Monday, September 9, 2013

Cinta yang Tak Pernah Berakhir

RICADO KAKA (foto: favim)
“CINTA yang tak pernah berakhir….” Bukan, itu bukan sepenggal syair lagu milik Fatur yang sempat happening di tahun 1997-an. Melainkan  ungkapan penuh hasratMilanisti-tifosi AC Milan- saat menyambut kembalinya Ricardo Kaka, Senin, 2 September lalu. Ya, Kaka datang kembali untuk membela “I Rossoneri”, klub yang sempat diperkuatnya periode 2003-09, sebelum bergabung dengan klub Spanyol, Real Madrid, sejak 2009.

“Certi amori non finiscono mai” alias “ada cinta yang tak pernah berakhir” kata tifosiMilan. Kalimat itu mereka tuliskan di atas sebuah kue tart, lengkap dengan foto Kaka mengenakan seragam Milan, saat menyambut pemain asal Brasil itu di depan sekretariat Milan di Via Turatti 3. Mereka, Milanisti dan juga Fatur, berdendang soal cinta. Cinta yang tak mengenal lelah untuk selalu mencintai, cinta sejati. Mungkin juga yang paling hakiki.

Hanya bedanya, jika Fatur, mantan vokalis grup Java Jive itu agak skeptis dalam lagunya yang berjudul “Selalu untuk Selamanya” itu-lantaran masih meragukan cinta sang kekasih-Milanisti telah berani menjanjikan cinta sejati mereka kepada Kaka.

Bagi mereka, Milanisti, Kaka memang tetap sama. Sosok yang sempat sukses membawa Milan meraih kejayaan dengan memenangkan lima gelar bergengsi: Serie A 2003/04, Piala Super Italia, 2004, Liga Champions 2006/07, Piala Super Eropa 2007, dan Piala Dunia Klub 2007.

Kaka pun tak mau melewatkan momen penting ini. Dari balkon sekretariat Milan, dia menyempatkan diri menyapa pengagumnya. Mengibarkan kostum merah-hitam khas Milan, kemudian memakainya. “Aksi” Kaka pun mendapat aplaus meriahMilanisti.

Tak heran, Senin itu, Kaka seperti bernostalgia, mengenang tahun 2003 lalu, saat pertama kali diboyong “I Rossoneri” dari klub Brasil, Sao Paulo. “Saya seperti pulang ke rumah,” ujar pemain kelahiran Brasilia, Brasil, 22 April 1982 itu saat diwawancara La Gazzetta dello Sport.

Kaka memang boleh dibilang jadi salah satu primadona mercato musim panas ini, terutama di detik-detik terakhir. Bukan karena harganya, lantaran rekor itu menjadi milik Gareth Bale yang diboyong Madrid seharga 100 juta euro (sekitar Rp 1,4 triliun) dari Tottenham Hotspur. Melainkan karena pilihan Kaka untuk kembali ke Milan, setelah empat musim yang tak menyenangkan di Madrid.

Tapi, Kaka tak datang membawa luka dari Madrid. Kekecewaan yang dia rasakan karena seperti tak dibutuhkan di skuat “Los Galacticos” begitu saja sirna lantaran mendapat sambutan yang wah dari pendukungnya. Dan, sebagai bonusnya, Kaka mendapatkan kembali nomor punggung “22″. Nomor yang dulu dikenakannya selama membela Milan.

Itu tentu saja bisa jadi modal bagus bagi Kaka untuk kembali mengais kejayaan kariernya. Masa suram di Madrid, di mana dia lebih banyak menjadi cadangan-hanya tampil di 120 laga dalam empat musim, plus 29 gol-akan disulapnya kembali jadi kemilau, demi hasrat kembali membela Brasil di Piala Dunia 2014. Dan, tentu juga hasrat untuk membayar rasa cinta tifosi.  Sebab, di Milan tidak ada Jose Mourinho, tiada juga Cristiano Ronaldo.

