Foto: Freefever |
LANGKAH-langkah anggun tergerak dari kaki-kaki yang jenjang. Di bibir panggung, perempuan itu sempat menghentikan langkah, seraya mengangkat gaunnya hingga tersingkap. Tampaklah betisnya yang putih mulus. Kemudian, dia kembali berjalan menuju tengah panggung. Semua orang menatapnya, penuh kagum.
Putih, ya gaunnya serbaputih. Selendang sutra tipis berwarna putih membungkus rambutnya yang bergelombang, mirip Marilyn Monroe, artis seksi Hollywood era 1950-an. Tapi, warnanya hitam, bukan pirang.
“Selamat malam, selamat berjumpa lagi di Romantic Thursday Night,” wanita itu menyapa para pengagumnya. Tak lama, dari bibirnya terlantunlah lagu “Smoke Get Into Your Eyes” milik kelompok The Platters yang legendaris itu.
They asked me how I know
My true love was true
I of course replied
Something here inside cannot be denied….
My true love was true
I of course replied
Something here inside cannot be denied….
Damar tak kuasa untuk beranjak dari tempat duduknya. Matanya nyaris tak berkedip, khawatir kehilangan momen-momen berharga di depan matanya. Damar terpesona.
“Mabuk? Ahh,.. tidak, aku tidak mabuk. Illusion itu belum segelas aku habiskan,” Damar begumam dalam hati. “Dia benar-benar cantikkk! Gorgeous!”
Malam itu, Damar memang ingin merasakan pengalaman yang berbeda. Dia tak pergi bersama teman-temannya ber-dugem ria. Sepulang kerja, Damar memilih pergi ke Journey, sebuah kafe yang terletak tak jauh dari kantornya, di selatan Jakarta. Damar ingin tenang, rileks.
Dan, feeling Damar tepat. Di Journey Café, dia menemukan pemandangan yang teramat indah di hadapan matanya. Seorang wanita cantik, yang terus melantukan lagu-lagu melankolis, romantis, yang sebelumnya bahkan tak pernah terdengar dari tape mobil Damar.
Tapi, Damar tak peduli lagi lagu-lagu yang dibawakan penyanyi itu. Dia hanya fokus kepada sang “kembang latar”. Wanita tercantik yang pernah dilihatnya.
“Unforgettable“ milik Frank Sintra adalah lagu terakhir yang dinyanyikan sang biduan. Setelah itu, dia menghilang di balik panggung. “Tunggu…,” Damar berteriak dalam hati. Ah, siapa nama penyanyi tadi. Dia bahkan tak memperkenalkan diri. Damar penasaran. Waktu menunjukkan pukul 02. 05 WIB.
***
“Semalem gimana bro? Dapat apa?” suara Ardy, rekan sekantornya mengagetkan Damar, yang tengah mematikan komputer di mejanya, bersiap pulang. “Apaan sih lo? Dapet apaan?” Damar menjawab sekenanya.
“”Gimana sih loe? Semalem lo mencar dari anak-anak, ngapain?” Ardy menyelidik. “Tau ah.. biasa aje. Gue cabut,” Damar ngeloyor.
Tak sabar, Damar memacu mobilnya menuju Journey. Ya, dia ingin sekali lagi, atau mungkin berkali-kali menikmati wajah sang “kembang latar” yang dilihatnya, semalam.
“Dah pesen table mas?” seorang pelayan wanita menyapa Damar, saat memasuki Journey Cafe. Damar menggeleng. “Kalau begitu, mari saya carikan,” sang pelayan kemudian menuntun Damar ke sebuah meja yang terletak di sudut ruangan kafe.
Damar lalu mengeluarkan rokok, menyulutnya. Dia mulai menikmati suasana di dalam ruangan kafe yang begitu tenang. Pukul 00.00 WIB. Tapi, yang muncul dipanggung bukan sang “kembang latar”, melainkan sebuah band yang berseragam mirip pemain sirkus. Mereka membawakan lagu-lagu chacha.
Tiba-tiba Damar tersentak. “Ah, bukankah kemarin dia mengatakan Romantic Thursday Night? Berarti penyanyi itu hanya menyanyi Kamis malam,” Damar bergumam.
***
Sudah empat hari belakangan, sejak Senin, Damar begitu disibukkan oleh pekerjaannya. Hari ini, proposal itu telah beres dia kerjakan dan akan dipresentasikan sang bos, keesokan harinya.
Kini, saatnya “play hard”. Sempat selintas dalam pikiran Damar mengajak Ardy and the gank untuk menghabiskan malam ber-dugem ria, menghilangkan lelahnya. Tapi, tiba-tiba Damar teringat sang “kembang latar”. Ah, bukankah ini Kamis malam?
Damar telah larut dalam suasana romantis Journey Café. Suasana yang remang-remang, meja-meja yang tertata rapi, plus lilin dan bunga mawar di atasnya. Ditemani minuman favoritnya, Damar menghitung waktu. “Satu jam lagi,” ujar Damar, dalam hati, seraya melihat jarum arloji di tangannya yang menunjuk ke angka 11.
