Sunday, April 20, 2014

“Stairway to Molineux”

Robert Plant jadi wakil presiden Wolverhampton sejak 2009. (foto:mtvhive)

SEPERTINYA tak ada yang berubah pada penampilan Robert Plant. Hanya tubuhnya yang agak tambun dan keriput terlihat jelas di sekitar raut wajahnya. Wajar dong, rocker gaek itu kini telah berusia 66 tahun.

Di luar itu, penampilannya masih flamboyan. Rambut panjang blondenya masih dibiarkan awut-awutan. Masih seperti dulu, saat berkibar bersama Led Zeppelin, salah satu grup legendaris pelopor heavy metal dari Inggris.

Babe, baby, baby, I'm gonna leave you...  begitu dulu dia bersenandung menggoda gadis-gadis di era “generasi bunga”. Atau dengan lantang Plant berteriak It's been a long time since I rock and rolled...” dalam lagu “Rock and Roll”.

Dulu, di era akhir 1960-an hingga awal 1980-an,  Plant, bersama Jimmy Page (gitar), John Paul Jones (bass), dan mendiang John Bonham (drum) memang begitu berjaya di belantara rock dunia. Di Inggris, mereka bahkan nyaris disejajarkan dengan The Beatles dan The Rolling Stones, dua band ikon rock n roll asal Inggris.

Lagu-lagu mereka seperti “Since I’ve Been Loving You”, “Whole Lotta Love”, “Black Dog”, atau “Communication Breakdown” menjadi lagu wajib penggemar rock bahkan di seluruh dunia. Termasuk lagu legendaris “Stairway to Heaven” alias “Tangga menuju Surga”, yang hingga kini, makna liriknya masih diperdebatkan para pengamat musik.

Kini, di altar musik, meski masih wara-wiri bersama The Sensasional Space Shifters, band yang dibentuknya bersama musisi Afrika Barat, Juldeh Camara, Plant memang tak seaktif dulu. Namun begitu, namanya toh tetap harum. Apalagi, di mata suporter Wolverhampton Wanderers, klub League One yang baru memastikan diri promosi ke Divisi Championship Liga Inggris.

Terutama, sejak tahun 2009, saat pria bernama lengkap Robert Anthony Plant ini dinobatkan sebagai salah satu wakil presiden klub yang bermarkas di Stadion Molineux itu. Ya, meski lahir di West Bromwich, Plant, yang juga pernah merilis tiga album bersama Jimmy Page, ternyata sudah lama jadi pendukung fanatik “The Wolves”. Bahkan, hampir seluruh hidupnya.

Plant mengaku sudah lebih dari 50 tahun mengikuti kiprah Wolverhampton di rimba sepak bola Inggris. Hanya saja, di era 1960-an, saat “The Wolves” berjaya di belantara sepak bola “Negeri Ratu Elizabeth”, Plant terlalu sibuk dengan konser-konser dan rekaman album Led Zeppelin.

Jatuh Cinta Sejak Lima Tahun
Plant mengaku jatuh cinta kepada Wolverhampton sejak usia lima tahun, saat diajak ayahnya menyaksikan laga Wolverhampton lawan Dynamo Moscow di Molineux, tahun 1950-an. Menurut Plant, ketika itu, di Stadion Molineux, Billy Wrigth, legenda Wolverhampton, melambaikan tangan ke arahnya.

“Ayah saya bilang itu The Greates Billy Wright,” ujar Plant, dalam rubrik Sing When You are Winning di Majalah Four Four Two. “Wright ketika itu seperti David Beckham di era jayanya. Seorang ikon sepak bola dengan istri penyanyi terkenal, Babs, anggota The Beverly Sisters.”

Kecintaan Plant kepada Wolves makin menjadi setelah tim medis Wolves berhasil membuat dia kembali bisa berjalan usai mengalami kecelakaan mobil bersama istrinya, Maureen,
di Rhodes, tahun 1975. Sebelumnya, Plant sempat setahun menggunakan kursi roda.

