Friday, January 20, 2012

White Lion, Berkibar di Awal Era 1990-an

KLASIK - White Lion formasi klasik dari kiri ke kanan: James Lomenzo (bass), Mike Tramp (vokal), Greg D'Angelo (drum)
WHITE Lion…. Di era 1990-an, penggemar musik mana yang tak kenal grup asal New York, Amerika Serikat (AS)  ini. Di negeri ini, nama grup yang dulu digawangi Mike Tramp (vokal), Vito Bratta (gitar),  Jame Lomenzo (bass), dan Greg D’Angelo (drum) ini  pertama kali dikenal lewat single “When The Children Cry” yang diambil dari album  kedua mereka, Pride, di tahun 1987. Dan, sejak itu pula petikan dan sayatan gitar Bratta serta lengkingan parau voal Tramp jadi begitu familiar di telinga saya ini.

Nama White Lion, kemudian menjadi salah satu grup favorit saya, saat mulai serius mendengarkan musik, ketika menginjak masa SMA. Di hati saya, White Lion ketika itu mendapat tempat yang nyaris sejajar dengan Bon Jovi, Gun’s N Roes, Mr. Big, Iron Maiden, dan tentu saja Iwan Fals.

White Lion memang merupakan bagian dari kejayaan glam rock, hair metal, hard rock, heavy metal, apa pun namanya, di era pertengahan 1980-an hingga awal 1990-an. Masa di mana ingar-bingar distorsi gitar yang meraung-raung, dentuman bass drum yang berpadu dengan atribut ala rock star.  Rambut panjang, jaket-celana jins belel, plus bandana di kepala.

Namun, ada kalanya, mereka, band-band glam rock ini bersenjatakan lagu-lagu balada. White Lion inilah salah satunya. Lagu “When The Children Cry” membuat album Pride mendapat double platinum. Lagu ini juga sempat bertengger di tangga lagu The Billboard 200 selama tahun penuh.

Ketika itu, berbekal tiga album awal, Fight To Survive (1985), Pride (1987), dan Big Game (1989), White Lion termasuk salah satu grup hair metal papan atas. Di Indonesia, nama White Lion makin dikenal saat merilis album keempat, Mane Attraction, di tahun 1991. Hits-hits seperti “You’re All I Need”, “Till Death Do Us Part”, ataupun “Broken Heart” kerap diputar di radio-radio terkemuka, ketika itu.

Selintas didengar, musik-musik White Lion sepertinya sederhana. Namun, jika dicerna lebih jauh, Tramp dan kawan-kawan ternyata tak sekadar bermain musik. Mereka bermain dengan teknik yang luar biasa.

Mulai ketukan drum yang gantung, dentuman bass yang tak umum, melodi serta kocokan gitar  yang dimainkan dengan teknik tinggi. Coba saja dengar lagu “Till Death Do Us Part” dari album Mane Attraction.

EKSIS - Mike Tramp hingga
kini masih eksis. (foto: braingel.com)
Di bagian interlude, Bratta memainkan melodi yang bukan hanya begitu enak didengar, menyanyat, pas dengan suasana lagu. Melainkan juga dengan teknik gitaran yang tinggi dengan teknik tapping yang luar biasa. Pilihan sound-nya juga luar biasa, benar-benar mampu menyatu dengan nuansa yang dibangun syair lagu.

Tak heran, selain Tramp yang memang menjadi front man, Bratta juga disebut-sebut sebagai ruh utama White Lion. Sebab, praktis, semua musik mereka, salah satunya ditentukan oleh gitaran-gitaran pria bermata sendu itu.

Karakter Kuat
Membuat lagu dengan teknik sulit menjadi sederhana memang salah satu kelebihan White Lion. Lihat saja,  lagu-lagu mereka jadi terdengar easy listening. Padahal, jika Anda coba kulik atau pelajari, susahnya bukan main. Tak heran, meski easy listening, lagu-lagu White Lion dikenal tetap memiliki karakter kuat.

Tak heran juga, nyaris semua lagu balada atau slow rock mereka, selain mendapat tempat di kalangan penggemar musik rock. Selain “When The Children Cry”, White Lion memang juga melahirkan hit-hits balada semacam “Broken Home”, “Till Death Do Us Part”, “Going Home Tonight”, “Cry For Freedom”, “Farewell To You”, dan tentu saja masterpiece balada mereka, “You’re All I Need”.

