YA, mungkin itulah
pertanyaan yang langsung tersembul di benak kita usai bola-bola undian
menuntaskan drawing semifinal Liga Champions 2012/13 yang digelar di Nyon,
Swiss, tadi malam. Maksudnya, apakah laga final di Stadion Wembley, London,
Inggris, 25 Mei nanti akan menggelar laga dua finalis asal Jerman, atau
Spanyol?
Ya,
kemungkinan itu memang sangat besar. Ya, pasalnya, alih-laih menggelar all-German semifinal atau all-Spanish semifinal, hasil undian
justru “memisahkan” dua klub Spanyol dan Jerman.
Wakil utama
Spanyol, Real Madrid, juara Liga Champions sembilan kali akan menghadapi
Borussia Dortmund. Sementara rekan
senegara Madrid, Barcelona, yang musim lalu juga sukses menembus semifinal,
ditantang klub Jerman lainnya, Bayern Muenchen. Laga pertama akan digelar pada
23 dan 24 April. Sementara leg kedua dimainkan 30 April dan 1 Mei.
Jika begitu,
kita tentu bisa berharap “el clasico”
antara Madrid vs Barcelona yang kerap terjadi di La Liga atau Piala Raja bakal
jadi menu utama di Wembley nanti. Begitu juga dengan “der klassikier”, sebutan untuk duel Muenchen lawan Dortmund di
Jerman. Sama seperti Madrid vs Barcelona, laga Muenchen vs Dortmund juga punya
predikat “klasik”.
Dan, jika
terjadi, ini merupakan keempat kalinya, final Liga Champions mempertemukan dua
tim dari satu negara. Sebelumnya pernah terjadi pada tahun 2000 saat Madrid mengalahkan Vaelncia, 2003
saat AC Milan mengalahkan Juventus, dan serta 2008 ketika Manchester United
menekuk Chelsea.
Dari segi
kualitas, tentu saja dua laga ini tak perlu diragukan lagi. Kita semua kerap
jadi saksi betapa serunya pertandingan saat Barcelona berhadapan dengan Madrid.
Atau Muenchen berhadapan dengan Dortmund.
Namun,
dengan alasan “keadilan” banyak juga yang berharap laga final nanti bisa
memunculkan masing-masing wakil dari dua negara ini. Artinya, satu tim dari
Jerman, satu lagi dari Spanyol.
Tentu,
wajar-wajar saja harapan seperti itu mencuat. All-German final, all-Spanish final, Jerman vs Spanyol, apa pun, di
final nanti tentu akan menjadi sebuah tontotan yang menarik, seperti
sebagaimana biasanya laga final Liga Champions.
Yang patut
digaris bawahi adalah mencuatnya kembali kekuatan Jerman. Kita tentu tidak kaget jika
Barcelona atau Madrid kembali muncul di partai puncak. Tapi, dengan hadirnya
dua tim Jerman sekaligus di empat besar ajang yang nota bene merupakan paling
elite antarklub Eropa, tentu menjadi sebuah catatan tersendiri.
Muenchen
sendiri, terakhir kali jadi juara di ajang ini
pada 2000/01. Itu keempat kalinya bagi mereka. Sementara Dortmund baru sekali
jadi juara, musim 1996/97.
Hanya
memang, kiprah “Die Borussen” belakangan ini harus diakui sangat menarik
perhatian. Kiprah sang pelatih Juergen Klopp dan pasukannya bahkan telah
menyita perhatian dunia. Dua gelar Bundesliga secara berturut-turut menjadi
bukti bahwa mereka memang pantas masuk dalam jajaran elite Eropa.*
BRENDAN Rodgers tiba-tiba saja
menjadi penggemar fanatik Steven Gerrard. Saking fanatiknya, Rodgers, pelatih
Liverpool itu, mengklaim dirinya tak akan bisa melatih “The Reds”—julukan Liverpool— tanpa kehadiran Gerrard.
Rodgers
memang merasakan betul betapa klub asal Merseyside yang dilatihnya itu sangat
tergantung kepada sosok “Stevie G”. Bahkan, di usianya yang telah mendekati 33 tahun, Gerrard kata Rodgers,
masih memiliki stamina yang super-fit!
