Tuesday, August 3, 2010

Doa untuk Ivan

Instant formasi awal, (ki-ka), Andre Boyor, Nova, Santos,
Alm Ivan Wijaya, Edu Krisnadefa
ENTAH mengapa, malam ini aku kembali begitu merindukannya. Sudah lebih dari sebelas tahun berlalu, tapi aku belum juga bisa melupakannya. Ah, tidak, tidak aku tak mau melupakannya. Sampai kapan pun, kau akan selalu ada dalam ingatanku, kenanganku, Ivan Wijaya.

Seperti malam yang sudah-sudah, setiap aku merindukannya, pasti aku tak akan tidur hingga pagi menjelang. Kenangan-kenangan bersamanya, berkelebat-kelebat dalam ingatan ini, semakin membuat rasa kehilangan ini menjadi-jadi.

Pertama kali aku mengenal Ivan pada Oktober 1995, saat usiaku belum genap 21 tahun. Dia lebih muda dua tahun dari aku. Ketika itu, sepupuku bernama Erik, mengenalkanku kepadanya. “Saya… Ivan,” ujar dia, ketika itu sambil menjabat tanganku. Sangat santun, bertolak belakang dengan tongkrongannya, dengan rambut melebih bahu.

Sejak saat itu, setelah kemudian, Nova, Robert, dan Santos bergabung, mulailah kenangan-kenangan itu terangkai. Kami mendeklarasikan sebuah band bernama INSTANT, atas ide Nova, di rumah Ivan yang sederhana di Jalan Poncol, Pondok Gede. Aku memainkan bass, Ivan dan Nova pada gitar, Santos pada drum, dan Robert vokalisnya. Mimpi kami pun tinggi, menembus industri musik, alias punya album rekaman.

Bersama Ivan, banyak sekali kenangan kujalani. Mulai dari patungan untuk latihan di studio, kehabisan uang, bolak-balik Bandung-Jakarta dengan bus dalam semalam untuk keperluan rekaman, hingga manggung tak dibayar. Semuanya masih amat membekas di hati dan kepalaku.

Ivan, anak pertama dari lima bersaudara, sosok yang bersahaja, punya tenggang rasa yang tinggi kepada teman, dan tak pernah marah. Hal itu wajar, lantaran dia lahir dari keluarga yang sangat ramah, demokratis, dan toleran. Om Joni dan Tante Lian, mereka orangtua Ivan.

Ivan, yang ngetop dengan nama Bathox, punya watak keras. Dia tak suka sekolah. Dia memutuskan berhenti sekolah saat duduk di kelas 1 SMA. Dia hanya mau bermusik! Orangtuanya tak bisa berbuat banyak, selain mendukung keinginan yang memang sesuai dengan bakat anak mereka itu.

Itulah sebabnya, om Joni begitu mati-matian mendukung kami dalam bermusik. Dengan pendapatan seadanya, dia rela menyisihkan uang untuk kebutuhan kami bermusik. Termasuk untuk ongkos ke studio dan makan. Belakangan, upaya om Joni sempat mendapat titik terang, ketika master rekaman kami mendapat tanggapan dari sebuah perusahaan rekaman, meski akhirnya tak jadi kenyataan.

Banyak hal yang kuingat tentang Ivan. Dari gaya bicaranya, cara dia berjalan, sampai gaya acuh tak acuhnya saat mendapat perhatian khusus dari cewek-cewek. Ivan memang good looking dan selalu menjadi perhatian cewek-cewek di manapun dia berada.

Setiap sehabis manggung, ada saja cewek-cewek yang meminta berkenalan. Bukan hanya satu atau dua, bahkan puluhan kali. Setiap kami melintas di mal atau pusat keramaian juga ada saja yang menggoda kami, menggoda Ivan maksud saya.

Tapi, Ivan juga pemberani. Pernah suatu malam, kami mendapat masalah di sebuah rumah biliar. Masalahnya sepele, seorang kawan yang setengah sadar memukulkan stik ke pengunjung lain lantaran kesal, sodokannya tak mengenai bola putih.

