awal lagu, serta gaya gitaran Leverty jelas“rock banget”.
Pada interlude, Leverty memperlihatkan kemahirannya
dalam memainkan melodi khas gaya dan sound rock, yang mengandalkan kecepatan
tangan (shredding) dan harmonisasi yang
memukau.
Begitu juga lagu “Reach
For The Sky” di album kedua mereka. Lagu berdurasi lebih dari empat menit
itubegitu kental dengan aksen-aksen
gitar rock yang dipadukan dengan petikan gitar bolong. Dan, saat memasuki
interlude, jelas sekali terdengar gitaran rock Leverty yang menguasai “ruh”
lagu. Terutama dengan teknikbendingmilik
Leverty, yang khas gitaris rock dan metal.
Lagu “Rock You
Tonight” juga begitu. Mendengar lagu yang juga diciptakan CJ Snare-Leverty
ini membuat kita lupa bahwa band yang sama juga bisa membawakan lagu-lagu manis
seperti “Love of A Lifetime” ataupun “When I Look Into Your Eyes".
Hingga tahun 2011, saat merilis album “Full Circle”, grup yang pernah beberapa
kali menggelar konser di Indonesia ini tetap tak melupakan akar rock dalam
musik mereka.
Ya, musik FireHouse tak berubah, meski beberapa kali terjadi pergantianpersonel
di posisi bass, yang awalnya jadi milik Richardson. Setelah Bruce Waibel dan
Dario Seixas, Allen McKenzie resmi didaulat sejak 2004. Hanya memang, pasar yang
dituju sudah tak terlalu antusias.
Namun begitu,hits-hits FireHouse rasanya
tetap abadi hingga sekarang. Para penggemar rock klasik pasti menempatkan
lagu-lagu FireHouse dalam playlist
mereka. Mendengarkan lagu-lagu FireHouse bisa jadi mengingatkan kita pada
masa-masa SMP, SMA, ataupun kuliah. Itu juga yang saya rasakan.
Ya, musik, terutama classic rock atau glam rock
memang passion saya sejak dulu. Sulit
bagi saya untuk tidak mendengarkan musik barang sehari. Mungkin karena dulu
sempat berambisi besar jadi musisi.. he, he, he...
FORMASI TERKINI - Inilah formasi terkini FireHouse, dari kiri ke kanan:
Bill Leverty (gitar), CJ Snare (vokal), Alan McKenzie (gitar),
dan
Michael Foster (drum)-foto: hairbangersradio
LANGKAH-langkah anggun tergerak dari kaki-kaki yang jenjang. Di bibir panggung, perempuan itu sempat menghentikan langkah, seraya mengangkat gaunnya hingga tersingkap. Tampaklah betisnya yang putih mulus. Kemudian, dia kembali berjalan menuju tengah panggung. Semua orang menatapnya, penuh kagum.
Putih, ya gaunnya serbaputih. Selendang sutra tipis berwarna putih membungkus rambutnya yang bergelombang, mirip Marilyn Monroe, artis seksi Hollywood era 1950-an. Tapi, warnanya hitam, bukan pirang.
“Selamat malam, selamat berjumpa lagi di Romantic Thursday Night,” wanita itu menyapa para pengagumnya. Tak lama, dari bibirnya terlantunlah lagu “Smoke Get Into Your Eyes” milik kelompok The Platters yang legendaris itu.
They asked me how I know My true love was true I of course replied Something here inside cannot be denied….
Damar tak kuasa untuk beranjak dari tempat duduknya. Matanya nyaris tak berkedip, khawatir kehilangan momen-momen berharga di depan matanya. Damar terpesona.
“Mabuk? Ahh,.. tidak, aku tidak mabuk. Illusion itu belum segelas aku habiskan,” Damar begumam dalam hati. “Dia benar-benar cantikkk! Gorgeous!”
Malam itu, Damar memang ingin merasakan pengalaman yang berbeda. Dia tak pergi bersama teman-temannya ber-dugem ria. Sepulang kerja, Damar memilih pergi ke Journey, sebuah kafe yang terletak tak jauh dari kantornya, di selatan Jakarta. Damar ingin tenang, rileks.
Tapi, Damar tak peduli lagi lagu-lagu yang dibawakan penyanyi itu. Dia hanya fokus kepada sang “kembang latar”. Wanita tercantik yang pernah dilihatnya.
“Unforgettable“ milik Frank Sintra adalah lagu terakhir yang dinyanyikan sang biduan. Setelah itu, dia menghilang di balik panggung. “Tunggu…,” Damar berteriak dalam hati. Ah, siapa nama penyanyi tadi. Dia bahkan tak memperkenalkan diri. Damar penasaran. Waktu menunjukkan pukul 02. 05 WIB.
***
“Semalem gimana bro? Dapat apa?” suara Ardy, rekan sekantornya mengagetkan Damar, yang tengah mematikan komputer di mejanya, bersiap pulang. “Apaan sih lo? Dapet apaan?” Damar menjawab sekenanya.
“”Gimana sih loe? Semalem lo mencar dari anak-anak, ngapain?” Ardy menyelidik. “Tau ah.. biasa aje. Gue cabut,” Damar ngeloyor.
Tak sabar, Damar memacu mobilnya menuju Journey. Ya, dia ingin sekali lagi, atau mungkin berkali-kali menikmati wajah sang “kembang latar” yang dilihatnya, semalam.
“Dah pesen table mas?” seorang pelayan wanita menyapa Damar, saat memasuki Journey Cafe. Damar menggeleng. “Kalau begitu, mari saya carikan,” sang pelayan kemudian menuntun Damar ke sebuah meja yang terletak di sudut ruangan kafe.
Damar lalu mengeluarkan rokok, menyulutnya. Dia mulai menikmati suasana di dalam ruangan kafe yang begitu tenang. Pukul 00.00 WIB. Tapi, yang muncul dipanggung bukan sang “kembang latar”, melainkan sebuah band yang berseragam mirip pemain sirkus. Mereka membawakan lagu-lagu chacha.
Tiba-tiba Damar tersentak. “Ah, bukankah kemarin dia mengatakan Romantic Thursday Night? Berarti penyanyi itu hanya menyanyi Kamis malam,” Damar bergumam.
***
Sudah empat hari belakangan, sejak Senin, Damar begitu disibukkan oleh pekerjaannya. Hari ini, proposal itu telah beres dia kerjakan dan akan dipresentasikan sang bos, keesokan harinya.
Kini, saatnya “play hard”. Sempat selintas dalam pikiran Damar mengajak Ardy and the gank untuk menghabiskan malam ber-dugem ria, menghilangkan lelahnya. Tapi, tiba-tiba Damar teringat sang “kembang latar”. Ah, bukankah ini Kamis malam?
Pukul 00.00 WIB, wanita itu muncul di atas panggung. Lagi-lagi “Smoke Gets Into Your Eyes”….
They asked me how I know My true love was true I of course replied Something here inside cannot be denied ….
