SEINDAH alunan suara John Lennon, semanis harmonisasi sederhana lagu-lagu The Beatles. Begitulah masa kecilku dulu. Menyimak lagu-lagu The Beatles memang kerap membuat ingatanku melayang ke masa silam, saat masih kanak-kanak.
Ayahku memang penggemar berat The Beatles. Tak heran, sejak usia sekitar sembilan tahun atau saat masih duduk di kelas empat SD, aku sudah terbiasa mendengarkan lagu-lagu milik kuartet asal Liverpool itu, musik ngak-ngek-ngok kata presiden pertama kita.
Dulu, aku memang sama sekali tak mengerti arti lirik-lirik lagu The Beatles. Yang kutahu, ayahku sering menyenandungkan lagu-lagu The Beatles. Lagu “Lovely Rita” adalah favorit ayahku.
Aku tak mengarang, ayahku sendiri yang mengatakan itu saat aku menginjak remaja dan mulai memainkan lagu-lagu The Beatles bersama band SMA-ku. Aku sendiri heran, mengapa “Lovely Rita”. Padahal, ibuku bernama Elfa Yohana, bukan “Rita”.
Tapi, sudahlah, aku pun tak pernah menanyakan alasannya. Yang pasti, setelah menginjak dewasa, aku setuju bahwa The Beatles-di luar perilaku pribadi personelnya-memang pantas digilai.
The Beatles, yang beranggotakan John Lennon (gitar/vocal), Paul McCartney (bass/vocal), George Harrison (gitar), dan Ringo Starr (drum), disebut-sebut sebagai pelopor musik rock n‘ roll bersama Elvis Presley, memang tak pernah akan hilang ditelan masa. Dari waktu ke waktu, penggemarnya bahkan terus bertambah.
Di negeri ini saja, tak terhitung banyaknya band-band tribute untuk kelompok yang satu ini. Mulai dari Bharata Band di era 1980-an, hingga G-Pluck band asal Bandung yang begitu mirip saat memainkan lagu-lagu The Beatles.
G-Pluck bahkan pernah didaulat untuk tampil di acara The Beatles Week Festival di Liverpool. Ini ajang bergengsi tahunan yang digelar untuk mengenang kejayaan The Beatles.
Dari segi lirik, The Beatles memang “juara”. Bermacam tema yang mereka angkat dalam lagu-lagunya, begitu mengena dalam kehidupan sehari-hari. Dari soal cinta, kehidupan sosial, hingga masalah perdamaian dunia, mereka nyanyikan dengan begitu sederhana.
Lagu“Let It Be” adalah bukti nyata betapa The Beatles amat peduli akan perdamaian di dunia. Sedangkan lagu “Lovely Rita”, “All My Loving”, “And I Love Her”, ataupun “Don’t Let Me Down” memperlihatkan betapa romantisnya Lennon dan kawan-kawan.
Namun, yang menarik, dari sisi musikalitas, The Beatles konon ternyata salah satunya terispirasi dari sebuah grup asal Indonesia, The Tielman Brothers. Well, meski personelnya asli Indonesia, grup ini memang terdengar asing di telinga kita.
Sebab, selain jadul, mereka juga lebih eksis di Belanda. Ya, The Tielman Brothers, yang digawangi Tielman bersaudara: Andy, Reggy, Ponthon, dan Loulou, memang sempat menjajah Eropa di era pada periode 1950-60-an.
Selain ngetop di Belanda, mereka juga kerap mengadakan show di Belgia, Inggris, dan Jerman. Konon, McCartney sempat beberapa kali menyaksikan pertunjukan putra-putra pasangan Herman Tielman Flora Lorine Hess ini.
Lagu-lagu mereka seperti “Black Eyes”, “Rollin & Rock” atau “Rock It Up” begitu populer dan banyak menginsipriasi musisi-musisi barat ketika itu. Apalagi masih ditambah dengan stage act alias gaya panggung mereka yang atraktif, bahkan cenderung gila-gilaan.
Kemampuan gitar Andy, sang dedengkot, ketika itu pun banyak membuat musisi bule takjub. Dengan teknik tinggi, dia memainkan rock n‘ roll, seperti dia sendiri yang menciptakan rock n‘ roll, begitu hidup dan bernyawa. Ingat, mereka hadir, sebelum era dewa-dewa gitar macam Jimi Hendrix, Ritchie Blackmore, ataupun Yngwie Malmsteen.
Ini menjadi bukti, sejak dulu Indonesia tak pernah kekurangan bakat-bakat dalam bidang apapun, termasuk musik. Begitu juga soal tulis-menulis, yang karya-karyanya juga terampar begitu luas di rumah sehat ini.
“CHANDRA”, begitu aku memanggil dia. Bukan nama sebenarnya. Nama yang diberikan orangtuanya sebenarnya lebih bagus. Tapi, dia lebih suka dipanggil begitu. “Biar keren,” katanya.
Dia pun memanggilku “Chris”. Bukan “Kris”, dari nama belakangku. Tapi, “Chris” ya “Chris”. Kami bersahabat sejak duduk di sekolah dasar. Kemudian berlanjut di SMP, yang membuat persahabatan kami semakin kental.
Sekolah kami, sebuah SMP swasta. Sekolah kecil, yang ketika itu baru didirikan sebagai cabang dari sekolah yang sama, di kawasan Cipete, Jakarta Selatan. Ya, kami angkatan pertama, jadi semua orang di sekolah tahu, “Chandra adalah Chris”.
