Friday, January 20, 2012

White Lion, Berkibar di Awal Era 1990-an

KLASIK - White Lion formasi klasik dari kiri ke kanan: James Lomenzo (bass), Mike Tramp (vokal), Greg D'Angelo (drum)
WHITE Lion…. Di era 1990-an, penggemar musik mana yang tak kenal grup asal New York, Amerika Serikat (AS)  ini. Di negeri ini, nama grup yang dulu digawangi Mike Tramp (vokal), Vito Bratta (gitar),  Jame Lomenzo (bass), dan Greg D’Angelo (drum) ini  pertama kali dikenal lewat single “When The Children Cry” yang diambil dari album  kedua mereka, Pride, di tahun 1987. Dan, sejak itu pula petikan dan sayatan gitar Bratta serta lengkingan parau voal Tramp jadi begitu familiar di telinga saya ini.

Nama White Lion, kemudian menjadi salah satu grup favorit saya, saat mulai serius mendengarkan musik, ketika menginjak masa SMA. Di hati saya, White Lion ketika itu mendapat tempat yang nyaris sejajar dengan Bon Jovi, Gun’s N Roes, Mr. Big, Iron Maiden, dan tentu saja Iwan Fals.

White Lion memang merupakan bagian dari kejayaan glam rock, hair metal, hard rock, heavy metal, apa pun namanya, di era pertengahan 1980-an hingga awal 1990-an. Masa di mana ingar-bingar distorsi gitar yang meraung-raung, dentuman bass drum yang berpadu dengan atribut ala rock star.  Rambut panjang, jaket-celana jins belel, plus bandana di kepala.

Namun, ada kalanya, mereka, band-band glam rock ini bersenjatakan lagu-lagu balada. White Lion inilah salah satunya. Lagu “When The Children Cry” membuat album Pride mendapat double platinum. Lagu ini juga sempat bertengger di tangga lagu The Billboard 200 selama tahun penuh.

Ketika itu, berbekal tiga album awal, Fight To Survive (1985), Pride (1987), dan Big Game (1989), White Lion termasuk salah satu grup hair metal papan atas. Di Indonesia, nama White Lion makin dikenal saat merilis album keempat, Mane Attraction, di tahun 1991. Hits-hits seperti “You’re All I Need”, “Till Death Do Us Part”, ataupun “Broken Heart” kerap diputar di radio-radio terkemuka, ketika itu.

Selintas didengar, musik-musik White Lion sepertinya sederhana. Namun, jika dicerna lebih jauh, Tramp dan kawan-kawan ternyata tak sekadar bermain musik. Mereka bermain dengan teknik yang luar biasa.

Mulai ketukan drum yang gantung, dentuman bass yang tak umum, melodi serta kocokan gitar  yang dimainkan dengan teknik tinggi. Coba saja dengar lagu “Till Death Do Us Part” dari album Mane Attraction.

EKSIS - Mike Tramp hingga
kini masih eksis. (foto: braingel.com)
Di bagian interlude, Bratta memainkan melodi yang bukan hanya begitu enak didengar, menyanyat, pas dengan suasana lagu. Melainkan juga dengan teknik gitaran yang tinggi dengan teknik tapping yang luar biasa. Pilihan sound-nya juga luar biasa, benar-benar mampu menyatu dengan nuansa yang dibangun syair lagu.

Tak heran, selain Tramp yang memang menjadi front man, Bratta juga disebut-sebut sebagai ruh utama White Lion. Sebab, praktis, semua musik mereka, salah satunya ditentukan oleh gitaran-gitaran pria bermata sendu itu.

Karakter Kuat
Membuat lagu dengan teknik sulit menjadi sederhana memang salah satu kelebihan White Lion. Lihat saja,  lagu-lagu mereka jadi terdengar easy listening. Padahal, jika Anda coba kulik atau pelajari, susahnya bukan main. Tak heran, meski easy listening, lagu-lagu White Lion dikenal tetap memiliki karakter kuat.

Tak heran juga, nyaris semua lagu balada atau slow rock mereka, selain mendapat tempat di kalangan penggemar musik rock. Selain “When The Children Cry”, White Lion memang juga melahirkan hit-hits balada semacam “Broken Home”, “Till Death Do Us Part”, “Going Home Tonight”, “Cry For Freedom”, “Farewell To You”, dan tentu saja masterpiece balada mereka, “You’re All I Need”.

Tema cinta  yang jadi andalan, dibungkus dengan lirik yang kuat dan melodi garang namun manis, sehingga tak ada kesan mellow sedikit pun. Padahal, syair-syair yang kebanyakan ditulis Tramp sangat, sangat romantis. Tengok saja syair dalam refrain lagu “You’re All I Need” ini.

you’re all I need beside me girl
you’re all I need to turn my world
you’re all I want inside my heart
you’re all I need when we’re apart

Atau lirik di lagu “Wait” yang terdapat di album Pride.
Wait… just a moment before our love will die
Cause I must know the reason why we say goodbye
Wait…. just a moment and tell me why
Cause I can show you lovin´ that you won’t deny

Tak heran, seperti band-band glam rock lainnya, White Lion punya begitu banyak penggemar dari kaum hawa. Tentu saja ini tak lepas dari ketampanan wajah Tramp, sang front man, yang kini jadi suami dari artis Ayu Azhari ini.

