Thursday, December 12, 2013

"Chandra"

“CHANDRA”, begitu aku memanggil dia. Bukan nama sebenarnya. Nama yang diberikan orangtuanya sebenarnya lebih bagus. Tapi, dia lebih suka dipanggil begitu. “Biar keren,” katanya.

Dia pun memanggilku “Chris”. Bukan “Kris”, dari nama belakangku. Tapi, “Chris” ya “Chris”. Kami bersahabat sejak duduk di sekolah dasar. Kemudian berlanjut di SMP, yang membuat persahabatan kami semakin kental.

Sekolah kami, sebuah SMP swasta. Sekolah kecil, yang ketika itu baru didirikan sebagai cabang dari sekolah yang sama, di kawasan Cipete, Jakarta Selatan. Ya, kami angkatan pertama, jadi semua orang di sekolah tahu, “Chandra adalah Chris”.

Kami memang sahabat, ya sahabat. Benar-benar sahabat. Dulu dia sering menulis nama kami berdua di meja tulis, tembok sekolah, atau di mana pun tempat yang kami singgahi. Tak jarang, dia rela mengukir nama kami berdua di batang pohon dengan sebilah pisau.

Selalu, dia menulis namaku terlebih dahulu. “Chris & Chandra”. Aku sendiri tak tahu apa alasannya. Bagiku itu sebuah penghargaan darinya terhadap persahabatan kami yang tulus.

Banyak sekali kenanganku di masa-masa SMP bersama dia. Bolos bareng, camping, menjelajah kota Bogor dengan menumpang bermacam truk, berkelahi dengan anak-anak kampung belakang sekolah, sampai dikejar-kejar orang sekampung karena mencuri ketimun di kebun sebelah sekolah.

Dulu, dia sering mengibaratkan kami layaknya “Boy” dan “Andi” atau “Kendi”, dua tokoh dalam sandiriwara radio “Catatan Si Boy” yang ketika itu mengudara di Radio Prambors di gelombang AM 666. Ini sandiwara karangan Marwan Al Katiri yang menggambarkan persahabatan dua cowok. Boy ganteng, kaya, jadi idola para gadis. Kendi tukang pukulnya.

Chandra mengibaratkan dirinya layaknya Boy, sedangkan aku Kendi. Namun, dalam keseharian, justru dia yang sering “berperan” sebagai Kendi, sang bodyguard. Ya, bukan sekali dua, dia jadi tukang pukulku. Selalu saja dia pasang badan, saat aku bermasalah.

Tapi, memang harus diakui, tampang Chandra jauh lebih baik daripadaku. Gayanya pun flamboyan.

Sebagai cowok, dia juga sangat modis. Barang-barangnya semuanya milik kelas atas. Sepatu, arloji, baju, tas. Semuanya branded. Padahal, kami hanyalah anak pegawai negeri sipil. Tapi, aku tak pernah tanya, dapat uang dari mana dia sehingga bisa membeli barang-barang mahal itu.

Chandra pula yang sempat mengenalkanku ke dunia gemerlap, zaman itu. Beberapa kali dia mengajakku ke diskotek “Happy Days” atau “Lipstick”, yang terletak di kawasan Blok M. Bermain sepatu roda, atau sekadar ngecengin cewek-cewek Pondok Indah atau Kemang.

Sayang, aku tak pernah tertarik, karena otakku, pikiranku, sudah “teracuni” lagu-lagu Iwan Fals. Aku malah merasa jengah berada di tempat seperti itu. Kerlap-kerlip lampu, goyangan gadis-gadis dengan sepatu rodanya, justru membuat aku tak nyaman.

Tapi, Chandra adalah sosok yang rapuh, ataupun mungkin juga lebay, kata orang sekarang. Kerap kali dia melakukan hal-hal yang tak masuk di akal saat merasa frustrasi.

Pernah suatu kali dia mencoba bunuh diri meminum obat nyamuk cair, lantaran putus cinta. Aku pun datang ke kamarnya. Kutinju dia. “Goblok!” kataku. Halah anak SMP mau bunuh diri.

Tapi, Chandra juga yang menampungku di kamarnya, saat aku lari dari rumah. Ketika itu, aku diomeli habis-habisan oleh ayah karena ada laporan dari tetangga yang melihatku merokok di dekat masjid komplek tempatku tinggal. Chandra menasihatiku agar pulang. “Kasihan orangtua lo,” kata dia.

Itulah sahabat. Saling mengisi, saling menjaga. Si A harus bisa menjadi sandaran saat si B tak berdaya.

Bersama Chandra pula aku mengenal apa yang disebut barang haram. Untung, tak berlanjut. Nyaliku terlalu kecil untuk meneruskan tabiat buruk itu. Namun, Chandra tidak. Dia terus larut.

Belakangan, aku tahu penyebab itu semua. Chandra kecewa, marah, frustrasi terhadap keadaan rumah tangga orangtuanya. Ah, lagi-lagi Chadra terlalu mendramatisir.

Lulus SMP, kami sama-sama diterima di SMA negeri. Sayang, kami harus berpisah, karena mendapat SMA yang berbeda. Sejak saat itu, aku kehilangan kontak dengan dia.

Aku sibuk dengan hobi baruku di SMA, bermusik dan bergaul dengan teman-teman sekolahku tentunya. Sedangkan Chandra, kudengar makin tak karuan. SMA-nya tak tamat, kelakuannya makin tak jelas. Terus begitu.

Sempat beberapa kali aku datang ke rumahnya. Tapi, suasananya sudah tak seperti dulu. Chandra sudah lebih mirip preman, ketimbang sahabat yang hangat. Setiap kusinggung kenangan-kenangan semasa SMP, dia menampik. Entah kenapa. Waktu terus berlalu, aku benar-benar kehilangan kabar darinya. Sampai kudengar berita itu. Chandra kehilangan kewarasannya!

Sering dia berdandan ala pendekar, rambut acak-acakan, keliling komplek membawa gitar, bernyanyi asal-asalan. Hilang akal, sampai sekarang.

Aku sedih, menangis, tak bisa apa-apa. Sekitar sebulan lalu, saat mengunjungi rumah orangtuaku, aku berpapasan dengan dia, setelah puluhan tahun tak bertemu. Dari dalam mobil, aku melihat dia menyisir trotoar dengan rambut gondrong, pakaian compang-camping membawa okulele.

Saat itu, ingin aku turun, menyapanya, memeluknya, bercerita tentang gadis-gadis yang pernah kami pacari, tentang ibu kepala sekolah SMP yang tak pernah bosan menceramahi kami, tentang anak SMA seberang sekolah yang kami keroyok karena memalakku, tentang banyak hal. Tapi, tak mungkin karena aku bersama kedua anakku. Hatiku terkoyak. Maafin gue ndra….


07 December 2013 | 15:05
Kompasiana

No comments:

Post a Comment