Friday, January 14, 2011

Metallica Belum Habis!

METALLICA: Robet Trujillo (bass), Lars Ulrich (drum), James Hetfield (gitar/vox), Kirk Hammet (gitar). (foto: prabhatrayal)
YA, Metallica memang belum habis! Hingga kini, grup musik cadas asal Los Angeles, Kalifornia, Amerika Serikat (AS) yang didirikan tahun 1981 itu masih digandrungi orang. Bahkan, album-album lawas mereka sampai saat ini masih terus diburu penggemarnya.

Itu terbukti dengan tampilnya albumself-titled mereka yang dirilis tahun 1991, atau yang lebih dikenal dengan“the black album” sebagai album terlaris dalam dua dekade terakhir, versi Nielsen’s SoundScan, yang dirilis awal pekan ini.

Nielsen’s SoundScan adalah sebuah sistem penghitungan penjualan abulm di AS dan Kanada, yang dimulai sejak 1 Maret 1991. Data yang mereka rilis jelas valid, karena menjadi acuan di industri musik AS khususnya, termasuk Billboard, dalam menentukan music charts mereka.

Berdasarkan perhitungan Nielsen’s SoundScan, sejak pertama kali dirilis, the Black Album telah terjual 15.620.000 unit! Album ini bersaing dengan Come On Over milik Shania Twain yang terjual 15.487.000 unit dan Jagged Little Pill (Alanis Morissette) yang penjualannya mencapai 14.642.000 unit.

Tak hanya itu, kebesaran band yang pernah menggelar konser di Lebak Bulus pada tahun 1993 ini makin terkukuhkan dengan masuknya nama mereka  sebagai lima grup atau musisi berpenghasilan terbanyak dari tur mereka sepanjang 2010. Total dari tur yang digelar Metallica untuk mempromosikan album Deat Magnetic (2008), Kirk Hammet dan kawan-kawan meraup 110 juta dolar AS atau sekitar Rp 995,5 miliar!

Fakta ini sebenarnya memang tak terlalu mencengangkan, mengingat Metallica memang merupakan super grup yang memiliki massa paling banyak, sejak pertama kali merilis album Kill ‘Em All di tahun 1983. Kharisma dan vokal khas milik James Hetfield dan sayatan gitar Kirk Hammett plus gebukan drum Lars Ulrich memang selalu mampu menyihir penggemarnya.

Master of Puppets yang dirilis tahun 1986 adalah salah satu karya terbesar aliasmasterpiece mereka. Album yang berisi hits-hits macam “Welcome Home (Sanitarium)”, “Battery” , dan “Master of Puppets” itu disebut-sebut sebagai tonggak awal kejayaan Metallica.  Mereka pun didaulat sebagai salah satu pioner band pengusung aliran thrash metal, selain Slayer, Megadeth, dan Anthrax. Belakangan, keempat band ini dijuluki “The Big Four” perintis thrash metal.

Bagi Metallica sendiri, album Master of Puppets jelas memiliki nilai sendiri. Sebab, di album inilah terakhir kalinya tampil bassist Cliff Burton, sebelum tewas mengenaskan lantaran kecelakaan bus. Posisi Burton kemudian digantikan Jason Newsted (1986-2001), sebelum digantikan Roberto Trujilo, hingga sekarang. Saya sendiri mengingat album ini sebagai album Metallica pertama yang beredar di Indonesia, pada tahun 1987.

Namun, tentu tak cuma album Master of Puppets. Sebab, hampir di setiap albumnya, Metallica selalu mampu menelurkan nomor-nomor legenda. Seperti “One“ dan “… And Justice for All“ di album …And Justice for All di tahun 1998, “Enter Sandman”, “Sad but True”, dan “The Unforgiven” (Black Album, 1991), “Hero of The Day” (Load, 1996), hingga “Cyanide“ di album terakhir mereka, Death Magnetic, yang dirilis tahun 2008. Tentu termasuk juga lagu-lagu “The Four Horsemen”, “Jump in the Fire”, “Seek & Destroy”, “For Whom the Bell Tolls” , serta “Fade to Black” di dua album pertama mereka, Kill ‘Em All (1983) dan Ride the Lightning (1984).
Maka itu tak salah sepertinya jika Metallica dijuluki sebagai salah satu “Metal God”.

