Thursday, April 18, 2013

Pangeran Sesungguhnya

FRANCESCO TOTTI (foto:ciaonews)
FRANCESCO Totti ibarat candu bagi suporter AS Roma. Kehadirannya di lapangan, selalu membuat “Romanisti”—julukan untuk suporter Roma—semakin kencang berteriak, menari, bernyanyi mendukung klub dengan julukan “I Giallorossi” ini.

Kini, “sang candu” telah berusia lebih dari 20 tahun sejak pertama kali melakukan debut di laga lawan Brescia di bawah arahan pelatih Vujadin Boskov. Namun, kecintaan tifosi kepada sosok berusia 36 tahun ini tak pernah pupus.

Totti, suami artis cantik Italia, Ilary Blasi ini tetap dipuja. “Il Principe” alias “Sang Pangeran”, begitu dia dipanggil, seperti juga  Giuseppe Giannini, legenda Roma di era 1980 dan 1990-an. Tapi, media Italia juga kerap menjulukinya “Il Bimbo d’Oro” atau “Si Bocah Emas”, “Er Pupone”, “Il Gladiatore”, bahkan “Il Re di Roma” alias “Raja Roma”.

Seperti juga Giannini, yang sukses mengantarkan Roma jadi kampiun Seri A 1982/83, Totti pernah membawa Roma jadi yang terbaik di Italia, musim 2000/01 saat dilatih Fabio Capello. Plus tentu saja gelar-gelar lainnya, seperti Piala Italia (2006/07, 2007/08), Piala Super Italia (2001, 2007).  Bahkan, lebih hebat dari Giannini, Totti pernah enam kali membawa “I Giallorossi” menutup musim sebagai runner-up, terakhir musim 2009/10.

Musim ini, Totti juga berpeluang membawa Roma meraih gelar Piala Italia kesepuluh mereka. Pasalnya, Rabu (17/4) atau Kamis dini hari WIB, Roma sukses menyingkirkan Internazional di semifinal kedua dengan skor 3-2. Sebelumnya, di laga pertama Roma juga menang 2-1. Di final nanti, Roma akan berhadapan dengan rival sekota mereka, SS Lazio.

Dari torehan pribadi, Totti juga lebih gemilang dibanding Giannini. Totti, misalnya, pernah lima kali dinobatkan sebagai Pemain Terbaik Italia. Sementara di musim 2006/07, Totti menyabet gelar Capocannoniere alias pencetak gol terbanyak sebagai bukti ketajamannya dengan torehan 26 gol.

Namun, yang paling fenomenal tentu saja “gelar” Totti sebagai pencetak gol terbanyak sepanjang masa di Seri A yang masih aktif, dengan 227 gol dari total 528 penampilan.

Wajar, memang, jika Totti amat dicintai tifosi Roma. Bukan soal gelar dan kepiawaiannya menggocek bola saja sebenarnya. Tapi, lebih kepada loyalitas seorang Totti. Padahal, jika mau, dia bisa saja bergabung dengan klub-klub “raksasa” Eropa, saat kariernya benar-benar menjulang beberapa musim lalu.

Tapi, Totti selalu bergeming setiap ada tawaran
datang. Termasuk tawaran dari klub kaya Spanyol, Real Madrid, enam tahun lalu. Bagi Totti, memang hanya ada satu klub: Roma!

Maka itu, meski saat ini, ketika kontrak terakhirnya yang kadaluwarsa musim panas nanti belum juga diperpanjang, Totti tak tampak gamang. Sebab, bagi Totti dan Roma, perpanjangan kontrak hanyalah formalitas.  “Saya ingin menutup karier di klub ini,” ujar Totti, suatu ketika.

Totti memang tak ingin seperti Giannini yang menutup karier di Novara, usai hengkang dari Roma. Totti ingin seperti Paolo Maldini (AC Milan) yang hanya membela satu klub sepanjang kariernya, sejak junior.

Totti memang identik dengan  Roma. Dia lahir dan tumbuh sebagai Romanista. Dan, di laga lawan Brescia, 28 Maret 1993, saat Totti berusia 16 tahun, seperti merupakan penahbisan dirinya sebagai Romanista yang sesungguhnya.