Tak lama kemudian datanglah teman-temannya lebih dari sepuluh orang, berniat menghakimi yang hanya bertiga. Pintuh rumah biliar itu mereka kunci. Mereka semua mengelilingi kami dengan wajah-wajah penuh amarah.

Tapi, Ivan santai saja. Dengan tenang, dia meladeni makian orang-orang kalap itu. Dia malah mendekat. Aku yang khawatir, seseorang dari mereka menyerang Ivan, terus mem-backup-nya dari belakang, dengan rasa waswas bercapur takut. Tapi, dengan diplomasi ala Ivan, masalah selesai. Kami bisa keluar dari rumah biliar itu tanpa terluka sedikit pun.

Ivan sosok yang supel. Pada era itu, bisa dibilang namanya begitu dikenal di kawasan Pondok Gede. Setiap orang yang ditemuinya, selalu disapanya dengan ramah. Dari tukang parkir, tukang rokok, tukang es, tukang becak, hingga preman-preman mal dan terminal.

Di rumahnya, ditemani kopi buatan Tante Lian dan rokok Marlboro merah kesukaan kami, sering kami bertiga dengan Nova ngobrol hingga pagi hari, usai latihan di studio. Kami membicarakan hal-hal konyol. Mulai masalah band kami, sampai cewek-cewek yang pernah dipacarinya.

Dia juga begitu tenang. Saat Nova berniat keluar dan bergabung dengan band lain yang lebih mapan, Ivan menanggapinya dengan santai. Padahal, ketika itu, kami dalam proses penyelesaian materi lagu, seperti yang diminta perusahaan rekaman tadi.

Ivan juga sama sekali tak iri, saat Nova kemudian berkibar dengan band No Limit dan muncul dengan album-album rekaman mereka. Hingga akhirnya kami harus merelakan INSTANT bubar, tepat di malam tahun baru 1997, usai menggung di sebuah acara New Year’s Eve. Meski ketika itu, sudah hadir gitaris baru, Yayan dan Andri Boyor, yang menggantikan Robert pada vokal.

“Kita bikin band lagi du,” ujarnya, ketika itu. Dengan tambahan dua manusia penuh tato, Randy dan Nicky, kami akhir membentuk band lagi. Tapi, berbeda dengan INSTANT, yang lebih sering memainkan musik-musik pop rock atau hard rock, bersama band baru ini, kami banyak memainkan musik-musik hard core, underground.

Awalnya, band ini dinamai “VIP”. Tapi, Ivan belakangan menggantinya dengan nama “021″ merujuk kode wilayah nomor telepon Jakarta. Belakangan band ini diteruskan oleh adik Ivan, Ives dengan nama “Kodusa” singkatan dari 021. Hingga saat ini, band ini masih eksis di belantara musik underground . TJ Ruth, yang terkenal melalui program televisi “Extravaganza” pernah menjadi vokalis band ini. Terakhir Kodusa digawangi Ives dan Lila (vokal), Lulu (gitar), Zack Alvaro (bass), dan Rala (drum).

Aku memang akhirnya harus melupakan mimpi menembus industri musik rekaman bersama Ivan. Setelah pertengahan 1998, aku tak lagi berkontak dengannya lantaran sibuk dengan band-bandku selanjutnya. Sempat juga menjadi home band IEC, sebuah lembaga kursus bahasa Inggris, dengan nama “The Owl”.

Ya, saat itu, aku benar-benar hilang kontak dengan Ivan, yang saat itu ku tahu semakin eksis dengan band barunya. Sampai suatu ketika, aku mendapat kabar bahwa Ivan sakit. “Dia menderita leukemia,” ujar Om Joni, lewat telepon.

Aku kaget. Dalam benakku terlintas hal-hal yang mengerikan. Hal-hal yang tak ingin aku alami, kehilangan Ivan. Sejak saat itu, aku mulai lagi menjalin kontak dengannya. Sesekali aku juga menyempatkan diri berkunjung ke rumahnya.