Gelas demi gelas minuman manis setengah pahit berwarna hijau muda itu diteguk Damar. Namun, dia berusaha tetap sadar. Tak ingin satu pitcher Illusion itu dia habiskan. Damar tak ingin mabuk. Dia ingin menikmati setiap gerakan dari sang “kembang latar”, hingga akhirnya terlantunlah “Unforgettable“.
Tak seperti sebelumnya, usai menyanyi, wanita itu turun panggung dan duduk di barisan meja di sisi panggung. Jantung Damar berdegup kencang. Dia bertekad menghampirinya.
“Boleh saya duduk di sini,” ujar Damar, seraya mengambil tempat di seberang perempuan itu. Sang “kembang latar” hanya tersenyum. “Nama saya Damar….. Suara Anda bagus sekali,” Damar membuka percakapan. Perempuan itu kembali tersenyum.
Damar tak bisa menguasai diri. Dari jarak dekat, perempuan itu semakin cantik di matanya. Wajahnya begitu halus, meski agak pucat. “Maaf, Anda belum menyebut nama Anda,” Damar mendesak. “Melinda,” ujar sang perempuan, sambil mengepulkan asap rokok putih dari mulutnya.
Tapi, sayang, Damar tak bisa bicara banyak lantaran sang “kembang latar” tak ingin berlama-lama. “Saya harus pulang,” katanya, sambil beranjak dari kursinya, meninggalkan Damar yang masih terkagum-kagum. “Kapan saya bisa melihat Anda lagi?” Damar bertanya.
Perempuan itu berhenti sejenak. Dia menengok ke arah Damar. “Romantic Thursday Night,” ujarnya, sambil tersenyum.
***
Damar tak sabar menunggu datangnya Kamis malam. Tak mampu dia menghilangkan wajah sang “kembang latar” dari benaknya. “Gila.. dia benar-benar cantik,” ujar Damar, dalam hati.
Sempat terlintas dalam benak Damar wajah Vivi, perempuan metropolis, yang sempat sangat dekatnya dengannya, hingga dua bulan lalu. Hubungan mereka putus, lantaran Vivi selalu marah jika Damar pergi dugem dengan teman-temannya.
Ah, perempuan itu tidak seperti Vivi. Dia sangat anggun, berbeda dengan Vivi yang over energik. “Aku harus kembali menemuinya. Akan kujadikan pacar!” Damar bertekad.
Tak ada lampu-lampu temaram yang menghiasi kafe. Tempat parkir mobil di halaman depan kafe pun gelap, kosong melompong. Hanya ada mobil Damar yang diparkirnya di dekat telepon umum.
“Ah, tapi, ini kan baru jam setengah sebelas. Acaranya baru mulai pukul 00.00 WIB. Nanti juga ramai,” Damar coba menghibur diri. Dengan langkah berat, dia pun tetap menuju pintu masuk kafe, yang terlihat gelap.
“Cari apa mas?” tiba-tiba dua pria tinggi besar menghampirinya, bertanya agak kasar. “Saya mau ke kafe mas,” Damar menjawab.
“Kafe???” kedua pria itu bertanya serentak. “Mas gak liat kafe ini dah jadi kuburan,” salah seorang pria itu berkata, agak meledek. “Maksudnya?” Damar bingung setengah mati.
“Kafe ini sudah setahun tutup mas. Sedang dalam sengketa. Kami berdua yang menjaganya,” pria yang mengenakan anting menjelaskan. “Tapi, minggu lalu saya masih ke sini mas…” Damar menjawab, masih bingung setengah mati.
Kedua pria itu saling berpandangan. “Ketemu Melinda ya? Romantic Thursday Night? Sudahlah mas, pulang saja,” ujar pria beranting tadi, sambil ngeloyor bersama rekannya. “Jadi, Melinda ……” Damar terpaku, merinding.
*cerita ini hanya fiktif. Jika ada kesamaan nama, tempat, dan peristiwa, kebetulan belaka*
SEINDAH alunan suara John Lennon, semanis harmonisasi sederhana lagu-lagu The Beatles. Begitulah masa kecilku dulu. Menyimak lagu-lagu The Beatles memang kerap membuat ingatanku melayang ke masa silam, saat masih kanak-kanak.
Ayahku memang penggemar berat The Beatles. Tak heran, sejak usia sekitar sembilan tahun atau saat masih duduk di kelas empat SD, aku sudah terbiasa mendengarkan lagu-lagu milik kuartet asal Liverpool itu, musik ngak-ngek-ngok kata presiden pertama kita.
Dulu, aku memang sama sekali tak mengerti arti lirik-lirik lagu The Beatles. Yang kutahu, ayahku sering menyenandungkan lagu-lagu The Beatles. Lagu “Lovely Rita” adalah favorit ayahku.
Aku tak mengarang, ayahku sendiri yang mengatakan itu saat aku menginjak remaja dan mulai memainkan lagu-lagu The Beatles bersama band SMA-ku. Aku sendiri heran, mengapa “Lovely Rita”. Padahal, ibuku bernama Elfa Yohana, bukan “Rita”.
Tapi, sudahlah, aku pun tak pernah menanyakan alasannya. Yang pasti, setelah menginjak dewasa, aku setuju bahwa The Beatles-di luar perilaku pribadi personelnya-memang pantas digilai.
The Beatles, yang beranggotakan John Lennon (gitar/vocal), Paul McCartney (bass/vocal), George Harrison (gitar), dan Ringo Starr (drum), disebut-sebut sebagai pelopor musik rock n‘ roll bersama Elvis Presley, memang tak pernah akan hilang ditelan masa. Dari waktu ke waktu, penggemarnya bahkan terus bertambah.
Di negeri ini saja, tak terhitung banyaknya band-band tribute untuk kelompok yang satu ini. Mulai dari Bharata Band di era 1980-an, hingga G-Pluck band asal Bandung yang begitu mirip saat memainkan lagu-lagu The Beatles.
G-Pluck bahkan pernah didaulat untuk tampil di acara The Beatles Week Festival di Liverpool. Ini ajang bergengsi tahunan yang digelar untuk mengenang kejayaan The Beatles.
Dari segi lirik, The Beatles memang “juara”. Bermacam tema yang mereka angkat dalam lagu-lagunya, begitu mengena dalam kehidupan sehari-hari. Dari soal cinta, kehidupan sosial, hingga masalah perdamaian dunia, mereka nyanyikan dengan begitu sederhana.
Lagu“Let It Be” adalah bukti nyata betapa The Beatles amat peduli akan perdamaian di dunia. Sedangkan lagu “Lovely Rita”, “All My Loving”, “And I Love Her”, ataupun “Don’t Let Me Down” memperlihatkan betapa romantisnya Lennon dan kawan-kawan.
Namun, yang menarik, dari sisi musikalitas, The Beatles konon ternyata salah satunya terispirasi dari sebuah grup asal Indonesia, The Tielman Brothers. Well, meski personelnya asli Indonesia, grup ini memang terdengar asing di telinga kita.
