BRENDAN Rodgers tengah menuai “musim bunga” bersama Liverpool. Ke manapun kakinya melangkah, Melwood—markas latihan Liverpool— atau
Stadion Anfield, wanginya selalu menebar ke mana-mana.
Para Liverpudlian telah dibuat
jatuh hati oleh pelatih asal Irlandia Utara berusia 41 tahun
itu. Hingga kompetisi Liga
Primer menyisakan enam pertandingan lagi, Liverpool
dibawanya kokoh bertengger di puncak klasemen.
Langkah “The Reds” ke tangga
juara dipastikan makin dekat, jika malam ini, pasukan Rodgers mampu mengalahkan Manchester City,
rival terkuat Liverpool dalam pacu kuda juara, selain Chelsea.
Singkat kata, Rodgers telah membuat publik Anfield berbunga-bunga. Dia
telah menyatukan Liverpool sebagi sebuah entitas sepak bola. Kini, semua stakeholder di Liverpool, sepakat, musim
ini adalah saat yang tepat untuk mengulang prestasi 1989/90 saat “The Reds”
terakhir kali jadi kampiun Liga Primer, yang ketika itu masih menggunakan nama
“Divisi Satu” di bawah asuhan Kenny Dalglish.
Namun, tentu saja semua itu tak diraih Rodgers dengan mudah. Bahkan, empat
tahun lalu, dia pasti tak pernah membayangkan bisa terus tersenyum memandang
Luis Suarez dan kawan-kawan bermain di lapangan sambil merasakan deg-deg plas
menunggu akhir musim untuk mengangkat trofi Liga Primer.
Sempat
Galau Berat
Sekitar lima tahun lalu, tak lama setelah dipecat oleh Reading, Rodgers sempat galau berat. “Saya dipecat tanggal 16 Desember, pukul lima
sore. Hari Rabu,” ujar Rodgers, seperti dikutip Express.co.uk.
Di Reading, Rodgers dianggap gagal karena hanya mampu melabuhkan enam
kemenangan dari 23 pertandingan. “Pernah suatu sore, saya merenung di sebuah
kedai cepat saji. Apa yang bisa saya lakukan tanpa sepak
bola,” ujar Rodgers, yang mengakhiri karier sebagai pemain di usia 20 tahun.
“Yang jelas, ketika itu saya hanya berharap pemecatan saya tidak merusak Natal
saya bersama keluarga.”
Namun, Rodgers salah. Sebab, faktanya, hingga tahun berganti, dia belum juga mendapat klub baru. Rodgers
sempat melayangkan tiga surat lamaran untuk jadi pelatih. “Dua ke klub
Championship, satu klub League One,” Rodgers bercerita. “Tapi, tak satu pun
dari mereka merespons.”
Rodgers pun jelas makin gundah. Pasalnya, sang anak, Anton, yang kini
bermain untuk Oldham Athletic, klub League One, begitu mengagungkan pekerjaan
ayahnya sebagai pelatih. Anton sendiri ketika itu masih membela tim junior
Chelsea.
Hingga Rodgers memutuskan pergi ke Dubai, Uni Emirat Arab, untuk menyepi.
Pulang dari Dubai, dia membawa 11 lembar kertas berisi
tulisan tentang pengalaman karier melatihnya. Rupanya sepuluh hari di negeri
jazirah Arab itu dia manfaatkan sebagai masa perenungan terhadap pekerjaan
kariernya.
Sayang, kabar duka mengiringi. Sang ibu meninggal saat dia berada di Dubai.
“Ibu saya meninggal pada tanggal 3 Februari 2010,” ujar Rodgers. “Itulah fase
terberat hidup saya. Kehilangan sepak bola dan ibu yang sangat saya cintai.”
Untung, nasib Rodgers berubah. Juli 2010, dia ditawari melatih Swansea City
dan sukses membawa klub asal Wales itu promosi ke Liga Priimer. Tak hanya itu, di musim pertama di Liga
Primer, Rodgers dianggap sukses bersama Swansea, terutama gaya “tiki taka” ala Barcelona-nya yang
membuat membuat Liverpool kepincut.
Belajar
dari Musim Pertama
Kini, Rodgers selalu bisa tersenyum.
Dia bahkan telah membuat orang lupa bahwa, di musim pertamanya, 2012/13,
Rodgers pernah membawa Liverpool membuat prestasi buruk dengan hanya mencetak
tiga kemenangan di 12 laga awal. Itu prestasi terburuk “The Reds” dalam 40 tahun terakhir.
Rodgers dianggap telah belajar banyak dari musim pertamanya yang
berantakan. Kini, apapun yang berada di pikirannya, apa pun yang dia instruksikannya,
ibarat resep dokter yang cespleng bagi Liverpool.
Soal materi pemain, suporter pun tak lagi menggugat keputusannya menjual
sejumlah bintang macam Roy
Carroll, Joe Cole, ataupun Stewart Downing. Sebab, Rodgers mampu mendatangkan
penggawa baru yang langsung berkontribusi bagus, seperti Daniel Sturridge dan
Phillipe Coutinho. Rodgers juga dianggap sukses mengembangkan bakat-bakat pemain
muda Liverpool seperti Raheem Sterling dan John Flanagan.
Tak hanya dari segi hasil. Di lapangan, Rodgers pun membut suporter
terhibur. Filosofi penguasaan bola yang kuat dari kaki ke kaki tetap
dipertahankannya seperti ketika menangani Swansea. Bedanya, di Liverpool, “tiki taka” milik Rodgers lebih variatif
dan yang pasti efektif untuk mendulang gol. Itu bisa dilihat dari torehan gol
Liverpool yang mencapai 90 gol, tertinggi di Liga Primer.
Liverpool pun menempatkan dua pemainnya, Suarez dan Sturridge di puncak
daftar pencetak gol sementara. Suarez, yang asli Uruguay mencetak 29 gol.
Sedangkan Sturridge yang direkrut dari Chelsea mengoleksi 20 gol.
Menyaksikan Liverpool di bawah asuhan Rodgers sekarang, fan pun teringat “The Reds” era pertengahan 1990-an, saat dilatih Roy Evans. Di mana
ketika itu, perpaduan skill dan kecepatan Steve McManaman, Robbie Fowler,
Michael Owen, serta Patrik Berger membuat permainan “The Reds” begitu atraktif dan asyik ditonton.
Hanya, tentu, suporter menginginkan output yang lebih baik lagi. Jika di
musim 1996/97, Evans hanya mampu membawa Liverpool menduduki posisi keempat,
musim ini, Rodgers diharapkan bisa memenangkan gelar liga ke-19 bagi Liverpool.
Mampukah? Mengapa tidak, bukankah sekarang “musim bunga” Rodgers?***
Tulisan ini dimuat di Harian TopSkor, Edisi Sabtu-Minggu, 12-13 April 2014
No comments:
Post a Comment