Tuesday, October 26, 2010

Transformasi Ala Mourinho

JOSE MOURINHO (foto:bbc.co.uk)
JOSE Mourinho telah berubah. Dia bukan lagi “si kancil” yang selalu malu-malu mencuri kemenangan, kemudian kabur untuk menyelamatkannya. Kini, pelatih asal Portugal itu telah menjadi “singa” yang buas, yang selalu siap menerkam lawan-lawannya.

Layaknya singa, dia tak tak pernah takut, apalagi malu menghadapi lawan. Semua musuh diserangnya secara membabi-buta, dicaplok, dicabik-cabik hingga luluh-lantak, dengan berondongan gol demi gol dari pasukannya.

Bersama Real Madrid, yang dia latih sejak 31 Mei lalu, Mourinho memang seperti telah bertransformasi. Kini, tak ada lagi orang yang berani menyebutnya sebagai pelatih pengusung taktik ultradefensif, seperti yang diperlihatkannya bersama tim-tim yang dia latih sebelumnya.

Di tangan Mourinho, 47 tahun, Madrid  tak kehilangan taji-tajinya. Pemain-pemain seperti Cristiano Ronaldo atau Gonzalo Higuain, yang  musim lalu mencetak  26 dan 27 gol di La Liga,  bersama pelatih Manuel Pellegrini, tetap tajam seperti biasanya.

Khusus untuk Ronaldo, bahkan ada catatan khusus. Jika musim lalu Pellegrini kerap memaksanya bermain sebagai penyerang murni demi mencetak banyak gol, musim ini Mourinho menempatkan Ronaldo di posisi idealnya, sebagai pemain sayap, yang lebih jauh dari gawang lawan.

Tapi begitu, Ronaldo toh tetap produktif. Di La Liga, kini dia telah mengoleksi sepuluh gol dari delapan laga. Mourinho pun tampaknya sudah bisa bermimpi bisa membuat Ronaldo kembali mencetak 42 gol seperti saat membela Manchester United di musim 2007/08.

Klub asal kawasan Cantabria, Racing Santander, menjadi tim terakhir yang dilahap Madrid. Minggu (24/10), tim asuhan Miguel Angel Portugal dihancurkan Mourinho dan pasukannya 6-1. Sebelumnya, Madrid bersama Mourinho juga menang besar saat  menekuk Espanyol (3-0), Depotivo La Coruna (6-1), dan Malaga (4-1).

Total, di delapan laga awal La Liga, “Los Merengues” telah menggelontorkan 22 gol ke gawang lawan, atau rata-rata 2,75 gol per pertandingan. Jumlah ini lebih baik dari torehan Madrid bersama Pellegrini, yang mencetak 21 gol di delapan laga awal musim lalu.

Bahkan, Madrid asuhan Mourinho jauh lebih produktif dibanding saat Madrid mencetak rekor gol terbanyak di La Liga, 107 gol, di musim 1989/90. Ketika itu, di bawah asuhan pelatih John Toshack, dalam delapan laga awal, Madrid hanya mencetak 16 gol.

***

Di lapangan, permainan “Los Merengues” juga sangat atraktif. Ronaldo dan kawan-kawan memang tak bermain sepeti seteru mereka Barcelona, yang sangat kuat dalam ball possession. Madrid lebih mengutamakan permainan cepat, dengan serangan yang langsung diarahkan ke pertahanan lawan.

Dengan formasi baku 4-2-3-1, Ronaldo dan Higuain, dengan bantuan Mesut Oezil serta Angel Di Maria  dari lini tengah, kerap menciptakan gelombang serangan dahsyat yang memporak-porandakan pertahanan lawan. Sementara di belakang mereka, duet Xabi Alonso dan Sami Khedira begitu perkasa jadi benteng pertama Madrid dari serangan lawan.