Sebab, selain jadul, mereka juga lebih eksis di Belanda. Ya, The Tielman Brothers, yang digawangi Tielman bersaudara: Andy, Reggy, Ponthon, dan Loulou, memang sempat menjajah Eropa di era pada periode 1950-60-an.
Selain ngetop di Belanda, mereka juga kerap mengadakan show di Belgia, Inggris, dan Jerman. Konon, McCartney sempat beberapa kali menyaksikan pertunjukan putra-putra pasangan Herman Tielman Flora Lorine Hess ini.
Lagu-lagu mereka seperti “Black Eyes”, “Rollin & Rock” atau “Rock It Up” begitu populer dan banyak menginsipriasi musisi-musisi barat ketika itu. Apalagi masih ditambah dengan stage act alias gaya panggung mereka yang atraktif, bahkan cenderung gila-gilaan.
Kemampuan gitar Andy, sang dedengkot, ketika itu pun banyak membuat musisi bule takjub. Dengan teknik tinggi, dia memainkan rock n‘ roll, seperti dia sendiri yang menciptakan rock n‘ roll, begitu hidup dan bernyawa. Ingat, mereka hadir, sebelum era dewa-dewa gitar macam Jimi Hendrix, Ritchie Blackmore, ataupun Yngwie Malmsteen.
Ini menjadi bukti, sejak dulu Indonesia tak pernah kekurangan bakat-bakat dalam bidang apapun, termasuk musik. Begitu juga soal tulis-menulis, yang karya-karyanya juga terampar begitu luas di rumah sehat ini.
“CHANDRA”, begitu aku memanggil dia. Bukan nama sebenarnya. Nama yang diberikan orangtuanya sebenarnya lebih bagus. Tapi, dia lebih suka dipanggil begitu. “Biar keren,” katanya.
Dia pun memanggilku “Chris”. Bukan “Kris”, dari nama belakangku. Tapi, “Chris” ya “Chris”. Kami bersahabat sejak duduk di sekolah dasar. Kemudian berlanjut di SMP, yang membuat persahabatan kami semakin kental.
Sekolah kami, sebuah SMP swasta. Sekolah kecil, yang ketika itu baru didirikan sebagai cabang dari sekolah yang sama, di kawasan Cipete, Jakarta Selatan. Ya, kami angkatan pertama, jadi semua orang di sekolah tahu, “Chandra adalah Chris”.
Kami memang sahabat, ya sahabat. Benar-benar sahabat. Dulu dia sering menulis nama kami berdua di meja tulis, tembok sekolah, atau di mana pun tempat yang kami singgahi. Tak jarang, dia rela mengukir nama kami berdua di batang pohon dengan sebilah pisau.
Selalu, dia menulis namaku terlebih dahulu. “Chris & Chandra”. Aku sendiri tak tahu apa alasannya. Bagiku itu sebuah penghargaan darinya terhadap persahabatan kami yang tulus.
Banyak sekali kenanganku di masa-masa SMP bersama dia. Bolos bareng, camping, menjelajah kota Bogor dengan menumpang bermacam truk, berkelahi dengan anak-anak kampung belakang sekolah, sampai dikejar-kejar orang sekampung karena mencuri ketimun di kebun sebelah sekolah.
Dulu, dia sering mengibaratkan kami layaknya “Boy” dan “Andi” atau “Kendi”, dua tokoh dalam sandiriwara radio “Catatan Si Boy” yang ketika itu mengudara di Radio Prambors di gelombang AM 666. Ini sandiwara karangan Marwan Al Katiri yang menggambarkan persahabatan dua cowok. Boy ganteng, kaya, jadi idola para gadis. Kendi tukang pukulnya.
Chandra mengibaratkan dirinya layaknya Boy, sedangkan aku Kendi. Namun, dalam keseharian, justru dia yang sering “berperan” sebagai Kendi, sang bodyguard. Ya, bukan sekali dua, dia jadi tukang pukulku. Selalu saja dia pasang badan, saat aku bermasalah.
Tapi, memang harus diakui, tampang Chandra jauh lebih baik daripadaku. Gayanya pun flamboyan.
Sebagai cowok, dia juga sangat modis. Barang-barangnya semuanya milik kelas atas. Sepatu, arloji, baju, tas. Semuanya branded. Padahal, kami hanyalah anak pegawai negeri sipil. Tapi, aku tak pernah tanya, dapat uang dari mana dia sehingga bisa membeli barang-barang mahal itu.
Chandra pula yang sempat mengenalkanku ke dunia gemerlap, zaman itu. Beberapa kali dia mengajakku ke diskotek “Happy Days” atau “Lipstick”, yang terletak di kawasan Blok M. Bermain sepatu roda, atau sekadar ngecengin cewek-cewek Pondok Indah atau Kemang.
Sayang, aku tak pernah tertarik, karena otakku, pikiranku, sudah “teracuni” lagu-lagu Iwan Fals. Aku malah merasa jengah berada di tempat seperti itu. Kerlap-kerlip lampu, goyangan gadis-gadis dengan sepatu rodanya, justru membuat aku tak nyaman.
Tapi, Chandra adalah sosok yang rapuh, ataupun mungkin juga lebay, kata orang sekarang. Kerap kali dia melakukan hal-hal yang tak masuk di akal saat merasa frustrasi.
Pernah suatu kali dia mencoba bunuh diri meminum obat nyamuk cair, lantaran putus cinta. Aku pun datang ke kamarnya. Kutinju dia. “Goblok!” kataku. Halah anak SMP mau bunuh diri.
Tapi, Chandra juga yang menampungku di kamarnya, saat aku lari dari rumah. Ketika itu, aku diomeli habis-habisan oleh ayah karena ada laporan dari tetangga yang melihatku merokok di dekat masjid komplek tempatku tinggal. Chandra menasihatiku agar pulang. “Kasihan orangtua lo,” kata dia.
Itulah sahabat. Saling mengisi, saling menjaga. Si A harus bisa menjadi sandaran saat si B tak berdaya.
Bersama Chandra pula aku mengenal apa yang disebut barang haram. Untung, tak berlanjut. Nyaliku terlalu kecil untuk meneruskan tabiat buruk itu. Namun, Chandra tidak. Dia terus larut.
Belakangan, aku tahu penyebab itu semua. Chandra kecewa, marah, frustrasi terhadap keadaan rumah tangga orangtuanya. Ah, lagi-lagi Chadra terlalu mendramatisir.
Lulus SMP, kami sama-sama diterima di SMA negeri. Sayang, kami harus berpisah, karena mendapat SMA yang berbeda. Sejak saat itu, aku kehilangan kontak dengan dia.
Aku sibuk dengan hobi baruku di SMA, bermusik dan bergaul dengan teman-teman sekolahku tentunya. Sedangkan Chandra, kudengar makin tak karuan. SMA-nya tak tamat, kelakuannya makin tak jelas. Terus begitu.
