Tuesday, August 3, 2010

Doa untuk Ivan

Instant formasi awal, (ki-ka), Andre Boyor, Nova, Santos,
Alm Ivan Wijaya, Edu Krisnadefa
ENTAH mengapa, malam ini aku kembali begitu merindukannya. Sudah lebih dari sebelas tahun berlalu, tapi aku belum juga bisa melupakannya. Ah, tidak, tidak aku tak mau melupakannya. Sampai kapan pun, kau akan selalu ada dalam ingatanku, kenanganku, Ivan Wijaya.

Seperti malam yang sudah-sudah, setiap aku merindukannya, pasti aku tak akan tidur hingga pagi menjelang. Kenangan-kenangan bersamanya, berkelebat-kelebat dalam ingatan ini, semakin membuat rasa kehilangan ini menjadi-jadi.

Pertama kali aku mengenal Ivan pada Oktober 1995, saat usiaku belum genap 21 tahun. Dia lebih muda dua tahun dari aku. Ketika itu, sepupuku bernama Erik, mengenalkanku kepadanya. “Saya… Ivan,” ujar dia, ketika itu sambil menjabat tanganku. Sangat santun, bertolak belakang dengan tongkrongannya, dengan rambut melebih bahu.

Sejak saat itu, setelah kemudian, Nova, Robert, dan Santos bergabung, mulailah kenangan-kenangan itu terangkai. Kami mendeklarasikan sebuah band bernama INSTANT, atas ide Nova, di rumah Ivan yang sederhana di Jalan Poncol, Pondok Gede. Aku memainkan bass, Ivan dan Nova pada gitar, Santos pada drum, dan Robert vokalisnya. Mimpi kami pun tinggi, menembus industri musik, alias punya album rekaman.

Bersama Ivan, banyak sekali kenangan kujalani. Mulai dari patungan untuk latihan di studio, kehabisan uang, bolak-balik Bandung-Jakarta dengan bus dalam semalam untuk keperluan rekaman, hingga manggung tak dibayar. Semuanya masih amat membekas di hati dan kepalaku.

Ivan, anak pertama dari lima bersaudara, sosok yang bersahaja, punya tenggang rasa yang tinggi kepada teman, dan tak pernah marah. Hal itu wajar, lantaran dia lahir dari keluarga yang sangat ramah, demokratis, dan toleran. Om Joni dan Tante Lian, mereka orangtua Ivan.

Ivan, yang ngetop dengan nama Bathox, punya watak keras. Dia tak suka sekolah. Dia memutuskan berhenti sekolah saat duduk di kelas 1 SMA. Dia hanya mau bermusik! Orangtuanya tak bisa berbuat banyak, selain mendukung keinginan yang memang sesuai dengan bakat anak mereka itu.

Itulah sebabnya, om Joni begitu mati-matian mendukung kami dalam bermusik. Dengan pendapatan seadanya, dia rela menyisihkan uang untuk kebutuhan kami bermusik. Termasuk untuk ongkos ke studio dan makan. Belakangan, upaya om Joni sempat mendapat titik terang, ketika master rekaman kami mendapat tanggapan dari sebuah perusahaan rekaman, meski akhirnya tak jadi kenyataan.

Banyak hal yang kuingat tentang Ivan. Dari gaya bicaranya, cara dia berjalan, sampai gaya acuh tak acuhnya saat mendapat perhatian khusus dari cewek-cewek. Ivan memang good looking dan selalu menjadi perhatian cewek-cewek di manapun dia berada.

Setiap sehabis manggung, ada saja cewek-cewek yang meminta berkenalan. Bukan hanya satu atau dua, bahkan puluhan kali. Setiap kami melintas di mal atau pusat keramaian juga ada saja yang menggoda kami, menggoda Ivan maksud saya.

Tapi, Ivan juga pemberani. Pernah suatu malam, kami mendapat masalah di sebuah rumah biliar. Masalahnya sepele, seorang kawan yang setengah sadar memukulkan stik ke pengunjung lain lantaran kesal, sodokannya tak mengenai bola putih.

Tak lama kemudian datanglah teman-temannya lebih dari sepuluh orang, berniat menghakimi yang hanya bertiga. Pintuh rumah biliar itu mereka kunci. Mereka semua mengelilingi kami dengan wajah-wajah penuh amarah.

Tapi, Ivan santai saja. Dengan tenang, dia meladeni makian orang-orang kalap itu. Dia malah mendekat. Aku yang khawatir, seseorang dari mereka menyerang Ivan, terus mem-backup-nya dari belakang, dengan rasa waswas bercapur takut. Tapi, dengan diplomasi ala Ivan, masalah selesai. Kami bisa keluar dari rumah biliar itu tanpa terluka sedikit pun.