Memang, duo Alonso-Khedira belum bisa disamakan dengan duet holding midfielder legendaris Madrid, Claude Makelele dan Flavio Conceicao yang bersinar di awal tahun 1990-an. Namun, setidaknya, geliat Alonso-Khedira telah membuat kerja kuartet Segio Ramos, Ricardo Carvalho, Pepe, serta Marcelo, di barisan pertahan Madrid, jadi lebih ringan.

Imbasnya, jala gawang Iker Cassilas pun jadi jarang bergetar. Dengan hanya kebobolan empat gol, saat ini, Madrid juga berstatus sebagai tim dengan pertahanan terbaik.  Sekali lagi, strategi racikan Mourinho ini jelas jauh lebih baik jika dibandingkan dengan era Pellegrini, di mana gawang Madrid telah jebol enam kali di delapan laga awal.

Makan Korban
Hanya memang, tidak ada gading yang tak retak. Di bawah Mourinho, Madrid tetap berpotensi melahirkan “pasukan sakit hati” alias pemain-pemain yang merasa terpinggirkan. Ya, dengan gemilangnya permainan Ronaldo dan kawan-kawan, nama-nama seperti Sergio Canales, Pedro Leon, Fernando Gago, Lassana Diarra, Mahamadou Diarra, Esteban Granero, atau bahkan Karim Benzema, memang berpotensi jadi “camat” alias cadangan mati.

Pasalnya, pelatih bernama lengkap Jose Mario dos Santos Felix Mourinho ini memang dikenal sebagai pelatih yang punya filosofi “don’t change the winning team”. Tak heran, dari laga ke laga, pemain-pemain yang kita saksikan dalam line up Madrid, terus yang itu-itu saja.

Itu juga terjadi saat dia melatih Chelsea di era 2004-07. Nama-nama seperti John Terry, Ricardo Carvalho, Frank Lampard, ataupun Didier Drogba adalah sosok-sosok “The Untouchables”, seperti juga Ronaldo, Di Maria, ataupun Oezil, di Madrid saat ini.

Tapi, itulah Mourinho. Terlepas dari watak keras kepalanya-terutama soal pilihan strateginya-suami dari Tami, 39 tahun ini, tak bisa dimungkiri merupakan sosok pelatih genius. Dan, kini para Madridista tengah menunggu berapa banyak trofi apa yang bisa dipersembahkannya, di akhir musim nanti.

Tulisan ini dimuat di Harian TopSkor, 26 Oktober 2010

Friday, August 20, 2010

Teruslah Bernyanyi, Pak Tanto



Iwan Fals, The Asian Hero, Majalah TIME


UNTUK yang kesekian ribu kalinya aku merinding saat mendengar lantunan suaranya. Sumpah! Aku tak bohong. Suara dan syair-syair khasnya itu selalu terasa begitu sejuk di telinga dan hati ini.

Duduk sini nak, dekat pada bapak

Jangan kau ganggu, ibumu

Turunlah lekas dari pangkuannya

Engkau lelaki, kelak sendiri*

Ya, aku sedang bicara tentang Iwan Fals alias Virgiawan Listanto, atau Pak Tanto, nama akunnya di sebuah jejaring sosial yang tengah nge-tren belakangan ini. Salah seorang penyanyi besar negeri ini, yang memiliki begitu banyak pecinta, hingga melahirkan sebuah komunitas khusus.

Aku memang tumbuh dan besar diiringi lagu-lagu Iwan Fals. Rock n’ roll ala Led Zeppelin, glam rock-nya KISS, Posion, Skid Row, atau Guns N’ Roses, sampai dahsyatnya gempuran death metal/ grindcore milik Sepultura dan Napalm Death, atau  eksentriknya Nirvana  memang sempat merasuki telinga ini. Namun, tetap, tak  akan pernah bisa menggantikan sosok Iwan Fals di hatiku.