Kami memang sahabat, ya sahabat. Benar-benar sahabat. Dulu dia sering menulis nama kami berdua di meja tulis, tembok sekolah, atau di mana pun tempat yang kami singgahi. Tak jarang, dia rela mengukir nama kami berdua di batang pohon dengan sebilah pisau.
Selalu, dia menulis namaku terlebih dahulu. “Chris & Chandra”. Aku sendiri tak tahu apa alasannya. Bagiku itu sebuah penghargaan darinya terhadap persahabatan kami yang tulus.
Banyak sekali kenanganku di masa-masa SMP bersama dia. Bolos bareng, camping, menjelajah kota Bogor dengan menumpang bermacam truk, berkelahi dengan anak-anak kampung belakang sekolah, sampai dikejar-kejar orang sekampung karena mencuri ketimun di kebun sebelah sekolah.
Dulu, dia sering mengibaratkan kami layaknya “Boy” dan “Andi” atau “Kendi”, dua tokoh dalam sandiriwara radio “Catatan Si Boy” yang ketika itu mengudara di Radio Prambors di gelombang AM 666. Ini sandiwara karangan Marwan Al Katiri yang menggambarkan persahabatan dua cowok. Boy ganteng, kaya, jadi idola para gadis. Kendi tukang pukulnya.
Chandra mengibaratkan dirinya layaknya Boy, sedangkan aku Kendi. Namun, dalam keseharian, justru dia yang sering “berperan” sebagai Kendi, sang bodyguard. Ya, bukan sekali dua, dia jadi tukang pukulku. Selalu saja dia pasang badan, saat aku bermasalah.
Tapi, memang harus diakui, tampang Chandra jauh lebih baik daripadaku. Gayanya pun flamboyan.
Sebagai cowok, dia juga sangat modis. Barang-barangnya semuanya milik kelas atas. Sepatu, arloji, baju, tas. Semuanya branded. Padahal, kami hanyalah anak pegawai negeri sipil. Tapi, aku tak pernah tanya, dapat uang dari mana dia sehingga bisa membeli barang-barang mahal itu.
Chandra pula yang sempat mengenalkanku ke dunia gemerlap, zaman itu. Beberapa kali dia mengajakku ke diskotek “Happy Days” atau “Lipstick”, yang terletak di kawasan Blok M. Bermain sepatu roda, atau sekadar ngecengin cewek-cewek Pondok Indah atau Kemang.
Sayang, aku tak pernah tertarik, karena otakku, pikiranku, sudah “teracuni” lagu-lagu Iwan Fals. Aku malah merasa jengah berada di tempat seperti itu. Kerlap-kerlip lampu, goyangan gadis-gadis dengan sepatu rodanya, justru membuat aku tak nyaman.
Tapi, Chandra adalah sosok yang rapuh, ataupun mungkin juga lebay, kata orang sekarang. Kerap kali dia melakukan hal-hal yang tak masuk di akal saat merasa frustrasi.
Pernah suatu kali dia mencoba bunuh diri meminum obat nyamuk cair, lantaran putus cinta. Aku pun datang ke kamarnya. Kutinju dia. “Goblok!” kataku. Halah anak SMP mau bunuh diri.
Tapi, Chandra juga yang menampungku di kamarnya, saat aku lari dari rumah. Ketika itu, aku diomeli habis-habisan oleh ayah karena ada laporan dari tetangga yang melihatku merokok di dekat masjid komplek tempatku tinggal. Chandra menasihatiku agar pulang. “Kasihan orangtua lo,” kata dia.
Itulah sahabat. Saling mengisi, saling menjaga. Si A harus bisa menjadi sandaran saat si B tak berdaya.
Bersama Chandra pula aku mengenal apa yang disebut barang haram. Untung, tak berlanjut. Nyaliku terlalu kecil untuk meneruskan tabiat buruk itu. Namun, Chandra tidak. Dia terus larut.
Belakangan, aku tahu penyebab itu semua. Chandra kecewa, marah, frustrasi terhadap keadaan rumah tangga orangtuanya. Ah, lagi-lagi Chadra terlalu mendramatisir.
Lulus SMP, kami sama-sama diterima di SMA negeri. Sayang, kami harus berpisah, karena mendapat SMA yang berbeda. Sejak saat itu, aku kehilangan kontak dengan dia.
Aku sibuk dengan hobi baruku di SMA, bermusik dan bergaul dengan teman-teman sekolahku tentunya. Sedangkan Chandra, kudengar makin tak karuan. SMA-nya tak tamat, kelakuannya makin tak jelas. Terus begitu.
Sempat beberapa kali aku datang ke rumahnya. Tapi, suasananya sudah tak seperti dulu. Chandra sudah lebih mirip preman, ketimbang sahabat yang hangat. Setiap kusinggung kenangan-kenangan semasa SMP, dia menampik. Entah kenapa. Waktu terus berlalu, aku benar-benar kehilangan kabar darinya. Sampai kudengar berita itu. Chandra kehilangan kewarasannya!
Sering dia berdandan ala pendekar, rambut acak-acakan, keliling komplek membawa gitar, bernyanyi asal-asalan. Hilang akal, sampai sekarang.