“Dengan kondisi seperti itu, Gerrard masih
bisa bermain selama yang dia suka. Mungkin lima atau enam tahun lagi,” ujar
Rodgers, yang sebelumnya melatih Swansea City. “Lihatlah Ryan Giggs (40 tahun)
atau Javier Zanetti (39 tahun) yang masih disebut-sebut sebagai pemain terbaik
di Eropa. Gerrard bisa seperti mereka.”
Kalimat-kalimat
sejuk Rodgers tentu bukan sekadar pujian bagi Gerrard, pemain yang telah 15
tahun membela Liverpool, sejak dari tim junior. Ada ketulusan, kejujuran dari hati
Rodgers yang paling dalam, yang mengakui betapa kemilau sosok Gerrard.
Performa
Gerrard musim ini memang luar biasa. Sebagai kapten—menggantikan Sami Hyypia
sejak 2003—kontribusi Gerrard juga sangat kental bagi Liverpool. Sebagai gelandang, Gerrard juga cukup tajam dengan
mencetak sepuluh gol plus sembilan assist.
Terakhir, dia mencetak gol penentu kemenangan 2-1 Liverpool atas Aston Villa,
akhir pekan lalu.
Nama
Gerrard, musim ini memang sempat seperti tak berkerlapan. Dia kalah menyala dibanding terangnya sinar pemain-pemain seperti
Robin Van Persie, Sergio Aguero, Michu, ataupun Gareth Bale. Bahkan, rekan
seklub Gerrard, Luis Suarez lebih sering dibicarakan lewat kontroversi dan gol-golnya.
Suarez saat ini masih menjadi pencetak gol terbanyak dengan 22 gol.
Sementara publik sepak bola “Negeri Pangeran Charles” juga lebih sering membicarakan persaingan dua Manchester: MU dan City, ketimbang klub Gerrard, yang
sudah pertengahan musim kehilangan kesempatan meraih gelar Liga Primer.
Tak Pernah Tenggelam
Namun,
sesungguhnya, Gerrard tak pernah tenggelam. Statistik pun tak berbohong. Di
Liga Primer, pria asli Liverpool itu tak sekalipun kehilangan menit bermain.
Gerrard tampil di seluruh 32 laga “The
Reds” dengan catatan menit bermain mencapai 2.880, sama dengan bek Aston
Villa, Matthew Lowton.
Gerrard
ibarat “the unsung hero” bagi
Liverpool. Tak terlalu mencolok, namun sangat terasa keberadaannya.Di lapangan, dia bisa bermain sebagai second striker, bek kanan, sayap kanan, centre mildfielder, atau holding mildfielder, posisi idealnya
saat ini. Gerrard juga tak pernah
keberatan “memanggul air”, melakukan pekerjaan “kotor” menjadi benteng pertama bagi serangan lawan. Apalagi
menghunjam gawang lawan lewat tendangan-tendangan kerasnya.
JUARA CHAMPIONS - Steven Gerrard saat membawa Liverpool
juara Liga Champions 2004/05 (foto:thisisanfield)
Dulu, di
masa kepelatihan Rafael Benitez—yang disebut-sebut sebagai musim terbaik
Liverpool di era modern, karena sukses jadi kampiun Liga Champions 2004/05—Gerrard
sering bermain sebagai second striker.
Dia bermain lebih dekat ke gawang lawan.
Maka itu,
pada 2008/09, dia bisa mencetak 16 gol dalam semusim Liga Primer, terbanyak
sepanjang kariernya. Ketika itu dia main sangat nyaman di belakang Fernando
Torres, karena Liverpool ketika itu memiliki Xabi Alonso yang berperan sebagai
“pengangkut air”.
Tapi, musim ini, Gerrard justru lebih sering memainkan
peran Alonso itu. Memang, oleh Rodgers, Gerrard tetap diberi kebebasan
berkreasi, termasuk eksekutor bola-bola mati. Namun, kerap kali, tanggung jawab
untuk menghentikan serangan lawan, untuk pertama kalinya, justru lebih banyak
diemban Gerrard. Tapi, hebatnya, Gerrard toh masih bisa mencetak sepuluh gol.
Bagi Liverpool, Gerrard memang anutan. Dan, dia tahu
betul itu. Apalagi, dengan “status”-nya sebagai scouser, alias orang asli
Liverpool. Maka itu, loyalitas dan pengabdian di lapangan menjadi nomor satu
bagi suami Alex Curran ini.
