Wednesday, December 14, 2011

Arwah “Kembang Latar”


HARUM bunga melati tiba-tiba saja menyergap, mengiringi hujan gerimis di malam yang senyap. Titik-titik basah yang jatuh dari langit terus membasahi tanah, membuat dingin terasa hingga menusuk tulang. Harum melati semakin menyengat.

“Sumi datang kang…,” Niman bergidik, menyapa Kang Hadi yang duduk di sebelahnya.
Berdua, malam itu, mereka memang tengah  kongkow di warung Minah, yang kini wajahnya pun menegang.

Warung Minah biasanya ramai dikunjungi warga, untuk sekadar ngopi dan ngobrol ngalor ngidul. Tapi, entah mengapa, malam itu  hanya ada Niman dan Kang Hadi.

“Sssst….. Anggap saja tidak ada,” Kang Hadi berujar setengah berbisik, kepada Niman. “Biasanya Sumi tak jadi datang, jika kita tidak memperhatikannya.”

Sayang, Niman tak bisa tenang. Ditariknya sarung yang dia kenakan menutupi kepalanya. Bulu kuduknya merinding. Berupaya dia tidak mencium harum melati itu. Namun, semakin Niman berusaha, semakin lekat harum melati itu di hidungnya.

Dan, kini, lamat-lamat di telinga Niman mulai terdengar alunan gamelan dengan nada-nada yang sendu, muram, mencekam.

“ning.. nang… ning..nong.. ning..nang…..”
“Bagaimana ini kang???…” Niman tak kuasa menahan takutnya. “Akang dengar suara gamelan itu?  Aduuhhhh….”

Kang Hadi, yang ditanya hanya menoleh ke arah Niman, lalu menganggukkan kepala. Sementara  Minah hanya bisa berdiri terpaku. Dia juga tahu, Sumi sebentar lagi akan muncul di hadapan mereka.
“ning.. nang… ning..nong.. ning..nang…..” suara gamelan itu semakin jelas. Harum melati pun semakin menyengat. Niman, Kang Hadi, dan Minah, semua mendengar gamelan itu. Mereka semua mencium harum melati itu.

Tak lama, dari kejauhan tampak sesosok perempuan muda, anggun, berjalan ke arah mereka. Wajahnya cantik, namun pucat, sangat pucat, seperti mayat.
Dia mengenakan kain lurik warna coklat tua dan kebaya kuning dengan selendang menyelempang. Di telinganya, terselip sekuntum bunga melati.

“Aduhhh kangg……” Niman nyaris kencing di celana.
Hanya beberapa saat, perempuan itu telah berada tepat di belakang Niman dan Kang Hadi. Sumi, perempuan itu, pun mulai menari. “ning.. nang… ning..nong.. ning..nang…..”

Dia  melenggak-lenggok, anggun, namun sendu. Dikibas-kibasnya dengan gemulai selandang kuningnya, ke kiri…ke kanan. Matanya yang beku juga melirik ke kiri, ke kanan. Dia tak tersenyum.
Sementara, Minah, yang berhadap-hadapan dengan Sumi, hanya bisa tertunduk, kaku. Begitu juga Niman. Hanya Kang Hadi, yang sempat melirik ke arah perempuan itu, memberi tanda, bahwa mereka “menerima” kehadirannya. Mulut Kang Hadi komat-kamit, entah mantera apa yang dia baca.
Selesai menari, perempuan itu pergi begitu saja, menghilang ditelan malam. Suara gamelan, harum bunga melati pun tak lagi dirasakan Niman, Kang Hadi, dan Minah.
***

“Sungguh… dia datang semalam.. sereemm euyy..,” Niman bercerita kepada kawan-kawannya. “Cantik gak man??” seorang kawannya bertanya. “Boro-boro ngeliat mukanya.. aku tutupi wajahku pakai sarung,” Niman menjawab.

Begitulah… Cerita tentang Sumi, arwah penari yang mati penasaran, memang bukan sekadar mitos di desa Niman. Penampakannya bahkan telah jadi momok tersendiri bagi warga kampung.
Dulu, Sumi primadona panggung di desanya, dewi penghibur, “kembang latar” kata orang. Di setiap pementasannya, Sumi selalu dielu-elukan.  Pesonanya luar biasa.

Sumi cantik, bahenol, dan ramah kepada setiap orang yang memujanya. Dia selalu tersenyum. Tak heran,  banyak lelaki tergila-gila. Bahkan, beberapa berusaha melamar Sumi. Mulai Amin, sang juragan jengkol, hingga Rasmin, ketua bromocorah.

Namun, Sumi selalu menolak. Dia tak mau menikah. Dia tak ingin pesonanya pudar, dengan menjadi istri orang. Sumi sangat menikmati kebintangannya. “Kembang latar” yang dipuja banyak orang.
Namun, nasib berkata lain. Sumi mati muda. Dia tewas saat hendak berangkat menari di sebuah acara pesta pernikahan di kampung seberang. 

Andong yang ditumpangi Sumi  ditabrak truk bermuatan pasir.
Sumi  tewas mengenakan pakaian kebesarannya: kain lurik coklat tua, kebaya kuning, selandang kuning, dengan melati tetap terselip di telinganya. Sejak itu, arwah Sumi terus bergentayangan. Namun, Sumi tak jahat. Dia tak pernah mencelakakan. Sumi hanya datang untuk “menghibur”.

No comments:

Post a Comment