GONG Piala Dunia 2010 telah ditabuh, Jumat (11/6).
Lewat sebuah pesta pembukaan super meriah yang melibatkan lebih dari
seribu artis dan pementasan berbagai kebudayaan lokal, resmi sudah
gelaran sepak bola paling akbar sejagad itu dimulai di Afrika Selatan
(Afsel).
Ada hasrat yang begitu menggelora dipertontonkan masyarakat Afrika,
khususnya Afsel sebagai tuan rumah. Ada antusiasme yang begitu menyala
seiring mereka tak pernah henti meniupkan vuvuzela. Dan, yang paling
penting, tentu, ada semangat yang begitu masif untuk menjadikan Piala
Dunia edisi ke-19 ini, sebagai yang terbaik yang pernah ada.
Sayangnya, beberapa hari sebelum Piala Dunia digelar, kerap terdengar
berita miring. Yang paling utama, tingkat kriminalitas yang begitu
tinggi. Terakhir, dua rekan penulis yang meliput di Afsel: Akmal Marhali
dan Irfan Sudrajat melaporkan sejauh ini telah ada delapan wartawan
yang mengalami perampokan.
Tingkat kriminalitas yang tinggi di “Negeri Nelson Mandela” itu memang
bukan sekadar anekdot. Afsel sudah lama dikenal salah satu negara
dengan tingkat kejahatan paling tinggi dunia. Konon, rata-rata tak
kurang dari 50 orang meninggal akibat tindak kriminal, setiap harinya.
Bahkan, berdasarkan data yang dirilis South African Police Service and
Home Office Recorded Crime Statistics, ada tak kurang dari 18 ribu
pembunuhan sepanjang tahun 2008-2009. Wow!
Beberapa tempat di kota-kota besar di Afsel, seperti Hilbrow di
Johannesburg, Mamelodi di Pretoria atau Kwa Mashu di Durban, bahkan
dikenal sebagai “pusat kejahatan”. Bahkan, nomor polisi kendaraan di
Johannesburg, “GP”,, yang merupakan singkatan dari Gauteng Province,
sering diplesetkan sebagai singkatan dari “Gangster Paradise” alias surganya para kriminal.
Tingkat kejahatan yang tinggi ini sendiri mencuat begitu Afsel mengenal kebebasan mereka dari politik pembedaan warna kulit, Apartheid,
di tahun 1994. Di awal era kebebasan itu, segalanya menjadi
kebablasan. Tingkat pengangguran yang tinggi disertai kebutuhan yang
sulit mereka tampik, membuat banyak warga Afsel kulit hitam, mengambil
jalan pintas, melakukan tindak kriminal.
Sialnya lagi, sejak saat itu, banyak juga imigran gelap yang datang dari
negara tetangga, seperti Mozambik, Malawi, Burundi, Angola, ataupun
Nigeria, ikut mencari peruntungan di “Negeri Pelangi” itu. Sebab, mereka
menganggap Afsel sebagai “promise land”.
Tak heran, dua tahun lalu sempat terjadi fenomena Xenophobia yang
menghebohkan, di mana para warga pribumi memerangi kaum pendatang yang
dianggap mengambil lahan mereka di “dunia hitam”. Kabarnya, total korban
meninggal mencapai 67 orang.
Satu hal lagi, yang berpotensi membuat cacat Piala Dunia kali ini adalah
masalah transportasi. Rekan Akmal, dalam laporannya menyebut betapa
sulit beraktivitas lantaran minimnya akses transportasi.
Memang menjelang Piala Dunia, Pemerintah Afsel telah merilis Gautrain,
kereta api yang menghubungkan Bandara OR Tambo, Johannesburg, dan
Pretoria yang berjarak sekitar 80 kilometer. Di Johannesburg juga telah
dirilis Rea Vaya, sejenis bus way, untuk memudahkan suporter dan wartawan ke Stadion Ellis Park dan Soccer City.
Namun, tetap saja, untuk beraktivitas, sangat sulit lantaran kendaraan
umum di dalam kota nyaris tak ada. Suporter atau wartawan tetap harus
menggunakan taksi dengan “argo kuda” dengan harga minimal 200 rand
(sekitar Rp 250 ribu) untuk jarak sekitar 25 kilometer.
Tapi, apakah semua itu akan melunturkan semangat warga Afsel? Rasanya
tidak. Sebab, berdasarkan pengalaman meliput Piala Konfederasi, saya
tahu betul betapa masyarakat Afsel sebenarnya sangat mendambakan Piala
Dunia 2010 ini berjalan lancar. Sebab, bagi mereka, Piala Dunia bukan
sekadar pesta sepak bola.
Piala Dunia 2010, bagi mereka adalah simbol persatuan di mana warga
kulit putih dan kulit hitam bergandengan tangan mendukung habis “Bafana Bafana“-julukan tim nasional Afsel. Jadi, biarkanlah Afrika Berpesta. *
*Akmal Marhali dan Irfan Sudrajat adalah dua rekan penulis yang tengah meliput Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan.
No comments:
Post a Comment