No Totti, No Party
Di lapangan, Totti juga tak hanya unjuk kemampuan teknik, melainkan juga merupakan motivator ulung bagi rekan-rekannya, terutama pemain muda. Singkat kata, semua pemain Roma tenang, jika ada Totti di lapangan. Hingga muncul istilah, “No Totti, no party”.

Totti yang lahir pada 27 September 1976 juga idaman para pelatih, termasuk Zdenek Zeman yang pernah dua periode (1997-99 dan 2012-13) menangani Roma. Dulu, di periode pertama melatih Roma, Zeman kerap ditanya wartawan tentang penilaiannya terhadap pemain Italia. Dan, saat diminta menyebutkan tiga pemain terbaik Italia versinya, Zeman selalu menjawab, “Totti…Totti…Totti!” Ya, bagi Zeman, memang tak ada pemain (Italia) sebaik Totti.

Di mata tifosi, Totti juga sosok anutan. Ayah Cristian dan Chanel ini selalu menjaga perasaan tifosi, termasuk juga menjaga imejnya sebagai anutan. Lihat saja kehidupan rumah tangganya dengan Ilary. HIngga saat ini, tak sekalipun ada berita miring tentang mereka berdua.

Di luar lapangan, Totti juga punya rasa empati yang sangat tinggi. Sering dia memberikan motivasi kepada tifosi yang kurang beruntung. Bahkan, belum lama ini, Totti secara terang-terangan menyebut  legenda Italia, Silvio Piola sebagai salah satu idolanya. Padahal, semua orang tahu, Piola adalah mantan bintang Lazio, musuh bebuyutan Roma.

Totti bahkan memberikan kostum Roma yang sudah ditanda tanganinya kepada cucu Piola yang datang mengunjunginya saat Roma menggelar latihan di Novara, sebelum semifinal Piala Italia lawan Inter.

Ya....Totti memang superstar. Bagi tifosi Roma, dia jauh lebih lebih hebat daripada seorang rockstar, bahkan politikus sekalipun. Karena, Totti adalah pangeran! Ya.. dialah Pangeran Roma yang sesungguhnya.*

Friday, April 12, 2013

Jerman atau Spanyol?

YA, mungkin itulah pertanyaan yang langsung tersembul di benak kita usai bola-bola undian menuntaskan drawing semifinal Liga Champions 2012/13 yang digelar di Nyon, Swiss, tadi malam. Maksudnya, apakah laga final di Stadion Wembley, London, Inggris, 25 Mei nanti akan menggelar laga dua finalis asal Jerman, atau Spanyol?

Ya, kemungkinan itu memang sangat besar. Ya, pasalnya, alih-laih menggelar all-German semifinal atau all-Spanish semifinal, hasil undian justru “memisahkan” dua klub Spanyol dan Jerman.

Wakil utama Spanyol, Real Madrid, juara Liga Champions sembilan kali akan menghadapi Borussia Dortmund. Sementara  rekan senegara Madrid, Barcelona, yang musim lalu juga sukses menembus semifinal, ditantang klub Jerman lainnya, Bayern Muenchen. Laga pertama akan digelar pada 23 dan 24 April. Sementara leg kedua dimainkan 30 April dan 1 Mei.

Jika begitu, kita tentu bisa berharap “el clasico” antara Madrid vs Barcelona yang kerap terjadi di La Liga atau Piala Raja bakal jadi menu utama di Wembley nanti. Begitu juga dengan “der klassikier”, sebutan untuk duel Muenchen lawan Dortmund di Jerman. Sama seperti Madrid vs Barcelona, laga Muenchen vs Dortmund juga punya predikat “klasik”.

Dan, jika terjadi, ini merupakan keempat kalinya, final Liga Champions mempertemukan dua tim dari satu negara. Sebelumnya pernah terjadi pada  tahun 2000 saat Madrid mengalahkan Vaelncia, 2003 saat AC Milan mengalahkan Juventus, dan serta 2008 ketika Manchester United menekuk Chelsea.