Pukul 00.00 WIB, wanita itu muncul di atas panggung. Lagi-lagi “Smoke Gets Into Your Eyes”….
They asked me how I know
My true love was true
I of course replied
Something here inside cannot be denied
….
My true love was true
I of course replied
Something here inside cannot be denied
….
Gelas demi gelas minuman manis setengah pahit berwarna hijau muda itu diteguk Damar. Namun, dia berusaha tetap sadar. Tak ingin satu pitcher Illusion itu dia habiskan. Damar tak ingin mabuk. Dia ingin menikmati setiap gerakan dari sang “kembang latar”, hingga akhirnya terlantunlah “Unforgettable“.
Tak seperti sebelumnya, usai menyanyi, wanita itu turun panggung dan duduk di barisan meja di sisi panggung. Jantung Damar berdegup kencang. Dia bertekad menghampirinya.
“Boleh saya duduk di sini,” ujar Damar, seraya mengambil tempat di seberang perempuan itu. Sang “kembang latar” hanya tersenyum. “Nama saya Damar….. Suara Anda bagus sekali,” Damar membuka percakapan. Perempuan itu kembali tersenyum.
Damar tak bisa menguasai diri. Dari jarak dekat, perempuan itu semakin cantik di matanya. Wajahnya begitu halus, meski agak pucat. “Maaf, Anda belum menyebut nama Anda,” Damar mendesak. “Melinda,” ujar sang perempuan, sambil mengepulkan asap rokok putih dari mulutnya.
Tapi, sayang, Damar tak bisa bicara banyak lantaran sang “kembang latar” tak ingin berlama-lama. “Saya harus pulang,” katanya, sambil beranjak dari kursinya, meninggalkan Damar yang masih terkagum-kagum. “Kapan saya bisa melihat Anda lagi?” Damar bertanya.
Perempuan itu berhenti sejenak. Dia menengok ke arah Damar. “Romantic Thursday Night,” ujarnya, sambil tersenyum.
***
Damar tak sabar menunggu datangnya Kamis malam. Tak mampu dia menghilangkan wajah sang “kembang latar” dari benaknya. “Gila.. dia benar-benar cantik,” ujar Damar, dalam hati.
Sempat terlintas dalam benak Damar wajah Vivi, perempuan metropolis, yang sempat sangat dekatnya dengannya, hingga dua bulan lalu. Hubungan mereka putus, lantaran Vivi selalu marah jika Damar pergi dugem dengan teman-temannya.
Ah, perempuan itu tidak seperti Vivi. Dia sangat anggun, berbeda dengan Vivi yang over energik. “Aku harus kembali menemuinya. Akan kujadikan pacar!” Damar bertekad.
Setelah sempat makan bersama bos, Kamis malam, Damar tiba di Journey Café, pukul 22.30 WIB. “Tapi….kafe ini kok seperti tutup ya?” Damar kebingungan.
Tak ada lampu-lampu temaram yang menghiasi kafe. Tempat parkir mobil di halaman depan kafe pun gelap, kosong melompong. Hanya ada mobil Damar yang diparkirnya di dekat telepon umum.
“Ah, tapi, ini kan baru jam setengah sebelas. Acaranya baru mulai pukul 00.00 WIB. Nanti juga ramai,” Damar coba menghibur diri. Dengan langkah berat, dia pun tetap menuju pintu masuk kafe, yang terlihat gelap.
“Cari apa mas?” tiba-tiba dua pria tinggi besar menghampirinya, bertanya agak kasar. “Saya mau ke kafe mas,” Damar menjawab.
“Kafe???” kedua pria itu bertanya serentak. “Mas gak liat kafe ini dah jadi kuburan,” salah seorang pria itu berkata, agak meledek. “Maksudnya?” Damar bingung setengah mati.
“Kafe ini sudah setahun tutup mas. Sedang dalam sengketa. Kami berdua yang menjaganya,” pria yang mengenakan anting menjelaskan. “Tapi, minggu lalu saya masih ke sini mas…” Damar menjawab, masih bingung setengah mati.
Kedua pria itu saling berpandangan. “Ketemu Melinda ya? Romantic Thursday Night? Sudahlah mas, pulang saja,” ujar pria beranting tadi, sambil ngeloyor bersama rekannya. “Jadi, Melinda ……” Damar terpaku, merinding.
*cerita ini hanya fiktif. Jika ada kesamaan nama, tempat, dan peristiwa, kebetulan belaka*
31 July 2010 | 05:08
Kompasiana
Jd...melinda itu mbak kunti ya bang edu? Seremnya..kalo beneran :)
ReplyDeleteBtw itu penyebutan wanita dan perempuan kurang konsisten bang...di paragraf atas wanita di bagian bawah perempuan :) #sokjadipemerhatifiksi
hahahha ya seperti itulah mbak Edi hehhehe...enaknya perempuan apa wanita ya hhahhahaha..matur suwun dah mampir mbak Edi..salam buat keluarga...:)
ReplyDelete