Aku sedih, menangis, tak bisa apa-apa. Sekitar sebulan lalu, saat mengunjungi rumah orangtuaku, aku berpapasan dengan dia, setelah puluhan tahun tak bertemu. Dari dalam mobil, aku melihat dia menyisir trotoar dengan rambut gondrong, pakaian compang-camping membawa okulele.
Saat itu, ingin aku turun, menyapanya, memeluknya, bercerita tentang gadis-gadis yang pernah kami pacari, tentang ibu kepala sekolah SMP yang tak pernah bosan menceramahi kami, tentang anak SMA seberang sekolah yang kami keroyok karena memalakku, tentang banyak hal. Tapi, tak mungkin karena aku bersama kedua anakku. Hatiku terkoyak. Maafin gue ndra….
TERKINI - Inilah formasi terkini Tesla. Dari kiri ke kanan:
Dave Rude (gitar), Troy Luccketta (drum),Jeff Keith (vokal), Brian Wheat (bass),
dan Frank Hannon (gitar)-noisecreep
NAMA mereka memang tak setenar Bon Jovi atau Guns N’ Roses. Penampilan mereka juga tak seglamor KISS, Motley Crue, atau Poison. Padahal, Tesla juga hidup di era itu. Era saat bendera glam rock berkibar begitu kencang, di awal hingga pertengahan tahun 1990-an.
Namun, Tesla yang ketika itu digawangi Jeff Keith (vokal), Tommy Skeoch dan Frank Hannon (gitar), Brian Wheat (bass), serta Troy Luccketta (drum), tetap mampu meninggalkan jejaknya. Album mereka di tahun 1990, “Five Man Acoustical Jam”, begitu fenomenal.
Tak hanya laris di pasaran, album full akustik yang direkam dari pertunjukan mereka di Trocadero Theater, Philadelpia, Amerika Serikat (AS) ini juga meraih penghargaan multi-platinum. Sementara bagi Tesla, yang didirikan tahun 1982, ini merupakan album paling laku dalam sejarah bermusik mereka.
Lagu-lagu di album ini, yang diambil dari album-album Tesla sebelumnya macam “Love Song”, “Paradise” ataupun “The Way It Is” kembali jadi hits. Grup asal Sacramento, Kalifornia, Amerika Serikat (AS) ini juga dianggap berhasil menghidupkan lagi “nyawa” lagu-lagu rock lawas, seperti “Sign” milik Five Man Electrical Band, “Mother’s Little Helper” (The Rolling Stones), “Lodi” (CCR), serta “We Can Work It Out” (The Beatles) lewat komposisi-komposisi akustik yang brilian.
Album yang dirilis Geffen Records ini pun jadi perbincangan pengamat musik, ketika itu. Mereka rata-rata memuji “keberanian” Tesla merekam secara live pertunjukan akustik mereka dalam satu album.
Ya, merilis album dalam bentuk live akustik full memang merupakan terobosan baru saat itu. Betul, banyak band-band rock pendahulu mereka yang telah memasukkan unsur akustik dalam lagu-lagu mereka, atau menggelar pertunjukan-pertunjukan akustik.
Sebut saja “Stairway to Heaven” milik Led Zeppelin tahun 1970-an. Atau lagu “Wanted Dead or Live” yang dirilis Bon Jovidi tahun 1986 dalam album “Slippery When Wet”. Namun, merilis satu album dalam bentuk rekaman live full akustik, baru Tesla yang melakukannya, ketika itu.
Tak hanya itu, kemampuan Hannon dan kawan-kawan mengaransemen ulang lagu-lagu lawas dalam bentuk akustik full pun mendapat acungan jempol. Tanpa menghilangkan napas blues dan rock, Tesla membuat lagu-lagu yang ada di album “Five Man Accoustical Jam” ini tetap terdengar “fresh”, easy listening, sehingga kita tak perlu mengernyitkan dahi. Tak heran, sebutan sebagai “jagonya acoustic rock” pun melekat kepada mereka.
Tesla memang sangat menyatu saat membawa musik akustik mereka. Karakter vokal Keith unik begitu pas berpadu dengan suara-suara cempreng dan clean gitaran Hannon dan Skeoch. Vokal Keith yang sengau dan powerfull memang salah satu keunggulan Tesla.
UNIK - Vokal Jeff Keit yang unik
jadi salah satu kekuatan Tesla-therangeplace
Range vokal Keith memang tak terlalu lebar, apalagi jika dibandingkan dengan Sebastian Bach, misalnya. Namun, Ketih tetap mampu menjangkau nada-nada tinggi dan justru saat itulah semakin terdengar kekhasan vokal pria kelahiran Arkansas, AS, 12 Oktober 1958 ini. Tak percaya? Coba dengar lagu “Paradise” atau “Getting Better”.
Sementara di setiap lagu, terlihat betul kematangan duet gitaris Hannon dan Skeoch menguasai senar-senar gitar bolong. Tak melulu memainkan teknik-teknik gitar klasik, sound yang keluar dari gitar Hannon dan Skeoch juga terdengar lebih nge-blue, meski tetap nyawa rock begitu terasa. Coba dengar lagu intro “Love Song” di mana teknik sweep picking dan shred bisa menghasilkan suara yang begitu cling.
Inspirasi MTV
Selain itu, atmosfer “live” di setiap lagu dalam album ini juga terasa lebih mengena. Suasana di dalam Trocadero Theater, yang menjadi arena konser jadi begitu cair. Tesla dan para penontonnya tedengar begitu akrab lantaran Keith sangat hebat berkomunikasi, berdialog dengan penggemar mereka.