Dari segi kualitas, tentu saja dua laga ini tak perlu diragukan lagi. Kita semua kerap jadi saksi betapa serunya pertandingan saat Barcelona berhadapan dengan Madrid. Atau Muenchen berhadapan dengan Dortmund.

Namun, dengan alasan “keadilan” banyak juga yang berharap laga final nanti bisa memunculkan masing-masing wakil dari dua negara ini. Artinya, satu tim dari Jerman, satu lagi dari Spanyol.

Tentu, wajar-wajar saja harapan seperti itu mencuat. All-German final, all-Spanish final, Jerman vs Spanyol, apa pun, di final nanti tentu akan menjadi sebuah tontotan yang menarik, seperti sebagaimana biasanya laga final Liga Champions.

Yang patut digaris bawahi adalah mencuatnya kembali kekuatan Jerman. Kita tentu tidak kaget jika Barcelona atau Madrid kembali muncul di partai puncak. Tapi, dengan hadirnya dua tim Jerman sekaligus di empat besar ajang yang nota bene merupakan paling elite antarklub Eropa, tentu menjadi sebuah catatan tersendiri.

Muenchen sendiri, terakhir kali jadi juara di ajang ini pada 2000/01. Itu keempat kalinya bagi mereka. Sementara Dortmund baru sekali jadi juara, musim 1996/97.


Hanya memang, kiprah “Die Borussen” belakangan ini harus diakui sangat menarik perhatian. Kiprah sang pelatih Juergen Klopp dan pasukannya bahkan telah menyita perhatian dunia. Dua gelar Bundesliga secara berturut-turut menjadi bukti bahwa mereka memang pantas masuk dalam jajaran elite Eropa.*

Tuesday, March 12, 2013

“The Unsung Gerrard”

STEVEN GERRARD (foto:fullfifa)
BRENDAN Rodgers tiba-tiba saja menjadi penggemar fanatik Steven Gerrard. Saking fanatiknya, Rodgers, pelatih Liverpool itu, mengklaim dirinya tak akan bisa melatih “The Reds”—julukan Liverpool— tanpa kehadiran Gerrard.

Rodgers memang merasakan betul betapa klub asal Merseyside yang dilatihnya itu sangat tergantung kepada sosok Stevie G. Bahkan, di usianya yang telah mendekati 33 tahun, Gerrard kata Rodgers, masih memiliki stamina yang super-fit!

 “Dengan kondisi seperti itu, Gerrard masih bisa bermain selama yang dia suka. Mungkin lima atau enam tahun lagi,” ujar Rodgers, yang sebelumnya melatih Swansea City. “Lihatlah Ryan Giggs (40 tahun) atau Javier Zanetti (39 tahun) yang masih disebut-sebut sebagai pemain terbaik di Eropa. Gerrard bisa seperti mereka.”

Kalimat-kalimat sejuk Rodgers tentu bukan sekadar pujian bagi Gerrard, pemain yang telah 15 tahun membela Liverpool, sejak dari tim junior. Ada ketulusan, kejujuran dari hati Rodgers yang paling dalam, yang mengakui betapa kemilau sosok Gerrard.

Performa Gerrard musim ini memang luar biasa. Sebagai kapten—menggantikan Sami Hyypia sejak 2003—kontribusi Gerrard juga sangat kental bagi Liverpool. Sebagai gelandang, Gerrard juga cukup tajam dengan mencetak sepuluh gol plus sembilan assist. Terakhir, dia mencetak gol penentu kemenangan 2-1 Liverpool atas Aston Villa, akhir pekan lalu.

Nama Gerrard, musim ini memang sempat seperti tak berkerlapan. Dia kalah menyala dibanding terangnya sinar pemain-pemain seperti Robin Van Persie, Sergio Aguero, Michu, ataupun Gareth Bale. Bahkan, rekan seklub Gerrard, Luis Suarez lebih sering dibicarakan lewat kontroversi dan gol-golnya. Suarez saat ini masih menjadi pencetak gol terbanyak dengan 22 gol.

Sementara publik sepak bola “Negeri Pangeran Charles” juga lebih sering membicarakan persaingan dua Manchester: MU dan City, ketimbang klub Gerrard, yang sudah pertengahan musim kehilangan kesempatan meraih gelar Liga Primer.