Tapi, Ivan tenang saja. Tak ada rasa ketakutan kutangkap dari pembawaannya ketika itu. Pernah, dengan sangat hati-hati, aku tanya perihal penyakitnya dan kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi. Tapi, dia menjawab dengan enteng,”Hidup-mati orang di tangan Tuhan.”

Aku pun merasa agak tenang. Aku menangkap semangat hidup yang tinggi dari kata-katanya, ketika itu. Sebab, konon, dengan semangat hidup yang tinggi, seorang yang divonis tak berumur panjang lantaran leukemia bisa lebih hidup lebih lama, atau bahkan mungkin sembuh sama sekali.

Tapi, suatu malam, tanggal 2 Desember 1999, datanglah berita yang tak ingin kudengar itu. Lewat telepon, Mona, pacar Ivan ketika itu, mengabarkan warta menyedihkan itu. “Ivan udah enggak ada du…,” ujar Mona, sesegukan di ujung telepon.

Akhirnya aku memang harus rela kehilangan salah seorang sahabat terbaik. Aku berdoa untuknya.

*Maaf jika tulisan ini terkesan seadanya. Ini bukan kisah nyata yang difiksikan, hanya saat ini, saya memang tengah sangat merindukan sahabat saya itu. Terima kasih telah berkenan membacanya.

Bekasi, 2 Agustus, 04.20 WIB

3 August 2010 | 21:26
Kompasiana

Friday, June 25, 2010

Vuvuzela, Mengapa Harus Dilarang?

TRADISIONAL - Vuvuzela, alat musik tradisional Afsel (foto: wikipedia)
VUVUZELA masih jadi kontroversi. Alat tiup khas Afrika Selatan (Afsel) itu dituding banyak orang telah merusak makna khusus Piala Dunia kali ini. “Suaranya, gak jelas, mirip sekumpulan tawon,” ujar seorang kawan di komplek perumahan saya. “Kenikmatan menonton sepak bola jadi hilang. Ilfil.”

Dari lapangan sendiri, tak sedikit pemain yang merasa terganggu. Cristiano Ronaldo, bintang Portugal, adalah satu figur yang menolak kehadiran vuvuzela di dalam stadion. Kiper Denmark, Thomas Sorensen, yang gawangnya kebobolan dua gol saat lawan Belanda, juga menyatakan hal serupa.

Maka itu tak sedikit yang melontarkan wacana agar vuvuzela dilarang. Sayangnya, sejauh ini, Sepp Blatter, Presiden FIFA sendiri, menyebut pihaknya tak punya niat melarang vuvuzela masuk ke dalam stadion.

Alhasil, banyak penonton yang mencari cara agar terbebas dari gangguan suara bising vuvuzela. Salah satunya dengan menggunakan ear plugs, yang kini banyak dijual di depan stadion-stadion. Stasiun televisi BBC bahkan kabarnya berencana menghilangkan suara vuvuzela dalam setiap tayangan langsung pertandingan Piala Dunia.

Jika hanya seorang yang memainkannya, suara vuvuzela sebenarnya tak berbeda dengan bunyi trompet. Namun, jika seisi stadion membunyikan alat tiup dengan panjang sekitar satu meter itu, jelas suaranya akan sangat memekakkan.  Dan, dengan frekuensi yang konstan selama 90 menit, suara vuvuzela konon cukup untuk membuat orang menderita demam dan flu.

Namun, tak semua orang bisa meniup vuvuzela. Sebab, diperlukan trik khusus untuk membuat alat tiup dari plastik yang biasanya dijual seharga 14-30 Rand (sekitar Rp 16-34 ribu) itu berbunyi. Jika salah meniup, bukan tak mungkin Anda akan menderita cedera tenggorokan. Ini bukti, bahwa vuvuzela bukan alat tiup sembarangan.