Maka itu, Plant pun tak sungkan ikut larut di Stadion Gresty Road, saat Wolverhampton memastikan promosi ke Divisi Championship usai mengalahkan tuan rumah Crewe Alexandra 2-0, pekan lalu.

Testimonial Craddock
Sebagai wakil presiden klub, Plant yang mendapat gelar bangsawan Commander of the Order of The British Empire dari Kerajaan Inggris pada tahun 2009, memang wajib menunjukkan cintanya kepada Wolves. Bahkan, itu dia lakukan tulus, seperti ketika membuat motif dengan ornamen Wolverhampton di sampul album solonya “Now and Zen”, pada tahun 1988.

Seperti juga dia tanpa sungkan membayar uang 900 pound atau sekitar Rp 17 juta demi tampil di pertandingan testimonial mantan bintang Wolverhampton, Joddy Craddock, yang akan digelar Mei mendatang.

Uang itu tentu bukan untuk Craddock. Tapi, untuk disumbangkan ke Birmingham Children’s Hospital, rumah sakit tempat putra Craddock dirawat lantaran menderita leukimia. Total donasi ini kabarnya sudah mencapai 8 ribu pound.

 Namun, jumlah 900 pound tentu tak seberapa bagi Plant, yang hingga kini masih mendapat rolalti dari penjualan album-album Led Zeppelin atau solonya. Apalagi sebagai “imbalannya” yang dia dapat, tampil di Stadion Molineux mengenakan seragam Wolverhampton, seperti yang pernah dia kenakan saat santai bermain bola di sela-sela konsernya di Kalifornia Amerika Serikat, tahun 1977.

Tentu, bagi Plant, bermain di Molineux dengan seragam “The Wolves”  seperti mimpi yang jadi nyata. “Like a dream come true”, persis seperti yang diungkapnya saat dinobatkan sebagai wakil presiden klub, 15 Agustus 2009, di Molineux. So, “Stairway to Molineux”.***


Tulisan ini dimuat di Harian TopSkor Edisi 19-20 April 2014

Friday, April 18, 2014

Saatnya Berpisah, Roo?

WAYNE ROONEY (foto:dailymail)
YANG namanya perpisahan memang tak pernah mudah. Mungkin gampang diucapkan, namun sulit dijalankan. Manchester United (MU) tahu betul itu. Maka itu, sulit sekali bagi mereka untuk berpisah dengan Wayne Rooney, penyerang yang sudah menyumbang 197 gol dari 402 pertandingan untuk “Tim Setan Merah”.

Ada saja yang membuat mereka enggan melepas pemain kelahiran Liverpool, 25 Oktober 1985 itu. Saat ini, misalnya, ketika Arsenal dan Chelsea menyatakan minat memboyong suami dari Coleen McLoughlin itu, MU pun masih berat berpisah dengan Rooney.

Bukan soal harga sepertinya. Tapi, lebih kepada faktor ketidak relaan MU melihat pemain dengan julukan “Wazza” itu membela dua tim yang nota bene adalah rival utama mereka di Liga Primer.

Padahal, situasi di MU, sudah tak lagi kondusif bagi Rooney. Roo—panggilan Rooney—pun seperti sudah tak lagi bersemangat. Dia kecewa lantaran tak lagi mendapat tempat utama sejak kedatangan Robin Van Persie yang direkrut dari Arsenal, awal musim 2012/13.

Sementara kontraknya, yang tinggal dua tahun lagi, belum juga ada tanda-tanda bakal diperpanjang. Yang bikin sakit hati Rooney, Ed Woodward, Wakil Presiden MU, sempat menyebut bahwa mereka memang  belum berpikir soal perpanjangan kontrak Rooney. Bahkan, kata Woodward, kalaupun kontrak Rooney berakhir, tak akan jadi masalah bagi MU.

