PENUTUPAN - Peserta UKW PWI JAYA, MUDA, MADYA, dan UTAMA, berfoto saat acara penutupan. (foto2: dok pribadi) |
JUMAT, 20 April, saya
mengirim pesan singkat senada kepada tak kurang dari 20 orang narasumber yang
mayoritas merupakan pelaku dan tokoh sepak bola Indonesia. Bunyi pesan-pesan
singkat itu hampir sama, saya meminta kepada mereka agar berkenan mengangkat
panggilan telepon dari saya pada Sabtu, 21 April.
Itu memang harus saya lakukan demi kelancaran keikutsertaan saya
dalam Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang digelar PWI Pusat untuk wilayah
DKI Jakarta (PWI Jaya), 20-21 April.
Ya, dalam UKW yang digelar di Gedung Sekretariat
PWI Jaya, di kawasan Harmoni, memang ada satu mata ujian bernama “Jejaring”. Di
sini, peserta diminta membuktikan kepada penguji kemampuannya dalam
“memelihara” hubungan baik dengan narasumber.
Dan, Alhamdullilah,
rata-rata narasumber memberi respons baik terhadap permintaan saya yang
setengah memaksa itu. Mulai dari Ketua Umum PSSI, Djohar Arifin, Rahmad
Darmawan (eks pelatih timnas), Jacksen F Tiago (pelatih Persipura), Jimmy
Napitupulu (eks wasit FIFA), Ferdinand Sinaga (pemain timnas/Semen Padang)
hingga Ketua Umum PSSI versi Ancol, La Nyalla Matalitti, yang menyatakan tak
keberatan. Begitu juga dengan Faisal Abdullah, Deputi Menpora Bidang Hukum.
Bahkan, Justinus Laksana, Wakil Ketua Umum Badan Futsal Nasional, menyatakan
siap, meski tengah berada di Bangkok, Thailand, mendampingi timnas futsal, yang
tengah mengikuti ajang Piala AFF.
Namun, tentu bukan hanya “Jejaring” mata ujian yang harus kami lalui. Masih ada mata
ujian “Rapat Redaksi”, “Mengevaluasi Rencana Liputan”,
“Menentukan Bahan Layak Siar”, “Mengarahkan Liputan Investigasi”, “Menulis
Tajuk Rencana”, dan“Kebijakan
Rubrikasi” yang
tak kalah bikin pusing.
Memang, selintas mata-mata ujian ini tampaknya tak akan sulit, lantaran
kami, para peserta, telah mengaplikasikannya dalam pekerjaan sehari-hari di
media masing-masing. Namun, dalam situasi ujian, di mana setiap mata
ujian harus dilakukan dengan waktu yang supersingkat, segalanya menjadi
berbeda.
Bayangkan, Anda diharuskan membuat tajuk rencana yang isinya tentang
sikap dan pandangan media kita, terhadap sebuah isu yang tengah hangat, hanya
dalam 30 menit! Lalu, Anda diminta membuat dan merencanakan liputan investigasi
untuk reporter, lengkap dengan metode investigasi, tenggat waktu, jumlah
reporter, anggaran, juga hanya dalam 30 menit! Ya, semuanya serba 30 menit!
Bagi saya, situasi bertambah sulit, lantaran datang dari latar belakang
media olahraga, khususnya sepak bola. Sementara, materi-materi ujian, semuanya
menyangkut berita-berita konten harian umum. Mulai politik, sosial, ekonomi,
budaya, hingga hukum. Bisa kebayang dong,
betapa galaunya saya.
Beruntung, saya mendapat penguji yang sangat kooperatif. Kristanto
Hartadi, mantan Pemimpin Redaksi Sinar Harapan dan Andi Usman, mantan wartawan
otomotif andal, sangat membantu kami dalam melalui UKW PWI yang didahului
Safari Jurnalistik PWI (19/4) ini. Mereka tak sekadar memberikan soal, menilai,
dan mengumumkannya kepada kami.