Salam,
Bekasi 15 Januari, 03.30

sumber foto: metalwallpapers


Tuesday, January 11, 2011

Tantri, Nicky Astria, dan Lady Rocker Indonesia

TANTRI (foto: tempo.co)
SEGAR sekali mendengar suara Tantri  saat bersenandung. Vokalis grup band Kotak itu bisa begitu manis saat mendendangkan lagu “Masih Cinta” ataupun “Pelan-pelan Saja”. Namun, dia juga bisa tampak garang ketika berteriak lantang, menyanyikan lagu “Beraksi”.

Kotak, ya Kotak adalah grup muda asal Jakarta yang tengah menjulang saat ini. Jebolan kompetisi musik “Dream Band” di sebuah stasiun televisi pada tahun 2004 itu, kini begitu sering menghiasi layar kaca. Jadwal panggung mereka pun padat.

Dari sisi komersil, Kotak pun menangguk keuntungan luar biasa, lantaran penjualanring back tones (RBT) album kedua mereka, “Kotak Kedua”, konon  mencapai angka enam digit!

Khusus untuk Tantri, yang punya nama lengkap Tantri Syalindri Ichlasari, kemunculannya seakan telah memuaskan dahaga pecinta musik rock akan sosok seorang vokalis rock wanita alias lady rocker. Maklum, setelah era Nicky Astria, sepertinya belum ada lagi penyanyi rock wanita yang benar-benar mampu membuat perbedaan di peta musik di negeri tercinta ini.

“Teh Nicky”-panggilan Nicky Astria-memang pernah begitu fenomenal menguncang panggung musik rock tanah air. Dengan gaya sensual, dia menawarkan pesona, lebih dari sekadar suara yang khas.

Saya ingat betul, betapa puluhan ribu penonton terkesima menyaksikan penampilan Nicky di sebuah panggung musik kolosal di Senayan, akhir tahun 1990-an, saat saya masih duduk di sekolah menengah pertama. Ketika itu, Nicky, yang kini berusia 43 tahun, menjadi bintang tamu  dalam Konser Seratus Kota Iwan Fals, saat mempromosikan ambul “Mata Dewa”. Gaya panggungnya, suaranya ketika itu fantastis!

Nicky sendiri muncul setelah era Sylvia Sartje mulai pudar. Album pertama Nicky, “Semua Dari Cinta” di tahun 1984, memang kurang menarik perhatian. Namanya baru benar-benar bersinar usai merilis album kedua, “Jarum Neraka”, setahun kemudian.

Dua lagu dari album tersebut, “Jarum Neraka” dan “Misteri Cinta” langsung menjadihits. Album ini sendiri, konon laku terjual hingga 350 ribu kaset dan disebut-sebut sebagai album rock pertama yang angka penjualannya mampu menyamai rekor penjualan album pop, ketika itu.

Nicky, yang sempat terjun ke dunia sinetron,  pun ketika itu makin mengukuhkan posisinya sebagai lady rocker nomor satu setelah merilis album-album selanjutnya. Mulai “Tangan Tangan Setan” di tahun 1986, Gersang (1987), Matahari dan Rembulan (1988), Bidadari (1989), hingga “Kemana?” di tahun 2003.

Praktis, para era tersebut, setidaknya hingga akhir tahun 1990-an, Nicky benar-benar menjadi primadona di pelataran musik rock Indonesia. Dia juga sempat berkolaborasi dengan beberapa rocker lainnya lewat Pakarock, yang sempat menelurkan album “Jangan Bedakan Kami” di tahun 1990.

NICKY ASTRIA (foto:pikiran rakyat)
Nicky beruntung, karena di awal kariernya, dia ditemukan musisi rock andal, sekaligus gitaris grup Godbless dan Gong 2000, Ian Antono. Selanjutnya, kehadiran musisi berkualitas macam Areng Widodo, Jockie Suprayogo, James F. Sundah, Youngki Suwarno, Jelly Tobing, atau Eet Syahranie, semakin mematangkan sisi musikalitas seorang Nicky Astria.