Memang, jika dibanding Paolo Maldini yang pernah 24 tahun
membela AC Milan, lima belas tahun milik Gerrard di Liverpool belumlah apa-apa.
Namun, selama bisa, Gerrard selalu
berusaha memberikan yang terbaik bagi Liverpool.
Dua gelar Piala FA, tiga Piala Liga, dua trofi Community
Shield, satu gelar Liga Champions, dan satu Piala UEFA plus dua gelar Piala
Super Eropa yang telah disumbangkan Gerrard, memang belum cukup untuk “The Reds”.
Gerrard tahu apa yang sangat didamba Liverpudlian. Sebuah
trofi yang terakhir kali mereka menangkan di musim 1989/90 untuk ke-18 kalinya,
saat Gerrard masih berusia sepuluh tahun. Trofi yang kini berganti nama, dari
The Football League menjadi Premier League alias Liga Primer. Pasti,
Gerrard sangat terpacu untuk
mewujudkannya. Namun, tentu, tidak musim ini. *
GFR - Mark Farner, Don Brewer, dan Mel Schacher /foto:longshotblues
RIBET! Begitulah kesan saya saat pertama kali mendengar musik
Grand Funk Railroad. Saat itu, saya masih duduk di bangku SMA, sekitar awal
tahun 1990-an. Ayah saya yang mengenalkan band asal Michigan, Amerika Serikat
(AS) itu, usai beliau mendengar lagu-lagu Nirvana. Ayah saya bilang, musik
Nirvana tak berbeda jauh dengan Grand Funk.
Saya sudah lupa lagu apa yang pertama kali saya dengar dari grup
yang awalnya digawangi oleh Mark Farner (gitar, vokal), Mel Schacher (bass),
dan Don Brewer (drum) itu. Yang jelas, kesan ribet itu saya tangkap dari
permainan sang pemain bass, yang menurut ukuran saya saat itu sangat njelimet.
Tapi, semakin sering mendengar lagu-lagu mereka, saya justru
merasa musik Grand Funk sebenarnya sederhana. Selain itu, kehadiran musik
Grand Funk di telinga saya telah semakin menambah wawasan, untuk seorang
remaja tanggung penggila rock n roll, seperti saya ketika itu.
Lantas, saya pun membandingkan musik Grand Funk dengan band-band
yang sudah akrab di telinga. Sebut saja Bon Jovi, Cinderella, Guns N’ Roses,
Whitesnake, Warrant, ataupun Poison.
Tentu saja tidak nyambung. Hanya, ada satu benang merah yang
menghubungkan mereka, rock n roll! Anehnya, saya jusru merasa musik-musik Grand
Funk lebih hidup, spontan, dan jujur karena dimainkan sepenuh hati dan perasaan
yang bebas.
Ya, sejak kemunculan mereka di awal tahun 1970, Grand Funk memang
sudah nyentrik dan fenomenal. Bayangkan, saat band-band rock ketika itu tampil
dengan teknik bermusik yang mumpuni, Grand Funk malah bermain semaunya.
Jelas tidak ada raungan gitar melengking khas Jimmy Page ataupun
Ritchie Blackmore, seperti pada lagu-lagu Led Zeppelin atau Deep Purple. Farner
justru asyik memainkan dengan gayanya sendiri.
Sangat sederhana. Di sebagian lagu, dia bahkan memainkan melodi
hanya dengan gitar elektriknya, tanpa sound efect! Juga
tak ada gebukan drum dengan rovel-rovel yang variatif ala mendiang John
Bonham di Led Zeppelin. Di Grand Funk, pukulan-pukulan Brewer, malah terdengar
serampangan, kasar.
Sebaliknya, mereka justru sangat mengandalkan permainan bass
Schacher. Gayanya memang atraktif, terus mengisi seluruh badan lagu. Bahkan,
jika Anda jeli, instrumen bass pasti selalu terdengar lebih dominan dibanding
gitar Farner. Bisa dibilang, Grand Funk sangat menggantungkan nyawa lagu mereka
kepada permainan Schacher.
Cover album Closer to Home (1970)
Tak percaya? Dengar saja lagu “Mean Mistreater”. Di
interlude, Scharcher bermain begitu liar. Atau di lagu lagu cover version dari
The Animals, “Inside Looking Out”yang sangat kental nuansa funky-nya.