Tapi, bukan cuma soal cinta sebenarnya yang jadi andalan White Lion. Sejak dulu, grup yang pertama kali didirikan 1983 ini memang sudah concern terhadap masalah-masalah sosial. Maka itu, selain cinta, tema-tama kehidupan juga begitu banyak menghiasi lagu-lagu White Lion.

Sebut saja “Broken Home”, yang bercerita tentang tingginya tingkat perceraian di AS, sehingga menyebabkan penderitaan luar biasa bagi sang anak. Atau “War Song” di album Mane Attraction yang bertutur tentang kegalauan veteran perang Vietnam. Sementara lagu “Cry Freedom” merupakan kritik penggawa White Lion terhadap kebijakan politik Apartheid yang ketika itu masih berlaku di Afrika Selatan.

Bahkan, White Lion, ketika itu, di tahun 1990-an juga sudah peduli terhadap lingkungan alam. Lagu “Little Fighter” mereka dedikasikan untuk Greenpeace, kelompok pecinta lingkungan yang ketika itu kapalnya dihancurkan oleh sebuah operasi intelejen Prancis.

Di luar itu, vokal Tramp yang unik juga jadi salah satu keunggulan White Lion dibanding grup-grup glam rock kala itu. Vokal Tramp memang tak biasa, tipis tapi sangat berkarakter.
Namun, di lagu-lagu tertentu, Tramp bisa saja menampilkan karakter vokal yang garang, serak-serak parau, khas rocker sejati. Namun, di lagu lainnya, dia bisa bernyanyi kelewat manis seperti dalam tembang “You’re All I Need” atau “Going Home Tonight”.

Hanya memang, patut disayangkan, di saat menjulang mereka justru langsung tenggelam. Ya, White Lion dengan formasi terbaik, Tramp, Bratta, Lomenzo dan D’Angelo, harus bubar di tahun 1991, tahun di mana mereka juga merilis albumMane Attraction.

Pada tahun 2003, sebenarnya sempat terjadi wacana untuk menghidupkan kembali White Lion. Namun, Tramp menyebut, Bratta keberatan, sehingga dia hanya mengajak Lomenzo dan D’Angelo plus Warren De Martini, gitaris RATT. Namun, masalah jadi rumit lantaran Bratta mengajukan tuntutan hukum. Sebelumnya, pada tahun 1999, Tramp juga sempat merilis Remembering White Lion dengan sejumlah musisi.

Lantaran tuntutan Bratta ini, Tramp sempat menggunakan nama Tramp’s White Lion (TWL) pada tahun 2005, saat berusaha membangkitkan kejayaan White Lion. Namun, belakangan, dia kembali menggunakan nama White Lion dan merilis albumReturn of The Pride pada tahun 2008. Mereka juga sempat menggelar tur ke Indonesia.

Pengaruh Bratta
TERBAIK - Vito Bratta sempat dinobatkan 
sebagai Gitaris Terbaik oleh majalah Guitar World. (foto:bobleafe)

Memang sulit dimungkiri, sepanjang karier musik White Lion, setidaknya, hingga album Mane Attraction, pengaruh Bratta begitu kental pada musik White Lion. Betul, Tramp memang memiliki peran besar dalam penulisan lagu.

Namun, saat membentuknya menjadi sebuah musik, peran Bratta yang sangat besar. Lewat sentuhan jari-jarinya lahirlah aransemen-aransemen yang penuh warna namun tetap berada dalam koridor hard rock.

Dengan gitar buntungnya yang keluaran Steinberger, gitaran Bratta memang sangat dominan di setiap lagu White Lion. Hebatnya, dia tak hanya bisa pamer teknik    kecepatan serta sound yang meraung-raung. Namun, Bratta juga bisa bermain sangat indah dengan gitar akustik.

Lagu “When The Children Cry”, ” Broken Home” serta “You’re All I Need” adalah beberapa contohnya. Sementara di beberapa lagu, Bratta juga selalu mampu menggabungkan unsur akustik dan electricdengan sangat manis.

Tak heran, pada tahun 1988 Bratta sempat didaulat sebagai gitaris terbaik oleh MajalahGuitar World untuk kategori Best New Guitarist.  Ketika itu, orang pun percaya, Bratta tak hanya pantas digelari shredder guitarist karena kecepatan bermainnya. Namun juga ciamik dalam pemilihan melodi-melodi yang harmonis dengan teknik tinggi.

Saya sendiri menilai, permainan tergila Bratta ada di album Big Game. Di album ini, dia benar-benar mengeksplor kelihaiannya memainkan instrument enam dawai ini.

Dengar saja lagu-lagu seperti “Going Home Tonight”, “Let’s Get Crazy”, “Cry For Freedom” atau lagu daur ulang grup Golden Earring, “Radar Love” di mana Bratta bermain begitu liar, dengan kecepatan tangannya plus, keindahan sound yang keluar dari gitarnya.