Bahkan, meski di album-album terakhir, wanita bernama lengkap Nicky Nastiti Karya Dewi ini lebih banyak bermain dengan jenis pop, imejnya sebagai lady rocker tulen tak juga memudar.

Memang sempat muncul nama-nama seperti Cut Irna-yang juga tergabung dalam Pakarock- Connie Dio, Hilda Ridwan Mas, Mel Shandy, Yossi Lucky, ataupun Ayu Laksmi. Namun, nama-nama tersebut tak mampu bertahan lama. Ada juga Anggun C. Sasmi, yang sempat menjulang lewat tembang “Tua-tua Keladi” dan “Takut”. Namun, kariernya malah dibawa terbang sang suami ke Prancis.

Maka itu, kehadiran Tantri, 21 tahun, seperti membangkitkan kembali romantisme kejayaan lady rocker di negeri ini. Inikah tanda-tanda bakal kembali merajanya penyanyi rock wanita? Semoga saja.


Sumber foto: kotakrockband.com
Sumber klip: You tube
Bekasi, 11 Januari 11


Saturday, January 1, 2011

Suporter yang Membanggakan

PESTA rakyat itu berakhir membanggakan. Meski gagal meraih gelar Piala AFF untuk pertama kalinya, tim nasional Indonesia arahah pelatih Alfred Riedl berhasil membuat rakyat negeri ini bangga.

Ya, Firman Utina dan kawan-kawan tak hanya mampu mengalahkan Malaysia dua kali-meski harus kalah dari lawan yang sama di laga menentukan. Mereka juga berhasil membuat suporter dari seluruh Indonesia bersatu.

Lihatlah, betapa meriahnya Senayan selama digelar Piala AFF, Desember lalu.  Bahkan, bagi saya, lebih meriah daripada Pemilu yang merupakan pesta rakyat sesungguhnya.  Tak ada gontok-gontokan, tak ada saling hujat, ataupun saling menjatuhkan. Semua sepakat, dengan sukarela, menyandang “merah-putih” sebagai warna kebangsaan. Slogan “Gaurda di dadaku” pun begitu melekat hingga ke lubuk hati yang paling dalam.

Semangat suporter Indonesia memang luar biasa. Tak kalah dengan nasionalisme Irfan Bachdim atau Cristian Gonzaas yang baru kali ini memperkuat tim nasional. Suporter Indonesia, merekalah pemain ke-12, yang punya peran penting mengantar “Garuda” hingga melaju ke final.

Fenomena suporter Indonesia di Piala AFF kali ini memang menakjubkan. Sepanjang 35 tahun hidup saya, belum pernah saya menyaksikan semangat dan antusias yang begitu menggebu seperti ditunjukkan suporter kita, kali ini.

Bayangkan, untuk mendapatkan tiket pertandingan, mereka rela mengantre berhari-hari, bahkan ada yang sampai menginap segala. Hujan, panas, sama sekali bukan halangan untuk menunjukkan kecintaan terhadap tim nasional. Mereka juga tidak hanya datang dari Jakarta. Ada yang datang dari Surabaya, Lamongan, Palembang, bahkan Makassar!

Memang, sempat terjadi kerusuhan. Namun, itu terjadi lantaran kerja PSSI yang amatiran dalam soal distribusi tiket. Di luar itu, saat mendukung timnas, apakah kita pernah mendengar suporter bertindak anarkis? Tidak!

Ketika digelar final kedua, 29 Desember lalu, saya bergidik saat melakukan “sidak” ke Senayan. Lautan orang dengan kostum warna merah, hadir dengan satu kebanggaan, mendukung tim nasional yang sangat mereka cintai. Meski saya tahu, sejak awal, mereka ragu, timnas bisa membalas ketinggalan 0-3.

Namun, mereka toh tetap gegap-gempita mendukung “Tim Merah-Putih” di lapangan. Mereka sama sekali tak berniat membalas perlakuan suporter Malaysia yang memalukan di final pertama.

Memang, sekali terlihat di layar kaca , kiper Malaysia, Khairul Fahmi, mendapat sorotan laser. Namun, sudah. Setelah itu, mereka, para suporter, fokus mendukung timnas di lapangan. Menyanyikan lagu yang membakar semangat, meneriakkan yel-yel yang penuh rasa patriotisme.

Di dalam stadion, tak ada lagi perbedaan. Mereka, dengan warna merah, semua menjadi satu. Hebat! Itulah sanjungan yang tepat untuk semua yang suporter Indonesia, termasuk beberapa Kompasianers, yang menyempatkan diri datang ke Gelora Bung Karno. Maka itu, kemenangan 2-1 pun menjadi kado yang begitu berharga, meski kita gagal juara.

Semoga, semangat dan antusias ini tetap terpelihara dan tak terganggu intrik-intrik yang kerap terjadi di tubuh otoritas sepak bola tertinggi di negeri ini. Ya, semoga, mereka, para suporter, tetap bersemangat mendukung “Tim Merah-Putih”.

Februari mendatang, Timnas U-23 akan menjamu Turkmenistan di ajang Pra-Olimpiade. Kemudian, November mendatang, kita akan menjadi tuan rumah Sea Games ke-26. Semoga, mereka, para suporter, tetap berada di sana, mendukung timnas dengan penuh kebanggaan. Semoga mereka tetap menjadi suporter yang membanggakan.

Selamat Tahun Baru 2011, semoga tahun ini lebih daripada tahun lalu.

Monday, December 20, 2010

Eddie Vedder, Rocker Pecinta Anak



Eddie Vedder (Foto: Iljournal.today)
EDDIE Vedder memang tak semanis Jon Bon Jovi. Namun, dia juga tak seurakan Billy Idol atapun Steven Tyler, apalagi seekstrem mendiang Kurt Cobain. Vedder adalah sosok rocker sederhana, tak banyak tingkah, sehingga sulit sekali bagi media yang nyinyir untuk membuat berita-berita kontroversi tentang vokalis Pearl Jam, band rock yang menjulang di era 1990-an itu.

Namun, di atas panggung, Vedder berubah menjadi sosok yang energik, agresif, hiperaktif, bahkan cenderung eksplosif. Tak hanya gerak tubuh, mimik dan ekspresi air mukanya pun kerap berubah-ubah sesuai “nyawa” lagu yang dia bawakan. Penghayatan Vedder memang pol saat bernyanyi.


Dulu, di era 1990-an, bahkan sampai sekarang, begitu banyak penyanyi-penyanyi terkenal Indonesia yang menjiplak habis Vedder. Mulai gaya menyanyi, sampai stage act pria kelahiran Illinois, Amerika Serikat (AS) ini.


Dengan lagu-lagu Pearl Jam yang banyak bertemakan sosial, memang  sangat memungkinkan Vedder mengeksplor kelebihannya dalam berekspresi. Vedder sendiri sangat tahu jiwa setiap lagu Pearl Jam. Maklum, dari total lebih dari 120 lirik lagu di sembilan album Pearl Jam (1991-2009),  seratus persen merupakan hasil karyanya.


Vedder percaya, setiap lagu memiliki roh yang  dipengaruhi lirik-lirik yang dia ciptakan. Selain itu, tentu saja, begitu banyak pesan sosial yang dia ingin sampaikan. Hebatnya, Vedder menaruh perhatian sangat besar terhadap anak-anak dan itu dituangkan dalam lagu-lagunya.


Sebut saja lagu “Alive” yang merupakan track andalan di album pertama Pearl Jam “Ten”, di tahun 1991. Lagu ini unik, lantaran bercerita tentang seorang anak yang baru mengetahui, bahwa selama ini hidup bersama ayah tirinya. Sedangkan ayah kandungnya telah lama meninggal.

Atau lagu “Jeremy” juga di album “Ten”, yang penuh pesan untuk orang tua dalam menjaga anaknya. Lagu ini bercerita tentang seorang anak yang melakukan bunuh diri di sekolahnya lantaran tak tahan selalu mendapat  hinaan dan jadi bulan-bulanan teman-teman di sekolahnya.