Aku juga jatuh cinta kepada kaset-kaset The Beatles milik ayahku. Mendengarkan lengkingan gitar Ritchie Blackmore bersama Deep Purple atau menggandrungi Rush, Iron Maiden, dan Halloween,  seperti rekan-rekan sebayaku. Namun, bagiku tetap, Pak Tanto, maksudku Iwan Fals-lah si nomor satu.

Pertama kali aku berkesempatan mengenal lagu-lagu Iwan Fals saat masih duduk di kelas 3 SD. Aku ingat sekali. Ketika itu, kami sekeluarga masih tinggal di bilangan Pisangan Lama, Jatinegara, Jakarta Timur. Secara tak sengaja aku kerap mendengarkan saat pamanku memutar lagu-lagu Iwan Fals album Opini, di kamarnya.

Namun, aku baru benar-benar berani mengklaim sebagai penggemar Iwan Fals, saat memasuki bangku sekolah menengah pertama. Lagu-lagu Iwan Fals makin akrab karena setelah itu selalu menjadi kawan setiaku belajar bergitar. Satu persatu kaset-kaset Iwan Fals kukoleksi, ketika itu.

Tak perlu lagi kubahas bagaimana lirik-lirik Iwan Fals, karena semua orang di negeri ini pasti sudah tahu bagaimana kritisnya suami dari Rosanna ini. Tak perlu juga kusebutkan berbagai penghargaan yang telah diterimanya, karena data-data tentang pria kelahiran 3 September 1961 ini telah begitu banyak bertebaran di dunia maya.

Yang jelas, dia begitu lugas mengupas segala masalah sosial. Lirik-lirik lagunya begitu dekat dengan kehidupan kita, tajam, dan-hebatnya-tak pernah terkesan menggurui.

Satu lagi yang membuatku makin gandrung, aku tak harus berubah menjadi melankolis atau sentimentil saat mendengarkan lagu-lagu cinta Iwan Fals. Kata-kata dalam liriknya begitu mengena, dalam, dan yang paling penting tidak cengeng.

Tapi, Iwan Fals juga manusia. Proses kreatifnya sempat terhenti pada pertengahan tahun 1990-an, usai putra pertamanya, Galang Rambu Anarki, meninggal dunia. Dia lebih suka “bertapa” di padepokannya di Leuwinanggung, Bogor, sebelum akhirnya kembali hadir dengan album “Suara Hati” di tahun 2002. Di album ini, di lagu “Hadapi Saja”, Iwan Fals, baru benar-benar terlihat telah ikhlas melepas kepergian sang putra.


Relakan yang terjadi takkan kembali

Ia sudah miliknya bukan milik kita lagi

Tak perlu menangis tak perlu bersedih

Tak perlu tak perlu sedu sedanmu

Hadapi saja**


Dan, album ini pula yang seperti menjadi kelahiran kembali seorang Iwan Fals di pelataran musik negeri ini. Namanya semakin berkibar. Dia pun mulai membuka diri dengan berkolaborasi dengan musisi-musisi baru-ketika itu- seperti Pongky “Jikustik”, Eross “So7″, Piyu “Padi”, sampai Ahmad Dani.

Iwan Fals memang tak akan pernah berhenti bernyanyi. Ya, selama hayat masih di kandung badan, dia akan terus melantunkan suara hatinya. Terakhir, di album Keseimbangan, Iwan Fals mengingatkan kita akan pentingnya menyelamatkan bumi ini dari efek rumah kaca.

Lewat nyanyian, Iwan Fals memang tak pernah lelah mengingatkan kita. Bagiku Iwan Fals alias Pak Tanto tak ubahnya seorang pahlawan yang selalu memberi inspirasi lewat lantunan syair-syairnya.

Teruslah bernyanyi, Pak Tanto.

21 Agustus 2010


 *Lagu “Nak“, album Sugali, 1984
**Lagu “Hadapi Saja“, album Hadapi saja, 2002



Pada 12-27 Agustus 2010, Iwan Fals menggelar konser ngabuburit dengan tajuk “Ramadan Goes to Campus” di 6 kampus, dengan misi penghijauan.