Problem Moyes
Rooney pun makin meradang. Ditambah lagi dengan kedatangan pelatih David Moyes sebagai pengganti Alex Ferguson. Tampaknya makin sulit bagi Rooney untuk mempertahankan statusnya sebagai primadona Old Trafford. Memang, Moyes sempat menyebut dirinya masih membutuhkan Rooney. Tapi, kata Moyes, itu hanya terjadi jika Van Persie cedera.

Orang pun kemudian mengaitkannya dengan masa lalu Rooney-Moyes yang memang tak harmonis, saat keduanya masih sama-sama berada di bawah panji-panji Everton. Memang, Moyes boleh dibilang sebagai salah satu sosok yang ikut berjasa mengasah bakat emas Rooney.

Rooney bersama David Moyes (foto:telegraph)
Moyes-lah yang memberikan Rooney debut di Liga Primer, saat Everton bermain imbang 2-2 lawan Tottenham Hotspur 17 Agustus 2002. Debut yang membuat Rooney tercatat sebagai pemain termuda kedua yang tampil di tim utama Everton, setelah Joe Royle.

Tapi, Moyes juga yang membuat Rooney harus meninggalkan Everton, bergabung dengan MU pada Agustus 2004 dengan transfer seharga 27 juta pound (sekitar Rp 412 miliar), lantaran hubungan yang tak harmonis. Sejak saat itu, hubungan Rooney dan Moyes makin buruk. Pada tahun 2008, keduanya bahkan sempat terlibat kasus hukum terkait oto biagrafi Rooney, yang berjudul “My Story so Far…”

Jadi, bagi Rooney, sebenarnya saat-saat berpisah dengan MU sepertinya memang sudah semakin dekat. Sulit bagi Rooney untuk mengulang masa-masa indahnya di “Setan Merah” seperti ketika dia mengantarkan MU memenangkan lima gelar liga, dua piala liga, plus Liga Champions yang merupakan supremasi tertinggi di level antarklub Eropa.

Saat ini, Rooney memang tidak terima jika hanya dijadikan yang kedua setelah Van Persie. Posisinya sebagai penyerang utama tim nasional Inggris membuat Rooney pantang menjadi nomor dua di klub. Apalagi, secara kemampuan, Rooney juga merasa dirinya tak kalah dari Van Persie.

Lihat saja, musim lalu, meski sering jadi pengganti, dia masih mampu mengoleksi total 16 gol dari 37 laga, 12 gol di antaranya di Liga Primer. Untuk itulah, Rooney sendiri merasa tak ada yang perlu dia buktikan lagi untuk menarik hati manajemen MU.

Maka, tampaknya, jika saat ini Rooney meminta dilepas, itu tampaknya benar-benar murni dari hatinya yang terdalam. Bukan seperti Oktober 2010 lalu, saat Rooney juga menghadapi fase yang kurang lebih sama. Ketika itu, dia juga sempat meminta dijual, lantaran kecewa akan kondisinya di MU. Namun, dua hari kemudian dia malah memperpanjang kontrak dengan durasi lima tahun.

Chelsea atau Arsenal?
Tapi, klub mana yang paling cocok untuk ayah dari Kai dan Klay ini. Chelsea atau Arsenal? Arsenal mungkin bisa jadi klub yang tepat bagi Rooney, jika pelatih mereka, Arsene Wenger, sedikit mengubah skema permainan mereka di lapangan.

Dengan mengandalkan kecepatan, Rooney juga bisa jadi pemain yang berguna bagi Arsenal. Dia bisa dimanfaatkan sebagai penyerang sayap, atau poacher, yang khusus menerima bola-bola suplai dari lini tengah, untuk dimanfaatkan jadi gol.

Bagi Rooney, sendiri, bermain di Arsenal juga bisa meningkatkan motivasinya untuk menunjukkan ketajamannya. Dia akan langsung head to head dengan Van Persie yang menggusurnya di MU. Bukankah Van Persie direkrut dari Arsenal?