Tak Pernah Tenggelam
Namun, sesungguhnya, Gerrard tak pernah tenggelam. Statistik pun tak berbohong. Di Liga Primer, pria asli Liverpool itu tak sekalipun kehilangan menit bermain. Gerrard tampil di seluruh 32 laga “The Reds” dengan catatan menit bermain mencapai 2.880, sama dengan bek Aston Villa, Matthew Lowton.

Gerrard ibarat “the unsung hero” bagi Liverpool. Tak terlalu mencolok, namun sangat terasa keberadaannya. Di lapangan, dia bisa bermain sebagai second striker, bek kanan, sayap kanan, centre mildfielder, atau holding mildfielder, posisi idealnya saat ini. Gerrard juga tak pernah keberatan “memanggul air”, melakukan pekerjaan “kotor”  menjadi benteng pertama bagi serangan lawan. Apalagi menghunjam gawang lawan lewat tendangan-tendangan kerasnya.

JUARA CHAMPIONS - Steven Gerrard saat membawa Liverpool
juara Liga Champions 2004/05 (foto:thisisanfield)
Dulu, di masa kepelatihan Rafael Benitez—yang disebut-sebut sebagai musim terbaik Liverpool di era modern, karena sukses jadi kampiun Liga Champions 2004/05—Gerrard sering bermain sebagai second striker. Dia bermain lebih dekat ke gawang lawan.

Maka itu, pada 2008/09, dia bisa mencetak 16 gol dalam semusim Liga Primer, terbanyak sepanjang kariernya. Ketika itu dia main sangat nyaman di belakang Fernando Torres, karena Liverpool ketika itu memiliki Xabi Alonso yang berperan sebagai “pengangkut air”.

Tapi, musim ini, Gerrard justru lebih sering memainkan peran Alonso itu. Memang, oleh Rodgers, Gerrard tetap diberi kebebasan berkreasi, termasuk eksekutor bola-bola mati. Namun, kerap kali, tanggung jawab untuk menghentikan serangan lawan, untuk pertama kalinya, justru lebih banyak diemban Gerrard. Tapi, hebatnya, Gerrard toh masih bisa mencetak sepuluh gol.

Bagi Liverpool, Gerrard memang anutan. Dan, dia tahu betul itu. Apalagi, dengan “status”-nya sebagai scouser, alias orang asli Liverpool. Maka itu, loyalitas dan pengabdian di lapangan menjadi nomor satu bagi suami Alex Curran ini.

Memang, jika dibanding Paolo Maldini yang pernah 24 tahun membela AC Milan, lima belas tahun milik Gerrard di Liverpool belumlah apa-apa.  Namun, selama bisa, Gerrard selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi Liverpool.

Dua gelar Piala FA, tiga Piala Liga, dua trofi Community Shield, satu gelar Liga Champions, dan satu Piala UEFA plus dua gelar Piala Super Eropa yang telah disumbangkan Gerrard, memang belum cukup untuk “The Reds”.


Gerrard tahu apa yang sangat didamba Liverpudlian. Sebuah trofi yang terakhir kali mereka menangkan di musim 1989/90 untuk ke-18 kalinya, saat Gerrard masih berusia sepuluh tahun. Trofi yang kini berganti nama, dari The Football League menjadi Premier League alias Liga Primer. Pasti, Gerrard  sangat terpacu untuk mewujudkannya. Namun, tentu, tidak musim ini. *