Saturday, August 14, 2010

Man City Berharap Mancini

ROBERTO MANCINI (foto: telegraph)
ROBERTO Mancini telah bersumpah untuk membawa tim asuhannya, Manchester City, menutup Liga Primer Inggris musim 2010/11 di posisi keempat.  Ya, pelatih asal Italia itu memang amat berambisi menggoyang kemapanan tim-tim berjulukan “The Big Four”: Manchester United (MU), Chelsea, Liverpool, Arsenal, yang sudah hampir satu dekade menguasai  altar empat besar Liga Primer, di luar musim lalu, saat Tottenham Hotspur menggantikan Liverpool.

Modal Mancini musim ini juga besar. Selain otak encernya sebagai pelatih, klubnya juga disokong dana yang sangat besar untuk sang pemilik,  Sheikh Monsour bin Zayed, untuk belanja pemain bintang. Terakhir, pembelian Mario Balotelli seharga 28 juta euro (sekitar Rp 320,7 miliar) dari Inter Milan, menggenapkan total 100 juta pound yang telah dikucurkan Man City di mercato musim panas ini.

Tak heran, banyak yang memprediksi Man City-seteru sekota MU- akan semakin kuat dengan kehadiran bintang-bintang seperti Balotelli, David Silva, Jerome Boateng, Yaya Toure, ataupun Aleksandar Kolarov.  Sebab, sebelumnya, mereka juga sudah memiliki pemain-pemain kelas satu, semodel Emmanuel Adebayor, Carlos Tevez, Gareth Barry, ataupun Kolo Toure.

Memang, “The Citizens” sempat mencatat hasil buruk di beberapa laga pramusim. Namun, kemenangan 2-0 atas Valencia di laga uji coba terakhir mereka, rasanya bisa jadi modal untuk benar-benar bangkit saat duel lawan Hotspur, petang ini.

Musim lalu, Man City sebenarnya nyaris saja mampu menembus empat besar. Sayang, di pekan-pekan terakhir, mereka gagal bersaing dengan Hotspur, yang sukses mengambil posisi tersebut. Sementara Man City harus puas hanya berada di posisi kelima dengan selisih tiga poin dari Hotspur.

Jadi, musim ini, saya kira memang merupakan kesempatan terbaik Mancini untuk membawa timnya menembus empat besar untuk pertama kalinya dalam 30 tahun belakangan. Sebab, terakhir kali Man City sukses masuk empat besar pada musim 1976/77. Mereka juga pernah jadi juara Liga Inggris di musim 1936/37 dan 1967/68.

Pasifnya klub-klub “The Big Four” di lantai bursa pemain juga sedikit memberi angin segar kepada Man City. Sebab, dengan begitu, dipastikan kekuatan keempat tim itu tak akan jauh berubah. Ini akan jadi keuntungan Mancini, karena dia kemungkinan besar sudah sangat hapal gaya dan pola permainan MU dan kawan-kawan.

Lihat saja, Chelsea, sang juara bertahan, bahkan hanya membeli  Yossi Benayoun dari Liverpool. Arsenal juga hanya mendatangkan dua pemain, penyerang Marouane Chamakh dan bek Laurent Koscielny . Hal sama juga dilakukan Liverpool yang hanya mendatangkan Christian Poulsen dan Joe Cole, plus Milan Jovanovic. Hanya MU, yang terlihat cukup serius membenahi kelemahan mereka.

Pelatih Alex Ferguson memboyong Chris Smalling dari Fulham untuk melapis lini pertahahan. Sementara untuk mempertajam barisan depan, Ferguson membeli Javier Hernandez dari Chivas Guadalajara (Meksiko) dan Tiago Manuel Dias Correia “Bebe” dari Vittoria Guimaraes (Portugal).