Sempat beberapa kali aku datang ke rumahnya. Tapi, suasananya sudah tak seperti dulu. Chandra sudah lebih mirip preman, ketimbang sahabat yang hangat. Setiap kusinggung kenangan-kenangan semasa SMP, dia menampik. Entah kenapa. Waktu terus berlalu, aku benar-benar kehilangan kabar darinya. Sampai kudengar berita itu. Chandra kehilangan kewarasannya!
Sering dia berdandan ala pendekar, rambut acak-acakan, keliling komplek membawa gitar, bernyanyi asal-asalan. Hilang akal, sampai sekarang.
Aku sedih, menangis, tak bisa apa-apa. Sekitar sebulan lalu, saat mengunjungi rumah orangtuaku, aku berpapasan dengan dia, setelah puluhan tahun tak bertemu. Dari dalam mobil, aku melihat dia menyisir trotoar dengan rambut gondrong, pakaian compang-camping membawa okulele.
Saat itu, ingin aku turun, menyapanya, memeluknya, bercerita tentang gadis-gadis yang pernah kami pacari, tentang ibu kepala sekolah SMP yang tak pernah bosan menceramahi kami, tentang anak SMA seberang sekolah yang kami keroyok karena memalakku, tentang banyak hal. Tapi, tak mungkin karena aku bersama kedua anakku. Hatiku terkoyak. Maafin gue ndra….
TERKINI - Inilah formasi terkini Tesla. Dari kiri ke kanan:
Dave Rude (gitar), Troy Luccketta (drum),Jeff Keith (vokal), Brian Wheat (bass),
dan Frank Hannon (gitar)-noisecreep
NAMA mereka memang tak setenar Bon Jovi atau Guns N’ Roses. Penampilan mereka juga tak seglamor KISS, Motley Crue, atau Poison. Padahal, Tesla juga hidup di era itu. Era saat bendera glam rock berkibar begitu kencang, di awal hingga pertengahan tahun 1990-an.
Namun, Tesla yang ketika itu digawangi Jeff Keith (vokal), Tommy Skeoch dan Frank Hannon (gitar), Brian Wheat (bass), serta Troy Luccketta (drum), tetap mampu meninggalkan jejaknya. Album mereka di tahun 1990, “Five Man Acoustical Jam”, begitu fenomenal.
Tak hanya laris di pasaran, album full akustik yang direkam dari pertunjukan mereka di Trocadero Theater, Philadelpia, Amerika Serikat (AS) ini juga meraih penghargaan multi-platinum. Sementara bagi Tesla, yang didirikan tahun 1982, ini merupakan album paling laku dalam sejarah bermusik mereka.
Lagu-lagu di album ini, yang diambil dari album-album Tesla sebelumnya macam “Love Song”, “Paradise” ataupun “The Way It Is” kembali jadi hits. Grup asal Sacramento, Kalifornia, Amerika Serikat (AS) ini juga dianggap berhasil menghidupkan lagi “nyawa” lagu-lagu rock lawas, seperti “Sign” milik Five Man Electrical Band, “Mother’s Little Helper” (The Rolling Stones), “Lodi” (CCR), serta “We Can Work It Out” (The Beatles) lewat komposisi-komposisi akustik yang brilian.
Album yang dirilis Geffen Records ini pun jadi perbincangan pengamat musik, ketika itu. Mereka rata-rata memuji “keberanian” Tesla merekam secara live pertunjukan akustik mereka dalam satu album.
Ya, merilis album dalam bentuk live akustik full memang merupakan terobosan baru saat itu. Betul, banyak band-band rock pendahulu mereka yang telah memasukkan unsur akustik dalam lagu-lagu mereka, atau menggelar pertunjukan-pertunjukan akustik.
Sebut saja “Stairway to Heaven” milik Led Zeppelin tahun 1970-an. Atau lagu “Wanted Dead or Live” yang dirilis Bon Jovidi tahun 1986 dalam album “Slippery When Wet”. Namun, merilis satu album dalam bentuk rekaman live full akustik, baru Tesla yang melakukannya, ketika itu.
Tak hanya itu, kemampuan Hannon dan kawan-kawan mengaransemen ulang lagu-lagu lawas dalam bentuk akustik full pun mendapat acungan jempol. Tanpa menghilangkan napas blues dan rock, Tesla membuat lagu-lagu yang ada di album “Five Man Accoustical Jam” ini tetap terdengar “fresh”, easy listening, sehingga kita tak perlu mengernyitkan dahi. Tak heran, sebutan sebagai “jagonya acoustic rock” pun melekat kepada mereka.
Tesla memang sangat menyatu saat membawa musik akustik mereka. Karakter vokal Keith unik begitu pas berpadu dengan suara-suara cempreng dan clean gitaran Hannon dan Skeoch. Vokal Keith yang sengau dan powerfull memang salah satu keunggulan Tesla.
UNIK - Vokal Jeff Keit yang unik
jadi salah satu kekuatan Tesla-therangeplace
Range vokal Keith memang tak terlalu lebar, apalagi jika dibandingkan dengan Sebastian Bach, misalnya. Namun, Ketih tetap mampu menjangkau nada-nada tinggi dan justru saat itulah semakin terdengar kekhasan vokal pria kelahiran Arkansas, AS, 12 Oktober 1958 ini. Tak percaya? Coba dengar lagu “Paradise” atau “Getting Better”.
Sementara di setiap lagu, terlihat betul kematangan duet gitaris Hannon dan Skeoch menguasai senar-senar gitar bolong. Tak melulu memainkan teknik-teknik gitar klasik, sound yang keluar dari gitar Hannon dan Skeoch juga terdengar lebih nge-blue, meski tetap nyawa rock begitu terasa. Coba dengar lagu intro “Love Song” di mana teknik sweep picking dan shred bisa menghasilkan suara yang begitu cling.
Inspirasi MTV
Selain itu, atmosfer “live” di setiap lagu dalam album ini juga terasa lebih mengena. Suasana di dalam Trocadero Theater, yang menjadi arena konser jadi begitu cair. Tesla dan para penontonnya tedengar begitu akrab lantaran Keith sangat hebat berkomunikasi, berdialog dengan penggemar mereka.
Tak heran, album ini juga disebut-sebut menjadi inspirasi MTV untuk membuat album serupa untuk band atau penyanyi yang tampil di acara MTV Unplugged, yang mereka tayangkan sejak pertengahan tahun 1980-an. Sebut saja Bruce Springsteen, Eric Clapton, Bob Bylan, sampai Nirvana yang legendaris itu.
Yang menarik, Tesla sendiri mengaku awalnya tak berniat merilis album ini. Konser full akustik ini memang mereka lakukan secara spontan untuk menghilangkan kejenuhan di sela-sela tur konser mereka.
“Ketika itu, kami sedang tur bersama Motley Crue dan mendapat dua hari off,” Keith bercerita kepada noisecreep. “Jadi, kami memutuskan menggelar pertunjukan solo dan mencoba beberapa materi termasuk cover version band lain secara akustik.”