Keuntungan Milan
Sementara bagi Milan, secara ekonomis saja sudah untung. Pasalnya, Kaka datang dengan cuma-cuma alias gratis. Bandingkan dengan harga hampir 70 juta euro yang harus dikeluarkan Madrid saat menjemput sang pemain dari Milan, tahun 2009. Sudah begitu, Kaka pun rela gajinya, yang 9 juta euro per musim di Madrid, dipangkas hingga 4 juta euro.

Sementara, dari sisi teknis, Milan tentu saja masih berharap tuah Kaka kembali ampuh. Kaka, kini memang telah berusia 31 tahun. Namun, soal skill dan pengalaman, pemain yang sukses mengantar Brasil juara dunia 2002 dan Piala Konfederasi 2005 dan 2009 ini tak perlu diragukan lagi.
Posisi trequartista alias penyerang lubang pun telah disiapkan pelatih Massimiliano Allegri untuknya. Posisi yang begitu dirindukan Kaka semasa mengenakan seragam Madrid.

Allegri juga bisa saja memodifikasi skema pasukannya menjadi 4-3-1-2 atau 4-3-2-1 demi mengakomodasi kehadiran Kaka yang juga bisa bermain sebagai playmakeratau fantasista.
Sebagai catatan, dengan dua skema ini pula, di bawah asuhan Carlo Ancelotti, pelatih Madrid-yang “merekomendasikannya” kembali ke Milan-Kaka mendapatkan musim terbaiknya bersama “I Rossoneri”, 2006/07, saat membawa “I Rossoneri”memenangkan Liga Champions, Piala Super Eropa, dan Piala Dunia Klub. Kaka sendiri di akhir musim,meraih penghargaan Ballon d’Or, Pemain Terbaik Eropa.

Di dua skema ini pula, Kaka menemukan masa kejayaan sepanjang kariernya. Dua musim setelah itu, Kaka juga berturut-turut menjadi pencetak gol terbanyak Milan dengan torehan 15 dan 16 gol di musim 2007/08 dan 2009. Torehan golnya melewati catatan penyerang-penyerang Milan ketika itu, seperti Alexandre Pato, Filippo Inzaghi, Alberto Gilardino, ataupun Ronaldinho sekalipun.

Tapi, yang paling penting, tentu saja motivasi yang dibawa Kaka ke Milan. Dia sendiri menyebut, Milan telah mengembalikan hasratnya untuk kembali menjadi yang terbaik di lapangan. Sebab, sebenarnya, Kaka sendiri juga sudah kadung jatuh cinta setengah mati kepada Milan.

Proses transfernya ke Madrid, di tahun 2009 itu, adalah kecelakaan, lantaran alasan ekonomis. “Sulit bagi kami menolak uang 70  juta euro dari Madrid, sementara kondisi finansial kami sedang buruk,” demikian diungkap Wakil Presiden Milan, Adriano Galliani, beberapa pekan setelah melepas Kaka ke Madrid.


Jadi, Kaka memang punya modal yang sangat kuat untuk membalas cinta tifosi. Cinta yang tak pernah berakhir….
Tulisan ini dimuat di Harian TopSkor edisi Sabtu-Minggu, 7-8 September 2013

Thursday, May 23, 2013

Tantangan Neymar

NYEMAR (foto:espn.go)
TEPATKAH keputusan Neymar bergabung dengan Barcelona dari Santos (Brasil)? Mengapa tidak ke Real Madrid, Manchester United, Manchester City, atau Chelsea? Bukankah klub-klub ini juga sangat berambisi mendatangkan penyerang muda berusia 21 tahun itu.

Ya, keputusan itu, bergabung dengan Barcelona, memang Neymar sendiri yang membuat. Manajemen Santos memang menyerahkan semuanya, ke mana dia akan bergabung. Ketika itu, pilihannya memang hanya dua: Barcelona atau Madrid.