Kontroversi vuvu zela sebenanya bukan hal baru. Saat berkesempatan meliput Piala Konfederasi 2009, di negara yang sama, saya juga sempat pusing lantaran seisi stadion membunyikan vuvuzela.

Saya ingat betul, dalam sebuah konferensi pers, pemain bintang Spanyol, Xabi Alonso, menyebut tidak suka mendengar suara vuvuzela. Seketika itu juga, mantan bintang Liverpool itu meminta agar vuvuzela dilarang masuk stadion.

Namun, apakah bijak kita melarang bangsa Afsel memainkan vuvuzela, yang sudah menjadi bagian budaya dan identitas mereka, di kampung mereka sendiri? Padahal, mereka tengah asyik berpesta, merayakan Piala Dunia yang untuk pertama kalinya digelar di Benua Afrika.

Di Afsel, vuvuzela memang sudah mendarah daging. Dulunya, alat tiup ini dibuat dari tanduk kudu, binatang sejenis rusa yang banyak berkembang biak di Afsel. Alat ini digunakan untuk memanggil warga masyarakat untuk bergabung dalam sebuah pertemuan.

Baru, pada era 1990-an, vuvuzela mulai identik dengan sepak bola. Saat pertandingan dua tim rival sekota di Johannesburg, Orlando Pirates lawan Kaiser Chiefs  berlangsung, semua pendukung kedua tim  membawa vuvuzela ke dalam stadion. Vuvuzela milik suporter Pirates berwarna kuning. Sedangkan suporter Chiefs membawa vuvuzela berwarna hitam-putih.

Pembakar Semangat
Orang Afsel sendiri marah jika vuvuzela dibilang menggangu jalannya pertandingan. Mereka mengklaim, suara berisik dari vuvuzela justru membakar semangat para pemain di lapangan.

“Kami memang bangsa yang berisik. Kami bangga akan hal itu,” ujar seorang suporter Afsel kepada saya, ketika itu. “Melarang vuvuzela sama saja dengan melarang kami  melestarikan budaya kami. Jika begitu, untuk apa menggelar Piala Konfederasi dan Piala Dunia di negeri kami.”

Ini juga sesuai dengan pernyataan Rick Mkhondo, Juru Bicara Panitia Lokal Piala Dunia 2010, beberapa waktu lalu.  “Vuvuzela adalah bagian dari budaya Afrika Selatan dalam merayakan Piala Dunia. Dan, sebagai tamu, tolong hormatilah budaya kami. Terimalah cara kami merayakan pesta (Piala Dunia) ini,” katanya.

Belakangan, pernyataan Mkhondo terbukti. Sebab, ternyata, tak hanya suporter tuan rumah Afsel yang meniupkan vuvuzela di dalam stadion. Pendukung dari negara-negara lain, seperti Belanda, Ghana, Spanyol, bahkan Jerman, sekalipun ikut meniupkan vuvuzela untuk mendukung tim kesayangan mereka.

Yang menarik, klub Inggris, Arsenal, bahkan telah mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya tak akan keberatan, jika musim depan, ada suporter mereka membawa vuvuzela ke dalam Stadion Emirates di laga Liga Primer. Jadi, kenapa vuvuzela harus  dilarang?*

Tulisan ini dimuat di Harian TopSkor Edisi Kamis, 24 Juni 2010

Wednesday, June 23, 2010

Kaka Rontok Saat Berkembang

RICARDO KAKA (foto: bmwz8us.deviantart)
IBARAT bunga, Ricardo Kaka justru rontok saat tengah berkembang. Ya, laga Brasil lawan Pantai Gading, Minggu (20/6) di Grup G, yang seharusnya menjadi laga kebangkitannya justru berubah mejnadi partai yang menyesakkan bagi pria berusia 28 tahun ini.

Kaka harus keluar lapangan lebih cepat daripada rekan-rekannya lantaran kartu merah dari wasit Stephane Lannoy, setelah menerima dua kartu kuning. Memang, kartu kuning kedua yang diterimanya masih bisa diperdebatkan lantaran Abdul Kader Keita, yang dilanggar oleh Kaka, bersandiwara sedemikian rupa.