Untungnya, Tesla sangat serius mempersiapkan “konser dadakan” ini. Mereka membawa truk dengan perlengkapan rekaman 24 trek untuk meng-capture pertunjukan mereka secara audio-visual.
Beberapa waktu kemudian, dalam sebuah wawancara di radio, Tesla memainkan demo lagu “Sign” hasil rekaman mereka di Trocadero Theater. Pihak produser pun terpincut dan kemudian merilisnya dalam bentuk album full.
Setelah album ini, nama Tesla kian menjulang. Album “Pshycotic Supper” yang dirilis tahun 1991 dan memunculkan hits “Edison’s Medicine” dan “Song and Emotion” juga mendapat platinum. Begitu juga dengan “Bust a Nut” yang dirilis 1994, mendapat sertifikasi gold.
PENGGANTI SKEOCH - Dave Rude menggantikan
Tommy Skeoch di rhythm guitar sejak 2006-allacces
Hebatnya, meski masuk dalam gerbang glam rock di era tersebut, Tesla tak terpancing untuk berglamor ria dalam hal atribut panggung. Pakaian mereka di panggung sangat sederhana. Mereka pun dikenal sebagai band rock yang identik dengan blue jeans, t-shirt, dan kemeja lengan panjang. “Kami lebih mengutamakan musik daripada fisik,” ujar Keith. “Musik kami keluar dari hati.”
Sayang, seiring dengan semakin tergilasnya glam rock, hard rock, heavy metal oleh serbuan alternative rock, nama Tesla pun mulai redup. Mereka memang sempat merilis beberapa album di akhir 1990-an hingga 2000-an, termasuk album live dan cover version. Namun, sulit bagi mereka untuk kembali menjangkau para penggemar seperti di masa keemasan.
“Forever More” yang dirilis tahun 2008 menjadi album studio terakhir mereka. Di album ini, Tesla sudah diperkuat gitaris Dave Rude yang menggantikan Skeoch sejak 2006. Kembali ke Akar
“Back to the roots” alias “kembali ke akar” begitulah tema yang diusung Tesla saat merilis album “Twisted Wires and The Acoustic Sessions…” di tahun 2011. Seperti juga “Five Man Acoustical Jam”, sesuai judulnya, semua lagu di album ini dibawakan secara akustik. Bedanya, jika album “Five Man Acoustical Jam” direkam secara live di Trocadero Teather, “Twisted Wires….” direkam di studio.
Materinya pun, 80 persen merupakan lagu-lagu lama Tesla plus beberapa cover version dari band-band rock terkemuka. Namun, Tesla menambahkan dua lagu baru “2nd Streed” dan “Better off Without You”.
Menarikya, tak satupun lagu yang ada di album “Five Man Acoustical Jam”, dimainkan di album “Twisted Wires….” ini. Hal menarik lainnya, ada enam lagu “Into the Now”, “Hang Tough”, “Edison’s Medicine”, “Shine Away”, “I Love You”, dan “Song and Emotion” yang masih menampilkan Skeoch sebagai rhythm guitar.
Enam lagu tersebut memang direkam enam tahun sebelum album ini dirilis di studio milik sang bassist, Brian Wheat. Seperti diketahui, Skeoch secara resmi keluar pada tahun 2006 lantaran tak mampu menghentikan kecanduannya terhadap minuman keras dan narkoba.
Di album ini, Tesla kembali lagi mempertontonkan kepiawaian mereka mentransformasi sound-sound gahar electric gitar mereka menjadi nada-nada yang lebih halus dan enak didengar. Namun, tentu, tanpa menghilang “nyawa” rock dan blues yang tetap melekat pada lagu-lagu mereka.
Banyak band, atau musisi rock tak terlalu berani mengubah banyak lagu-lagu mereka saat memainkannya secara akustik, apalagi dalam proses rekam ulang. Namun, Tesla justru jagonya dalam hal ini.
Dengar saja lagu “Edison’s Medicine” yang di versi aslinya begitu galak memamerkan lengkingan gitaran Hannon. Di album “Twisted Wires…” , lagu ini tetap terdengar garang, meski seratus persen sound dan gaya gitarannya berbeda.
Atau lagu “Hang Tough” yang tiba-tiba berubah menjadi lagu balada. Padahal, versi aslinya, lagu yang terdapat di album kedua, “The Great Radio Controversy” ini asli rock n roll dan full beat!
Sementara di lagu “What You give” dan “Shine Away”, terasa betul nyawa yang diberikan petikan gitar Hannon. Tentu saja lagi-lagi, nyawa lagu jadi semakin terasa lantaran vocal sengau Keith.
Hebat memang, di usia yang telah mencapai 53 tahun, suara Keith nyaris tak berubah. Identik dengan vokalnya saat masih berusia 32 tahun, ketika merilis album “Five Man Acoustical Jam”.
Kepiawaian Tesla meracik lagu rock ballad juga mereka perlihatkan di dua lagu baru di album ini. “2nd Street” dan “Better off Without You”. Dengar pula petikan gitar melodi Hannon di dua lagu ini. Wuihhhh…..
Namun, dari total 12 track, lagu “I Love You” yang benar-benar membuat saya merinding. Lagu yang merupakan daur ulang milik Climax Blues Band yang ngetop di awal tahun 1981, dimainkan begitu penuh penghayatan oleh Keith dan kawan-kawan.
Jika Anda sempat mendengarkan versi aslinya, jelas sekali akan terasa perbedaannya. Tentu, ini berkaitan dengan taste para musisinya dan juga tren musik yang berlaku. Awalnya saya juga menyangka ini merupakan lagu milik Tesla sendiri.
Namun, sungguh, mendengar lagu “I Love You” di album “Twisted Wires…” ini benar-benar membawa kita ke alam kasmaran yang paling dalam. Tak hanya vokal Keith yang membuat lagu ini sedikit terdengar gloomy dan syahdu. Nuansa yang dibangun instrumen akustik yang dimainkan Hannon dan kawan-kawan juga benar-benar menghanyutkan. Belum lagi jika Anda dengarkan secara jeli syair yang dibuat Derek Holt, pemain bass Climax Blues Band.
Percayalah, setelah mendengar lagu ini, Anda akan merasa bertambah cinta kepada pasangan Anda. :)
Note:
Saat ini, Tesla tengah dalam penggaparan album mereka yang rencananya dirilis tahun 2014. Sumber: noisecreep, loudwire, wikipedia, youtube, berbagai sumber
INI cerita tentang dua band favorit saya semasa SMA: Guns N’ Roses (GN’R) dan Red Hot Chilli Peppers (RHCP). Tentu saja berita baik yang ingin saya ceritakan. Ya, keduanya baru saja “resmi” menjadi band-band legenda rock n roll lantaran nama mereka telah masuk dalam The Rock and Roll Hall of Fame and Museum yang berlokasi di Lake Erie, Cleveland, Ohio, Amerika Serikat.