Jika Anda penggemar gitar, pasti ngeh betapa dahsyat permainan Bratta di lagu-lagu ini. Tapi, ya itu tadi, secepat apapun, segila apapun permainan Bratta, melodi-melodi yang keluar dari gitarnya tetaplah terdengar manis.

Namun begitu, di album Mane Attraction, permainan Bratta sebenarnya juga tak kalah gila. Dengar saja lagu “Love Don’t Come Easy” di mana dia bermain tappingbegitu halus di awal lagu. Sementar pada interlude, tapping-tapping itu jadi begitu gila.

Sementara pada lagu “Leave Me Alone” Bratta bermain begitu cepat, dengan kocokan yang dalam, serta aksen-aksen yang kuat, sehingga lagu ini terdengar begitu ngerock. Itu satu lagi kelebihan Bratta. Dia sering membuat fil-fil yang sulit terduga.

Di album ini juga adalah lagu instrumental khusus, “Blue Monday“, yang didedikasikan Bratta dan White Lion untuk mendiang pendekar blues, Stevie Ray Vaughan, yang meninggal saat White Lion mengerjakan album ini.

Kembali Reuni?
Hanya lagi-lagi disayangkan, setelah White Lion bubar, nama Bratta seperti hilang ditelan bumi. Padahal, ketika itu, namanya boleh dibilang sudah diperhitungkan sebagai salah satu gitaris rock terbaik sejajar dengan Paul Gilbert atau Stevie Vai yang tengah berkibar ketika itu.

Rumor pun bertebaran. Ada yang menyebut, Bratta mengalami cedera serius pada tangannya, sehingga tak bisa lagi bermain gitar. Ada juga yang menyebut, dia mengalami depresi berat sehingga trauma melakukan aktivitas musik.

TERKINI - Mike Tramp (tengah) dengan formasi terkini White Lion. (foto: myspace)
Berbeda dengan rekan-rekan segrupnya, yang terus berkibar setelah bubarnya White Lion. Lomenzo dan D’Angelo sempat menggarap proyek Pride and Glory bersama gitaris Zakk Wylde. LoMenzo bahkan terus berkibar dengan bergabung dengan David Lee Roth  serta Megadeth. Sementara Tramp sendiri sempat membentuk grup Freak of Nature. Dia juga sempat merilis beberapa album solo dan menggelar konser solo pertama kalinya di Indonesia, di Fashion CafĂ©, di tahun 2002.

Baru, pada 16 Februari 2007, Bratta untuk pertama kalinya muncul ke hadapan publik dalam sebuah talk show radio terkenal, Eddie Trunk, “Friday Night Rocks”yang ditayangkan secara live. Di acara ini, Bratta bicara banyak soal karier musiknya dan White Lion.
Bratta tak membantah, bahwa dia memang sempat mengalami cedera pada tangannya. “Cedera itu membuat saya sangat menderita. Bayangkan, saat menekan senar gitar, jari-jari saya seperti tersengat setrum,” ujarnya, seperti dikutip ultimate-guitar.

Namun, Bratta menuturkan, alasan utama dia menghilang selama ini adalah lantaran sibuk menemani sang ayah yang sakit keras dan berkepanjangan. Dia khawatir tak bisa berkonsentrasi jika memaksakan diri tetap aktif di musik. “Ayah saya membutuhkan saya,” ujarnya, lirih.

Namun begitu, ketika itu, Bratta juga menyebut tak menutup kemungkinan kembali reuni dengan White Lion formasi klasik. Hanya dia tidak tahu, kapan itu akan terjadi.

sumber: wikipedia, you tube, allmusic, heavymetalparadise, ultimate-guitar, blabbermouth, berbagai sumber

Diskografi
1985 Fight To Survive
1987 Pride
1989 Big Game
1991 Mane Attraction
1999 Remembering White Lion
2008 Return of The Pride




Friday, December 16, 2011

Rock of Ages, Ketika Glam Rock Berjaya

Poster Fiml Rock of Ages (foto: elbrooklyntaco)
ANDA penggemar Tom Cruise? Jika ya, bersiaplah menyaksikan penampilan berbeda dari aktor ganteng Hollywood itu. Dalam film terbarunya, Rock fo Ages,suami Katie Holmes ini memang tampil tidak seperti biasanya, lantaran berperan sebagai rock star.

Namanya rocker, penampilan Cruise tentu harus nyeleneh. Jadi, jangan berharap Cruise tampil manis dan santun seperti dalam A Few Good Men, atau macho, layaknya Letnan Pete Mitchell dalam Top Gun.

Yang ada, di film musikal yang rencananya dirilis 1 Juni 2012 ini, Tom tampil dengan kesan urakan. Lengkap dengan rambut panjang serta tato di sekujur tubuhnya.
Beberapa hari lalu, New Line Cinema, selaku pihak distributor, telah merilis trailer film garapan sutradara Adam Shankman ini. Tanggapan pasar Hollywood pun bermacam-macam. Yang jelas, sosok dan tampilan Cruise yang memerankan rock star  bernama Stacee Jaxx mendapat sorotan paling banyak.