Bagaimana dengan Chelsea? Sudah bukan rahasia lagi, jika pelatih Chelsea, Jose Mourinho sangat menyukai permainan Rooney. Pelatih asal Portugal itu bahkan sempat mengutarakan keprihatinannya saat Rooney kesulitan mendapat tempat di MU.

Jelas, jika bergabung dengan Chelsea, Rooney dipastikan akan mendapat tempat khusus dari Mourinho. Skema favorit Mourinho: 4-3-3 atau 4-2-3-1, rasanya juga cocok bagi Rooney. Posisinya sebagai target man akan mendapat dukungan maksimal dari gelandang-gelandang visioner milik Chelsea, seperti Juan Mata, Oscar, Eden Hazard, ataupun rekrutan anyar asal Jerman, Andre Schuerrle.


Namun, memang, saat ini, semuanya masih bergantung kepada MU, ke mana akan melego pemain yang sempat menjalani transplantasi rambut ini. Atau, jangan-jangan, MU memang masih belum mau berpisah dengan Rooney, sehingga sisa kontrak dua tahun milik sang pemain akan dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh “Setan Merah”.***

Sunday, April 13, 2014

Musim Bunga Rodgers



BRENDAN Rodgers tengah menuai musim bunga bersama Liverpool. Ke manapun kakinya melangkah, Melwood—markas latihan Liverpool— atau Stadion Anfield, wanginya selalu menebar ke mana-mana.

Para Liverpudlian telah dibuat jatuh hati oleh pelatih asal Irlandia Utara berusia 41 tahun itu. Hingga kompetisi Liga Primer menyisakan enam pertandingan lagi, Liverpool dibawanya kokoh bertengger di puncak klasemen.

Langkah “The Reds” ke tangga juara dipastikan makin dekat, jika malam ini, pasukan Rodgers mampu mengalahkan Manchester City, rival terkuat Liverpool dalam pacu kuda juara, selain Chelsea.

Singkat kata, Rodgers telah membuat publik Anfield berbunga-bunga. Dia telah menyatukan Liverpool sebagi sebuah entitas sepak bola. Kini, semua stakeholder di Liverpool, sepakat, musim ini adalah saat yang tepat untuk mengulang prestasi 1989/90 saat “The Reds” terakhir kali jadi kampiun Liga Primer, yang ketika itu masih menggunakan nama “Divisi Satu” di bawah asuhan Kenny Dalglish.

Namun, tentu saja semua itu tak diraih Rodgers dengan mudah. Bahkan, empat tahun lalu, dia pasti tak pernah membayangkan bisa terus tersenyum memandang Luis Suarez dan kawan-kawan bermain di lapangan sambil merasakan deg-deg plas menunggu akhir musim untuk mengangkat trofi Liga Primer.

Sempat Galau Berat
Sekitar lima tahun lalu, tak lama setelah dipecat oleh Reading, Rodgers sempat galau berat.  “Saya dipecat tanggal 16 Desember, pukul lima sore. Hari Rabu,” ujar Rodgers, seperti dikutip Express.co.uk.

Di Reading, Rodgers dianggap gagal karena hanya mampu melabuhkan enam kemenangan dari 23 pertandingan. “Pernah suatu sore, saya merenung di sebuah kedai cepat saji. Apa yang bisa saya lakukan tanpa sepak bola,” ujar Rodgers, yang mengakhiri karier sebagai pemain di usia 20 tahun. “Yang jelas, ketika itu saya hanya berharap pemecatan saya tidak merusak Natal saya bersama keluarga.”

Namun, Rodgers salah. Sebab, faktanya, hingga tahun berganti,  dia belum juga mendapat klub baru. Rodgers sempat melayangkan tiga surat lamaran untuk jadi pelatih. “Dua ke klub Championship, satu klub League One,” Rodgers bercerita. “Tapi, tak satu pun dari mereka merespons.”

Rodgers pun jelas makin gundah. Pasalnya, sang anak, Anton, yang kini bermain untuk Oldham Athletic, klub League One, begitu mengagungkan pekerjaan ayahnya sebagai pelatih. Anton sendiri ketika itu masih membela tim junior Chelsea.

