GFR - Mark Farner, Don Brewer, dan Mel Schacher /foto:longshotblues |
RIBET! Begitulah kesan saya saat pertama kali mendengar musik
Grand Funk Railroad. Saat itu, saya masih duduk di bangku SMA, sekitar awal
tahun 1990-an. Ayah saya yang mengenalkan band asal Michigan, Amerika Serikat
(AS) itu, usai beliau mendengar lagu-lagu Nirvana. Ayah saya bilang, musik
Nirvana tak berbeda jauh dengan Grand Funk.
Saya sudah lupa lagu apa yang pertama kali saya dengar dari grup
yang awalnya digawangi oleh Mark Farner (gitar, vokal), Mel Schacher (bass),
dan Don Brewer (drum) itu. Yang jelas, kesan ribet itu saya tangkap dari
permainan sang pemain bass, yang menurut ukuran saya saat itu sangat njelimet.
Tapi, semakin sering mendengar lagu-lagu mereka, saya justru
merasa musik Grand Funk sebenarnya sederhana. Selain itu, kehadiran musik
Grand Funk di telinga saya telah semakin menambah wawasan, untuk seorang
remaja tanggung penggila rock n roll, seperti saya ketika itu.
Lantas, saya pun membandingkan musik Grand Funk dengan band-band
yang sudah akrab di telinga. Sebut saja Bon Jovi, Cinderella, Guns N’ Roses,
Whitesnake, Warrant, ataupun Poison.
Tentu saja tidak nyambung. Hanya, ada satu benang merah yang
menghubungkan mereka, rock n roll! Anehnya, saya jusru merasa musik-musik Grand
Funk lebih hidup, spontan, dan jujur karena dimainkan sepenuh hati dan perasaan
yang bebas.
Ya, sejak kemunculan mereka di awal tahun 1970, Grand Funk memang
sudah nyentrik dan fenomenal. Bayangkan, saat band-band rock ketika itu tampil
dengan teknik bermusik yang mumpuni, Grand Funk malah bermain semaunya.
Jelas tidak ada raungan gitar melengking khas Jimmy Page ataupun
Ritchie Blackmore, seperti pada lagu-lagu Led Zeppelin atau Deep Purple. Farner
justru asyik memainkan dengan gayanya sendiri.
Sangat sederhana. Di sebagian lagu, dia bahkan memainkan melodi
hanya dengan gitar elektriknya, tanpa sound efect! Juga
tak ada gebukan drum dengan rovel-rovel yang variatif ala mendiang John
Bonham di Led Zeppelin. Di Grand Funk, pukulan-pukulan Brewer, malah terdengar
serampangan, kasar.
Sebaliknya, mereka justru sangat mengandalkan permainan bass
Schacher. Gayanya memang atraktif, terus mengisi seluruh badan lagu. Bahkan,
jika Anda jeli, instrumen bass pasti selalu terdengar lebih dominan dibanding
gitar Farner. Bisa dibilang, Grand Funk sangat menggantungkan nyawa lagu mereka
kepada permainan Schacher.
Cover album Closer to Home (1970) |
Tak percaya? Dengar saja lagu “Mean Mistreater”. Di
interlude, Scharcher bermain begitu liar. Atau di lagu lagu cover version dari
The Animals, “Inside Looking Out”yang sangat kental nuansa funky-nya.
Hal ini tak umum. Karena biasanya, suara gitar yang paling dominan dalam
lagu-lagu dengan genre hard rock atau heavy metal, ketika itu.
Tak heran, saat itu, banyak pengamat yang mengkritik musik Grand
Funk. Lagu-lagu mereka pun jadi jarang sekali dimainkan di radio-radio. Tapi,
Grand Funk tak peduli. Dan terbukti, lama-lama, pendengar mereka pun terbiasa
dengan gaya bermusik Farner dan kawan-kawan.
Album pertama mereka, On Time, yang dirilis pada
Agustus 1969 langsung mendapat tempat di hati pecinta rock. Album yang
menjagokan lagu “Are You Ready”, “Heartbreaker”, dan “Time
Machine” ini bahkan terjual mencapai 1 juta kopi! Grand Funk pun
mendapat piringan emas untuk album ini.