“Kami bekerja keras untuk mencari tampilan tepat untuk mewakili Tom. Sebab, jelas, dia mengambil peran yang besar di film ini,” ujar Shankman, seperti dikutipmoviesblog.mtv.com.  ”Mungkin kita membayangkan akan melihat dia bernanyi. Tapi, untuk sementara, biarkan itu jadi misteri.”

Film ini sendiri merupakan adaptasi dari drama musikal Broadway dengan judul sama, yang diangkat dari buku kaya Chris D’Arienzo. Ceritanya mengambil settingdi tahun 1980-an, di saat glam rock tengah berjaya di belantara musik dunia.

Tom Cruise berperan sebagai Stacee Jaxx (foto:hbo)
Tak heran, dalam setiap pementasannya, Rock of Ages, selalu menampilkan lagu-lagu hits dari band-band glam rock terkemuka mulai STYX, Twisted Sister, Journey, Pat Benatar, Posion, Whitesnake, hingga Bon Jovi. Bahkan, vokalis Twisted Sister, Dee Snider juga pernah terlibat ikut berperan di drama ini.

Rock of Ages sendiri bercerita tentang kisah cinta Drew Boley, seorang busboy alias tukang bersih-bersih di bar/club bernama The Bourbon Room, dengan Sherrie Christian, yang bekerja sebagai pelayan di  bar yang sama. Sejak dulu, Boley punya mimpi menjadi rock star.
Namun, konflik sesungguhnya berawal saat datang berita tentang penggusuran The Bourbon Room. Kabarnya, ada developer yang berniat menjadikan sebagai area yang clean, sebuah kompleks perumahan elite.

Dennis Dupree, sang pemilik, kemudian berusaha mengomersilkan keadaan dengan berniat mendatangkan band rock terkenal, Arsenal, dengan sang vokalis bernama Stacee Jaxx, sebagai konser terakhir di The Bourbon Room. Sebelum ngetop, Arsenal memang dikisahkan kerap tampil di The Bourbon Room.

Masalah kemudian muncul, lantaran Sherrie kemudian malah dekat dengan Jaxx. Hal ini dilakukan Sherrie lantaran dia merasa Bowie tak memiliki perasaan yang sama dengannya. Sherrie dan Jaxx bahkan sempat bercinta di toilet pria The Bourbon Room.

Sherrie tak tahu, Jaxx ternyata hanya memanfaatkannya. Buktinya, sebelum konser, Jaxx meminta Dennis untuk memecat Sherie. Gitaris band Arsenal, ternyata tahu tindakan licik Jaxx itu, sehingga mereka kemudian memecatnya dan menarik Boley sebagai vokalis baru Arsenal.

Boley pun  mewujudkan mimpinya menjadi rock star.  Dia mendapat kontrak dari produser bersama Arsenal. Sementara Sherrie yang telah dipecat, kemudian bekerja sebagai penari striptease di sebuah bar bernama Venus Club, tak jauh dari The Bourbon Room.

Di sisi lain, Boley ternyata tak mendapatkan mimpinya sebagai rock star sejati. Pasalnya, sang produser ternyata berniat mengubah band Arsenal menjadi boy band. Boley pun memilih mundur.

Boley dan Sherrie akhirnya bersatu
Dia kemudian mendatangi Venus Club demi bertemu Sherri. Namun, di sana dia justru melihat Sherrie tengah kedatangan tamu, Jaxx. Boley pun frustrasi.

Dia merasa tak satupun mimpinya jadi kenyataan. Bahkan, dia harus kembali dari nol, dengan bekerja sebagai pengantar pizza. Untung, takdir masih berbaik kepadanya. Di akhir cerita, Boley kembali dipertemukan Sherrie yang ternyata memang cinta sejatinya.

Selain Tom Cruise, film ini juga dibintangi aktor dan aktris kawakan, Alec Baldwin dan Catherine Zeta Jones. Baldwin berperan sebagai Dennis Dupree, pemilik The Bourbon Room. Sementara Zeta Jones memerankan istri walikota yang sangat berambisi menutup The Bourbon Room.

Patut juga disimak akting aktor Meksiko, Diego Boneta dan penyanyi country Julianne Hough yang memerankan Drew Boley dan Sherrie Christian. Ada juga penyanyi  R&B,Mary J. Blige, yang berperan sebagai Justice Charlier, pemilik The Venus Club.

Jika selintas menyaksikan trailernya, pastilah film ini akan heboh. Para penggila glam rock wajib menonton film ini, karena lagu-lagu classic rock legendaris akan berseliweran dan mengangkat kembali memori kita saat glam rock meraja di belantara musik dunia. Sebut saja “We Built This City” dari Starship, “Any Way You Want It” (Journey), atau yang ini favorit saya, “We’re Not Gonna Take It,” dari Twisted Sister.