GN’R dan RHCP dilantik (inducteed) masuk Rock n Roll of Fame perayaan tahunan Rock and Roll Hall of Fame yang ke-27, yang digelar Pulic Hall, Claveland, Sabtu (14/4) lalu. Seperti layaknya proses-proses “pelantikan” terhadulu, keduanya pun didaulat tampil membawakan lagu-lagu hits mereka.
Hebatnya, nyaris semua personel asli GN’R tampil di acara ini. Sebut Steven Adler, Mat Sorum (drum), Duff McKagan (bass), dan Slash serta Gilby Clarke (gitar). Hanya, sang front man, Axl Rose, dan gitaris Izzy Stradlin, yang absen.
Sejak awal, Axl itu memang menolak hadir. Dia bahkan mengaku tak suka namanya dimasukkan dalam list Rock N Roll of Fame bersama rekan-rekan seperjuangannya itu. Alhasil, dalam konser pelantikan itu, posisi Axl digantikan Myles Kennedy, yang juga merupakan vokalis Altar Bridge. Maka melantunlah sejumlah hits GN’R, semodel “Sweet Child O Mine” ataupun “Paradise City”.
Berbeda dengan GN’R, RHCP hadir dengan “kekuatan penuh”. Anthony Kiedis (vocal), Flea (bass), Chad Smith (drum) serta gitaris baru mereka, Josh Klinghoffer, tampil amat menghibur dengan nomor-nomor tenar seperti “By The Way”, “Higher Ground”, ataupun “Give It Away”. Dua eks drummer RHCP, Jack Irons, dan Cliff Martinez juga hadir di acara ini.
GN’R “dilantik” oleh vokalis Green Day, Billie Joe Amstrong, yang juga membuka penampilan mereka. Sedangkan RHCP “dilantik” oleh komedian Chris Rock, yang juga merupakan sahabat dan penggemar berat band asal Los Angeles itu.
“Apetite for Desctruction (album pertama GN’R) adalah debut album terbaik dalam sejarah rock n roll,” ujar Billie Joe, induction speech-nya, seperti dikutip mtv.ca. Billie Joe juga membela Axl yang mendapat cemooh dari penggemar GN’R yang hadir. “Stop! Axl Rose ada front man terbaik yang pernah ada,” dia menegaskan.
Sementara Kiedis, dalam sambutannya mendedikasikan penghargaan ini kepada mendiang gitaris Hilel Slovak, salah satu pendiri RCHP yang tewas lantaran overdosis heroin di tahun 1988. “Saat ini, dia pasti tengah tersenyum di alam sana,” ujar Kiedis.
GN’R dan RCHP rasanya memang pantas didaulat sebagai legenda. Kiprah mereka selama ini di pelataran musik dunia telah begitu menginspirasi. Karya-karya yang mereka sumbang untuk mewarnai musik dunia bukanlah musik-musik kacangan. Tak heran, musik mereka, lagu mereka, syair mereka, tak lekang dimakan zaman.
GN’R memang telah lama dianggap “mati”. Namun, lagu-lagu mereka tetap abadi hingga sekarang.
Sementara RHCP membuktikan, usia yang terus bertambah justru membuat mereka semakin solid. Penggemar mereka pun kian bertambah dari waktu ke waktu yang menjadikan grup yang terakhir merilis album I’m With You di tahun 2011 itu dikenal oleh lintas generasi. Kini, total, RHCP telah merilis 10 album studio.
Anugerah Rock n roll of Fame ini sendiri memang sengaja diadakan sebagai penghormatan kepada musisi-musisi-utamanya rock n roll-atas sumbangsih mereka terhadap perkembangan musik dunia. Penghargaan ini digelar oleh Yayasan The Rock and Roll Hall of Fame pertama kali pada tahun 1983.
Namun, tentu, tak semua musisi rock bisa masuk museum rock n roll ini. Kriteria utamanya adalah sang musisi atau grup sudah malang melintang minimal 25 tahun sejak pertama kali merilis album pertama mereka. Para nomine juga harus mampu menunjukkan bahwa mereka mampu memberikan pengaruh yang signifikan dalam sejarah musik rock.
Saat ini, ada empat kategori yang berhak menerima penghargaan dari Rock n Roll of Fame: performers, early influences, non-performers, dan sidemen. Performers adalah individual atau grup yang merupakan aktor panggung, seperti musisi atau band. Sedangkan non-performers, adalah orang-rang yang berada di balik layar namun berperan besar dalam memajukan musik rock, seperti penulis lagu, produser, atau wartawan.
Early influences adalah musisi veteran yang dianggap memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan musik rock sekarang. Sementara sidemen adalah penghargaan khusus yang diberikan oleh komite khusus Rock n Roll of Fame Museum, atas jasa-jasa “khusus” mereka.
Teknisnya, komite nominasi akan sosok-sosok sebagai nominasi di setiap tahunnya. Setelah itu, list nama-nama nomime tersebut diserahkan kepada sebuah lembaga khusus yang terdiri dari 500 orang yang dinamakan “rock experts”. Mereka akan melakukan voting, untuk menentukan siap-siapa saja yang berhak “dilantik” masuk Rock n Roll of Fame.
Tahun ini, selain GN’R dan RHCP, juga ada 10 musisi/band lagi yang “dilantik”. Dua di antaranya, Bestie Boys dan mantan band Rod Stewart, The Small Faces/Faces. Sayang Rod Stewart sendiri tak bisa tampil di malam gala, lantaran didera influenza.
“Saya sangat kecewa harus melewatkan acara ini,” ujar rocker yang kini berusia 64 tahun itu. Stewart sendiri, sebelumnya telah mendapat penghargaan serupa sebagai solo artist, pada tahun 1994.
Para Penerima Penghargaan
Performers: Guns N’ Roses, Red Hot Chili Peppers, Donovan, Laura Nyro, The Small, Faces/Faces, Beastie Boys, The Crickets, The Famous Flames, The Midnighters, The Comets, The Blue Caps, The Miracles
Early Influence: Freddie King
Sidemen: Don Kirshner, Cosimo Matassa, Tom Dowd, Glyn Johns
TAK salah jika banyak orang menyebut David Bowie sebagai pioner glam rock dari
daratan Inggris. Namun, dari “Negeri Pangeran Charles” itu, sebenarnya ada satu
nama lagi yang rasanya pantas disematkan sebagai bapak glam rock. Dialah Marc
Bolan!
Bersama
grup yang dibentuknya, T-Rex, Bolan sempat merajai musik Inggris dengan gaya
bermusiknya yang nyentrik. Tak hanya gaya bermusik, gaya dia berpakaian,
dandanan, serta aksi panggungnya juga selalu mengundang perhatian.
Lagu-lagu
mereka, seperti “Ride a White Swan”, “Jeepster”, “Get It On”, “Solid Gold Easy
Action”, “Children of the Revolution”, “Hot Love”, “Telegram Sam”, “20th
Century Boy”, “Debora”, atau “Teenage Dream”, bergantian merajai tangga-tangga
lagu di Inggris Raya pada periode awal hingga pertengan 1970-an.