Begitu juga album kedua mereka, Grand Funk yang dirilis hanya
empat bulan kemudian. Seperti album pertama, album ini juga mendapat piringan
emas. Album yang menjagokan hits-hits seperti “Got This Thing On
The Move”, “In Need”, “Paranoid” serta “Inside Looking
Out” semakin menambah kuat eksistensi Grand Funk di belantara rock
dunia.
Namun, banyak yang menyebut, masa keemasan benar-benar diraih
Grand Funk saat merilis album ketiga, “Im Your Captain (Closer To
Home)”. Tak seperti dua album sebelumnya, album ini bahkan meraih dua
platinum! Tingkat penjualannya pun luar biasa. Ini juga terlepas dari upaya
Terry Knight, sang manajer berani memasang billboard besar di New York Times
Square untuk mempromosikan album ini.
Para penggemar Grand Funk pun makin menjamur. Konser-konser mereka
selalu dibanjiri penonton. Bisa dibilang, ketika itu Farner dan kawan-kawan
adalah rajanya panggung rock n roll. Mereka bahkan mampu memecahkan rekor
penonton konser The Beatles di Shea Stadium New York tahun 1965 (55.600
penonton) hanya dalam dalam 72 jam, saat menggelar konser di stadion yang sama,
tahun 1971.
Sementara lagu “Closer To Home” yang berdurasi
lebih dari 10 menit, merupakan andalan di album ini, hingga saat ini
disebut-sebut sebagai salah satu masterpiece Grand Funk.
Salah satu aksi GFR di panggung |
Musik Grand Funk sendiri sangat “rame”. Dengan akar rock n roll
yang sangat kuat, mereka dengan seenaknya mencampurnya dengan jenis-jenis musik
lainnya. Bahkan, Grand Funk tak sungkan memainkan musik mereka dengan irama
disko. Dengar saja lagu “The Loco-Motion”, yang merupakan
cover version dari penyanyi legendaris R&B, Little Eva. Lagu ini juga
sempat popular saat dibawakan artis cantik Kylie Minouge. Sementara unsur blues
kental keluar dari melodi gitar Farner yang juga kerap memainkan piano dan harmonika.
Berubah
Banyak yang mengatakan musik Grand Funk, yang sempat menghapus
nama “Railroad”, banyak berubah setelah Craig Frost masuk sebagai pemain kibor
tetap pada tahun 1972. Namun, saya sendiri tak merasakan sejauh itu. Yang ada,
mendengarkan lagu-lagu GFR, saya tak peduli apakah di lagu itu Frost bermain
sebagaiadditional ataupun personel tetap.
Lirik-lirik lagu Grand Funk juga sederhana. Namun, sangat berisi.
Grand Funk juga dikenal hebat dalam membuat kiasan dalam syair-syair lagu
mereka. Tembang “Closer To Home”, contohnya. Secara harfiah, lagu
ini sebenarnya bercerita tentang seorang yang rindu akan rumah.
GFR plus Craig Frost (kedua dari kiri)/foto:lastfm |
Namun, oleh banyak pihak, lagu ini diartikan sebagai rintihan
kerinduan para tentara AS yang bertugas di Vietnam akan kampung halaman mereka.
Tak heran, konon, banyak veteran perang Vietnam yang menitik air mata saat
mendengar lagu ini.
Bicara lagu favorit, banyak sekali yang saya suka dari Grand Funk.
Namun, salah satu lagu yang paling mengena di hati adalah “We’re an
American Band”. Bukan lantaran ini seperti menjadi lagu kebangsaan
Grand Funk.
Namun, di lagu ini, saya merasakan betul totalitas para personel
mereka. Dari permainan, musik, atau pun liriknya. Mungkin karena lagu ini
merupakan tuangan keresahan hati Farner dan kawan-kawan terhadap opini pengamat
musik dunia yang ketika itu dirasa meremehkan band-band rock asal AS.
Lagu ini juga menjadi menarik karena dinyanyikan langsung oleh
Brewer, sang pencipta. Bukan Farner seperti biasanya. Dibuka dengan intro
gebukan drum Brewer, lagu ini jadi begitu kuat ingin menonjolkan karakter Grand
Funk.