Pemain Pantai Gading itu bergulingan sambil memegangi wajahnya . Padahal, dalam tayang ulang, terlihat jelas, yang disikut Kaka adalah dada Keita, bukan wajahnya.
Namun, tetap saja muncul pertanyaan, mengapa seorang Kaka bisa begitu lepas kendali dengan menyikut Keita. Padahal, boleh dibilang, dia sebenarnya justru tengah menikmati pertandingan tersebut.

Dua gol awal kemenangan 3-1 Brasil yang dicetak Luis Fabiano dan Elano, tak lepas dari andil Kaka. Penampilan Kaka juga jauh lebih cemerlang daripada ketikamembawa “Selecao” menang 2-1 atas Korea Utara di laga pertama Grup H.

Pendek kata, laga yang digelar di Stadion Soccer City itu seharusnya menjadi pembuktian kebintangan Kaka, setelah serangkaian periode tak mengenakkan yang dialaminya sepanjang musim 2009/10.
Ya, memang bukan rahasia lagi jika pemilik nama lengkap Ricardo Izecson dos Santos Leite itu mengalami periode buruk belakangan ini. 

Di klubnya, Real Madird, Kaka tak hanya gagal membawa “Los Galacticos” meraih barang satu trofi. Dia juga sempat mengalami cedera panjang yang membuat orang bertanya-tanya apakah transfer 65 juta euro (sekitar Rp 726,8 miliar) yang dikeluarkan Madrid saat merekrutnya dari AC Milan, sepadan.

Di luar itu, kehadiran Kaka di Afrika Selatan, sebelumnya juga sempat diragukan, menyusul cedera betis yang dialaminya. Tapi, saat berkesempatan menunjukkan kapasitas dia yang sesungguhnya, suami Caroline Celico ini justru merusaknya dengan meyikut Keita, apapun maksud Kaka.

Kelakuan itu juga bertolak belakang dengan pribadi Kaka yang selama ini dikenal orang. Di luar lapangan, Kaka adalah sosok yang santun. Tak seperti pemain Brasil kebanyakan, yang datang dari keluarga broken home dan lingkungan kumuh, Kaka lahir dari keluarga menengah ke atas, yang membuatnya tahu bagaimana bersikap ala kaum aristokrat.

Kaka juga sosok yang saleh. Setiap mencetak gol, dia selalu menengadahkan tangannya ke atas, tanda syukur kepada Tuhan. Tak jarang, Kaka juga menggunakan baju dalam bertuliskan pesan-pesan religius.
Mungkinkah Kaka merasa kesal, lantaran sepanjang pertandingan, dia terus dikasari para pemain Pantai Gading? Atau ada penyebab lain, yang membuat Kaka memang mengincar Keita. Tentu, cuma Kaka yang tahu jawabannya.

Yang jelas, publik “Selecao” berharap absennya Kaka di laga terakhir Brasil di Grup H, tak akan menghentikan langak “Selecao” ke babak 16 Besar. Sehingga, mereka bisa berharap kembali menyaksikan sihir Kaka, tanpa kartu merah lagi, tentunya. *


Tulisan ini dimuat di Harian TopSkor edisi 23 Juni 2010

Thursday, June 17, 2010

Dan, Ballack Pun Terlupakan

MICHAEL BALLACK (foto:dailymail)
HEBAT! Itulah pujian yang pas atas penampilan Jerman di laga pertama mereka di Grup D, Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Kemenangan 4-0 yang mereka toreh atas Australia, Minggu (13/6) menandakan “Tim Panser” telah siap bersaing menjadi kampiun di Afrika Selatan (Afsel).

Memang, dua gol terakhir Jerman tercipta setelah Tim Cahill, gelandang andalan Australia dikartu merah. Namun, terlepas dari itu, kiprah “Tim Panser” di laga pertama, menurut saya tetap patut diacungi jempol.