Didukung
dengan wajah rupawan dan gaya flam boyan, Bolan juga dengan mudah memincut hati
remaja-remaja putri. “Demam Bolan” dan T-Rex pun melanda. Tak salah jika salah,
jika pria yang terlahir dengan nama Mark Feld ini pun didaulat sebagai “Raja
Glam Rock” sesungguhnya.
Sayang,
popularitas yang menjulang bikin Bolan terlena. Pergaulan bebas dan narkotika
sempat membuat Bolan kehilangan fokus. Hingga tibalah hari nahas itu. Bolan
yang lahir di London, 30 September 1947 tewas dalam kecelakaan mobil yang
mengenaskan dua minggu sebelum hari ulang tahunnya yang ke-30 di sekitar Queens
Ride, Barnes, Barat Daya London. “Live fast die young”, kata orang.
Mobil
yang dikendarai Gloria Jones, kekasih Bolan (sebelumnya Bolan sudah menikah dengan
Rachel June) menabrak pohon Ara yang berada di sisi pagar pembatas jalan
sepulang mereka dari minum-minum di sebuah restoran. Pada tragedi yang terjadi
pukul empat pagi itu, Gloria selamat. Gloria, yang ketika itu telah memiliki
putra dari Bolan, bernama Rolan, hanya mengalami patah tangan dan rahang.
Musik
Inggris pun berduka. Saat pemakaman, sejumlah musisi ternama hadir. Gitaris
blues legendaris Les Paul, Rod Stewart, Eric Clapton, serta Bowie yang
merupakan sahabat sekaligus rival Bolan, datang memberikan penghormatan
terakhir.
Namun,
hingga kini, nama Bolan tetap dikenang. Pada 30 September 2007, atau hari ulang
tahun ke-60 Bolan, dibuatlah tugu peringatan di sekitar tempat kecelakaan. Tugu
ini kemudian dinamakan “Bolan’s Rock Shrine”.
Menjulang
Bersama T.Rex
T-REX: Bolan (kanan) dan Steve P Took (foto: pinterest)
Sejak
kanak-kanak, Bolan memang sudah mendapat “nyawa” rock n roll lantaran gandrung
mendengar musik-musik dari Bob Dylan, Chuck Barry, Gene Vincent, atau Donovan.
Naluri bermusiknya makin tumbuh saat pada usia sembilan tahun dibelikan gitar
oleh orangtuanya.
Bolan
pun mulai fokus bermusik dan meninggalkan sekolah pada usia 14 tahun.
Menariknya, dia sempat merambah karier sebagai model di usia 17-an meski
akhirnya dia tinggalkan. Belakangan, pengalamannya menjadi model, ikut membentuknya
menjadi pribadi yang flamboyan, dan sangat berperan menunjang penampilannya
sebagai rock star pujaan.
Pada
tahun 1967, saat bergabung dengan band John Children, Bolan menanggalkan nama
belakang keluarganya, “Feld” dan memproklamirkan “Bolan” sebagai
“surename”-nya.
Sayang,
meski sempat sukses di berbagai konser, John Children tak pernah mampu menjual
album. Hingga akhirnya band ini bubar, dan Bolan membentuk Tyrannosaurs Rex
bersama drummer John Children, Steve Peregrin Took akhir tahn 1960-an.
Duo
Tyrannosaurs Rex ini menarik, karena Bolan hanya memainkan gitar akustik.
Sedangkan Peregrin “bersenjatakan” perkusi atau bongo drum. Sementara musik
yang mereka mainkan amat terpengaruh dengan gaya psychedelic rock. Maka,
jadilah “psychedelic folk-rock acoustic”, begitulah aliran Tyrannosaurs Rex.
Namun,
sulit dimungkiri, nama Bolan baru benar-benar menjulang saat memendekkannya
nama bandnya, menjadi T.Rex dan merilis single “Ride a White Swan” di awal
tahun 1970-an. Lagu ini sempat bertengger di posisi puncak tangga-tangga lagu
Inggris Raya ketika itu.
Setelah
itu, full album pun dirilis bertitel “T.Rex” dengan bantuan produser Tony
Visconti, yang juga ikut memainkan piano. Bolan kemudian menambah jumlah
personel bandnya dengan mendatangkan Steve Currie pada bass dan Bill Legend
pada drum. Sebelumnya, Mickey Finn telah didatangkan menggantikan Peregrin pada
perkusi. Bolan sendiri, akhirnya kembali memainkan gitar listrik.
Formasi
inilah yang kemudian berhasil menaklukkan peta musik Inggris. Album “The
Slider” yang dirilis pada tahun 1972, bisa dibilang merupakan langkah terbesar
T.Rex. Dengan lagu “Metal Guru” dan “Telegram Sam” T.Rex pun makin terkenal.
Setahun sebelumnya, T. Rex juga sempat lewat “Jeepster” dan “Get It On” di
album “Electric Warriors”. Bahkan, lagu “Get It On” sendiri sempat sukses menembus
pasar Amerika Serikat.
Lagu-lagu
T.Rex rata-rata bertempo riang dengan lirik-lirik yang sederhana. Bolan juga
jarang sekali memasukkan melodi gitar yang ruwet, khas gitaris-gitaris rock.
Sebaliknya, dalam-dalam lagu-lagu T.Rex, instrumen gitar yang dimainkan Bolan
seperti tak lebih dari rhythm section. Namun, tetap memberi nyawa tersendiri
pada laga tersebut.
Dengar
saja lagu “20th Century Boy” atau “Children of Revolution” yang merupakan lagu
wajib mereka. Bahkan, di lagu “Get It On”, Bolan nyaris tak memasukkan melodi
pada interlude.
Tapi,
justru karena kesederhanaannya ini lagu-lagu T.Rex jadi amat digemari karena
sangat easy listening dan membangkitkan semangat. Banyak yang bilang Bolan
selalu mampu memberikan “ruh” di setiap lagunya.
Fashionable
MARC BOLAN (foto: fanpop)
Dalam
hitungan tahun, hidup Bolan pun berubah. Publik musik Inggris mulai
mendaulatnya sebagai ikon baru rock n roll Inggris setelah Elvis Presley dan
The Beatles. Bolan pun jadi memiliki kesempatan yang begitu besar untuk
memengaruhi gaya hidup remaja Inggris dengan gaya glam rock-nya, yang kemudian
menjadi ciri khasnya.
Dalam
setiap aksi panggungnya, Bolan mulai menggunakan atribut-atribut yang nyeleneh.
Topi ala tukang sulap, serta atasan yang berkilau kerap dikenakannya. Tak lupa
Bolan juga mengalungkan “ular-ularan” dari bulu (feather boa) di lehernya dan
mengenakan maskara.
Di
lain kesempatan, dia mengenakan jaket kulit dengan glitter yang amat
menyilaukan mata. Sementara rambut gondrong kritingnya amat kontras dengan
bentuk wajahnya yang imut.