Hal ini tak umum. Karena biasanya, suara gitar yang paling dominan dalam
lagu-lagu dengan genre hard rock atau heavy metal, ketika itu.
Tak heran, saat itu, banyak pengamat yang mengkritik musik Grand
Funk. Lagu-lagu mereka pun jadi jarang sekali dimainkan di radio-radio. Tapi,
Grand Funk tak peduli. Dan terbukti, lama-lama, pendengar mereka pun terbiasa
dengan gaya bermusik Farner dan kawan-kawan.
Album pertama mereka, On Time, yang dirilis pada
Agustus 1969 langsung mendapat tempat di hati pecinta rock. Album yang
menjagokan lagu “Are You Ready”, “Heartbreaker”, dan “Time
Machine” ini bahkan terjual mencapai 1 juta kopi! Grand Funk pun
mendapat piringan emas untuk album ini.
Begitu juga album kedua mereka, Grand Funk yang dirilis hanya
empat bulan kemudian. Seperti album pertama, album ini juga mendapat piringan
emas. Album yang menjagokan hits-hits seperti “Got This Thing On
The Move”, “In Need”, “Paranoid” serta “Inside Looking
Out” semakin menambah kuat eksistensi Grand Funk di belantara rock
dunia.
Namun, banyak yang menyebut, masa keemasan benar-benar diraih
Grand Funk saat merilis album ketiga, “Im Your Captain (Closer To
Home)”. Tak seperti dua album sebelumnya, album ini bahkan meraih dua
platinum! Tingkat penjualannya pun luar biasa. Ini juga terlepas dari upaya
Terry Knight, sang manajer berani memasang billboard besar di New York Times
Square untuk mempromosikan album ini.
Para penggemar Grand Funk pun makin menjamur. Konser-konser mereka
selalu dibanjiri penonton. Bisa dibilang, ketika itu Farner dan kawan-kawan
adalah rajanya panggung rock n roll. Mereka bahkan mampu memecahkan rekor
penonton konser The Beatles di Shea Stadium New York tahun 1965 (55.600
penonton) hanya dalam dalam 72 jam, saat menggelar konser di stadion yang sama,
tahun 1971.
Sementara lagu “Closer To Home” yang berdurasi
lebih dari 10 menit, merupakan andalan di album ini, hingga saat ini
disebut-sebut sebagai salah satu masterpiece Grand Funk.
Salah satu aksi GFR di panggung
Musik Grand Funk sendiri sangat “rame”. Dengan akar rock n roll
yang sangat kuat, mereka dengan seenaknya mencampurnya dengan jenis-jenis musik
lainnya. Bahkan, Grand Funk tak sungkan memainkan musik mereka dengan irama
disko. Dengar saja lagu “The Loco-Motion”, yang merupakan
cover version dari penyanyi legendaris R&B, Little Eva. Lagu ini juga
sempat popular saat dibawakan artis cantik Kylie Minouge. Sementara unsur blues
kental keluar dari melodi gitar Farner yang juga kerap memainkan piano dan harmonika.
Berubah
Banyak yang mengatakan musik Grand Funk, yang sempat menghapus
nama “Railroad”, banyak berubah setelah Craig Frost masuk sebagai pemain kibor
tetap pada tahun 1972. Namun, saya sendiri tak merasakan sejauh itu. Yang ada,
mendengarkan lagu-lagu GFR, saya tak peduli apakah di lagu itu Frost bermain
sebagaiadditional ataupun personel tetap.
Lirik-lirik lagu Grand Funk juga sederhana. Namun, sangat berisi.
Grand Funk juga dikenal hebat dalam membuat kiasan dalam syair-syair lagu
mereka. Tembang “Closer To Home”, contohnya. Secara harfiah, lagu
ini sebenarnya bercerita tentang seorang yang rindu akan rumah.
GFR plus Craig Frost (kedua dari kiri)/foto:lastfm
Namun, oleh banyak pihak, lagu ini diartikan sebagai rintihan
kerinduan para tentara AS yang bertugas di Vietnam akan kampung halaman mereka.
Tak heran, konon, banyak veteran perang Vietnam yang menitik air mata saat
mendengar lagu ini.
Bicara lagu favorit, banyak sekali yang saya suka dari Grand Funk.