Setidaknya, mereka mampu membungkam keraguan banyak pihak, yang sempat pesimistis, lantaran absennya kapten sekaligus gelandang andalan, Michael Ballack. Seperti diketahui, Ballack urung tampil di Afsel lantaran cedera engkel.

Namun, seperti terpapar di Stadion Moses Mabhida, Durban, Jerman sepertinya tak membutuhkan Ballack di lapangan. Ya, pemain yang sukses membawa Jerman ke final Piala Dunia 2002 itu seperti terlupakan lantaran penampilan gemilang para debutan yang ditampilkan pelatih Joachim Loew.

Thomas Mueller, Mesut Oezil, dan Sami Khedira yang baru pertama kalinya tampil di Piala Dunia bermain sangat percaya diri. Mueller bahkan mencetak gol ketiga Jerman. Sedangkan Oezil dan Khedira, berdua bahu-bahu memainkan peran Ballack di lini tengah, sebagai penyeimbang, sekaligus motor serangan. Oezil juga membuat assist untuk gol keempat Jerman yang dicetak Cacau.

Loew rasanya pantas diacungi jempol lantaran keberaniannya menurunkan para debutan di laga pertama. Sebab, selain Mueller, Khedira, dan Oezil, masih ada kiper Manuel Nueur dan bek Holger Badstuber yang baru pertama kali tampil di Piala Dunia. Usia mereka berlima juga masih muda, rata-rata 21,8 tahun!

Di luar itu, tiga pemain pengganti yang dimasukkan di babak kedua: Cacau, Mario Gomez, dan Mirko Marin, juga merupakan debutan di pesta bola terbesar di dunia ini.

Nanun, tentu, Loew punya alasan kuat. Sebab, meski masih muda, Mueller dan kawan-kawan adalah andalan utama di klub-klub masing di Bundesliga Jerman. Mueller misalnya, merupakan motor serangan Bayern Muenchen. Sedangkan Oezil dan Khedira, adalah sosok penting di Schalke 04 dan Werder Bremen. Begitu juga dengan Nueur dan Badstuber yang merupakan kiper dan bek andalan di Schalke dan Muenchen.

Selain itu, mereka juga dianggap sudah berpengalaaman di ajang internasional, lantaran rata-rata merupakan alumni Piala Eropa U-21 tahun 2009 yang digelar di Swedia. Ketika itu, Jerman tampil sebagai juara setelah di final mengalahkan Inggris 4-0.

Namun begitu, seperti diucap Loew, belum saatnya mereka berpuas diri dan langsung bermimpi jadi juara dunia untuk kelima kalinya setelah tahun 1954, 1974, dan 1990. Sebab, perjalanan masih panjang. Terdekat, mereka harus meladeni Serbia di laga kedua Grup D, Jumat ini. “Ini baru pertandingan pertama. Kami masih harus bekerja keras,” ujar Loew.*


*Tulisan ini juga dimuat di Harian TopSkor, Edisi 17 Juni 2010

Monday, June 14, 2010

Biarkan Afrika Berpesta

GONG Piala Dunia 2010 telah ditabuh, Jumat (11/6). Lewat sebuah pesta pembukaan super meriah yang melibatkan lebih dari seribu artis dan pementasan berbagai kebudayaan lokal, resmi sudah gelaran sepak bola paling akbar sejagad itu dimulai di Afrika Selatan (Afsel).

Ada hasrat yang begitu menggelora dipertontonkan masyarakat Afrika, khususnya Afsel sebagai tuan rumah. Ada antusiasme yang begitu menyala seiring mereka tak pernah henti meniupkan vuvuzela. Dan, yang paling penting, tentu, ada  semangat yang begitu masif untuk menjadikan Piala Dunia edisi ke-19 ini, sebagai yang terbaik yang pernah ada.

Sayangnya, beberapa hari sebelum Piala Dunia digelar, kerap terdengar berita miring. Yang paling utama, tingkat kriminalitas yang begitu tinggi. Terakhir, dua rekan penulis yang meliput di Afsel: Akmal Marhali dan Irfan Sudrajat melaporkan sejauh ini telah ada delapan wartawan yang mengalami perampokan.