Tak heran, album ini juga disebut-sebut menjadi inspirasi MTV untuk membuat album serupa untuk band atau penyanyi yang tampil di acara MTV Unplugged, yang mereka tayangkan sejak pertengahan tahun 1980-an. Sebut saja Bruce Springsteen, Eric Clapton, Bob Bylan, sampai Nirvana yang legendaris itu.
Yang menarik, Tesla sendiri mengaku awalnya tak berniat merilis album ini. Konser full akustik ini memang mereka lakukan secara spontan untuk menghilangkan kejenuhan di sela-sela tur konser mereka.
“Ketika itu, kami sedang tur bersama Motley Crue dan mendapat dua hari off,” Keith bercerita kepada noisecreep. “Jadi, kami memutuskan menggelar pertunjukan solo dan mencoba beberapa materi termasuk cover version band lain secara akustik.”
Untungnya, Tesla sangat serius mempersiapkan “konser dadakan” ini. Mereka membawa truk dengan perlengkapan rekaman 24 trek untuk meng-capture pertunjukan mereka secara audio-visual.
Beberapa waktu kemudian, dalam sebuah wawancara di radio, Tesla memainkan demo lagu “Sign” hasil rekaman mereka di Trocadero Theater. Pihak produser pun terpincut dan kemudian merilisnya dalam bentuk album full.
Setelah album ini, nama Tesla kian menjulang. Album “Pshycotic Supper” yang dirilis tahun 1991 dan memunculkan hits “Edison’s Medicine” dan “Song and Emotion” juga mendapat platinum. Begitu juga dengan “Bust a Nut” yang dirilis 1994, mendapat sertifikasi gold.
PENGGANTI SKEOCH - Dave Rude menggantikan
Tommy Skeoch di rhythm guitar sejak 2006-allacces
Hebatnya, meski masuk dalam gerbang glam rock di era tersebut, Tesla tak terpancing untuk berglamor ria dalam hal atribut panggung. Pakaian mereka di panggung sangat sederhana. Mereka pun dikenal sebagai band rock yang identik dengan blue jeans, t-shirt, dan kemeja lengan panjang. “Kami lebih mengutamakan musik daripada fisik,” ujar Keith. “Musik kami keluar dari hati.”
Sayang, seiring dengan semakin tergilasnya glam rock, hard rock, heavy metal oleh serbuan alternative rock, nama Tesla pun mulai redup. Mereka memang sempat merilis beberapa album di akhir 1990-an hingga 2000-an, termasuk album live dan cover version. Namun, sulit bagi mereka untuk kembali menjangkau para penggemar seperti di masa keemasan.
“Forever More” yang dirilis tahun 2008 menjadi album studio terakhir mereka. Di album ini, Tesla sudah diperkuat gitaris Dave Rude yang menggantikan Skeoch sejak 2006. Kembali ke Akar
“Back to the roots” alias “kembali ke akar” begitulah tema yang diusung Tesla saat merilis album “Twisted Wires and The Acoustic Sessions…” di tahun 2011. Seperti juga “Five Man Acoustical Jam”, sesuai judulnya, semua lagu di album ini dibawakan secara akustik. Bedanya, jika album “Five Man Acoustical Jam” direkam secara live di Trocadero Teather, “Twisted Wires….” direkam di studio.
Materinya pun, 80 persen merupakan lagu-lagu lama Tesla plus beberapa cover version dari band-band rock terkemuka. Namun, Tesla menambahkan dua lagu baru “2nd Streed” dan “Better off Without You”.
Menarikya, tak satupun lagu yang ada di album “Five Man Acoustical Jam”, dimainkan di album “Twisted Wires….” ini. Hal menarik lainnya, ada enam lagu “Into the Now”, “Hang Tough”, “Edison’s Medicine”, “Shine Away”, “I Love You”, dan “Song and Emotion” yang masih menampilkan Skeoch sebagai rhythm guitar.
Enam lagu tersebut memang direkam enam tahun sebelum album ini dirilis di studio milik sang bassist, Brian Wheat. Seperti diketahui, Skeoch secara resmi keluar pada tahun 2006 lantaran tak mampu menghentikan kecanduannya terhadap minuman keras dan narkoba.
Di album ini, Tesla kembali lagi mempertontonkan kepiawaian mereka mentransformasi sound-sound gahar electric gitar mereka menjadi nada-nada yang lebih halus dan enak didengar. Namun, tentu, tanpa menghilang “nyawa” rock dan blues yang tetap melekat pada lagu-lagu mereka.
Banyak band, atau musisi rock tak terlalu berani mengubah banyak lagu-lagu mereka saat memainkannya secara akustik, apalagi dalam proses rekam ulang. Namun, Tesla justru jagonya dalam hal ini.
Dengar saja lagu “Edison’s Medicine” yang di versi aslinya begitu galak memamerkan lengkingan gitaran Hannon. Di album “Twisted Wires…” , lagu ini tetap terdengar garang, meski seratus persen sound dan gaya gitarannya berbeda.
Atau lagu “Hang Tough” yang tiba-tiba berubah menjadi lagu balada. Padahal, versi aslinya, lagu yang terdapat di album kedua, “The Great Radio Controversy” ini asli rock n roll dan full beat!