“Film ini memang tentang pesta raksasa, bolehlah dikatakan pesta rock n roll,” ujar Shankman, yang juga dikenal sebagai koreografer andal. “Jadi, bawalah teman-teman Anda untuk berpesta bersama kami, musim panas nanti.” *

Sumber: Wikipedia, youtube, moviesblog.mtv.com, slate.com, weblogs.sun-sentinel.com




Thursday, December 15, 2011

Sore Hari Bersama Adele

ADELE/foto:popcrush
LAGU-lagu Adele paling asyik dinikmati pada sore hari. Tak percaya? Coba saja. Di saat hujan mendinginkan udara di luar,  bersama secangkir teh hangat, plus kretek mungkin, Anda akan mendapatkan suasana yang romantis namun segar, saat mendengar alunan nada dari penyanyi cewek asal Inggris itu.

Setidaknya, itulah yang saya rasakan. Sore itu, di kantor, saat menghadapi jadwal deadline yang ketat, saat otak dipaksa berpikir mencari kalimat-kalimat yang tidak basi untuk urusan sepak bola, lagu-lagu penyanyi bernama lengkap Adele Laurie Blue Adkins ini seperti memberi inspirasi.

Lagu “Rumor Has It”, yang terdapat dalam album kedua Adele, 21, memberikan nuansa yang segar. Tentu, suasana yang saya dapat berbeda dengan saat saya mendengarkan Iron Maiden, Twisted Sister, ataupun Guns N’ Roses.  Lagu  “Rumor Has It” ini rame, lumayan nge-beat, namun tetap punya keindahan irama untuk dinikmati, terutama lantaran vokal Adele yang benar-benar membuat lagu ini hidup.

Lagu kedua yang saya putar adalah “Someone Like You”, yang juga terdapat di album 21. Lagi-lagi saya ternganga mendengar vokal khas Adele, terutama pada refrain. Dengan sempurna, dia mampu menggapai nada-nada tinggi dan rendah. Cengkok vokal Adele juga asyik. Aksen khas Inggris yang keluar kerongkongannya tanpa sengaja membentuk suara Adele jadi semakin unik.
Ditingkahi dengan jentikan piano yang juga sederhana, vokal Adele jadi sangat meraja, indah sekali. Apalagi, saat muncul suara dua pada bridge sebelum refrain. Ada sensasi yang berbeda, saya rasakan.

Sementara pada lagu “One and Only” Adele begitu fasih bernyanyi dalam alunan blues yang kental. Bahkan, pada refrain, dia berteriak ala Janis Joplin, sang ratu blues.

Ada juga lagu “Make You Feel My Love” yang merupakan cover version milik penyanyi legendaris Bob Dylan. Sekali lagi, hanya dengan berbekal piano, Adele mampu memberi nuansa yang sangat berbeda di lagu ini. Pantaslah jika lagu ini dijadikan salah satu jagoan, selain “Chasing Pavements” di album pertamanya, 19,yang dirilis tahun 2008.

Hal yang sama juga dia lakukan saat menyanyikan ulang lagu The Cure,“Lovesong”, pada album 21. Nuansa kelam yang dibangun penyanyi aslinya dibongkar Adele dengan gaya bossa nova yang asyik. Jadilah lagu ini lebih “ceria” dibandingkan versi aslinya.

Harus diakui, cewek kelahiran London, Inggris, 5 Mei 1988 ini memang punya bakat luar biasa. Mungkin juga dia memiliki aura khusus. Buktinya, meski baru mengeluarkan dua album studio, namanya sudah langsung menjulang.

Album 21, yang juga memuat hits-hits seperti“Rolling in the Deep”, “Turning Tables”, dan “Set Fire to the Rain” , hingga kini, telah terjual lebih dari 3,4 juta kopi! Tak heran album ini pun dinobatkan sebagai “Album Abad Ini”, usai menggusur rekor penjualan album Back to Black milik mendiang Amy Winehouse, 3,3 juta kopi.

Hebatnya, album 21 hanya butuh 10 bulan sejak dirilis untuk mencapai penjualan 3,4 juta kopi. Sementar Winehouse memerlukan lima tahun! Album ini juga sempat 18 minggu bertengger di puncak tanggal lagu bergengsi di Inggris, UK Albums Chart.

Tak hanya di Inggris sebenarnya, di Amerika Serikat, Selandia Baru, serta Australia, album ini juga sempat meraja di tangga-tangga lagu bergengsi. Tak heran, album 21 ini pun sempat tercatat dalam Guinness World Records, edisi tahun 2011.

Adele saat meraih Grammy 2009 untuk kategori
Best New Artist/foto:billboard
Nama Adele juga masuk dalam nominasi untuk enam kategori Grammy Awards 2012 yang akan digelar Februari mendatang. Sebelumnya, pada tahun 2009, Adele sukses menyabet Grammy Awards untuk kategori Best New Artist. Itu belum termasuk penghargaan-penghargaan lain yang tak kalah bergengsi seperti American Music Awards ataupun BRIT Music Awards.

Pencipta Lagu Andal
Adele juga seorang pencipta lagu yang andal. Hampir semua lagu di album 19 dan21, adalah hasil ciptaannya, dengan bantuan beberapa teman. Kebanyakan, lagu-lagu Adele bertutur tentang pengalaman pribadinya di masa lalu, termasuk saat-saat mengalami patah hati.