Monday, July 30, 2012

Grand Funk, Sederhana tapi Fenomenal

GFR - Mark Farner, Don Brewer, dan Mel Schacher
/foto:longshotblues
RIBET! Begitulah kesan saya saat pertama kali mendengar musik Grand Funk Railroad. Saat itu, saya masih duduk di bangku SMA, sekitar awal tahun 1990-an. Ayah saya yang mengenalkan band asal Michigan, Amerika Serikat (AS) itu, usai beliau mendengar lagu-lagu Nirvana. Ayah saya bilang, musik Nirvana tak berbeda jauh dengan Grand Funk.
Saya sudah lupa lagu apa yang pertama kali saya dengar dari grup yang awalnya digawangi oleh Mark Farner (gitar, vokal), Mel Schacher (bass), dan Don Brewer (drum) itu. Yang jelas, kesan ribet itu saya tangkap dari permainan sang pemain bass, yang menurut ukuran saya saat itu sangat njelimet.
Tapi, semakin sering mendengar lagu-lagu mereka, saya justru merasa musik Grand Funk sebenarnya sederhana. Selain itu, kehadiran musik  Grand Funk di telinga saya telah semakin menambah wawasan, untuk seorang remaja tanggung penggila rock n roll, seperti saya ketika itu.
Lantas, saya pun membandingkan musik Grand Funk dengan band-band yang sudah akrab di telinga. Sebut saja Bon Jovi, Cinderella, Guns N’ Roses, Whitesnake, Warrant, ataupun Poison.
Tentu saja tidak nyambung. Hanya, ada satu benang merah yang menghubungkan mereka, rock n roll! Anehnya, saya jusru merasa musik-musik Grand Funk lebih hidup, spontan, dan jujur karena dimainkan sepenuh hati dan perasaan yang bebas.
Ya, sejak kemunculan mereka di awal tahun 1970, Grand Funk memang sudah nyentrik dan fenomenal. Bayangkan, saat band-band rock ketika itu tampil dengan teknik bermusik yang mumpuni, Grand Funk malah bermain semaunya.
Jelas tidak ada raungan gitar melengking khas Jimmy Page ataupun Ritchie Blackmore, seperti pada lagu-lagu Led Zeppelin atau Deep Purple. Farner justru asyik memainkan dengan gayanya sendiri.
Sangat sederhana. Di sebagian lagu, dia bahkan memainkan melodi hanya dengan gitar elektriknya, tanpa sound efect! Juga tak ada gebukan drum dengan rovel-rovel yang variatif ala  mendiang John Bonham di Led Zeppelin. Di Grand Funk, pukulan-pukulan Brewer, malah terdengar serampangan, kasar.
Sebaliknya, mereka justru sangat mengandalkan permainan bass Schacher. Gayanya memang atraktif, terus mengisi seluruh badan lagu. Bahkan, jika Anda jeli, instrumen bass pasti selalu terdengar lebih dominan dibanding gitar Farner. Bisa dibilang, Grand Funk sangat menggantungkan nyawa lagu mereka kepada permainan Schacher.
Cover album Closer to Home (1970)
Tak percaya? Dengar saja lagu “Mean Mistreater”. Di interlude, Scharcher bermain begitu liar. Atau di lagu lagu cover version dari The Animals,  “Inside Looking Out”yang sangat kental nuansa funky-nya. Hal ini tak umum. Karena biasanya, suara gitar yang paling dominan dalam lagu-lagu dengan genre hard rock atau heavy metal, ketika itu.
Tak heran, saat itu, banyak pengamat yang mengkritik musik Grand Funk. Lagu-lagu mereka pun jadi jarang sekali dimainkan di radio-radio. Tapi, Grand Funk tak peduli. Dan terbukti, lama-lama, pendengar mereka pun terbiasa dengan gaya bermusik Farner dan kawan-kawan.
Album pertama mereka, On Time, yang dirilis pada Agustus 1969 langsung mendapat tempat di hati pecinta rock. Album yang menjagokan lagu “Are You Ready”, “Heartbreaker”, dan “Time Machine” ini bahkan terjual mencapai 1 juta kopi! Grand Funk pun mendapat piringan emas untuk album ini.
Begitu juga album kedua mereka, Grand Funk yang dirilis hanya empat bulan kemudian. Seperti album pertama, album ini juga mendapat piringan emas. Album yang menjagokan hits-hits seperti “Got This Thing On The Move”, “In Need”,  “Paranoid” serta “Inside Looking Out” semakin menambah kuat eksistensi Grand Funk di belantara rock dunia.
Namun, banyak yang menyebut, masa keemasan benar-benar diraih Grand Funk saat merilis album ketiga, “Im Your Captain (Closer To Home)”. Tak seperti dua album sebelumnya, album ini bahkan meraih dua platinum! Tingkat penjualannya pun luar biasa. Ini juga terlepas dari upaya Terry Knight, sang manajer berani memasang billboard besar di New York Times Square untuk mempromosikan album ini.
Para penggemar Grand Funk pun makin menjamur. Konser-konser mereka selalu dibanjiri penonton. Bisa dibilang, ketika itu Farner dan kawan-kawan adalah rajanya panggung rock n roll. Mereka bahkan mampu memecahkan rekor penonton konser The Beatles di Shea Stadium New York tahun 1965 (55.600 penonton) hanya dalam dalam 72 jam, saat menggelar konser di stadion yang sama, tahun 1971.
Sementara lagu “Closer To Home” yang berdurasi lebih dari 10 menit, merupakan andalan di album ini, hingga saat ini disebut-sebut sebagai salah satu masterpiece Grand Funk.
Salah satu aksi GFR di panggung
Musik Grand Funk sendiri sangat “rame”. Dengan akar rock n roll yang sangat kuat, mereka dengan seenaknya mencampurnya dengan jenis-jenis musik lainnya. Bahkan, Grand Funk tak sungkan memainkan musik mereka dengan irama disko. Dengar saja lagu “The Loco-Motion”, yang merupakan cover version dari penyanyi legendaris R&B, Little Eva. Lagu ini juga sempat popular saat dibawakan artis cantik Kylie Minouge. Sementara unsur blues kental keluar dari melodi gitar Farner yang juga kerap memainkan piano dan harmonika.