Pertanyaannya, apakah Mancini-yang pernah membawa Inter Milan tiga kali meraih scudetto-mampu mengangkat Man City sejajar dengan MU? Atau jangan-jangan, dia akan menyusul Sven-Goran Eriksson dan Mark Hughes, dua pelatih Man City sebelumnya yang ditendang lantaran gagal memuaskan ekspektasi sang pemilik?

Tuesday, August 3, 2010

Doa untuk Ivan

Instant formasi awal, (ki-ka), Andre Boyor, Nova, Santos,
Alm Ivan Wijaya, Edu Krisnadefa
ENTAH mengapa, malam ini aku kembali begitu merindukannya. Sudah lebih dari sebelas tahun berlalu, tapi aku belum juga bisa melupakannya. Ah, tidak, tidak aku tak mau melupakannya. Sampai kapan pun, kau akan selalu ada dalam ingatanku, kenanganku, Ivan Wijaya.

Seperti malam yang sudah-sudah, setiap aku merindukannya, pasti aku tak akan tidur hingga pagi menjelang. Kenangan-kenangan bersamanya, berkelebat-kelebat dalam ingatan ini, semakin membuat rasa kehilangan ini menjadi-jadi.

Pertama kali aku mengenal Ivan pada Oktober 1995, saat usiaku belum genap 21 tahun. Dia lebih muda dua tahun dari aku. Ketika itu, sepupuku bernama Erik, mengenalkanku kepadanya. “Saya… Ivan,” ujar dia, ketika itu sambil menjabat tanganku. Sangat santun, bertolak belakang dengan tongkrongannya, dengan rambut melebih bahu.

Sejak saat itu, setelah kemudian, Nova, Robert, dan Santos bergabung, mulailah kenangan-kenangan itu terangkai. Kami mendeklarasikan sebuah band bernama INSTANT, atas ide Nova, di rumah Ivan yang sederhana di Jalan Poncol, Pondok Gede. Aku memainkan bass, Ivan dan Nova pada gitar, Santos pada drum, dan Robert vokalisnya. Mimpi kami pun tinggi, menembus industri musik, alias punya album rekaman.

Bersama Ivan, banyak sekali kenangan kujalani. Mulai dari patungan untuk latihan di studio, kehabisan uang, bolak-balik Bandung-Jakarta dengan bus dalam semalam untuk keperluan rekaman, hingga manggung tak dibayar. Semuanya masih amat membekas di hati dan kepalaku.

Ivan, anak pertama dari lima bersaudara, sosok yang bersahaja, punya tenggang rasa yang tinggi kepada teman, dan tak pernah marah. Hal itu wajar, lantaran dia lahir dari keluarga yang sangat ramah, demokratis, dan toleran. Om Joni dan Tante Lian, mereka orangtua Ivan.

Ivan, yang ngetop dengan nama Bathox, punya watak keras. Dia tak suka sekolah. Dia memutuskan berhenti sekolah saat duduk di kelas 1 SMA. Dia hanya mau bermusik! Orangtuanya tak bisa berbuat banyak, selain mendukung keinginan yang memang sesuai dengan bakat anak mereka itu.

Itulah sebabnya, om Joni begitu mati-matian mendukung kami dalam bermusik. Dengan pendapatan seadanya, dia rela menyisihkan uang untuk kebutuhan kami bermusik. Termasuk untuk ongkos ke studio dan makan. Belakangan, upaya om Joni sempat mendapat titik terang, ketika master rekaman kami mendapat tanggapan dari sebuah perusahaan rekaman, meski akhirnya tak jadi kenyataan.

Banyak hal yang kuingat tentang Ivan. Dari gaya bicaranya, cara dia berjalan, sampai gaya acuh tak acuhnya saat mendapat perhatian khusus dari cewek-cewek. Ivan memang good looking dan selalu menjadi perhatian cewek-cewek di manapun dia berada.