Dan, seperti biasa, meski lagu ini tak penuh dengan distorsi
gitar, nuansa rock tetap sangat kental terdengar. Lagu ini juga seperti cerita
perjalanan Grand Funk sebagai band rock AS.
Di lagu ini, mereka bercerita tentang “kegilaan” Grand Funk pada
masa tersebut. Dalam sebuah wawancara dengan VH1, Brewer menyebut,
dia menulis lagu tersebut berdasarkan pengalamannya menjalani tur konser selama
bersama Grand Funk.Termasuk hubungan mereka dengan para groupies.
Ya, di lagu ini, Brewer, terang-terangan menyebut nama Connie
Hamzy, dalam sepenggal lirik yang berbunyi, “Sweet Sweet Connie was
doing her act”. Connie Hamzy atau “Sweet Connie”, julukannya, ketika
itu memang dikenal sebagai “RatuGroupies” yang kerap memiliki affair
dengan para rock star, termasuk Brewer dan Schacher.
Nama-nama lain yang konon pernah menjadi “korban” Connie adalah
Alex dan Eddie Van Halen, David Lee Roth, Sammy Haggar (Van Halen), Gene
Simmons dan Paul Stanley (KISS), Gedde Lee (Rush), Willie Nelson, Neil
Diamond, Waylon Jennings, Buddy Rich, Don Henley, dan banyak lagi.
Logo GFR |
Di Indonesia sendiri, ketika itu, nama Grand Funk sendiri
menjulang setinggi langit. Begitu banyak band-band local membawakan lagu dari
Farner dan kawan-kawan, termasuk God Bless dan AKA. Bahkan, nama Grand Funk
sendiri sempat diplesetkan menjadi granpang, sebutan untuk cewek-cewek enggak
bener.
Grand Funk sendiri sempat menyatakan diri bubar dua kali, pada tahun 1976 dan 1983. Namun, pada tahun 1996, tiga personel asli: Brewer, Schacher, dan Farmer bereuni dan sempat menggelar beberapa konser yang seluruhnya sold out, termasuk konser amal untuk Bosnia pada tahun 1997.
Grand Funk sendiri sempat menyatakan diri bubar dua kali, pada tahun 1976 dan 1983. Namun, pada tahun 1996, tiga personel asli: Brewer, Schacher, dan Farmer bereuni dan sempat menggelar beberapa konser yang seluruhnya sold out, termasuk konser amal untuk Bosnia pada tahun 1997.
Namun, pada tahun 1999, Farner kembali menyatakan mundur dan
memutuskan untuk meneruskan solo kariernya. Setahun kemudian, Brewer dan
Schacher merekrut vokalis Max Carl dan pemain kibor Tim Cashion, serta mantan
gitaris KISS, Bruce Kulick, untuk menghidupkan kembali Grand Funk. Dan,
sepanjang tahun 2012 ini, mereka kembali disibukkan tur keliling AS, sejak
Januari lalu. Dimulai dari West Palm Beach, Florida, hingga berakhir di Primm,
Nevada, Oktober mendatang.
Diskografi Grand Funk
1969 On Time
1969 Grand Funk
1970 Closer To Home
1971 Survival
1971 E Pluribus Funk
1972 Phoenix
1973 We’re an American Band
1974 Shinin’ On
1974 All the Girls in the World Beware!!!
1976 Born To Die
1976 Good Singin’, Good Playin’
1981 Grand Funk Lives
1983 What’s Funk?
Saya generasi tahun 50an, sangat mengidolakan Grand Funk Railroad (GFR), selain band2 rock Inggris seperti LZ, BS, DP, UH, ELP, JT, RS yg sangat berpengaruh saat itu. Bedanya GFR yg cuma bertiga bisa membuat telinga menari, dan pekak telinga.cuma saya mengoleksi album2 GFR sampai keluaran th 1974 Shinin on.. setelah itu kurang mengena selera musiknya ditelingaku. Sampai sekarang masih aktif dengerin lagu2 GFR, rasanya tak tergantikan.Band rock Indonesia yg suka bawakan lagu2 GFR adalah band AKA Surabaya pimp Ucok Harahap, seperti lagu Are you ready, Paranoid, Someone..
ReplyDelete