Namun, salah satu lagu yang paling mengena di hati adalah “We’re an
American Band”. Bukan lantaran ini seperti menjadi lagu kebangsaan
Grand Funk.
Namun, di lagu ini, saya merasakan betul totalitas para personel
mereka. Dari permainan, musik, atau pun liriknya. Mungkin karena lagu ini
merupakan tuangan keresahan hati Farner dan kawan-kawan terhadap opini pengamat
musik dunia yang ketika itu dirasa meremehkan band-band rock asal AS.
Lagu ini juga menjadi menarik karena dinyanyikan langsung oleh
Brewer, sang pencipta. Bukan Farner seperti biasanya. Dibuka dengan intro
gebukan drum Brewer, lagu ini jadi begitu kuat ingin menonjolkan karakter Grand
Funk.
Dan, seperti biasa, meski lagu ini tak penuh dengan distorsi
gitar, nuansa rock tetap sangat kental terdengar. Lagu ini juga seperti cerita
perjalanan Grand Funk sebagai band rock AS.
Di lagu ini, mereka bercerita tentang “kegilaan” Grand Funk pada
masa tersebut. Dalam sebuah wawancara dengan VH1, Brewer menyebut,
dia menulis lagu tersebut berdasarkan pengalamannya menjalani tur konser selama
bersama Grand Funk.Termasuk hubungan mereka dengan para groupies.
Ya, di lagu ini, Brewer, terang-terangan menyebut nama Connie
Hamzy, dalam sepenggal lirik yang berbunyi, “Sweet Sweet Connie was
doing her act”. Connie Hamzy atau “Sweet Connie”, julukannya, ketika
itu memang dikenal sebagai “RatuGroupies” yang kerap memiliki affair
dengan para rock star, termasuk Brewer dan Schacher.
Nama-nama lain yang konon pernah menjadi “korban” Connie adalah
Alex dan Eddie Van Halen, David Lee Roth, Sammy Haggar (Van Halen), Gene
Simmons dan Paul Stanley (KISS), Gedde Lee (Rush), Willie Nelson, Neil
Diamond, Waylon Jennings, Buddy Rich, Don Henley, dan banyak lagi.
Logo GFR
Di Indonesia sendiri, ketika itu, nama Grand Funk sendiri
menjulang setinggi langit. Begitu banyak band-band local membawakan lagu dari
Farner dan kawan-kawan, termasuk God Bless dan AKA. Bahkan, nama Grand Funk
sendiri sempat diplesetkan menjadi granpang, sebutan untuk cewek-cewek enggak
bener.
Grand Funk sendiri sempat menyatakan diri bubar dua kali, pada tahun 1976 dan
1983. Namun, pada tahun 1996, tiga personel asli: Brewer, Schacher, dan Farmer
bereuni dan sempat menggelar beberapa konser yang seluruhnya sold out, termasuk
konser amal untuk Bosnia pada tahun 1997.
Namun, pada tahun 1999, Farner kembali menyatakan mundur dan
memutuskan untuk meneruskan solo kariernya. Setahun kemudian, Brewer dan
Schacher merekrut vokalis Max Carl dan pemain kibor Tim Cashion, serta mantan
gitaris KISS, Bruce Kulick, untuk menghidupkan kembali Grand Funk. Dan,
sepanjang tahun 2012 ini, mereka kembali disibukkan tur keliling AS, sejak
Januari lalu. Dimulai dari West Palm Beach, Florida, hingga berakhir di Primm,
Nevada, Oktober mendatang.
TERBAIK - Vixen formasi terbaik, dari kiri ke kanan: Roxy Petrucci (drum), Jan Kuehnemund (gitar), Janet Gardner (gitar/vokal), dan Share Pedersen (bass). (foto: bastetglasba.blogspot)
VIXEN….ah terbayang lagi goyang genit Janet Gardner, sang vokalis, raungan
gitar si cantik Jan Kuehnemund, serta gebukan drum lembut namun bertenaga milik
Roxy Petrucci. Ya, Vixen, grup heavy metal cewek asal Los Angeles, Amerika
Serikat (AS) ini memang sempat menjulang namanya di akhir tahun 1980-an.
Saya ingat betul, saat masih duduk di bangku SMP, pertama kali
menyaksikan aksi mereka lewat sebuah program musik di sebuah stasiun televisi
swasta, di akhir tahun 1980-an, bernama Rocket dengan host Jeffrey Woworuntu.