Berubah
Banyak yang mengatakan musik Grand Funk, yang sempat menghapus nama “Railroad”, banyak berubah setelah Craig Frost masuk sebagai pemain kibor tetap pada tahun 1972. Namun, saya sendiri tak merasakan sejauh itu. Yang ada, mendengarkan lagu-lagu GFR, saya tak peduli apakah di lagu itu Frost bermain sebagaiadditional ataupun personel tetap.
Lirik-lirik lagu Grand Funk juga sederhana. Namun, sangat berisi. Grand Funk juga dikenal hebat dalam membuat kiasan dalam syair-syair lagu mereka. Tembang “Closer To Home”, contohnya. Secara harfiah, lagu ini sebenarnya bercerita tentang seorang yang rindu akan rumah.
GFR plus Craig Frost (kedua dari kiri)/foto:lastfm
Namun, oleh banyak pihak, lagu ini diartikan sebagai rintihan kerinduan para tentara AS yang bertugas di Vietnam akan kampung halaman mereka. Tak heran, konon, banyak veteran perang Vietnam yang menitik air mata saat mendengar lagu ini.
Bicara lagu favorit, banyak sekali yang saya suka dari Grand Funk. Namun, salah satu lagu yang paling mengena di hati adalah “We’re an American Band”. Bukan lantaran ini seperti menjadi lagu kebangsaan Grand Funk.
Namun, di lagu ini, saya merasakan betul totalitas para personel mereka. Dari permainan, musik, atau pun liriknya. Mungkin karena lagu ini merupakan tuangan keresahan hati Farner dan kawan-kawan terhadap opini pengamat musik dunia  yang ketika itu dirasa meremehkan band-band rock asal AS.
Lagu ini juga menjadi menarik karena dinyanyikan langsung oleh Brewer, sang pencipta. Bukan Farner seperti biasanya. Dibuka dengan intro gebukan drum Brewer, lagu ini jadi begitu kuat ingin menonjolkan karakter Grand Funk.
Dan, seperti biasa, meski lagu ini tak penuh dengan distorsi gitar, nuansa rock tetap sangat kental terdengar. Lagu ini juga seperti cerita perjalanan Grand Funk sebagai band rock AS.
Di lagu ini, mereka bercerita tentang “kegilaan” Grand Funk pada masa tersebut. Dalam sebuah wawancara dengan VH1, Brewer menyebut, dia menulis lagu tersebut berdasarkan pengalamannya menjalani tur konser selama bersama Grand Funk.Termasuk hubungan mereka dengan para groupies.
Ya, di lagu ini, Brewer, terang-terangan menyebut nama Connie Hamzy, dalam sepenggal lirik yang berbunyi, “Sweet Sweet Connie was doing her act”. Connie Hamzy atau “Sweet Connie”, julukannya, ketika itu memang dikenal sebagai “RatuGroupies” yang kerap memiliki affair dengan para rock star, termasuk Brewer dan Schacher.
Nama-nama lain yang konon pernah menjadi “korban” Connie adalah Alex dan Eddie Van Halen, David Lee Roth, Sammy Haggar (Van Halen), Gene Simmons dan Paul Stanley (KISS), Gedde Lee (Rush),  Willie Nelson, Neil Diamond, Waylon Jennings, Buddy Rich, Don Henley, dan banyak lagi.
Logo GFR
Di Indonesia sendiri, ketika itu, nama Grand Funk sendiri menjulang setinggi langit. Begitu banyak band-band local membawakan lagu dari Farner dan kawan-kawan, termasuk God Bless dan AKA. Bahkan, nama Grand Funk sendiri sempat diplesetkan menjadi granpang, sebutan untuk cewek-cewek enggak bener.
Grand Funk sendiri sempat menyatakan diri bubar dua kali, pada tahun 1976 dan 1983. Namun, pada tahun 1996, tiga personel asli: Brewer, Schacher, dan Farmer bereuni dan sempat menggelar beberapa konser yang seluruhnya sold out, termasuk konser amal untuk Bosnia pada tahun 1997.
Namun, pada tahun 1999, Farner kembali menyatakan mundur dan memutuskan untuk meneruskan solo kariernya. Setahun kemudian, Brewer dan Schacher merekrut vokalis Max Carl dan pemain kibor Tim Cashion, serta mantan gitaris KISS, Bruce Kulick, untuk menghidupkan kembali Grand Funk. Dan, sepanjang tahun 2012 ini, mereka kembali disibukkan tur keliling AS, sejak Januari lalu. Dimulai dari West Palm Beach, Florida, hingga berakhir di Primm, Nevada, Oktober mendatang.
Sumber: Wikipedia, youtube, www.grandfunkrailroad.com, lastfm, berbagai sumber