Dan, dengan tekad bulat, pemain dengan nama lengkap Neymar da Silva Santos Junior ini memutuskan bergabung dengan Barcelona. Transfernya total mencapai 54 juta euro atau sekitar Rp 684 miliar. Kemarin, pemain dengan rambut nyentrik itu dijadwalkan menandatangani kontrak yang akan mengikatnya untuk lima tahun ke depan bersama Barcelona.

Sebenarnya, banyak yang mengernyitkan dahi dengan keputusan Neymar bergabung dengan Barcelona. Sebab, sejak awal, justru memang Madrid yang sangat berambisi memboyongnya. Presiden Madrid, Florentino Perez, dikabarkan sudah jatuh cinta kepada Neymar sejak tahun 2005, saat Neymar remaja berlatih di Valdebebas, pusat latihan Madrid.

Di luarnya, keberadaan Lionel Messi di Barcelona, membuat banyak orang ragu, kemampuan Neymar akan benar-benar tereksploitasi di Camp Nou. Atau, jangan-jangan, sinar Neymar akan redup lantaran gagal beradaptasi dengan permainan Barcelona, yang memang diplot untuk mengeksploitasi kelebihan Messi, yang sejauh ini terbukti efektif.

Fakta menuturkan, sejak menjulang performa Messi, lima atau enam musim terakhir, telah begitu banyak bintang-bintang yang justru meredup sinarnya saat bergabung dengan Barcelona. Mulai Thierry Henry, Zlatan Ibrahimovic, David Villa, Alexis, semuanya berada di bawah bayang-bayang Messi. Lebih parah, mereka tak bisa bermain di posisi asli mereka.

Lihat saja Henry, yang kembali bermain sebagai sayap, saat diboyong Barcelona. Memang, sebelumnya, dia akrab dengan posisi itu. Tapi, sejak bergabung dengan Arsenal sebelum ke Barcelona, Henry mendapat posisi baru sebagai penyerang.

Yang terakhir tentu saja Villa, yang harus rela bermain sebagai penyerang lubang, atau bahkan sayap murni. Tak heran, produktivitas golnya pun menurun tajam. Padahal, saat masih di Valencia, posisi Villa ada penyerang murni.

Pernah juga terjadi di awal musim 2009/10, pelatih Barcelona ketika itu, Josep Guardiola, merelakan penyerang andalan Samuel Eto’o, karena lebih kepincut memainkan skema demi mengakomodasi kehebatan Messi. Tak ada tempat untuk Eto’o.

Nah, bagaimana dengan Neymar? Dia sendiri mengaku sangat kepincut bermain untuk Barcelona. Mungkinkah  justru keberadaan Messi yang membuat Neymar sangat berambisi bergabung dengan Barcelona? Jika begitu, Neymar sepertinya harus siap-siap mental.


Jika Tito Vilanova, pelatih Barcelona, mengusung skema baru,dan memberikan ruang bagi Neymar, tentu itu sangat baik baginya. Namun, jika Vilanova ngotot mempertahankan skema yang ada, jelas Neymar harus benar-benar bekerja keras. Termasuk harus siap menjadi cadangan, jika perlu. Tapi, apa pun, ini akan jadi tantangan bagi Neymar. Bukankah dia menyebtu butuh tantangan baru, makanya memutuskan hengkang dari Santos.*

Thursday, May 9, 2013

Tak Ada yang Seperti Fergie

ALEX FERGUSON (foto: thesun)
MANCHESTER United (MU) adalah Alex Ferguson. Maka, saat Ferguson menyatakan pensiun, apakah MU masih akan mampu mempertahankan nama besarnya? Ya, tentu saja masih. Sebab, MU adalah MU. Tak ada pemain, atau pelatih seperti Ferguson, yang lebih besar daripada klub itu sendiri. Ferguson sendiri yang bilang begitu.