Ivan sosok yang supel. Pada era itu, bisa dibilang namanya begitu dikenal di kawasan Pondok Gede. Setiap orang yang ditemuinya, selalu disapanya dengan ramah. Dari tukang parkir, tukang rokok, tukang es, tukang becak, hingga preman-preman mal dan terminal.

Di rumahnya, ditemani kopi buatan Tante Lian dan rokok Marlboro merah kesukaan kami, sering kami bertiga dengan Nova ngobrol hingga pagi hari, usai latihan di studio. Kami membicarakan hal-hal konyol. Mulai masalah band kami, sampai cewek-cewek yang pernah dipacarinya.

Dia juga begitu tenang. Saat Nova berniat keluar dan bergabung dengan band lain yang lebih mapan, Ivan menanggapinya dengan santai. Padahal, ketika itu, kami dalam proses penyelesaian materi lagu, seperti yang diminta perusahaan rekaman tadi.

Ivan juga sama sekali tak iri, saat Nova kemudian berkibar dengan band No Limit dan muncul dengan album-album rekaman mereka. Hingga akhirnya kami harus merelakan INSTANT bubar, tepat di malam tahun baru 1997, usai menggung di sebuah acara New Year’s Eve. Meski ketika itu, sudah hadir gitaris baru, Yayan dan Andri Boyor, yang menggantikan Robert pada vokal.

“Kita bikin band lagi du,” ujarnya, ketika itu. Dengan tambahan dua manusia penuh tato, Randy dan Nicky, kami akhir membentuk band lagi. Tapi, berbeda dengan INSTANT, yang lebih sering memainkan musik-musik pop rock atau hard rock, bersama band baru ini, kami banyak memainkan musik-musik hard core, underground.

Awalnya, band ini dinamai “VIP”. Tapi, Ivan belakangan menggantinya dengan nama “021″ merujuk kode wilayah nomor telepon Jakarta. Belakangan band ini diteruskan oleh adik Ivan, Ives dengan nama “Kodusa” singkatan dari 021. Hingga saat ini, band ini masih eksis di belantara musik underground . TJ Ruth, yang terkenal melalui program televisi “Extravaganza” pernah menjadi vokalis band ini. Terakhir Kodusa digawangi Ives dan Lila (vokal), Lulu (gitar), Zack Alvaro (bass), dan Rala (drum).

Aku memang akhirnya harus melupakan mimpi menembus industri musik rekaman bersama Ivan. Setelah pertengahan 1998, aku tak lagi berkontak dengannya lantaran sibuk dengan band-bandku selanjutnya. Sempat juga menjadi home band IEC, sebuah lembaga kursus bahasa Inggris, dengan nama “The Owl”.

Ya, saat itu, aku benar-benar hilang kontak dengan Ivan, yang saat itu ku tahu semakin eksis dengan band barunya. Sampai suatu ketika, aku mendapat kabar bahwa Ivan sakit. “Dia menderita leukemia,” ujar Om Joni, lewat telepon.

Aku kaget. Dalam benakku terlintas hal-hal yang mengerikan. Hal-hal yang tak ingin aku alami, kehilangan Ivan. Sejak saat itu, aku mulai lagi menjalin kontak dengannya. Sesekali aku juga menyempatkan diri berkunjung ke rumahnya.

Tapi, Ivan tenang saja. Tak ada rasa ketakutan kutangkap dari pembawaannya ketika itu. Pernah, dengan sangat hati-hati, aku tanya perihal penyakitnya dan kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi. Tapi, dia menjawab dengan enteng,”Hidup-mati orang di tangan Tuhan.”

Aku pun merasa agak tenang. Aku menangkap semangat hidup yang tinggi dari kata-katanya, ketika itu. Sebab, konon, dengan semangat hidup yang tinggi, seorang yang divonis tak berumur panjang lantaran leukemia bisa lebih hidup lebih lama, atau bahkan mungkin sembuh sama sekali.

Tapi, suatu malam, tanggal 2 Desember 1999, datanglah berita yang tak ingin kudengar itu. Lewat telepon, Mona, pacar Ivan ketika itu, mengabarkan warta menyedihkan itu. “Ivan udah enggak ada du…,” ujar Mona, sesegukan di ujung telepon.

Akhirnya aku memang harus rela kehilangan salah seorang sahabat terbaik. Aku berdoa untuknya.

*Maaf jika tulisan ini terkesan seadanya. Ini bukan kisah nyata yang difiksikan, hanya saat ini, saya memang tengah sangat merindukan sahabat saya itu. Terima kasih telah berkenan membacanya.

Bekasi, 2 Agustus, 04.20 WIB

3 August 2010 | 21:26
Kompasiana

No comments:

Post a Comment