Setiap sehabis manggung, ada saja cewek-cewek yang meminta berkenalan. Bukan hanya satu atau dua, bahkan puluhan kali. Setiap kami melintas di mal atau pusat keramaian juga ada saja yang menggoda kami, menggoda Ivan maksud saya.

Tapi, Ivan juga pemberani. Pernah suatu malam, kami mendapat masalah di sebuah rumah biliar. Masalahnya sepele, seorang kawan yang setengah sadar memukulkan stik ke pengunjung lain lantaran kesal, sodokannya tak mengenai bola putih.

Tak lama kemudian datanglah teman-temannya lebih dari sepuluh orang, berniat menghakimi yang hanya bertiga. Pintuh rumah biliar itu mereka kunci. Mereka semua mengelilingi kami dengan wajah-wajah penuh amarah.

Tapi, Ivan santai saja. Dengan tenang, dia meladeni makian orang-orang kalap itu. Dia malah mendekat. Aku yang khawatir, seseorang dari mereka menyerang Ivan, terus mem-backup-nya dari belakang, dengan rasa waswas bercapur takut. Tapi, dengan diplomasi ala Ivan, masalah selesai. Kami bisa keluar dari rumah biliar itu tanpa terluka sedikit pun.

Ivan sosok yang supel. Pada era itu, bisa dibilang namanya begitu dikenal di kawasan Pondok Gede. Setiap orang yang ditemuinya, selalu disapanya dengan ramah. Dari tukang parkir, tukang rokok, tukang es, tukang becak, hingga preman-preman mal dan terminal.

Di rumahnya, ditemani kopi buatan Tante Lian dan rokok Marlboro merah kesukaan kami, sering kami bertiga dengan Nova ngobrol hingga pagi hari, usai latihan di studio. Kami membicarakan hal-hal konyol. Mulai masalah band kami, sampai cewek-cewek yang pernah dipacarinya.

Dia juga begitu tenang. Saat Nova berniat keluar dan bergabung dengan band lain yang lebih mapan, Ivan menanggapinya dengan santai. Padahal, ketika itu, kami dalam proses penyelesaian materi lagu, seperti yang diminta perusahaan rekaman tadi.

Ivan juga sama sekali tak iri, saat Nova kemudian berkibar dengan band No Limit dan muncul dengan album-album rekaman mereka. Hingga akhirnya kami harus merelakan INSTANT bubar, tepat di malam tahun baru 1997, usai menggung di sebuah acara New Year’s Eve. Meski ketika itu, sudah hadir gitaris baru, Yayan dan Andri Boyor, yang menggantikan Robert pada vokal.

“Kita bikin band lagi du,” ujarnya, ketika itu. Dengan tambahan dua manusia penuh tato, Randy dan Nicky, kami akhir membentuk band lagi. Tapi, berbeda dengan INSTANT, yang lebih sering memainkan musik-musik pop rock atau hard rock, bersama band baru ini, kami banyak memainkan musik-musik hard core, underground.

Awalnya, band ini dinamai “VIP”. Tapi, Ivan belakangan menggantinya dengan nama “021″ merujuk kode wilayah nomor telepon Jakarta. Belakangan band ini diteruskan oleh adik Ivan, Ives dengan nama “Kodusa” singkatan dari 021. Hingga saat ini, band ini masih eksis di belantara musik underground . TJ Ruth, yang terkenal melalui program televisi “Extravaganza” pernah menjadi vokalis band ini. Terakhir Kodusa digawangi Ives dan Lila (vokal), Lulu (gitar), Zack Alvaro (bass), dan Rala (drum).

Aku memang akhirnya harus melupakan mimpi menembus industri musik rekaman bersama Ivan. Setelah pertengahan 1998, aku tak lagi berkontak dengannya lantaran sibuk dengan band-bandku selanjutnya. Sempat juga menjadi home band IEC, sebuah lembaga kursus bahasa Inggris, dengan nama “The Owl”.