Tema cinta  yang jadi andalan, dibungkus dengan lirik yang kuat dan melodi garang namun manis, sehingga tak ada kesan mellow sedikit pun. Padahal, syair-syair yang kebanyakan ditulis Tramp sangat, sangat romantis. Tengok saja syair dalam refrain lagu “You’re All I Need” ini.

you’re all I need beside me girl
you’re all I need to turn my world
you’re all I want inside my heart
you’re all I need when we’re apart

Atau lirik di lagu “Wait” yang terdapat di album Pride.
Wait… just a moment before our love will die
Cause I must know the reason why we say goodbye
Wait…. just a moment and tell me why
Cause I can show you lovin´ that you won’t deny

Tak heran, seperti band-band glam rock lainnya, White Lion punya begitu banyak penggemar dari kaum hawa. Tentu saja ini tak lepas dari ketampanan wajah Tramp, sang front man, yang kini jadi suami dari artis Ayu Azhari ini.

Tapi, bukan cuma soal cinta sebenarnya yang jadi andalan White Lion. Sejak dulu, grup yang pertama kali didirikan 1983 ini memang sudah concern terhadap masalah-masalah sosial. Maka itu, selain cinta, tema-tama kehidupan juga begitu banyak menghiasi lagu-lagu White Lion.

Sebut saja “Broken Home”, yang bercerita tentang tingginya tingkat perceraian di AS, sehingga menyebabkan penderitaan luar biasa bagi sang anak. Atau “War Song” di album Mane Attraction yang bertutur tentang kegalauan veteran perang Vietnam. Sementara lagu “Cry Freedom” merupakan kritik penggawa White Lion terhadap kebijakan politik Apartheid yang ketika itu masih berlaku di Afrika Selatan.

Bahkan, White Lion, ketika itu, di tahun 1990-an juga sudah peduli terhadap lingkungan alam. Lagu “Little Fighter” mereka dedikasikan untuk Greenpeace, kelompok pecinta lingkungan yang ketika itu kapalnya dihancurkan oleh sebuah operasi intelejen Prancis.

Di luar itu, vokal Tramp yang unik juga jadi salah satu keunggulan White Lion dibanding grup-grup glam rock kala itu. Vokal Tramp memang tak biasa, tipis tapi sangat berkarakter.
Namun, di lagu-lagu tertentu, Tramp bisa saja menampilkan karakter vokal yang garang, serak-serak parau, khas rocker sejati. Namun, di lagu lainnya, dia bisa bernyanyi kelewat manis seperti dalam tembang “You’re All I Need” atau “Going Home Tonight”.

Hanya memang, patut disayangkan, di saat menjulang mereka justru langsung tenggelam. Ya, White Lion dengan formasi terbaik, Tramp, Bratta, Lomenzo dan D’Angelo, harus bubar di tahun 1991, tahun di mana mereka juga merilis albumMane Attraction.

Pada tahun 2003, sebenarnya sempat terjadi wacana untuk menghidupkan kembali White Lion. Namun, Tramp menyebut, Bratta keberatan, sehingga dia hanya mengajak Lomenzo dan D’Angelo plus Warren De Martini, gitaris RATT. Namun, masalah jadi rumit lantaran Bratta mengajukan tuntutan hukum. Sebelumnya, pada tahun 1999, Tramp juga sempat merilis Remembering White Lion dengan sejumlah musisi.

Lantaran tuntutan Bratta ini, Tramp sempat menggunakan nama Tramp’s White Lion (TWL) pada tahun 2005, saat berusaha membangkitkan kejayaan White Lion. Namun, belakangan, dia kembali menggunakan nama White Lion dan merilis albumReturn of The Pride pada tahun 2008. Mereka juga sempat menggelar tur ke Indonesia.

Pengaruh Bratta
TERBAIK - Vito Bratta sempat dinobatkan 
sebagai Gitaris Terbaik oleh majalah Guitar World. (foto:bobleafe)

Memang sulit dimungkiri, sepanjang karier musik White Lion, setidaknya, hingga album Mane Attraction, pengaruh Bratta begitu kental pada musik White Lion. Betul, Tramp memang memiliki peran besar dalam penulisan lagu.

Namun, saat membentuknya menjadi sebuah musik, peran Bratta yang sangat besar. Lewat sentuhan jari-jarinya lahirlah aransemen-aransemen yang penuh warna namun tetap berada dalam koridor hard rock.

Dengan gitar buntungnya yang keluaran Steinberger, gitaran Bratta memang sangat dominan di setiap lagu White Lion. Hebatnya, dia tak hanya bisa pamer teknik    kecepatan serta sound yang meraung-raung. Namun, Bratta juga bisa bermain sangat indah dengan gitar akustik.

Lagu “When The Children Cry”, ” Broken Home” serta “You’re All I Need” adalah beberapa contohnya. Sementara di beberapa lagu, Bratta juga selalu mampu menggabungkan unsur akustik dan electricdengan sangat manis.

