Ketika semua tangan terpaku di dagu
Ragu untuk memulai segala yang baru
Lirih terdengar suara ibu
Memanggil jiwa untuk maju ….
Ragu untuk memulai segala yang baru
Lirih terdengar suara ibu
Memanggil jiwa untuk maju ….
Dari tanahmu hei Aceh
Lahir Perempuan perkasa
Bukan hanya untuk dikenang
Tapi dia panglima laksamana jaya
Memanggil kembali untuk berjuang….
Lahir Perempuan perkasa
Bukan hanya untuk dikenang
Tapi dia panglima laksamana jaya
Memanggil kembali untuk berjuang….
BEGITULAH Iwan
Fals berdendang tentang seorang perempuan hebat, Keumalahayati, namanya.
Seorang pejuang dari Nanggroe Aceh Darussalam, yang hidup di awal abad ke-16,
yang kemudian dikenal dengan sebutan “Laksanama Malahati”.
Pejuang dalam arti sesungguhnya, pahlawan,
berperang, mengangkat senjata demi tanah air tercinta. Dia juga disebut-sebut
sebagai laksamana wanita pertama di dunia.
Ini lagu lama. Dimuat dalam album
“Keseimbangan” yang dirilis tiga tahun lalu. Namun, sejatinya, lagu ini telah
lahir lebih lama lagi. Pertama kali didendangkan Iwan Fals dalam konser
“Hikayat Rindu Tiga Maestro” yang digelar di Aceh, tahun 2007. Iwan Fals,
ketika itu tampil bersama dua sahabatnya: Sawung Jabo dan mendiang WS Rendra.
Lirik lagu berjudul “Malahayati” ini
dibuat oleh Endang “Genta Keumala” Moerdopo, yang juga merilis buku berjudul
“Perempuan Keumala” pada tahun 2008. Buku ini juga bercerita tentang perjuangan
dan kisah hidup Laksamana Malahayati.
Sayang, sebagai sosok pahlawan nasional,
nama Keumalahayati tak terlalu familiar. Setidaknya jika dibandingkan dengan
Cut Nyak Dien atau Cut Nyak Meutia sosok pahlawan wanita yang juga berasal dari
“Tanah Rencong”.
Padahal, banyak sekali teladan atau
hal-hal positif yang bisa diambil dari perempuan perkasa ini. Bukan hanya
keberaniannya dalam mengangkat senjata, namun juga filosofi hidup
Keumalahayati, yang rela meninggalkan semua kepentingan pribadinya serta
keluarga demi negeri tercinta.
Ya, Keumalahayati memang seorang panglima
perang yang gagah berani. Seorang perempuan yang sempat menjabat sebagai salah
satu panglima Kerajaan Aceh Besar di bawah pimpinan Sultan Alauddin Riayat Syah
al-Mukammil pada periode 1589-1604.
Kisah perjuangan Keumalahayati diawali
saat suaminya yang juga seorang laksamana tewas dalam sebuah pertempuran
melawan Portugis di Teluk Haru. Keumalahayati pun bertekad meneruskan
perjuangan sang suami.
Kepada Sultan Al-Mukammil, Keumalahayati
kemudian meminta izin dan dukungan untuk diberi kewenangan membentuk pasukan sendiri.
Pasukan ini terdiri pada janda perang atau innong balee di
Teluk Haru. “Proposal” Keumalahayati disetujui.
Dunia militer dan kelautan memang bukan
hal asing bagi Keumalahyati. Dia adalah putri dari Laksamana Mahmud Syah, cicit
dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-153) yang merupakan pendiri
Kesultanan Aceh Darussalam.
Ilmu kemiliteran dan kelautan Malahayati
sendiri dia dapat karena pernah menempuh pendidikan di sekolah kemiliteran
Kesultanan Aceh, Ma`had Baitul Makdis. Lembaga ini ketika itu bekerja sama
dengan Kerajaan Turki.
Awalnya, pasukan Keumalahayati hanya
sekitar seribu inong balee. Namun, lama-lama berkembang
menjadi lebih dari dua ribu orang dan terus berkembang. Keumalahayati kemudian
menetapkan Teluk Lamreh Krueng Raya, Aceh Besar sebagai pangkalan armada
mereka. Di sana, dia juga membangun benteng kokoh Benteng Inong Balee yang
tingginya mencapai 100 meter.
Salah satu torehan bersejarah
Keumalahayati adalah saat menghajar pasukan Belanda yang coba menginvasi Aceh
yang dipimpin dua dua bersaudara: Cournelis dan Frederick de Houtman, yang
terkenal bengis. Awalnya, mereka yang datang dengan dua kapal: De Leeuw dan De
Leeuwin, memang bersahabat. namun, lama-lama, Kesultanan Aceh mencium niat
busuk yang mereka bawa.
Keumalahayati pun dipercaya untuk
menumpas pasukan Belanda yang dibawa De Houtman bersaudara ini. Tugas ini
dituntaskan Keumalahayati dengan gemilang.
Hebatnya, Cournelis De Houtman
tewas langsung di ujung rencong Keumalahayati dalam sebuah duel satu lawan satu
di geladak kapal, pada 11 September 1599. Sementara Frederick berhasil
diringkus dan sempat dipenjara selama dua tahun.
Selain jago bertempur, pintar
strategi perang, Keumalahayati disebutkan juga hebat dalam berdiplomasi, juru
runding yang andal. Salah satu peran besar Keumalahayati dalam hal ini adalah
saat Kerajaan Inggris berniat membuka hubungan dengan Kesultanan Aceh Darussalam.
Disebutkan utusan Ratu Elizabeth
I, James Lancaster, yang tiba di Aceh pada 6 Juni 1602, tidak bisa langsung
bertemu dengan Sultan Al-Mukammi. Melainkan harus “berhadapan” terlebih dahulu
dengan Keumalahayati.
Keumalahayati pun meminta Lancaster
agar terlebih dahulu membuat proposal yang ditandatangani Ratu Elizabeth I yang
ditujukan kepada Sultan Al-Mukammil. Baru, setelah proposal itu dibuat,
Lancaster diperkenankan bertemu dengan sang sultan.
Tentu, masih sangat banyak
torehan prestasi serta kisah perjalanan hidup dari Keumalahayati yang bisa
dipelajari, diteladani. Namun, dari ilustrasi di atas, rasanya sudah cukup
untuk mengerti betapa hebat perjuangan Keumalahayati.
Tentu, bukan hanya dengan
mengabadikan namanya untuk kapal perang atau jalan. Melainkan juga menerapkan
nilai-nilai perjuangannya dalam kehidupan sehari-hari.
Salam