Ya, saat itu, aku benar-benar hilang kontak dengan Ivan, yang saat itu ku tahu semakin eksis dengan band barunya. Sampai suatu ketika, aku mendapat kabar bahwa Ivan sakit. “Dia menderita leukemia,” ujar Om Joni, lewat telepon.

Aku kaget. Dalam benakku terlintas hal-hal yang mengerikan. Hal-hal yang tak ingin aku alami, kehilangan Ivan. Sejak saat itu, aku mulai lagi menjalin kontak dengannya. Sesekali aku juga menyempatkan diri berkunjung ke rumahnya.

Tapi, Ivan tenang saja. Tak ada rasa ketakutan kutangkap dari pembawaannya ketika itu. Pernah, dengan sangat hati-hati, aku tanya perihal penyakitnya dan kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi. Tapi, dia menjawab dengan enteng,”Hidup-mati orang di tangan Tuhan.”

Aku pun merasa agak tenang. Aku menangkap semangat hidup yang tinggi dari kata-katanya, ketika itu. Sebab, konon, dengan semangat hidup yang tinggi, seorang yang divonis tak berumur panjang lantaran leukemia bisa lebih hidup lebih lama, atau bahkan mungkin sembuh sama sekali.

Tapi, suatu malam, tanggal 2 Desember 1999, datanglah berita yang tak ingin kudengar itu. Lewat telepon, Mona, pacar Ivan ketika itu, mengabarkan warta menyedihkan itu. “Ivan udah enggak ada du…,” ujar Mona, sesegukan di ujung telepon.

Akhirnya aku memang harus rela kehilangan salah seorang sahabat terbaik. Aku berdoa untuknya.

*Maaf jika tulisan ini terkesan seadanya. Ini bukan kisah nyata yang difiksikan, hanya saat ini, saya memang tengah sangat merindukan sahabat saya itu. Terima kasih telah berkenan membacanya.

Bekasi, 2 Agustus, 04.20 WIB

3 August 2010 | 21:26
Kompasiana

Friday, June 25, 2010

Vuvuzela, Mengapa Harus Dilarang?

TRADISIONAL - Vuvuzela, alat musik tradisional Afsel (foto: wikipedia)
VUVUZELA masih jadi kontroversi. Alat tiup khas Afrika Selatan (Afsel) itu dituding banyak orang telah merusak makna khusus Piala Dunia kali ini. “Suaranya, gak jelas, mirip sekumpulan tawon,” ujar seorang kawan di komplek perumahan saya. “Kenikmatan menonton sepak bola jadi hilang. Ilfil.”

Dari lapangan sendiri, tak sedikit pemain yang merasa terganggu. Cristiano Ronaldo, bintang Portugal, adalah satu figur yang menolak kehadiran vuvuzela di dalam stadion. Kiper Denmark, Thomas Sorensen, yang gawangnya kebobolan dua gol saat lawan Belanda, juga menyatakan hal serupa.

Maka itu tak sedikit yang melontarkan wacana agar vuvuzela dilarang. Sayangnya, sejauh ini, Sepp Blatter, Presiden FIFA sendiri, menyebut pihaknya tak punya niat melarang vuvuzela masuk ke dalam stadion.

Alhasil, banyak penonton yang mencari cara agar terbebas dari gangguan suara bising vuvuzela. Salah satunya dengan menggunakan ear plugs, yang kini banyak dijual di depan stadion-stadion. Stasiun televisi BBC bahkan kabarnya berencana menghilangkan suara vuvuzela dalam setiap tayangan langsung pertandingan Piala Dunia.

Jika hanya seorang yang memainkannya, suara vuvuzela sebenarnya tak berbeda dengan bunyi trompet. Namun, jika seisi stadion membunyikan alat tiup dengan panjang sekitar satu meter itu, jelas suaranya akan sangat memekakkan.  Dan, dengan frekuensi yang konstan selama 90 menit, suara vuvuzela konon cukup untuk membuat orang menderita demam dan flu.

