Sunday, April 13, 2014

Musim Bunga Rodgers



BRENDAN Rodgers tengah menuai musim bunga bersama Liverpool. Ke manapun kakinya melangkah, Melwood—markas latihan Liverpool— atau Stadion Anfield, wanginya selalu menebar ke mana-mana.

Para Liverpudlian telah dibuat jatuh hati oleh pelatih asal Irlandia Utara berusia 41 tahun itu. Hingga kompetisi Liga Primer menyisakan enam pertandingan lagi, Liverpool dibawanya kokoh bertengger di puncak klasemen.

Langkah “The Reds” ke tangga juara dipastikan makin dekat, jika malam ini, pasukan Rodgers mampu mengalahkan Manchester City, rival terkuat Liverpool dalam pacu kuda juara, selain Chelsea.

Singkat kata, Rodgers telah membuat publik Anfield berbunga-bunga. Dia telah menyatukan Liverpool sebagi sebuah entitas sepak bola. Kini, semua stakeholder di Liverpool, sepakat, musim ini adalah saat yang tepat untuk mengulang prestasi 1989/90 saat “The Reds” terakhir kali jadi kampiun Liga Primer, yang ketika itu masih menggunakan nama “Divisi Satu” di bawah asuhan Kenny Dalglish.

Namun, tentu saja semua itu tak diraih Rodgers dengan mudah. Bahkan, empat tahun lalu, dia pasti tak pernah membayangkan bisa terus tersenyum memandang Luis Suarez dan kawan-kawan bermain di lapangan sambil merasakan deg-deg plas menunggu akhir musim untuk mengangkat trofi Liga Primer.

Sempat Galau Berat
Sekitar lima tahun lalu, tak lama setelah dipecat oleh Reading, Rodgers sempat galau berat.  “Saya dipecat tanggal 16 Desember, pukul lima sore. Hari Rabu,” ujar Rodgers, seperti dikutip Express.co.uk.

Di Reading, Rodgers dianggap gagal karena hanya mampu melabuhkan enam kemenangan dari 23 pertandingan. “Pernah suatu sore, saya merenung di sebuah kedai cepat saji. Apa yang bisa saya lakukan tanpa sepak bola,” ujar Rodgers, yang mengakhiri karier sebagai pemain di usia 20 tahun. “Yang jelas, ketika itu saya hanya berharap pemecatan saya tidak merusak Natal saya bersama keluarga.”

Namun, Rodgers salah. Sebab, faktanya, hingga tahun berganti,  dia belum juga mendapat klub baru. Rodgers sempat melayangkan tiga surat lamaran untuk jadi pelatih. “Dua ke klub Championship, satu klub League One,” Rodgers bercerita. “Tapi, tak satu pun dari mereka merespons.”

Rodgers pun jelas makin gundah. Pasalnya, sang anak, Anton, yang kini bermain untuk Oldham Athletic, klub League One, begitu mengagungkan pekerjaan ayahnya sebagai pelatih. Anton sendiri ketika itu masih membela tim junior Chelsea.

Hingga Rodgers memutuskan pergi ke Dubai, Uni Emirat Arab, untuk menyepi. Pulang dari Dubai, dia membawa 11 lembar kertas berisi tulisan tentang pengalaman karier melatihnya. Rupanya sepuluh hari di negeri jazirah Arab itu dia manfaatkan sebagai masa perenungan terhadap pekerjaan kariernya.

Sayang, kabar duka mengiringi. Sang ibu meninggal saat dia berada di Dubai. “Ibu saya meninggal pada tanggal 3 Februari 2010,” ujar Rodgers. “Itulah fase terberat hidup saya. Kehilangan sepak bola dan ibu yang sangat saya cintai.”

Untung, nasib Rodgers berubah. Juli 2010, dia ditawari melatih Swansea City dan sukses membawa klub asal Wales itu promosi ke Liga Priimer.  Tak hanya itu, di musim pertama di Liga Primer, Rodgers dianggap sukses bersama Swansea, terutama gaya “tiki taka” ala Barcelona-nya yang membuat membuat Liverpool kepincut.

Belajar dari Musim Pertama

Kini, Rodgers selalu bisa tersenyum.  Dia bahkan telah membuat orang lupa bahwa, di musim pertamanya, 2012/13, Rodgers pernah membawa Liverpool membuat prestasi buruk dengan hanya mencetak tiga kemenangan di 12 laga awal. Itu prestasi terburuk “The Reds” dalam 40 tahun terakhir.

Rodgers dianggap telah belajar banyak dari musim pertamanya yang berantakan. Kini, apapun yang berada di pikirannya, apa pun yang dia instruksikannya, ibarat resep dokter yang cespleng bagi Liverpool.

Soal materi pemain, suporter pun tak lagi menggugat keputusannya menjual sejumlah bintang macam Roy Carroll, Joe Cole, ataupun Stewart Downing. Sebab, Rodgers mampu mendatangkan penggawa baru yang langsung berkontribusi bagus, seperti Daniel Sturridge dan Phillipe Coutinho. Rodgers juga dianggap sukses mengembangkan bakat-bakat pemain muda Liverpool seperti Raheem Sterling dan John Flanagan.

Tak hanya dari segi hasil. Di lapangan, Rodgers pun membut suporter terhibur. Filosofi penguasaan bola yang kuat dari kaki ke kaki tetap dipertahankannya seperti ketika menangani Swansea. Bedanya, di Liverpool, “tiki taka” milik Rodgers lebih variatif dan yang pasti efektif untuk mendulang gol. Itu bisa dilihat dari torehan gol Liverpool yang mencapai 90 gol, tertinggi di Liga Primer.

Liverpool pun menempatkan dua pemainnya, Suarez dan Sturridge di puncak daftar pencetak gol sementara. Suarez, yang asli Uruguay mencetak 29 gol. Sedangkan Sturridge yang direkrut dari Chelsea mengoleksi 20 gol.

Menyaksikan Liverpool di bawah asuhan Rodgers sekarang, fan pun teringat “The Reds” era pertengahan 1990-an, saat dilatih Roy Evans. Di mana ketika itu, perpaduan skill dan kecepatan Steve McManaman, Robbie Fowler, Michael Owen, serta Patrik Berger membuat permainan “The Reds” begitu atraktif dan asyik ditonton.

Hanya, tentu, suporter menginginkan output yang lebih baik lagi. Jika di musim 1996/97, Evans hanya mampu membawa Liverpool menduduki posisi keempat, musim ini, Rodgers diharapkan bisa memenangkan gelar liga ke-19 bagi Liverpool. Mampukah? Mengapa tidak, bukankah sekarang “musim bunga” Rodgers?***

Tulisan ini dimuat di Harian TopSkor, Edisi Sabtu-Minggu, 12-13 April 2014

No comments:

Post a Comment