Di luar kemampuannya mengolah vokal dan menulis lagu, musik yang diusung Adele juga menjadi faktor pendukung sukses lagu-lagunya di pasar. Adele termasuk berani dalam mencampur berbagai unsur jenis musik. Ada nuansa blues yang kental, country, R&B, jazz, soul, bahkan gospel pada lagu “Rolling in the Deep” dan“Rumor Has It” tadi.

Namun, rasanya wajar, jika sekarang Adele menoreh sukses luar biasa. Pasalnya, dia sudah mulai bernyanyi sejak usia 4 tahun. Kelompok vokal  Spice Girls dan Pink disebut Adele sebagai sosok-sosok yang sangat memengaruhi perjalanan kariernya.

Namun, tentu, butuh perjuangan berat bagi Adele untuk mendapatkan sinar terang kariernya. Baru-baru ini, misalnya, dia baru saja menjalani operasi khusus lantaran mengalami  sakit tengkorakan akut, yang membuat dia harus beristirahat cukup lama dari dunia tarik suara.


Lalu, kapan cewek perokok berat ini bakal mengeluarkan album terbarunya? Dalam wawancara lewat surat elektronik dengan Billboard, Adele menyebut mungkin baru akan merilis album barunya, dua atau tiga tahun lagi.

“Saya membayangkan, baru pada usia 25 atau 26 tahun nanti, saya akan mengeluarkan album baru,” ujar Adele seperti dikutip nzherald.co.nz. “Saat ini, saya belum memikirkan itu. Saya ingin santai dulu. Tak akan ada album baru sampai saya benar-benar siap.”

Sumber: wikipedia, youtube, nzherald, dailymail,askmen,singersroom, scotsman
Diskografi
  • 19 (2008)
  • 21 (2011)



Wednesday, December 14, 2011

Arwah “Kembang Latar”


HARUM bunga melati tiba-tiba saja menyergap, mengiringi hujan gerimis di malam yang senyap. Titik-titik basah yang jatuh dari langit terus membasahi tanah, membuat dingin terasa hingga menusuk tulang. Harum melati semakin menyengat.

“Sumi datang kang…,” Niman bergidik, menyapa Kang Hadi yang duduk di sebelahnya.
Berdua, malam itu, mereka memang tengah  kongkow di warung Minah, yang kini wajahnya pun menegang.

Warung Minah biasanya ramai dikunjungi warga, untuk sekadar ngopi dan ngobrol ngalor ngidul. Tapi, entah mengapa, malam itu  hanya ada Niman dan Kang Hadi.

“Sssst….. Anggap saja tidak ada,” Kang Hadi berujar setengah berbisik, kepada Niman. “Biasanya Sumi tak jadi datang, jika kita tidak memperhatikannya.”

Sayang, Niman tak bisa tenang. Ditariknya sarung yang dia kenakan menutupi kepalanya. Bulu kuduknya merinding. Berupaya dia tidak mencium harum melati itu. Namun, semakin Niman berusaha, semakin lekat harum melati itu di hidungnya.

Dan, kini, lamat-lamat di telinga Niman mulai terdengar alunan gamelan dengan nada-nada yang sendu, muram, mencekam.

“ning.. nang… ning..nong.. ning..nang…..”
“Bagaimana ini kang???…” Niman tak kuasa menahan takutnya. “Akang dengar suara gamelan itu?  Aduuhhhh….”

Kang Hadi, yang ditanya hanya menoleh ke arah Niman, lalu menganggukkan kepala. Sementara  Minah hanya bisa berdiri terpaku. Dia juga tahu, Sumi sebentar lagi akan muncul di hadapan mereka.
“ning.. nang… ning..nong.. ning..nang…..” suara gamelan itu semakin jelas. Harum melati pun semakin menyengat. Niman, Kang Hadi, dan Minah, semua mendengar gamelan itu. Mereka semua mencium harum melati itu.

Tak lama, dari kejauhan tampak sesosok perempuan muda, anggun, berjalan ke arah mereka. Wajahnya cantik, namun pucat, sangat pucat, seperti mayat.
Dia mengenakan kain lurik warna coklat tua dan kebaya kuning dengan selendang menyelempang. Di telinganya, terselip sekuntum bunga melati.

“Aduhhh kangg……” Niman nyaris kencing di celana.
Hanya beberapa saat, perempuan itu telah berada tepat di belakang Niman dan Kang Hadi. Sumi, perempuan itu, pun mulai menari. “ning.. nang… ning..nong.. ning..nang…..”

Dia  melenggak-lenggok, anggun, namun sendu. Dikibas-kibasnya dengan gemulai selandang kuningnya, ke kiri…ke kanan. Matanya yang beku juga melirik ke kiri, ke kanan. Dia tak tersenyum.
Sementara, Minah, yang berhadap-hadapan dengan Sumi, hanya bisa tertunduk, kaku. Begitu juga Niman. Hanya Kang Hadi, yang sempat melirik ke arah perempuan itu, memberi tanda, bahwa mereka “menerima” kehadirannya. Mulut Kang Hadi komat-kamit, entah mantera apa yang dia baca.
Selesai menari, perempuan itu pergi begitu saja, menghilang ditelan malam. Suara gamelan, harum bunga melati pun tak lagi dirasakan Niman, Kang Hadi, dan Minah.
***

“Sungguh… dia datang semalam.. sereemm euyy..,” Niman bercerita kepada kawan-kawannya. “Cantik gak man??” seorang kawannya bertanya. “Boro-boro ngeliat mukanya.. aku tutupi wajahku pakai sarung,” Niman menjawab.