Hingga Rodgers memutuskan pergi ke Dubai, Uni Emirat Arab, untuk menyepi. Pulang dari Dubai, dia membawa 11 lembar kertas berisi tulisan tentang pengalaman karier melatihnya. Rupanya sepuluh hari di negeri jazirah Arab itu dia manfaatkan sebagai masa perenungan terhadap pekerjaan kariernya.

Sayang, kabar duka mengiringi. Sang ibu meninggal saat dia berada di Dubai. “Ibu saya meninggal pada tanggal 3 Februari 2010,” ujar Rodgers. “Itulah fase terberat hidup saya. Kehilangan sepak bola dan ibu yang sangat saya cintai.”

Untung, nasib Rodgers berubah. Juli 2010, dia ditawari melatih Swansea City dan sukses membawa klub asal Wales itu promosi ke Liga Priimer.  Tak hanya itu, di musim pertama di Liga Primer, Rodgers dianggap sukses bersama Swansea, terutama gaya “tiki taka” ala Barcelona-nya yang membuat membuat Liverpool kepincut.

Belajar dari Musim Pertama

Kini, Rodgers selalu bisa tersenyum.  Dia bahkan telah membuat orang lupa bahwa, di musim pertamanya, 2012/13, Rodgers pernah membawa Liverpool membuat prestasi buruk dengan hanya mencetak tiga kemenangan di 12 laga awal. Itu prestasi terburuk “The Reds” dalam 40 tahun terakhir.

Rodgers dianggap telah belajar banyak dari musim pertamanya yang berantakan. Kini, apapun yang berada di pikirannya, apa pun yang dia instruksikannya, ibarat resep dokter yang cespleng bagi Liverpool.

Soal materi pemain, suporter pun tak lagi menggugat keputusannya menjual sejumlah bintang macam Roy Carroll, Joe Cole, ataupun Stewart Downing. Sebab, Rodgers mampu mendatangkan penggawa baru yang langsung berkontribusi bagus, seperti Daniel Sturridge dan Phillipe Coutinho. Rodgers juga dianggap sukses mengembangkan bakat-bakat pemain muda Liverpool seperti Raheem Sterling dan John Flanagan.

Tak hanya dari segi hasil. Di lapangan, Rodgers pun membut suporter terhibur. Filosofi penguasaan bola yang kuat dari kaki ke kaki tetap dipertahankannya seperti ketika menangani Swansea. Bedanya, di Liverpool, “tiki taka” milik Rodgers lebih variatif dan yang pasti efektif untuk mendulang gol. Itu bisa dilihat dari torehan gol Liverpool yang mencapai 90 gol, tertinggi di Liga Primer.

Liverpool pun menempatkan dua pemainnya, Suarez dan Sturridge di puncak daftar pencetak gol sementara. Suarez, yang asli Uruguay mencetak 29 gol. Sedangkan Sturridge yang direkrut dari Chelsea mengoleksi 20 gol.

Menyaksikan Liverpool di bawah asuhan Rodgers sekarang, fan pun teringat “The Reds” era pertengahan 1990-an, saat dilatih Roy Evans. Di mana ketika itu, perpaduan skill dan kecepatan Steve McManaman, Robbie Fowler, Michael Owen, serta Patrik Berger membuat permainan “The Reds” begitu atraktif dan asyik ditonton.

Hanya, tentu, suporter menginginkan output yang lebih baik lagi. Jika di musim 1996/97, Evans hanya mampu membawa Liverpool menduduki posisi keempat, musim ini, Rodgers diharapkan bisa memenangkan gelar liga ke-19 bagi Liverpool. Mampukah? Mengapa tidak, bukankah sekarang “musim bunga” Rodgers?***

Tulisan ini dimuat di Harian TopSkor, Edisi Sabtu-Minggu, 12-13 April 2014