Namun, tak semua orang bisa meniup vuvuzela. Sebab, diperlukan trik khusus untuk membuat alat tiup dari plastik yang biasanya dijual seharga 14-30 Rand (sekitar Rp 16-34 ribu) itu berbunyi. Jika salah meniup, bukan tak mungkin Anda akan menderita cedera tenggorokan. Ini bukti, bahwa vuvuzela bukan alat tiup sembarangan.

Kontroversi vuvu zela sebenanya bukan hal baru. Saat berkesempatan meliput Piala Konfederasi 2009, di negara yang sama, saya juga sempat pusing lantaran seisi stadion membunyikan vuvuzela.

Saya ingat betul, dalam sebuah konferensi pers, pemain bintang Spanyol, Xabi Alonso, menyebut tidak suka mendengar suara vuvuzela. Seketika itu juga, mantan bintang Liverpool itu meminta agar vuvuzela dilarang masuk stadion.

Namun, apakah bijak kita melarang bangsa Afsel memainkan vuvuzela, yang sudah menjadi bagian budaya dan identitas mereka, di kampung mereka sendiri? Padahal, mereka tengah asyik berpesta, merayakan Piala Dunia yang untuk pertama kalinya digelar di Benua Afrika.

Di Afsel, vuvuzela memang sudah mendarah daging. Dulunya, alat tiup ini dibuat dari tanduk kudu, binatang sejenis rusa yang banyak berkembang biak di Afsel. Alat ini digunakan untuk memanggil warga masyarakat untuk bergabung dalam sebuah pertemuan.

Baru, pada era 1990-an, vuvuzela mulai identik dengan sepak bola. Saat pertandingan dua tim rival sekota di Johannesburg, Orlando Pirates lawan Kaiser Chiefs  berlangsung, semua pendukung kedua tim  membawa vuvuzela ke dalam stadion. Vuvuzela milik suporter Pirates berwarna kuning. Sedangkan suporter Chiefs membawa vuvuzela berwarna hitam-putih.

Pembakar Semangat
Orang Afsel sendiri marah jika vuvuzela dibilang menggangu jalannya pertandingan. Mereka mengklaim, suara berisik dari vuvuzela justru membakar semangat para pemain di lapangan.

“Kami memang bangsa yang berisik. Kami bangga akan hal itu,” ujar seorang suporter Afsel kepada saya, ketika itu. “Melarang vuvuzela sama saja dengan melarang kami  melestarikan budaya kami. Jika begitu, untuk apa menggelar Piala Konfederasi dan Piala Dunia di negeri kami.”

Ini juga sesuai dengan pernyataan Rick Mkhondo, Juru Bicara Panitia Lokal Piala Dunia 2010, beberapa waktu lalu.  “Vuvuzela adalah bagian dari budaya Afrika Selatan dalam merayakan Piala Dunia. Dan, sebagai tamu, tolong hormatilah budaya kami. Terimalah cara kami merayakan pesta (Piala Dunia) ini,” katanya.

Belakangan, pernyataan Mkhondo terbukti. Sebab, ternyata, tak hanya suporter tuan rumah Afsel yang meniupkan vuvuzela di dalam stadion. Pendukung dari negara-negara lain, seperti Belanda, Ghana, Spanyol, bahkan Jerman, sekalipun ikut meniupkan vuvuzela untuk mendukung tim kesayangan mereka.

Yang menarik, klub Inggris, Arsenal, bahkan telah mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya tak akan keberatan, jika musim depan, ada suporter mereka membawa vuvuzela ke dalam Stadion Emirates di laga Liga Primer. Jadi, kenapa vuvuzela harus  dilarang?*

Tulisan ini dimuat di Harian TopSkor Edisi Kamis, 24 Juni 2010