Begitulah… Cerita tentang Sumi, arwah penari yang mati penasaran, memang bukan sekadar mitos di desa Niman. Penampakannya bahkan telah jadi momok tersendiri bagi warga kampung.
Dulu, Sumi primadona panggung di desanya, dewi penghibur, “kembang latar” kata orang. Di setiap pementasannya, Sumi selalu dielu-elukan.  Pesonanya luar biasa.

Sumi cantik, bahenol, dan ramah kepada setiap orang yang memujanya. Dia selalu tersenyum. Tak heran,  banyak lelaki tergila-gila. Bahkan, beberapa berusaha melamar Sumi. Mulai Amin, sang juragan jengkol, hingga Rasmin, ketua bromocorah.

Namun, Sumi selalu menolak. Dia tak mau menikah. Dia tak ingin pesonanya pudar, dengan menjadi istri orang. Sumi sangat menikmati kebintangannya. “Kembang latar” yang dipuja banyak orang.
Namun, nasib berkata lain. Sumi mati muda. Dia tewas saat hendak berangkat menari di sebuah acara pesta pernikahan di kampung seberang. 

Andong yang ditumpangi Sumi  ditabrak truk bermuatan pasir.
Sumi  tewas mengenakan pakaian kebesarannya: kain lurik coklat tua, kebaya kuning, selandang kuning, dengan melati tetap terselip di telinganya. Sejak itu, arwah Sumi terus bergentayangan. Namun, Sumi tak jahat. Dia tak pernah mencelakakan. Sumi hanya datang untuk “menghibur”.

Thursday, December 8, 2011

Mengenang Randy Rhoads

Randy Rhoads (foto:pixxgood)
“LIFE Fast Die Young” begitulah jalan hidup Randy Rhoads, gitars rock yang terkenal di awal tahun 1980-an. Jika masih hidup, dua hari lalu, tanggal 6 Desember, dia akan tepat berusia 55 tahun. Sayang, sebuah kecelakaan pesawat terbang di Leesburg, Florida, Amerika Serikat (AS), 19 Maret 1982, telah merenggut tak hanya nyawa Rhoads pada usia 25 tahun, melainkan juga karier gemilangnya sebagai gitaris rock fenomenal.

Kisah Rhoads memang tak setragis Ritchie Valens yang juga meninggal lantaran kecelakaan pesawat terbang pada usai 17 tahun setelah menjulang bersama “La Bamba”-nya. Perjalanan Rhoads juga tak mengharu-biru layaknya Kurt Cobain, yang tewas bunuh diri, setelah menggemparkan dunia dengan grunge yang diusungnya bersama Nirvana. Rhoads mungkin juga tak setenar Jimi Hendrix,  pionir gitaris blues rock dunia.

Namun, menyebut nama Rhoads sudah cukup untuk mengingatkan orang betapa di masa lalu, nama pria bernama lengkap Randall William Rhoads ini sempat digadang-gadang sebagai gitaris andal di pelataran musik rock dunia.

Rhoads bahkan pernah disejajarkan dengan gitaris legendaris Eddie Van Halen. Dulu, di era awal 1980-an, gaya gitaran Rhoads memang dianggap telah melebihi zaman dengan skill yang sangat mumpuni. Tak heran, jika orang bicara soal gitaris hebat, nama Rhoads selalu muncul.
Rhoads sudah bermain dengan cepat saat dulu, istilah shredder guitarist, sebutan untuk gitaris yang mengandalkan kecepatan jemari, belum dikenal orang. Dulu, dia juga sudah mengutamakan sound yang jernih, saat gitaris-gitaris lain masih mengandalkan suara-suara distorsi yang garang.

Gaya permainan Rhoads memang berbeda dengan gitaris-gitaris metal ketika itu. Dalam hal sound dan teknik, dia banyak memasukkan unsur klasik, fusion, jazz, dan hard rock modern.
Mungkin ini memang soal bakat, atau gift yang diberikan Yang Kuasa kepada Rhoads.  Sebab, sejak usia belasan, dia sudah dikenal sebagai “raja gitar”. Pada usia 16 tahun, dia mendirikan Quiet Riot bersama mendiang Kevin DuBrow, sang vokalis.

Randy Rhoads (kedua dari kiri) bersama Quiet Riot (foto:themetalden)
Band yang juga didirikan bersama Kelly Garni (bass) dan Drew Forsyth (drum) ini dibinanya hingga sukses mendapat kontrak rekaman dari perusahaan major label, sesuatu  yang terbilang sulit, pada masa itu. Betul, ketika itu, dua album Quiet Riot dan Quiet Riot II pada tahun 1977 dan 1978, memang hanya beredar di Jepang.