Tak heran, pada tahun 1988 Bratta sempat didaulat sebagai gitaris terbaik oleh MajalahGuitar World untuk kategori Best New Guitarist.  Ketika itu, orang pun percaya, Bratta tak hanya pantas digelari shredder guitarist karena kecepatan bermainnya. Namun juga ciamik dalam pemilihan melodi-melodi yang harmonis dengan teknik tinggi.

Saya sendiri menilai, permainan tergila Bratta ada di album Big Game. Di album ini, dia benar-benar mengeksplor kelihaiannya memainkan instrument enam dawai ini.

Dengar saja lagu-lagu seperti “Going Home Tonight”, “Let’s Get Crazy”, “Cry For Freedom” atau lagu daur ulang grup Golden Earring, “Radar Love” di mana Bratta bermain begitu liar, dengan kecepatan tangannya plus, keindahan sound yang keluar dari gitarnya.

Jika Anda penggemar gitar, pasti ngeh betapa dahsyat permainan Bratta di lagu-lagu ini. Tapi, ya itu tadi, secepat apapun, segila apapun permainan Bratta, melodi-melodi yang keluar dari gitarnya tetaplah terdengar manis.

Namun begitu, di album Mane Attraction, permainan Bratta sebenarnya juga tak kalah gila. Dengar saja lagu “Love Don’t Come Easy” di mana dia bermain tappingbegitu halus di awal lagu. Sementar pada interlude, tapping-tapping itu jadi begitu gila.

Sementara pada lagu “Leave Me Alone” Bratta bermain begitu cepat, dengan kocokan yang dalam, serta aksen-aksen yang kuat, sehingga lagu ini terdengar begitu ngerock. Itu satu lagi kelebihan Bratta. Dia sering membuat fil-fil yang sulit terduga.

Di album ini juga adalah lagu instrumental khusus, “Blue Monday“, yang didedikasikan Bratta dan White Lion untuk mendiang pendekar blues, Stevie Ray Vaughan, yang meninggal saat White Lion mengerjakan album ini.

Kembali Reuni?
Hanya lagi-lagi disayangkan, setelah White Lion bubar, nama Bratta seperti hilang ditelan bumi. Padahal, ketika itu, namanya boleh dibilang sudah diperhitungkan sebagai salah satu gitaris rock terbaik sejajar dengan Paul Gilbert atau Stevie Vai yang tengah berkibar ketika itu.

Rumor pun bertebaran. Ada yang menyebut, Bratta mengalami cedera serius pada tangannya, sehingga tak bisa lagi bermain gitar. Ada juga yang menyebut, dia mengalami depresi berat sehingga trauma melakukan aktivitas musik.

TERKINI - Mike Tramp (tengah) dengan formasi terkini White Lion. (foto: myspace)
Berbeda dengan rekan-rekan segrupnya, yang terus berkibar setelah bubarnya White Lion. Lomenzo dan D’Angelo sempat menggarap proyek Pride and Glory bersama gitaris Zakk Wylde. LoMenzo bahkan terus berkibar dengan bergabung dengan David Lee Roth  serta Megadeth. Sementara Tramp sendiri sempat membentuk grup Freak of Nature. Dia juga sempat merilis beberapa album solo dan menggelar konser solo pertama kalinya di Indonesia, di Fashion Café, di tahun 2002.

Baru, pada 16 Februari 2007, Bratta untuk pertama kalinya muncul ke hadapan publik dalam sebuah talk show radio terkenal, Eddie Trunk, “Friday Night Rocks”yang ditayangkan secara live. Di acara ini, Bratta bicara banyak soal karier musiknya dan White Lion.
Bratta tak membantah, bahwa dia memang sempat mengalami cedera pada tangannya. “Cedera itu membuat saya sangat menderita. Bayangkan, saat menekan senar gitar, jari-jari saya seperti tersengat setrum,” ujarnya, seperti dikutip ultimate-guitar.

Namun, Bratta menuturkan, alasan utama dia menghilang selama ini adalah lantaran sibuk menemani sang ayah yang sakit keras dan berkepanjangan. Dia khawatir tak bisa berkonsentrasi jika memaksakan diri tetap aktif di musik. “Ayah saya membutuhkan saya,” ujarnya, lirih.

Namun begitu, ketika itu, Bratta juga menyebut tak menutup kemungkinan kembali reuni dengan White Lion formasi klasik. Hanya dia tidak tahu, kapan itu akan terjadi.

sumber: wikipedia, you tube, allmusic, heavymetalparadise, ultimate-guitar, blabbermouth, berbagai sumber

Diskografi
1985 Fight To Survive
1987 Pride
1989 Big Game
1991 Mane Attraction
1999 Remembering White Lion
2008 Return of The Pride




No comments:

Post a Comment