Tingkat kriminalitas yang tinggi di “Negeri Nelson Mandela” itu memang bukan sekadar anekdot.  Afsel sudah lama dikenal salah satu negara dengan tingkat kejahatan paling tinggi dunia. Konon, rata-rata tak kurang dari 50 orang meninggal akibat tindak kriminal, setiap harinya.

Bahkan, berdasarkan data yang dirilis South African Police Service and Home Office Recorded Crime Statistics, ada tak kurang dari 18 ribu pembunuhan sepanjang tahun 2008-2009. Wow!

Beberapa tempat di kota-kota besar di Afsel, seperti Hilbrow di Johannesburg, Mamelodi di Pretoria atau Kwa Mashu di Durban, bahkan dikenal sebagai “pusat kejahatan”. Bahkan, nomor polisi kendaraan di Johannesburg, “GP”,, yang merupakan singkatan dari Gauteng Province, sering diplesetkan sebagai singkatan dari “Gangster Paradise” alias surganya para kriminal.

Tingkat kejahatan yang tinggi ini sendiri mencuat begitu Afsel mengenal kebebasan mereka dari politik pembedaan warna kulit, Apartheid, di tahun 1994.  Di awal era kebebasan itu, segalanya menjadi kebablasan. Tingkat pengangguran yang tinggi disertai kebutuhan yang sulit mereka tampik, membuat banyak warga Afsel kulit hitam, mengambil jalan pintas, melakukan tindak kriminal.

Sialnya lagi, sejak saat itu, banyak juga imigran gelap yang datang dari negara tetangga, seperti Mozambik, Malawi, Burundi, Angola, ataupun Nigeria, ikut mencari peruntungan di “Negeri Pelangi” itu. Sebab, mereka menganggap Afsel sebagai “promise land”. 

Tak heran, dua tahun lalu sempat terjadi fenomena Xenophobia yang menghebohkan, di mana para warga pribumi memerangi  kaum pendatang yang dianggap mengambil lahan mereka di “dunia hitam”. Kabarnya, total korban meninggal mencapai 67 orang.

Satu hal lagi, yang berpotensi membuat cacat Piala Dunia kali ini adalah masalah transportasi. Rekan Akmal, dalam laporannya menyebut betapa sulit beraktivitas lantaran minimnya akses transportasi.

Memang menjelang Piala Dunia, Pemerintah Afsel telah merilis Gautrain, kereta api yang menghubungkan Bandara OR Tambo, Johannesburg, dan Pretoria yang berjarak sekitar 80 kilometer. Di Johannesburg juga telah dirilis Rea Vaya, sejenis bus way, untuk memudahkan suporter dan wartawan ke Stadion Ellis Park dan Soccer City.

Namun, tetap saja, untuk beraktivitas, sangat sulit lantaran kendaraan umum di dalam kota nyaris tak ada. Suporter atau wartawan tetap harus menggunakan taksi dengan “argo kuda” dengan harga minimal 200 rand (sekitar Rp 250 ribu) untuk jarak sekitar 25 kilometer.

Tapi, apakah semua itu akan melunturkan semangat warga Afsel? Rasanya tidak. Sebab, berdasarkan pengalaman meliput Piala Konfederasi, saya tahu betul betapa masyarakat Afsel sebenarnya sangat mendambakan Piala Dunia 2010 ini berjalan lancar.  Sebab, bagi mereka, Piala Dunia bukan sekadar pesta sepak bola.

Piala Dunia 2010, bagi mereka adalah simbol persatuan di mana warga kulit putih dan kulit hitam bergandengan tangan mendukung habis “Bafana Bafana-julukan tim nasional Afsel. Jadi, biarkanlah Afrika Berpesta. *


*Akmal Marhali dan Irfan Sudrajat adalah dua rekan penulis yang tengah meliput Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan.