Sunday, December 19, 2010

(Bukan) “Gonzalesdependencia”

FIRMAN UTINA (Jessica Margaretha)
EUFORIA sukses tim nasional (timnas) Indonesia menembus final Piala AFF 2010 terus mencuat di langit negeri ini.  Slogan “Garuda di Dadaku” kini jadi milik semua orang. Gadis-gadis ABG terus bicara tentang Irfan Bachdim. Anak-anak yang gemar bermain bola, punya idola baru bernama Cristian Gonzales. Ibu-ibu rumah tangga pun punya  bahan gosip baru: Eva Siregar, istri Gonzales, yang dianggap berperan besar menjadikan sang suami sebagai pemain naturalisasi pertama di “Tim Merah-Putih”.

Kehadiran Indonesia di final Piala AFF  untuk keempat kalinya memang tak pelak membuat kesukacitaan tersendiri. Tak heran juga jika kali ini, kesukacitaan itu dibarengi harapan untuk tampil sebagai juara. Maklum, di tiga final sebelumnya, Indonesia selalu kandas. Di tahun 2000 dan 2002, timnas kalah dari Thailand. Sementara di tahun 2004, Indonesia tak berdaya di hadapan Singapura.

Imbasnya, di pemberitaan media massa, pembahasan soal timnas pun mendapat porsi yang luar biasa besar. Mulai media cetak, online,  hingga media audio-visual kini begitu rajin membahas kiprah “Tim Merah-Putih”.

Namun, ada beberapa teman yang agak “keberatan” terhadap fenomena ini. Pasalnya, kebanyakan media lebih menyorot kiprah Gonzales-sang pemain naturalisasi-sebagai penentu sukses timnas. Alasan sang teman tadi, di lapangan, Gonzales tak berjuang sendiri. Masih ada 10 pemain lainnya yang ikut menentukan keberhasilan burung Garuda terbang tinggi. Saya setuju, sukses timnas ke final-semoga jadi juara-memang bukan lantaran Gonzales semata.

Memang betul, Gonzales menjadi bintang di dua laga semifinal lawan Filipina. Lewat dua golnya, Indonesia kini bisa bermimpi menjadi yang terbaik se-Asia Tenggara untuk pertama kalinya di ajang Piala AFF. Namun, tak adil rasanya jika pujian itu hanya diberikan untuk Gonzales, 34 tahun.

Gonzales sendiri mengaku jengah, jika hanya dirinya yang dielu-elukan sebagai pahlawan timnas. Dia menyebut tak akan bisa membuat gol jika tak ada bantuan dari rekan-rekan setimnya, orang Indonesia asli.

Saya juga sama sekali tak mengecilkan peran Gonzales, yang sudah mencetak enam gol di tujuh pertandingan membela timnas.  Dalam acara talk show pagi di sebuah stasiun televisi, secara khusus saya juga mengucapkan teirma kasih kepada Eva Siregar, yang kebetulan dihadirkan melalui telewicara lewat telepon. Saya katakan, peran Gonzeal sangat vital di tim asuhan Alfred Riedl ini. Namun, sekali lagi, hal itu tak serta-merta timnas menjadi “Gonzalesdependencia” alias bergantung kepada Gonzales.

Masih ada Firman Utina, Oktovianus Maniani, Arif Suyono, M Nasuha, atau Zulkifli Syukur yang begitu gagah berani berhadapan dengan para pemain Filipina yang tinggi-besar. Masih ada juga Achad Bustomi, M. Ridwan, atau Maman Abdrrahman yang punya jiwa nasionalis tak kalah hebat. Termasuk kiper Markus Horison yang kerap membuat kita deg-degan lantaran kerap mengambil keutpusan keluar sarang.

Di semifinal pertama, Gonzales tak akan bisa mencetak gol jika tak mendapat assist dari Firman. Gonzales juga tak akan bisa mendapat ruang tembak bebas di area Filipina dan mencetak gol, jika Yongki Ari Wibowo atau Okto, tak membuat bek-bek Filipina kehilangan orientasi dalam bertahan, di semifinal kedua.

Filipina bisa saja mencetak gol, jika Markus tak beberapa kali membuat penyelamatan. Jadi, sukses ini memang milik semua pemain, yang tentu saja ditujukan khusus untuk seluruh bangsa Indonesia. Terbang tinggi Garudaku!!

Bekasi, 19 Desember

No comments:

Post a Comment