Sementara di lagu “What You give” dan “Shine Away”, terasa betul nyawa yang diberikan petikan gitar Hannon. Tentu saja lagi-lagi, nyawa lagu jadi semakin terasa lantaran vocal sengau Keith.
Hebat memang, di usia yang telah mencapai 53 tahun, suara Keith nyaris tak berubah. Identik dengan vokalnya saat masih berusia 32 tahun, ketika merilis album “Five Man Acoustical Jam”.
Kepiawaian Tesla meracik lagu rock ballad juga mereka perlihatkan di dua lagu baru di album ini. “2nd Street” dan “Better off Without You”. Dengar pula petikan gitar melodi Hannon di dua lagu ini. Wuihhhh…..
Namun, dari total 12 track, lagu “I Love You” yang benar-benar membuat saya merinding. Lagu yang merupakan daur ulang milik Climax Blues Band yang ngetop di awal tahun 1981, dimainkan begitu penuh penghayatan oleh Keith dan kawan-kawan.
Jika Anda sempat mendengarkan versi aslinya, jelas sekali akan terasa perbedaannya. Tentu, ini berkaitan dengan taste para musisinya dan juga tren musik yang berlaku. Awalnya saya juga menyangka ini merupakan lagu milik Tesla sendiri.
Namun, sungguh, mendengar lagu “I Love You” di album “Twisted Wires…” ini benar-benar membawa kita ke alam kasmaran yang paling dalam. Tak hanya vokal Keith yang membuat lagu ini sedikit terdengar gloomy dan syahdu. Nuansa yang dibangun instrumen akustik yang dimainkan Hannon dan kawan-kawan juga benar-benar menghanyutkan. Belum lagi jika Anda dengarkan secara jeli syair yang dibuat Derek Holt, pemain bass Climax Blues Band.
Percayalah, setelah mendengar lagu ini, Anda akan merasa bertambah cinta kepada pasangan Anda. :)
Note:
Saat ini, Tesla tengah dalam penggaparan album mereka yang rencananya dirilis tahun 2014. Sumber: noisecreep, loudwire, wikipedia, youtube, berbagai sumber
INI cerita tentang dua band favorit saya semasa SMA: Guns N’ Roses (GN’R) dan Red Hot Chilli Peppers (RHCP). Tentu saja berita baik yang ingin saya ceritakan. Ya, keduanya baru saja “resmi” menjadi band-band legenda rock n roll lantaran nama mereka telah masuk dalam The Rock and Roll Hall of Fame and Museum yang berlokasi di Lake Erie, Cleveland, Ohio, Amerika Serikat.
GN’R dan RHCP dilantik (inducteed) masuk Rock n Roll of Fame perayaan tahunan Rock and Roll Hall of Fame yang ke-27, yang digelar Pulic Hall, Claveland, Sabtu (14/4) lalu. Seperti layaknya proses-proses “pelantikan” terhadulu, keduanya pun didaulat tampil membawakan lagu-lagu hits mereka.
Hebatnya, nyaris semua personel asli GN’R tampil di acara ini. Sebut Steven Adler, Mat Sorum (drum), Duff McKagan (bass), dan Slash serta Gilby Clarke (gitar). Hanya, sang front man, Axl Rose, dan gitaris Izzy Stradlin, yang absen.
Sejak awal, Axl itu memang menolak hadir. Dia bahkan mengaku tak suka namanya dimasukkan dalam list Rock N Roll of Fame bersama rekan-rekan seperjuangannya itu. Alhasil, dalam konser pelantikan itu, posisi Axl digantikan Myles Kennedy, yang juga merupakan vokalis Altar Bridge. Maka melantunlah sejumlah hits GN’R, semodel “Sweet Child O Mine” ataupun “Paradise City”.
Berbeda dengan GN’R, RHCP hadir dengan “kekuatan penuh”. Anthony Kiedis (vocal), Flea (bass), Chad Smith (drum) serta gitaris baru mereka, Josh Klinghoffer, tampil amat menghibur dengan nomor-nomor tenar seperti “By The Way”, “Higher Ground”, ataupun “Give It Away”. Dua eks drummer RHCP, Jack Irons, dan Cliff Martinez juga hadir di acara ini.
GN’R “dilantik” oleh vokalis Green Day, Billie Joe Amstrong, yang juga membuka penampilan mereka. Sedangkan RHCP “dilantik” oleh komedian Chris Rock, yang juga merupakan sahabat dan penggemar berat band asal Los Angeles itu.
“Apetite for Desctruction (album pertama GN’R) adalah debut album terbaik dalam sejarah rock n roll,” ujar Billie Joe, induction speech-nya, seperti dikutip mtv.ca. Billie Joe juga membela Axl yang mendapat cemooh dari penggemar GN’R yang hadir. “Stop! Axl Rose ada front man terbaik yang pernah ada,” dia menegaskan.
Sementara Kiedis, dalam sambutannya mendedikasikan penghargaan ini kepada mendiang gitaris Hilel Slovak, salah satu pendiri RCHP yang tewas lantaran overdosis heroin di tahun 1988. “Saat ini, dia pasti tengah tersenyum di alam sana,” ujar Kiedis.
GN’R dan RCHP rasanya memang pantas didaulat sebagai legenda. Kiprah mereka selama ini di pelataran musik dunia telah begitu menginspirasi. Karya-karya yang mereka sumbang untuk mewarnai musik dunia bukanlah musik-musik kacangan. Tak heran, musik mereka, lagu mereka, syair mereka, tak lekang dimakan zaman.