Diskografi Grand Funk
1969     On Time
1969     Grand Funk
1970     Closer To Home
1971     Survival
1971     E Pluribus Funk
1972     Phoenix
1973     We’re an American Band
1974     Shinin’ On
1974     All the Girls in the World Beware!!!
1976     Born To Die
1976     Good Singin’, Good Playin’
1981     Grand Funk Lives
1983     What’s Funk?



Friday, May 11, 2012

Vixen, Bukan Cuma Cantik…

TERBAIK - Vixen formasi terbaik, dari kiri ke kanan: Roxy Petrucci (drum),
Jan Kuehnemund (gitar), Janet Gardner (gitar/vokal), dan Share Pedersen (bass).
(foto: bastetglasba.blogspot)
VIXEN….ah terbayang lagi goyang genit Janet Gardner, sang vokalis, raungan gitar si cantik Jan Kuehnemund, serta gebukan drum lembut namun bertenaga milik Roxy Petrucci. Ya, Vixen, grup heavy metal cewek asal Los Angeles, Amerika Serikat (AS) ini memang sempat menjulang namanya di akhir tahun 1980-an.

Saya ingat betul, saat masih duduk di bangku SMP, pertama kali menyaksikan aksi mereka lewat sebuah program musik di sebuah stasiun televisi swasta, di akhir tahun 1980-an, bernama Rocket dengan host Jeffrey Woworuntu.

“Edge of a Broken Heart” itulah lagu pertama yang saya dengar dari grup yang juga dimotori Share Pedersen, sebagai pemain bass ini. Lagunya asyik, gaya mereka pun menarik, lantaran grup ini terdiri dari cewek-cewek berparas cantik.

Namun, tentu saja ini bukan soal tampang, apalagi goyangan. Sebab, selain “Edge of a Broken Heart”, Vixen juga memiliki hits-hits yang membuat nama mereka pantas disejajarkan dengan grup rock cewek yang terlebih dahulu terkenal, seperti Hearts, Bangles, ataupun Warlock yang berasal dari Jerman.