Satu lagi lagu tentang anak yang membuat saya terenyuh adalah “Daughter”. Lagu yang masuk dalam album “Vs” di tahun 1993 ini, bercerita tentang seorang anak perempuan yang mengalami keterbelakangan mental, namun tak mendapat perlakuan yang pantas dari ibunya!


Hebatnya, ketika itu, dengan lirik-lirik yang “nyeleneh” untuk ukuran Amerika, Vedder mampu membawa Pearl Jam menjadi idola baru. Bersama Mike McCready dan Stone Gossard (gitar), Jeff Ament (bas), serta Matt Cameron (drum), Vedder membuat Pearl Jam disebut-setut sebagai salah satu pionir jenis musik rock alternatif, bersama band legendaris, Nirvana, tentunya.


Bahkan, beberapa pengamat musik di sana memberi label khusus untuk jenis musik yang  mereka mainkan. Ada yang menyebutnya “grunge”. Namun, ada juga  yang menyebutnya dengan nama “Seattle Sound”, merujuk daerah asal Pearl Jam, Seattle, AS. Bersama Pearl Jam, kemudian mencuat juga grup-grup seperti Alice in Chains, Soundgarden, Jane Addiction, Skin Yard, Mudhoney, Love Battery, dan banyak lagi.


Tak terhitung sudah lagu-lagu Pearl Jam yang masuk ke papan atas di berbagai tangga lagu bergengsi di AS. Seperti juga Album-album mereka yang selalu laris-manis di pasaran, termasuk di Indonesia.


Vedder juga sosok musisi yang kooperatif. Berbagai kolaborasi yang dilakukannya menjadi bukti, betapa dia juga sangat dihargai oleh sesama musisi. Dia juga menyumbang dua lagu; “Better Days” dan “The Loang Road” untuk soundtrack film “Eat, Pray, Love” yang dibintangi Julia Roberts dan mengambil lokasi syuting di Bali. Terakhir, Vedder ambil bagian di lagu “It Happened Today” dalam album terbaru REM, “Collapse into Now”, yang baru akan dirilis Maret 2011.


Saya sendiri mengenal Vedder bersama Pearl Jam-nya saat masih usia belasan dan duduk di bangku kelas dua SMA. Ketika itu, kehadiran Pearl Jam membuat variasi yang menarik di telinga ini, yang sebelumnya didominasi lagu-lagu khas Iwan Fals dan dentum heavy metal ala Motley Crue, Poison, Guns N’ Roses, atau rock-rock kental milik Deep Purple sampai Iron Maiden. Ahh…ternyata, tak terasa, telah hampir 20 tahun Vedder  menari-nari di telinga ini. Itu artinya, lebih dari setengah usia saya!



Bekasi, 21 Desember



Rabu, 23 Desember, Eddie Vedder berulang tahun ke-46.



Long Live Vedder, Long Live Rock N’ Roll!





“Alive”



Son, she said, have I got a little story for you

What you thought was your daddy was nothin’ but a…

While you were sittin’ home alone at age thirteen

Your real daddy was dyin’, sorry you didn’t see him, but I’m glad we talked…



Oh I, oh, I’m still alive

Hey, I, I, oh, I’m still alive

Hey I, oh, I’m still alive

Hey…oh…



Oh, she walks slowly, across a young man’s room

She said I’m ready…for you

I can’t remember anything to this very day

 ‘Cept the look, the look…

Oh, you know where, now I can’t see, I just stare…



I, I’m still alive

Hey I, but, I’m still alive

Hey I, boy, I’m still alive

Hey I, I, I, I’m still alive, yeah

Ooh yeah…yeah yeah yeah…oh…oh…



Is something wrong, she said

Well of course there is

You’re still alive, she said

Oh, and do I deserve to be

Is that the question

And if so…if so…who answers…who answers…



PS: Konon, lagu ini diangkat dari kisah nyata yang dialami Vedder
20 Desember 2010


Sunday, December 19, 2010

(Bukan) “Gonzalesdependencia”

FIRMAN UTINA (Jessica Margaretha)
EUFORIA sukses tim nasional (timnas) Indonesia menembus final Piala AFF 2010 terus mencuat di langit negeri ini.  Slogan “Garuda di Dadaku” kini jadi milik semua orang. Gadis-gadis ABG terus bicara tentang Irfan Bachdim. Anak-anak yang gemar bermain bola, punya idola baru bernama Cristian Gonzales. Ibu-ibu rumah tangga pun punya  bahan gosip baru: Eva Siregar, istri Gonzales, yang dianggap berperan besar menjadikan sang suami sebagai pemain naturalisasi pertama di “Tim Merah-Putih”.