“Edge of a Broken Heart”itulah lagu pertama yang saya dengar dari grup yang juga dimotori Share
Pedersen, sebagai pemain bass ini. Lagunya asyik, gaya mereka pun menarik,
lantaran grup ini terdiri dari cewek-cewek berparas cantik.
Namun, tentu saja ini bukan soal tampang, apalagi goyangan. Sebab,
selain“Edge of a Broken
Heart”,Vixen juga
memilikihits-hitsyang membuat nama mereka pantas
disejajarkan dengan grup rock cewek yang terlebih dahulu terkenal, seperti
Hearts, Bangles, ataupun Warlock yang berasal dari Jerman.
Lagu“Edge of a Broken
Heart”memang
merupakan pintu gerbang mereka merambah pentas rock dunia. Lagu yang terdapat
di album debut mereka, Vixen di tahun 1989 ini, merupakan karya dari Richard
Marx. Namun, tentu tak hanya“Edge of a Broken
Heart”.Di album ini,
Vixen juga menghasilkan tembang-tembang berbobot lainya, seperi“Crying”dan“I Want You to Rock Me”.
Imbasnya, ketika itu, grup yang didirikan tahun 1980 dan sempat
bergonta-ganti personel sebelum album debut mereka ini mendapat kesempatan
tampil sepanggung dengan pentolan-pentolan heavy metal, seperti Ozzy Osbourne,
Bon Jovi, bahkan Scorpions. Singkat kata, Vixen sudah langsung mendapat nama
lewat debut album mereka.
Sebuah prestasi yang tak mudah, mengingat ketika itu, pada periode akhir
1980-an hingga awal 1990-an, aliran heavy metal, hair metal, glam metal,
ataupun apa pun namanya, tengah mendapat tempat istimewa di hati pecinta rock.
Sehingga, begitu banyak grup-grup bermunculan pada era tersebut.
DUO IKON - Janet Gardner (kiri) dan Jan Kuehnemund jadi dua ikon Vixen. (foto: bforoencastellano.runboard)
Memang betul, kualitas suara Janet tak sehebatJoan Jettatau
Ann Wilson (Hearts). Permainan gitar Jan ataupun gebukan Roxy mungkin tak ada
apa-apanya dibanding CC DeVille (Poison) atau Tommy Lee (Motley Crue). Namun, secara kualitas musik, album pertama
Vixen ini tetap layak mendapat tempat khusus.
Alur lagu mereka, harmonisasi vokal, serta isian-isian setiap instrument
membuat musik mereka begitu asyik didengar. Sementara napas rock jelas sekali
keluar dari raungan gitar Jan, yang sekilas miripLita Ford, mungkin karena sama-sama blonde.
Tak heran, album kedua mereka,Rev It Up(1990)
cukup mendapat tempat di kalanganmetal head.Dari album ini, dua lagu“How Much Love”dan“Love is a Killer”sempat jadihitsdan kerap diputar di MTV.
Hanya sayang, setahun setelah dirilisnya album ini, Vixen
menyatakan bubar. Konon, perbedaan dalam visi bermusik menjadi penyebab utama.
Masing-masing personel tak mau mengekang ego, sehingga sulit menyatukan
perbedaan di antara mereka.
Mungkin ini juga imbas dari semakin tingginya popularitas mereka.
Maklum, ketika itu, jam terbang Vixen juga sudah semakin tinggi.
“Teman-teman” mereka di setiap konser pun sudah merupakan band-band besar.
Sebut saja KISS ataupun Deep Purple.
Pada tahun 1997, Roxy kembali menghidupkan Vixen bersama Janet. Namun,
tak ada nama Jan dan Share, yang digantikan oleh Gina Stile dan Rana Ross.
Setahun kemudian mereka merilis album bertitelTangerine.
Formasi ini juga tak bertahan lama, karena memang “pasar” heavy metal
sudah sepi lantran tergerus tren alternatif rock yang dibawa musisi-musisi asal
Seattle. Vixen baru kembali bangkit pada tahun 2001, saat Jan kembali mengajak
Roxy dan Janet, plus pemain bass baru, Pat Holloway. Sementara Share telah
bergabung dengan band suaminya, Bam, The Dogs D’Armour.