Lagu “Edge of a Broken Heart” memang merupakan pintu gerbang mereka merambah pentas rock dunia. Lagu yang terdapat di album debut mereka, Vixen di tahun 1989 ini, merupakan karya dari Richard Marx. Namun, tentu tak hanya “Edge of a Broken Heart”. Di album ini, Vixen juga menghasilkan tembang-tembang berbobot lainya, seperi “Crying” dan “I Want You to Rock Me”.

Imbasnya, ketika itu, grup yang didirikan tahun 1980 dan sempat bergonta-ganti personel sebelum album debut mereka ini mendapat kesempatan tampil sepanggung dengan pentolan-pentolan heavy metal, seperti Ozzy Osbourne, Bon Jovi, bahkan Scorpions. Singkat kata, Vixen sudah langsung mendapat nama lewat debut album mereka.

Sebuah prestasi yang tak mudah, mengingat ketika itu, pada periode akhir 1980-an hingga awal 1990-an, aliran heavy metal, hair metal, glam metal, ataupun apa pun namanya, tengah mendapat tempat istimewa di hati pecinta rock. Sehingga, begitu banyak grup-grup bermunculan pada era tersebut.

DUO IKON - Janet Gardner (kiri) dan Jan Kuehnemund
jadi dua ikon Vixen. (foto: bforoencastellano.runboard)
Memang betul, kualitas suara Janet tak sehebat Joan Jett atau Ann Wilson (Hearts). Permainan gitar Jan ataupun gebukan Roxy mungkin tak ada apa-apanya dibanding CC DeVille (Poison) atau Tommy Lee (Motley Crue). Namun, secara kualitas musik, album pertama Vixen ini tetap layak mendapat tempat khusus.

Alur lagu mereka, harmonisasi vokal, serta isian-isian setiap instrument membuat musik mereka begitu asyik didengar. Sementara napas rock jelas sekali keluar dari raungan gitar Jan, yang sekilas mirip Lita Ford, mungkin karena sama-sama blonde.

Tak heran, album kedua mereka,Rev It Up (1990) cukup mendapat tempat di kalangan metal head. Dari album ini, dua lagu “How Much Love”dan “Love is a Killer” sempat jadi hitsdan kerap diputar di MTV.

Hanya sayang, setahun  setelah dirilisnya album ini, Vixen menyatakan bubar. Konon, perbedaan dalam visi bermusik menjadi penyebab utama. Masing-masing personel tak mau mengekang ego, sehingga sulit menyatukan perbedaan di antara mereka.

Mungkin ini juga imbas dari semakin tingginya popularitas mereka. Maklum, ketika itu, jam terbang Vixen juga sudah semakin tinggi.  “Teman-teman” mereka di setiap konser pun sudah merupakan band-band besar. Sebut saja KISS ataupun Deep Purple.

Pada tahun 1997, Roxy kembali menghidupkan Vixen bersama Janet. Namun, tak ada nama Jan dan Share, yang digantikan oleh Gina Stile dan Rana Ross. Setahun kemudian mereka merilis album bertitel Tangerine.

Formasi ini juga tak bertahan lama, karena memang “pasar” heavy metal sudah sepi lantran tergerus tren alternatif rock yang dibawa musisi-musisi asal Seattle. Vixen baru kembali bangkit pada tahun 2001, saat Jan kembali mengajak Roxy dan Janet, plus pemain bass baru, Pat Holloway. Sementara Share telah bergabung dengan band suaminya, Bam, The Dogs D’Armour.

TERKINI - Formasi Vixen terkini, tinggal menyisakan Jan (kanan) sebagai personel awal. (foto: vixenrock)

Sayang, dalam sebuah tur keliling AS deengan tajuk Voices of Metal, pada sekitar tahun 2004, perpecahan kembali terjadi. Janet, Roxy, dan Pat memilih hengkang, sementara Jan melanjutkan Vixen dengan menggamit Jenna Piccolo (vokal), Lynn Louise (bass) dan Kat Kraft (drum). Formasi inilah yang berlanjut hingga sekarang, setelah merilis album terakhir, Live and Learn pada tahun 2006.
sumber: wikipedia, you tube, vixenrock, bastetglasba.blogspot.com


Diskografi
1989    Vixen
1990    Rev It Up
1998    Tangerine
2006   Live and Learn