Namun, setidaknya, upaya Rhoads memperkenalkan Quiet Riot kepada khalayak rock ketika itu, telah membuka jalan grup asal Los Angeles, AS, itu untuk terus menjulang. Buktinya, pada tahun 1983, grup ini benar-benar mendapatkan sinarnya saat merilis album Mental Health pada tahun 1983. Sayang, ketika itu Rhoads sudah tak lagi bersama Quiet Riot.

Ya, sebelumnya, pada tahun 1979, Rhoads memang mutuskan untuk ikut audisi sebagai salah satu personel band yang akan dibentuk Ozzy Osbourne. Keputusan ini agak ganjil sebenarnya, mengingat Quiet Riot  saat itu sudah mulai punya nama lantaran sering dibooking Van Halen sebagai band pembuka tur mereka.

Namun, nama besar Ozzy yang sempat melegenda bersama Black Sabbath tampaknya membuat membuat Rhoads tergiur. Selain itu, Rhoads beralasan, di  Quiet Riot, kemampuan bergitarnya tak berkembang, sehingga dia pun rela bersusah-payah mencari gitaris pengganti dirinya, Greg Leon untuk Quiet Riot.

Hebatnya, Ozzy langsung kepincut dan mengajaknya membentuk band The Blizzard of Ozz. Padahal, saat audisi, Rhoads, yang kelahiran Santa Monica, Kalifornia ini hanya memainkan beberapa rift dengan gitar Gibson Les Paul andalannya.

“Sepertinya tak banyak orang tahu akan bakat Rhoads,” ujar Ozzy kepada majalahGuitar Player, lima bulan setelah kecelakaan yang menewaskan Rhoads, seperti dikutip ultimateclassicrock. “Padahal, dia tak hanya seorang gitaris rock n roll yang hebat. Randy Rhoads adalah seorang fenomena.”

Memang, bersama Ozzy, nama Rhoads mulai dikenal sebagai gitaris rock andal. Teknik-teknik gitarnya yang modern, banyak menginspirasi gitaris-gitaris rock yang muncul kemudian. Bahkan, Rhoads juga disebut-sebut sebagai pelopor aliran neo-classic metal yang belakangan dipopulerkan gitaris asal Swedia, Yngwie Malmsteen.

Diary of a Madman, yang merupakan album kedua The Blizzard of Ozz. disebut-sebut sebagai salah satu mahakarya Rhoads bersama Ozzy. Sebab, di album ini, Rhoads benar-benar mengeksplorasi kehilaiannya menjentikkan jari di dawai-dawai gitar.

Dalam lagu “S.A.T.O”, Rhoads memainkan teknik arpeggios yang lebih dikenal dengan istilah sweep picking, yaitu menjetik not dalam sebuah chord, secara bergantian dengan cepat, dengan begitu sempurna. Sementara “You Can’t Kill Rock ‘n’ Roll”, kuat sekali pengaruh klasik dalam petikan Rhoads dengan gitar akustik. Sebelum dia kolaborasi lewat sound yang sangar khas heavy metal.

Randy Rhoads disebut-sebut sebagai gitaris
kesayangan Ozzy Osbourne (foto:pixshark)
Pada lagu “Flying High Again”, Rhoads menunjukkan kecepatan jari jemarinya lewat solo yang luar biasa di akhir lagu.
Namun begitu, aksi-aksi gahar Rhoads sebenarnya telah dikenal di album pertama The Blizzard of Ozz. Sebut saja, gitarannya pada lagu “Crazy Train”, dan “Mr Crowley” yang tetap fenomenal hingga saat ini.

November lalu, nama Rhoads juga masuk dalam daftar 100 gitaris rock terbaik yang dirilis majalah musik terkenal, Rolling Stones. Nama Rhoads tercantum di posisi ke-36 dalam daftar yang dipuncaki gitaris blues rock Jimi Hendrix itu.

Tak heran, meski tak mengeluarkan album solo, penggemar Rhoads lumayan banyak hingga saat ini. Wajar juga, jika kepergiannya yang mendadak, ketika itu, begitu menguncang banyak orang, termasuk Ozzy.

Dalam autobiografinya “I Am Ozzy”, rocker yang kini berusia 63 tahun itu, menyebut sangat shock mendengar kematian Rhoads. “Ketika itu, saya sempat mengatakan kepada istri saya, Sharon, bahwa saya tak mau lagi jadi musisi rock,” ujar Ozzy.

Hingga saat ini, setiap tanggal 6 Desember, setiap tahunnya, para penggemar Rhoads berkumpul untuk mengenang sang maestro di pemakaman Mountain View, San Bernardino, Kalifornia, tempat Rhoads dimakamkan, dekat makam kakeknya. Rhoads memang tak akan terlupakan.

sumber: wikipedia, youtube, roadrunnerrecords, ultimateclassickrock, rrclub

Diskografi
Bersama Quiet Riot
  • Quiet Riot (1977)
  • Quiet Riot II (1978)
Bersama Ozzy
  • Blizzard of Ozz (1980)
  • Diary of a Madman (1981)