Tapi,
itulah superstar. Apapun yang dilakukan, dikenakan terasa pantas di mata
penggemarnya. Gaya berpakaian Bolan pun sempat jadi tren di kalangan anak muda
Inggris. “Right or wrong, it’s my superstar,” mungkin begitu kata mereka.
Menurut,
kakak kandung Bolan, Harry Feld, sang adik memang sudah sejak remaja terobsesi
terhadap fashion. Terutama setelah membaca buku karangan “The Incredible Beau
Brummell”. Karakter utama dalam buku karangan Samuel Tenenbaum itu memang
digambarkan sebagai sosok yang dandy dan fashionable.
Sementara,
seorang fashion designer terkenal di Inggris, Zandra Rhodes, menyebut Bolan
memiliki taste yang sangat kuat dalam hal penampilan. “Bolan merupakan pioner
glam rock dengan caranya berdandan, berpakaian. Dia tak malu berdandan ala
wanita,” ujar Zandra dalam sebuah program dokumenter BBC, “Mark Bolan: The
Final Word”. “Ketika itu, gayanya berpakaian Bolan sangat revolusioner.”
Dan,
terbukti, belakangan, gaya berpakaian dan atribut Bolan di panggung, menjadi
contoh musisi-musisi glam rock di era selanjutnya. Sebuat saja Quiet Riot,
Twisted Sister, Ratt, bahkan hingga Motley Crue. Tentu saja dengan sejumlah
inovasi mengikuti zamannya.
Di
luar itu, Bolan adalah sosok yang bersahaja, nyentrik, pribagi yang hangat, dan
musisi yang genius. Dia adalah figur yang bisa menularkan aura positif terhadap
rekan-rekannya. Wajar, meski terkesan otoriter, Bolan tetap disukai rekan-rekan
sejawatnya, di kalangan musisi Inggris tempo itu.
Ratu
rock n roll Suzi Quatro, yang berperan sebagai narator dalam program BBC di
atas, menyebut, Bolan adalah sosok yang persistens dan ambisius. Seorang yang
mampu mewujudkan mimpinya dari remaja pinggiran kota menjadi rock star.
Bowie,
Sahabat-Rival
Hal
lain yang sangat menarik dari karier musik dan hidup Bolan adalah hubungannya
dengan Bowie. Di satu sisi, dua sosok ini bersahabat sangat kental. Namun, di
panggung musik, mereka amat bersaing, meski keduanya sempat merekam lagu
bersama “The Prettiest Stars”, single Bowie di tahun 1970.
SOHIB - Bolan (kanan) bersama David Bowie (foto: daily mail)
Bowie
masih bernama David Jones, pemuda asal Bromley berusia 18 tahun saat bertemu
Bolan di sebuat kantor pemandu bakat di London di pertengahan tahn 1960-an.
Ketika itu, Bolan alias Mark Feld, bahkan belum genap 17 tahun.
Keduanya
sering berdiskusi soal musik, mengembangkan gaya dan karakter musiknya
masing-masing. Mencoba hal-hal baru demi membuat sesuatu yang berbeda. Sebuah
kafe bernama La Gioconda di Soho, London Timur, menjadi tempat nongkrong Bowie
dan Bolan muda setiap akhir pekan.
Persahabatan
keduanya berlanjut hingga mereka meriah bintang menjadi superstar. Persahabatan
yang berubah menjadi persaingan dalam menunjukkan pamor dan nama besar keduanya
di kancah musik rock Inggris.
Puncaknya
adalah di awal tahun 1970-an, saat nama keduanya sama-sama menjulang di area
glam rock Inggris. Memang, sangat mudah melihat persaingan keduanya, semudah
melihat lagu-lagu mereka yang berkejaran di tangga-tangga lagu Inggris ketika
itu.
Di
tahun 1972, misalnya. Tiga lagu Bowie, “Starman”, “John I’m Only Dancing”, dan
“The Jean Genie” berada di posisi ke-10, 12, 2 tangga-tangga lagu top di
Inggris. Sedangkan Bolan menempatkan dua lagu T.Rex, “”Telegram Sam” dan “Metal
Guru” sebagai pemuncak di tangga lagu lainnya. Begitu juga dengan “Children Of The
Revolution” dan “Solid Gold Easy Action” yang berada di posisi kedua.
Setahun
berikutnya, malah lebih menarik. Lagu Bowie, “Live on Mars” dan “Sorrow” serta
lagu T. Rex, “20th Century Boy” sama-sama berada di posisi ketiga. Perang pun
dimulai. Persaingan makin panas, lantaran Bolan sempat keki mendapati Tony
Visconti, yang sebelumnya memanajeri dia, mulai berpaling dan lebih
memprioritaskan Bowie.
“Jelas
ada rivalitas di antara mereka,” ujar Keith Altham, yang pada tahun 1970-an
bertindak sebagai humas Bowie dan Bolan, seperti dikutip Daily Mail. “Namun,
tetap ada cinta di antara mereka. Bowie dan Bolan memiliki banyak kesamaan.
Mereka bisa jadi saudara kandung.”
Tak
salah kata Altham. Sebab, setelah meninggalnya Bolan, Bowie begitu peduli dan
banyak membantu putra Bolan, Rolan, dan jandanya, Gloria, terutama dari segi
finansial. Bahkan, Bowie disebut-sebut bapak angkat Rolan.
Maklum,
hingga saat ini, Bowie masih masuk dalam kategori musisi terkaya dunia. Bahkan,
situs bonrich.com memperkirakan kekayaan Bowie saat ini mencapai 215 juta dolar
AS atau sekitar Rp 2,5 triliun. Sementara, usai kematian Bolan, Gloria jatuh
bangkrut.
“Kedermawanan
David Bowie membantu saya dan ibu untuk menyambung hidup,” ujar Rolan, yang
kini bergelar sarjana seni rupa dan kini tinggal di Kalifornia, Amerika
Serikat. Rolan menyebut, Bowie kerap meneleponnya dan mengatakan jangan pernah
ragu meminta bantuan kepadanya. “Jika ada yang bisa saya lakukan, saya pasti
akan membantu,” ujar Rolan menirukan ucapan Bowie. Ya, “Friends will always be
friends” kata Queen.
Sumber:
biography, daily mail, firstpost, BBC Documentary, “Marc Bolan: The Final
Word”, you tube, wikipedia, bornrich
Diskografi
Marc Bolan
Bersama
Tyrannosaurus Rex
*
My People Were Fair and Had Sky in Their Hair… But Now They’re Content to Wear
Stars on Their Brows (1968)
*
Prophets, Seers & Sages: The Angels of the Ages (1968)
*
Unicorn (1969)
* A
Beard of Stars (1970)
Bersama
T. Rex
·
T. Rex (1970)
·
Electric Warrior (1971)
·
The Slider (1972)
·
Tanx (1973)
·
Zinc Alloy and the Hidden Riders of Tomorrow (1974)