TERKINI - Formasi Vixen terkini, tinggal menyisakan Jan (kanan) sebagai personel awal. (foto: vixenrock)
Sayang, dalam sebuah tur keliling AS deengan tajuk Voices of Metal, pada
sekitar tahun 2004, perpecahan kembali terjadi. Janet, Roxy, dan Pat memilih
hengkang, sementara Jan melanjutkan Vixen dengan menggamit Jenna Piccolo
(vokal), Lynn Louise (bass) dan Kat Kraft (drum). Formasi inilah yang berlanjut
hingga sekarang, setelah merilis album terakhir,Live and Learnpada
tahun 2006.
sumber: wikipedia, you tube, vixenrock,
bastetglasba.blogspot.com
Diskografi
1989 Vixen
1990 Rev It Up
1998 Tangerine
2006 Live and Learn
PENUTUPAN - Peserta UKW PWI JAYA, MUDA, MADYA, dan UTAMA, berfoto saat acara penutupan. (foto2: dok pribadi)
JUMAT,20 April, saya
mengirim pesan singkat senada kepada tak kurang dari 20 orang narasumber yang
mayoritas merupakan pelaku dan tokoh sepak bola Indonesia. Bunyi pesan-pesan
singkat itu hampir sama, saya meminta kepada mereka agar berkenan mengangkat
panggilan telepon dari saya pada Sabtu, 21 April.
Itu memang harus saya lakukan demi kelancaran keikutsertaan saya
dalam Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang digelar PWI Pusat untuk wilayah
DKI Jakarta (PWI Jaya), 20-21 April.
Ya, dalam UKW yang digelar di Gedung Sekretariat
PWI Jaya, di kawasan Harmoni, memang ada satu mata ujian bernama“Jejaring”.Di
sini, peserta diminta membuktikan kepada penguji kemampuannya dalam
“memelihara” hubungan baik dengan narasumber.
Dan,Alhamdullilah,
rata-rata narasumber memberi respons baik terhadap permintaan saya yang
setengah memaksa itu. Mulai dari Ketua Umum PSSI, Djohar Arifin, Rahmad
Darmawan (eks pelatih timnas), Jacksen F Tiago (pelatih Persipura), Jimmy
Napitupulu (eks wasit FIFA), Ferdinand Sinaga (pemain timnas/Semen Padang)
hingga Ketua Umum PSSI versi Ancol, La Nyalla Matalitti, yang menyatakan tak
keberatan. Begitu juga dengan Faisal Abdullah, Deputi Menpora Bidang Hukum.
Bahkan, Justinus Laksana, Wakil Ketua Umum Badan Futsal Nasional, menyatakan
siap, meski tengah berada di Bangkok, Thailand, mendampingi timnas futsal, yang
tengah mengikuti ajang Piala AFF.
DISKUSI - Peserta UKW PWI - UTAMA berdiskusi dengan penguji, Kristanto Hartadi (kedua dari kanan).
Namun, tentu bukan hanya “Jejaring” mata ujian yang harus kami lalui. Masih ada mata
ujian“Rapat Redaksi”, “Mengevaluasi Rencana Liputan”,
“Menentukan Bahan Layak Siar”, “Mengarahkan Liputan Investigasi”, “Menulis
Tajuk Rencana”,dan“Kebijakan
Rubrikasi”yang
tak kalah bikin pusing.
Memang, selintas mata-mata ujian ini tampaknya tak akan sulit, lantaran
kami, para peserta, telah mengaplikasikannya dalam pekerjaan sehari-hari di
media masing-masing. Namun, dalam situasi ujian, di mana setiap mata
ujian harus dilakukan dengan waktu yang supersingkat, segalanya menjadi
berbeda.
Bayangkan, Anda diharuskan membuat tajuk rencana yang isinya tentang
sikap dan pandangan media kita, terhadap sebuah isu yang tengah hangat, hanya
dalam 30 menit! Lalu, Anda diminta membuat dan merencanakan liputan investigasi
untuk reporter, lengkap dengan metode investigasi, tenggat waktu, jumlah
reporter, anggaran, juga hanya dalam 30 menit! Ya, semuanya serba 30 menit!