Kehadiran Indonesia di final Piala AFF  untuk keempat kalinya memang tak pelak membuat kesukacitaan tersendiri. Tak heran juga jika kali ini, kesukacitaan itu dibarengi harapan untuk tampil sebagai juara. Maklum, di tiga final sebelumnya, Indonesia selalu kandas. Di tahun 2000 dan 2002, timnas kalah dari Thailand. Sementara di tahun 2004, Indonesia tak berdaya di hadapan Singapura.

Imbasnya, di pemberitaan media massa, pembahasan soal timnas pun mendapat porsi yang luar biasa besar. Mulai media cetak, online,  hingga media audio-visual kini begitu rajin membahas kiprah “Tim Merah-Putih”.

Namun, ada beberapa teman yang agak “keberatan” terhadap fenomena ini. Pasalnya, kebanyakan media lebih menyorot kiprah Gonzales-sang pemain naturalisasi-sebagai penentu sukses timnas. Alasan sang teman tadi, di lapangan, Gonzales tak berjuang sendiri. Masih ada 10 pemain lainnya yang ikut menentukan keberhasilan burung Garuda terbang tinggi. Saya setuju, sukses timnas ke final-semoga jadi juara-memang bukan lantaran Gonzales semata.

Memang betul, Gonzales menjadi bintang di dua laga semifinal lawan Filipina. Lewat dua golnya, Indonesia kini bisa bermimpi menjadi yang terbaik se-Asia Tenggara untuk pertama kalinya di ajang Piala AFF. Namun, tak adil rasanya jika pujian itu hanya diberikan untuk Gonzales, 34 tahun.

Gonzales sendiri mengaku jengah, jika hanya dirinya yang dielu-elukan sebagai pahlawan timnas. Dia menyebut tak akan bisa membuat gol jika tak ada bantuan dari rekan-rekan setimnya, orang Indonesia asli.

Saya juga sama sekali tak mengecilkan peran Gonzales, yang sudah mencetak enam gol di tujuh pertandingan membela timnas.  Dalam acara talk show pagi di sebuah stasiun televisi, secara khusus saya juga mengucapkan teirma kasih kepada Eva Siregar, yang kebetulan dihadirkan melalui telewicara lewat telepon. Saya katakan, peran Gonzeal sangat vital di tim asuhan Alfred Riedl ini. Namun, sekali lagi, hal itu tak serta-merta timnas menjadi “Gonzalesdependencia” alias bergantung kepada Gonzales.

Masih ada Firman Utina, Oktovianus Maniani, Arif Suyono, M Nasuha, atau Zulkifli Syukur yang begitu gagah berani berhadapan dengan para pemain Filipina yang tinggi-besar. Masih ada juga Achad Bustomi, M. Ridwan, atau Maman Abdrrahman yang punya jiwa nasionalis tak kalah hebat. Termasuk kiper Markus Horison yang kerap membuat kita deg-degan lantaran kerap mengambil keutpusan keluar sarang.

Di semifinal pertama, Gonzales tak akan bisa mencetak gol jika tak mendapat assist dari Firman. Gonzales juga tak akan bisa mendapat ruang tembak bebas di area Filipina dan mencetak gol, jika Yongki Ari Wibowo atau Okto, tak membuat bek-bek Filipina kehilangan orientasi dalam bertahan, di semifinal kedua.

Filipina bisa saja mencetak gol, jika Markus tak beberapa kali membuat penyelamatan. Jadi, sukses ini memang milik semua pemain, yang tentu saja ditujukan khusus untuk seluruh bangsa Indonesia. Terbang tinggi Garudaku!!

Bekasi, 19 Desember