Lebih dari itu, Pak Kris, begitu kami memanggil Kristanto, memberikan
ilmu jurnalistik yang sangat luar biasa berguna bagi kami. Begitu juga dengan
Pak Andi yang tak bosan membagi pengalamannya. Dari mulut pria yang masih
lincah meski telah berusia lebih dari 70 tahun ini, juga, saya jadi tahu
perumus“5W,
1H” konsep keramat
dalam jurnalistik.
Dialah Joseph Rudyard Kipling, seorang penulis asal Inggris pemenang
Nobel Kesusasteraan 1907. Pak Andi bercerita, Kipling merumuskan konsep “5W, 1H” di
tahun 1940-an, lantaran kesal, karena banyak berita di radio yang ditayangkan
secara serampangan. Dia berharap“5W, 1H” bisa
membuat berita-berita jadi lebih terarah.
Selain Pak Kris dan Pak Andi, rekan-rekan sesama peserta UKW yang dibukaHendry Ch Bangun,
Sekjen PWI Pusat, yang juga seorang Kompasianers ini, juga sangat membantu.
Kekompakan, tak hanya dalam kelompok, melainkan juga secara keseluruhan,
membuat UKW PWI ini menjadi lebih mudah dilalui.
UKW PWI ini sendiri dibagi ke dalam tiga jenjang kompetensi: MUDA untuk
wartawan pemula (reporter), MADYA untuk redaktur, dan UTAMA untuk
level pimpinan redaksi, seperti redaktur pelaksana, wakil pemimpin redaksi, dan
pemimpin redaksi. Saya sendiri, bersama 17 orang lainnya, tergabung dalam
jenjang UTAMA. Rekan Kompasianer Noer Alim Harvaima juga tergabung dalam jenjang ini.
Usai mengikuti ujian, saya jadi punya kesan yang sangat mendalam
terhadap UKW yang seluruh mata ujiannya harus berlandaskan Kode Etik
Jurnalistik ini. Bukan cuma sebagai ajang “verifikasi” bagi wartawan
profesional, melainkan juga penambah wawasan bagi para wartawan. Pantaslah,
jika UKW ini dimaksudkan di antaranya untuk meningkatkan kualitas dan
profesionalisme serta menjaga harkat dan martabat wartawan sebagai penghasil
karya intelektual.
Sayang, dalam acara penutupan, panitia mengumumkan ada empat orang dari
44 peserta yang dinyatakan belum kompeten. Kepada mereka, diberikan kesempatan
banding, atau mengulang mengikuti ujian enam bulan ke depan.
Saat ini, menurut Bang Hendry, sudah lebih dari seribu seratus wartawan
yang telah dinyatakan kompeten melalui
sertifikasi dari Dewan Pers. Memang, masih sangat jauh dari total sekitar
14.000 wartawan yang terdaftar sebagai anggota PWI.
Namun, dengan kerja keras PWI Pusat dan dukungan pengurus cabang, bukan
mustahil wartawan-wartawan berkompeten akan terus bertambah di negeri ini
seperti diisyaratkan Peraturan Dewan Pers No. 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang
Standar Kompetensi Wartawan.
Lagipula, bukankah angka 1.131 saat ini, seperti
disebutkan dalam tulisan Bang Hendry, sudah merupakan jumlah yang luar bisa
mengingat UKW PWI ini baru dimulai tahun lalu.
Terima kasih telah membaca, semoga bermanfaat
Salam Rock N’ Roll!
Kode Etik Jurnalistik
Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen,
menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang
profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi,
memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang
menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong,
fitnah, sadis, dan cabul.
Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan
identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang
menjadi pelaku kejahatan.
Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi
dan tidak menerima suap.
Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk
melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun
keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off
the record” sesuai dengan kesepakatan.
Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan
berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar
perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak
merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber
tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan
memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf
kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak
koreksi secara proporsional.
No comments:
Post a Comment