GN’R memang telah lama dianggap “mati”. Namun, lagu-lagu mereka tetap abadi hingga sekarang.
Sementara RHCP membuktikan, usia yang terus bertambah justru membuat mereka semakin solid. Penggemar mereka pun kian bertambah dari waktu ke waktu yang menjadikan grup yang terakhir merilis album I’m With You di tahun 2011 itu dikenal oleh lintas generasi. Kini, total, RHCP telah merilis 10 album studio.
Anugerah Rock n roll of Fame ini sendiri memang sengaja diadakan sebagai penghormatan kepada musisi-musisi-utamanya rock n roll-atas sumbangsih mereka terhadap perkembangan musik dunia. Penghargaan ini digelar oleh Yayasan The Rock and Roll Hall of Fame pertama kali pada tahun 1983.
Namun, tentu, tak semua musisi rock bisa masuk museum rock n roll ini. Kriteria utamanya adalah sang musisi atau grup sudah malang melintang minimal 25 tahun sejak pertama kali merilis album pertama mereka. Para nomine juga harus mampu menunjukkan bahwa mereka mampu memberikan pengaruh yang signifikan dalam sejarah musik rock.
Saat ini, ada empat kategori yang berhak menerima penghargaan dari Rock n Roll of Fame: performers, early influences, non-performers, dan sidemen. Performers adalah individual atau grup yang merupakan aktor panggung, seperti musisi atau band. Sedangkan non-performers, adalah orang-rang yang berada di balik layar namun berperan besar dalam memajukan musik rock, seperti penulis lagu, produser, atau wartawan.
Early influences adalah musisi veteran yang dianggap memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan musik rock sekarang. Sementara sidemen adalah penghargaan khusus yang diberikan oleh komite khusus Rock n Roll of Fame Museum, atas jasa-jasa “khusus” mereka.
Teknisnya, komite nominasi akan sosok-sosok sebagai nominasi di setiap tahunnya. Setelah itu, list nama-nama nomime tersebut diserahkan kepada sebuah lembaga khusus yang terdiri dari 500 orang yang dinamakan “rock experts”. Mereka akan melakukan voting, untuk menentukan siap-siapa saja yang berhak “dilantik” masuk Rock n Roll of Fame.
Tahun ini, selain GN’R dan RHCP, juga ada 10 musisi/band lagi yang “dilantik”. Dua di antaranya, Bestie Boys dan mantan band Rod Stewart, The Small Faces/Faces. Sayang Rod Stewart sendiri tak bisa tampil di malam gala, lantaran didera influenza.
“Saya sangat kecewa harus melewatkan acara ini,” ujar rocker yang kini berusia 64 tahun itu. Stewart sendiri, sebelumnya telah mendapat penghargaan serupa sebagai solo artist, pada tahun 1994.
Para Penerima Penghargaan
Performers: Guns N’ Roses, Red Hot Chili Peppers, Donovan, Laura Nyro, The Small, Faces/Faces, Beastie Boys, The Crickets, The Famous Flames, The Midnighters, The Comets, The Blue Caps, The Miracles
Early Influence: Freddie King
Sidemen: Don Kirshner, Cosimo Matassa, Tom Dowd, Glyn Johns
TAK salah jika banyak orang menyebut David Bowie sebagai pioner glam rock dari
daratan Inggris. Namun, dari “Negeri Pangeran Charles” itu, sebenarnya ada satu
nama lagi yang rasanya pantas disematkan sebagai bapak glam rock. Dialah Marc
Bolan!
Bersama
grup yang dibentuknya, T-Rex, Bolan sempat merajai musik Inggris dengan gaya
bermusiknya yang nyentrik. Tak hanya gaya bermusik, gaya dia berpakaian,
dandanan, serta aksi panggungnya juga selalu mengundang perhatian.
Lagu-lagu
mereka, seperti “Ride a White Swan”, “Jeepster”, “Get It On”, “Solid Gold Easy
Action”, “Children of the Revolution”, “Hot Love”, “Telegram Sam”, “20th
Century Boy”, “Debora”, atau “Teenage Dream”, bergantian merajai tangga-tangga
lagu di Inggris Raya pada periode awal hingga pertengan 1970-an.
Didukung
dengan wajah rupawan dan gaya flam boyan, Bolan juga dengan mudah memincut hati
remaja-remaja putri. “Demam Bolan” dan T-Rex pun melanda. Tak salah jika salah,
jika pria yang terlahir dengan nama Mark Feld ini pun didaulat sebagai “Raja
Glam Rock” sesungguhnya.
Sayang,
popularitas yang menjulang bikin Bolan terlena. Pergaulan bebas dan narkotika
sempat membuat Bolan kehilangan fokus. Hingga tibalah hari nahas itu. Bolan
yang lahir di London, 30 September 1947 tewas dalam kecelakaan mobil yang
mengenaskan dua minggu sebelum hari ulang tahunnya yang ke-30 di sekitar Queens
Ride, Barnes, Barat Daya London. “Live fast die young”, kata orang.
Mobil
yang dikendarai Gloria Jones, kekasih Bolan (sebelumnya Bolan sudah menikah dengan
Rachel June) menabrak pohon Ara yang berada di sisi pagar pembatas jalan
sepulang mereka dari minum-minum di sebuah restoran. Pada tragedi yang terjadi
pukul empat pagi itu, Gloria selamat. Gloria, yang ketika itu telah memiliki
putra dari Bolan, bernama Rolan, hanya mengalami patah tangan dan rahang.