Namun, menyimak petualangan karier Ferguson di MU memang menarik. Sangat, sangat menarik, bahkan. Tambah menarik, karena setelah kurang-lebih 27 tahun pengabdiannya sebagai pelatih-manajer, tiba-tiba saja pria asal Skotlandia itu menyatakan pensiun dan beralih ke belakang meja sebagai direktur klub. Kini, posisinya digantikan David Moyes.

Kurun waktu 27 tahun mungkin memang tidak ada apa-apanya jika dibanding rekor pengabdian Fred Everiss yang mencapai 46 tahun di West Bromwich Albion. Namun, di era sepak bola modern—yang mungkin ditandai dengan bergabungnya Ferguson di MU, November 1986—durasi 27 tahun itu jelas sebuah “rekor”. Bahkan, mungkin saat ini orang sudah lupa siapa pelatih yang digantikan Fergie—panggilan Ferguson.

Di museum MU sendiri, nama Ferguson tercatat sebagai pelatih terlama yang menangani klub rival sekota Manchester City itu. Ferguson mematahkan rekor pelatih legendaris mereka sebelumnya, Matt Busby, 24 tahun, 1945-1969.

Dan, bagian yang paling menarik tentu saja saat kita mencermati bagaimana Ferguson membangun MU sejak pertama kali menginjakkan kaki di Old Trafford.  Bagaimana Ferguson mengubah MU menjadi sebuah klub “raksasa” yang begitu disegani di Inggris dan Eropa.

MU saat juara Liga Champions 1998/99 (foto:guradianlv)
Memang, Ferguson baru bisa membawa MU juara Liga Primer di musim ketujuhnya, 1992/93, didahului dengan gelar Piala FA dua tahun sebelumnya. Tapi, itu adalah gelar pertama MU setelah 26 tahun! Usai terakhir mereka jadi kampiun di era Sir Matt.

Artinya, ketika itu, Ferguson telah kembali sukses mengangkat mental juara MU, yang sempat jadi keropos usai ditinggal Sir Matt. Tak heran, setelah itu, muncullah “generasi baru” MU yang kemudian merajai sepak bola Inggris, dengan Ferguson sebagai konduktornya.

Hingga pensiun, Ferguson suskes membawa MU memenangkan total 38 gelar! Termasuk 13 dari total 20 gelar Liga Primer dan dua dari tiga gelar Liga Champions yang pernah dimenangkan MU. Rasanya memang sulit mencari orang seperti Ferguson, bahkan, mungkin memang tak ada.

Hebatnya, Ferguson tak hanya membangun MU dengan rekrutan-rekrutannya, sepeti Eric Cantona, Steve Bruce, Roy Keane, atau Paul Ince. Lebih dari itu, Ferguson membuat suporter bangga karena berhasil mengorbitkan pemain-pemain junior mereka. Maka itu, dikenallah “Class ‘92” atau “Fergie Babes”. Sebut saja Gary dan Phil Neville, Nicky Butt, Paul Scholes, Ryan Giggs, hingga David Beckham

Pemain-pemain ini pulalah yang menjadi tulang punggung MU saat meraih prestasi terbaiknya, treble winners di musim 1998/99. Ketika itu, MU memenangkan tiga gelar sekaligus: Liga Primer, Piala FA, dan Liga Champions.

Namun, Ferguson memang bukan sosok yang biasa saja. Tindak-tanduknya juga tak jarang kontroversial. Bukan rahasia lagi jika dia kerap perang kata-kata dengan  pelatih Arsenal, Arsene Wenger. Ferguson juga seperti mendapat musuh baru, saat Jose Mourinho menangani Chelsea di periode 2004-07.

Sementara di hadapan pemainnya, pria bergelar “Sir” ini juga kadang bisa menjadi “macan”.  Dan, menariknya, biasanya pemain yang sempat bermasalah dengan Ferguson, tak lama kemudian pergi meninggalkan Manchester United.