Bagi saya, situasi bertambah sulit, lantaran datang dari latar belakang
media olahraga, khususnya sepak bola. Sementara, materi-materi ujian, semuanya
menyangkut berita-berita konten harian umum. Mulai politik, sosial, ekonomi,
budaya, hingga hukum. Bisakebayang dong,
betapa galaunya saya.
Beruntung, saya mendapat penguji yang sangat kooperatif. Kristanto
Hartadi, mantan Pemimpin Redaksi Sinar Harapan dan Andi Usman, mantan wartawan
otomotif andal, sangat membantu kami dalam melalui UKW PWI yang didahului
Safari Jurnalistik PWI (19/4) ini. Mereka tak sekadar memberikan soal, menilai,
dan mengumumkannya kepada kami.
Lebih dari itu, Pak Kris, begitu kami memanggil Kristanto, memberikan
ilmu jurnalistik yang sangat luar biasa berguna bagi kami. Begitu juga dengan
Pak Andi yang tak bosan membagi pengalamannya. Dari mulut pria yang masih
lincah meski telah berusia lebih dari 70 tahun ini, juga, saya jadi tahu
perumus“5W,
1H”konsep keramat
dalam jurnalistik.
PENGUMUMAN - Panitia saat mengumumkan hasil UKW PWI JAYA, saat penutupan acara.
Dialah Joseph Rudyard Kipling, seorang penulis asal Inggris pemenang
Nobel Kesusasteraan 1907. Pak Andi bercerita, Kipling merumuskan konsep“5W, 1H”di
tahun 1940-an, lantaran kesal, karena banyak berita di radio yang ditayangkan
secara serampangan. Dia berharap“5W, 1H”bisa
membuat berita-berita jadi lebih terarah.
Selain Pak Kris dan Pak Andi, rekan-rekan sesama peserta UKW yang dibukaHendry Ch Bangun,
Sekjen PWI Pusat, yang juga seorang Kompasianers ini, juga sangat membantu.
Kekompakan, tak hanya dalam kelompok, melainkan juga secara keseluruhan,
membuat UKW PWI ini menjadi lebih mudah dilalui.
UKW PWI ini sendiri dibagi ke dalam tiga jenjang kompetensi:MUDAuntuk
wartawan pemula (reporter),MADYAuntuk redaktur, danUTAMAuntuk
level pimpinan redaksi, seperti redaktur pelaksana, wakil pemimpin redaksi, dan
pemimpin redaksi. Saya sendiri, bersama 17 orang lainnya, tergabung dalam
jenjang UTAMA. Rekan KompasianerNoer Alim Harvaimajuga tergabung dalam jenjang ini.
Usai mengikuti ujian, saya jadi punya kesan yang sangat mendalam
terhadap UKW yang seluruh mata ujiannya harus berlandaskan Kode Etik
Jurnalistik ini. Bukan cuma sebagai ajang “verifikasi” bagi wartawan
profesional, melainkan juga penambah wawasan bagi para wartawan. Pantaslah,
jika UKW ini dimaksudkan di antaranya untuk meningkatkan kualitas dan
profesionalisme serta menjaga harkat dan martabat wartawan sebagai penghasil
karya intelektual.
Sayang, dalam acara penutupan, panitia mengumumkan ada empat orang dari
44 peserta yang dinyatakan belum kompeten. Kepada mereka, diberikan kesempatan
banding, atau mengulang mengikuti ujian enam bulan ke depan.
Namun, dengan kerja keras PWI Pusat dan dukungan pengurus cabang, bukan
mustahil wartawan-wartawan berkompeten akan terus bertambah di negeri ini
seperti diisyaratkan Peraturan Dewan Pers No. 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang
Standar Kompetensi Wartawan.
Lagipula, bukankah angka 1.131 saat ini, seperti
disebutkan dalam tulisan Bang Hendry, sudah merupakan jumlah yang luar bisa
mengingat UKW PWI ini baru dimulai tahun lalu.
Terima kasih telah membaca, semoga bermanfaat
Salam Rock N’ Roll!
Kode Etik Jurnalistik
Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen,
menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang
profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi,
memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang
menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong,
fitnah, sadis, dan cabul.
Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan
identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang
menjadi pelaku kejahatan.
Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi
dan tidak menerima suap.
Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk
melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun
keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off
the record” sesuai dengan kesepakatan.
Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan
berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar
perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak
merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber
tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan
memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf
kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak
koreksi secara proporsional.