Musik
Inggris pun berduka. Saat pemakaman, sejumlah musisi ternama hadir. Gitaris
blues legendaris Les Paul, Rod Stewart, Eric Clapton, serta Bowie yang
merupakan sahabat sekaligus rival Bolan, datang memberikan penghormatan
terakhir.
Namun,
hingga kini, nama Bolan tetap dikenang. Pada 30 September 2007, atau hari ulang
tahun ke-60 Bolan, dibuatlah tugu peringatan di sekitar tempat kecelakaan. Tugu
ini kemudian dinamakan “Bolan’s Rock Shrine”.
Menjulang
Bersama T.Rex
T-REX: Bolan (kanan) dan Steve P Took (foto: pinterest)
Sejak
kanak-kanak, Bolan memang sudah mendapat “nyawa” rock n roll lantaran gandrung
mendengar musik-musik dari Bob Dylan, Chuck Barry, Gene Vincent, atau Donovan.
Naluri bermusiknya makin tumbuh saat pada usia sembilan tahun dibelikan gitar
oleh orangtuanya.
Bolan
pun mulai fokus bermusik dan meninggalkan sekolah pada usia 14 tahun.
Menariknya, dia sempat merambah karier sebagai model di usia 17-an meski
akhirnya dia tinggalkan. Belakangan, pengalamannya menjadi model, ikut membentuknya
menjadi pribadi yang flamboyan, dan sangat berperan menunjang penampilannya
sebagai rock star pujaan.
Pada
tahun 1967, saat bergabung dengan band John Children, Bolan menanggalkan nama
belakang keluarganya, “Feld” dan memproklamirkan “Bolan” sebagai
“surename”-nya.
Sayang,
meski sempat sukses di berbagai konser, John Children tak pernah mampu menjual
album. Hingga akhirnya band ini bubar, dan Bolan membentuk Tyrannosaurs Rex
bersama drummer John Children, Steve Peregrin Took akhir tahn 1960-an.
Duo
Tyrannosaurs Rex ini menarik, karena Bolan hanya memainkan gitar akustik.
Sedangkan Peregrin “bersenjatakan” perkusi atau bongo drum. Sementara musik
yang mereka mainkan amat terpengaruh dengan gaya psychedelic rock. Maka,
jadilah “psychedelic folk-rock acoustic”, begitulah aliran Tyrannosaurs Rex.
Namun,
sulit dimungkiri, nama Bolan baru benar-benar menjulang saat memendekkannya
nama bandnya, menjadi T.Rex dan merilis single “Ride a White Swan” di awal
tahun 1970-an. Lagu ini sempat bertengger di posisi puncak tangga-tangga lagu
Inggris Raya ketika itu.
Setelah
itu, full album pun dirilis bertitel “T.Rex” dengan bantuan produser Tony
Visconti, yang juga ikut memainkan piano. Bolan kemudian menambah jumlah
personel bandnya dengan mendatangkan Steve Currie pada bass dan Bill Legend
pada drum. Sebelumnya, Mickey Finn telah didatangkan menggantikan Peregrin pada
perkusi. Bolan sendiri, akhirnya kembali memainkan gitar listrik.
Formasi
inilah yang kemudian berhasil menaklukkan peta musik Inggris. Album “The
Slider” yang dirilis pada tahun 1972, bisa dibilang merupakan langkah terbesar
T.Rex. Dengan lagu “Metal Guru” dan “Telegram Sam” T.Rex pun makin terkenal.
Setahun sebelumnya, T. Rex juga sempat lewat “Jeepster” dan “Get It On” di
album “Electric Warriors”. Bahkan, lagu “Get It On” sendiri sempat sukses menembus
pasar Amerika Serikat.
Lagu-lagu
T.Rex rata-rata bertempo riang dengan lirik-lirik yang sederhana. Bolan juga
jarang sekali memasukkan melodi gitar yang ruwet, khas gitaris-gitaris rock.
Sebaliknya, dalam-dalam lagu-lagu T.Rex, instrumen gitar yang dimainkan Bolan
seperti tak lebih dari rhythm section. Namun, tetap memberi nyawa tersendiri
pada laga tersebut.
Dengar
saja lagu “20th Century Boy” atau “Children of Revolution” yang merupakan lagu
wajib mereka. Bahkan, di lagu “Get It On”, Bolan nyaris tak memasukkan melodi
pada interlude.
Tapi,
justru karena kesederhanaannya ini lagu-lagu T.Rex jadi amat digemari karena
sangat easy listening dan membangkitkan semangat. Banyak yang bilang Bolan
selalu mampu memberikan “ruh” di setiap lagunya.
Fashionable
MARC BOLAN (foto: fanpop)
Dalam
hitungan tahun, hidup Bolan pun berubah. Publik musik Inggris mulai
mendaulatnya sebagai ikon baru rock n roll Inggris setelah Elvis Presley dan
The Beatles. Bolan pun jadi memiliki kesempatan yang begitu besar untuk
memengaruhi gaya hidup remaja Inggris dengan gaya glam rock-nya, yang kemudian
menjadi ciri khasnya.
Dalam
setiap aksi panggungnya, Bolan mulai menggunakan atribut-atribut yang nyeleneh.