David Beckham, sempat jadi "anak emas" Ferguson
(foto:pinterest)
Beckham, misalnya. Sejak pernikahannya dengan penyanyi Victoria Adams tahun 1999, hubungannya dengan Ferguson memburuk. Padahal, sebelumnya, dia adalah “anak emas” Ferguson.

Yang paling terkenal adalah insiden tendangan sepatu Ferguson yang melukai pelipis Beckham di ruang ganti, usai MU kalah dari Arsenal di ajang Piala FA. Setelah itu, berturut-turut Jaap Stam, Ruud Van Nistelrooy, termasuk sang kapten Roy Keane, seperti mengikut jejak Beckham. Bermasalah dengan Ferguson, kemudian hengkang.

Namun begitu, “noda-noda” kecil itu toh sama sekali tak mengurangi wangi kinerja Ferguson. Bahkan, Beckham pun masih menyanjungnya sebagai ayah. Sementara oleh beberapa koleganya sesama pelatih, pria kelahiran Glasgow, Skotlandia, 31 Desember 1941 ini juga dikenal sebagai sosok yang ramah dan bersahabat. Ferguson kerap mengajak pelatih tim lawan MU minum wine usai pertandingan. Hmm.. rasanya memang tak ada yang seperti Fergie…. *



Era Baru MU Dimulai

YA, era baru Manchester United (MU) segera dimulai. Mundurnya Alex Ferguson dari kursi kepelatihan dipastikan akan membuat “Tim Setan Merah” menata ulang perjalanan mereka di Inggris atau Eropa.

Itu lantaran selama ini, MU begitu identik dengan Ferguson. Jelas identik, lantaran Ferguson-lah yang selama ini menjadi pelatih klub yang didirikan pada tahun 1878 itu dalam 27 tahun belakangan. Situasi yang tentu saja tak akan mudah bagi pelatih baru.

Tak cuma beban, lantaran sejauh ini, Ferguson menjadi pelatih tersukses di Inggris dengan torehan 38 trofinya. Sang pelatih baru juga harus bisa menciptakan “iklim baru”. Bahkan, bukan tak mungkin justru dia, sang pelatih baru yang harus beradaptasi dengan “iklim” yang selama ini telah dibentuk Fergie, panggilan Ferguson.

Inilah sesungguhnya perjuangan berat yang harus dilalui “Tim Setan Merah”. Keluar dari bayang-bayang Ferguson, dan melangkah dengan sang pelatih baru.

Untung, Ferguson meninggalkan “warisan” yang cukup, sehingga bisa dijadikan modal bagu MU untuk mengarungi petualangan baru. Skuat juara yang telah dibentuk Ferguson, jelas akan jadi modal bagus, bagi MU, meski tak lagi didampingi Ferguson.

Selain itu, karakter dan mental klub yang selama ini dibangun Ferguson tentu akan terus melekat, meski sang pelatih tak lagi bersama pasukan “Setan Merah”. Bayangkan, Ferguson berhasil membuat MU dari bukan tim apa-apa menjadi tim yang sangat disegani, bahkan di Eropa sekali pun.

Tentu saja berbeda membandingkan mental dan karakter pemain MU dengan klub lain di Liga Primer. Dan, di situlah, lagi-lagi Ferguson telah membuat klub yang bermarkas di Stadion Old Trafford ini berbeda.

Namun, MU rasanya tak perlu khawatir, karena Ferguson sebenarnya tak akan “pergi jauh”. Sebab, pria berusia 71 tahun itu dikabarkan telah menerima tawaran menjadi salah satu direktur klub pemegang rekor gelar Liga Primer (20 kali) itu.

Artinya, Ferguson masih akan mudah untuk terus memantau perkembangan MU dari dekat. Bukan tak mungkin memberikan saran di awal-awal pascalengsernya dia dari kursi kepelatihan.

Tapi, percayalah, klub sebesar MU pasti akan bisa melewati masa-masa transisi ini. Siapa pun pelatih yang akhirnya ditunjuk manajemen untuk menggantikan Ferguson, MU tetap akan berdiri tegak sebagai salah satu klub terbesar, di dunia.


Mungkin, mereka memang butuh waktu untuk mempertahankan, atau meningkatkan pamor mereka yang telah lama dirintis Ferguson. Tapi, bukan tak mungkin, kekuatan MU tak terganggu, lantaran karakter pemain dan klub telah terbentuk sedemikian rupa di era Ferguson. So…

Friday, May 3, 2013

Juve Memang Meyakinkan

JIKA tak ada aral melintang, Juventus akan memastikan scudetto ke-29 mereka, pekan ini. Ya, di pekan ke-35, mereka hanya membutuhkan hasil imbang saat menjamu Napoli di Juventus Stadium untuk memastikan diri sebagai kampiun Seri A 2012/13.

Sebab, dengan begitu, nilai Juventus akan menjadi 81, berselisih 12 dengan Napoli yang berada di posisi kedua. Memang, dengan sisa tiga pertandingan, Napoli masih bisa menyamakan nilai tersebut. Namun, Juventus tetap jadi juara lantaran mereka unggul head to head dari Napoli.

Dari dua pertamuan musim ini, Juventus menang 2-0 saat menjamu tim asuhan Walter Mazzarri itu di Juventus Stadium. Sementara, saat tandang ke San Paolo, kedua tim bermain imbang 1-1.

Tapi, kalau pun kalah dari Palermo, di pekan ini, Juventus rasanya hanya menunggu di tiga pekan terakhir untuk memastikan diri meraih scudetto back to back mereka. Dan, hal itu—jika kalah dari Palermo—rasanya tak akan membuat cacat torehan Juventus sepanjang musim ini.

Ya, sepanjang musim ini, Juventus memang tampil sangat meyakinkan. Konsisten permainan di lapangan, sejalan dengan hasil gemilang yang mereka torehkan. Memang, dari 34 pertandingan, mereka sempat kalah empat kali dan imbang lima kali. Namun, total 25 kemenangan yang mereka bukukan bisa dijadikan bukti betapa superior tim asuhan Antonio Conte ini.

Seperti musim lalu, musim ini, langkah Juventus tak bisa diimbangi tim-tim besar lainnya, seperti AC Milan, Internazionale, AS Roma, SS Lazio, Fiorentina, atau bahkan Napoli, yang belakangan mulai keteteran.

Sentuhan tangan dingin Conte, meski sempat terkena skors tak boleh menemani Claudio Marchisio begitu digdaya di hadapan lawan-lawan mereka. Tak salah jika menyebut, Juventus tengah memasuki era jaya mereka, setelah musim lalu mereka juga tampil gemilang di Seri A.

Ini tentu bisa jadi modal bagus bagi “I Bianconeri” untuk terus mengembangkan prestasi mereka, terutama di Eropa. Ya, tentu para tifosi sudah amat rindu tim kesayangannya ini bisa kembali Berjaya di Eropa, seperti terakhir kali mereka lakukan pada tahun 1996 saat memenangkan Liga Champions usai di final mengalahkan Ajax Amsterdam.

Ya, musim depan, rasanya tak berlebihan jika Juventus sudah mulai harus menetapkan target berjaya di Liga Champions. Capaian musim ini, di mana mereka mampu menembus perempat final, bisa dijadikan tolok ukur untuk mendapat prestasi lebih baik lagi, musim depan.


Ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi manajemen Juventus, terutama untuk mempertahankan skuat yang ada, plus penambahan satu dua pemain yang dirasa perlu. Tentu, mereka juga harus memastikan pelatih Conte tetap bertahan. Sebab,kabarnya sudah begitu banyak klub elite Eropa yang mengincar pelatih bermata biru itu.*