Topi ala tukang sulap, serta atasan yang berkilau kerap dikenakannya. Tak lupa
Bolan juga mengalungkan “ular-ularan” dari bulu (feather boa) di lehernya dan
mengenakan maskara.
Di
lain kesempatan, dia mengenakan jaket kulit dengan glitter yang amat
menyilaukan mata. Sementara rambut gondrong kritingnya amat kontras dengan
bentuk wajahnya yang imut.
Tapi,
itulah superstar. Apapun yang dilakukan, dikenakan terasa pantas di mata
penggemarnya. Gaya berpakaian Bolan pun sempat jadi tren di kalangan anak muda
Inggris. “Right or wrong, it’s my superstar,” mungkin begitu kata mereka.
Menurut,
kakak kandung Bolan, Harry Feld, sang adik memang sudah sejak remaja terobsesi
terhadap fashion. Terutama setelah membaca buku karangan “The Incredible Beau
Brummell”. Karakter utama dalam buku karangan Samuel Tenenbaum itu memang
digambarkan sebagai sosok yang dandy dan fashionable.
Sementara,
seorang fashion designer terkenal di Inggris, Zandra Rhodes, menyebut Bolan
memiliki taste yang sangat kuat dalam hal penampilan. “Bolan merupakan pioner
glam rock dengan caranya berdandan, berpakaian. Dia tak malu berdandan ala
wanita,” ujar Zandra dalam sebuah program dokumenter BBC, “Mark Bolan: The
Final Word”. “Ketika itu, gayanya berpakaian Bolan sangat revolusioner.”
Dan,
terbukti, belakangan, gaya berpakaian dan atribut Bolan di panggung, menjadi
contoh musisi-musisi glam rock di era selanjutnya. Sebuat saja Quiet Riot,
Twisted Sister, Ratt, bahkan hingga Motley Crue. Tentu saja dengan sejumlah
inovasi mengikuti zamannya.
Di
luar itu, Bolan adalah sosok yang bersahaja, nyentrik, pribagi yang hangat, dan
musisi yang genius. Dia adalah figur yang bisa menularkan aura positif terhadap
rekan-rekannya. Wajar, meski terkesan otoriter, Bolan tetap disukai rekan-rekan
sejawatnya, di kalangan musisi Inggris tempo itu.
Ratu
rock n roll Suzi Quatro, yang berperan sebagai narator dalam program BBC di
atas, menyebut, Bolan adalah sosok yang persistens dan ambisius. Seorang yang
mampu mewujudkan mimpinya dari remaja pinggiran kota menjadi rock star.
Bowie,
Sahabat-Rival
Hal
lain yang sangat menarik dari karier musik dan hidup Bolan adalah hubungannya
dengan Bowie. Di satu sisi, dua sosok ini bersahabat sangat kental. Namun, di
panggung musik, mereka amat bersaing, meski keduanya sempat merekam lagu
bersama “The Prettiest Stars”, single Bowie di tahun 1970.
SOHIB - Bolan (kanan) bersama David Bowie (foto: daily mail)
Bowie
masih bernama David Jones, pemuda asal Bromley berusia 18 tahun saat bertemu
Bolan di sebuat kantor pemandu bakat di London di pertengahan tahn 1960-an.
Ketika itu, Bolan alias Mark Feld, bahkan belum genap 17 tahun.
Keduanya
sering berdiskusi soal musik, mengembangkan gaya dan karakter musiknya
masing-masing. Mencoba hal-hal baru demi membuat sesuatu yang berbeda. Sebuah
kafe bernama La Gioconda di Soho, London Timur, menjadi tempat nongkrong Bowie
dan Bolan muda setiap akhir pekan.
Persahabatan
keduanya berlanjut hingga mereka meriah bintang menjadi superstar. Persahabatan
yang berubah menjadi persaingan dalam menunjukkan pamor dan nama besar keduanya
di kancah musik rock Inggris.
Puncaknya
adalah di awal tahun 1970-an, saat nama keduanya sama-sama menjulang di area
glam rock Inggris. Memang, sangat mudah melihat persaingan keduanya, semudah
melihat lagu-lagu mereka yang berkejaran di tangga-tangga lagu Inggris ketika
itu.
Di
tahun 1972, misalnya. Tiga lagu Bowie, “Starman”, “John I’m Only Dancing”, dan
“The Jean Genie” berada di posisi ke-10, 12, 2 tangga-tangga lagu top di
Inggris. Sedangkan Bolan menempatkan dua lagu T.Rex, “”Telegram Sam” dan “Metal
Guru” sebagai pemuncak di tangga lagu lainnya. Begitu juga dengan “Children Of The
Revolution” dan “Solid Gold Easy Action” yang berada di posisi kedua.
Setahun
berikutnya, malah lebih menarik. Lagu Bowie, “Live on Mars” dan “Sorrow” serta
lagu T. Rex, “20th Century Boy” sama-sama berada di posisi ketiga. Perang pun
dimulai. Persaingan makin panas, lantaran Bolan sempat keki mendapati Tony
Visconti, yang sebelumnya memanajeri dia, mulai berpaling dan lebih
memprioritaskan Bowie.
“Jelas
ada rivalitas di antara mereka,” ujar Keith Altham, yang pada tahun 1970-an
bertindak sebagai humas Bowie dan Bolan, seperti dikutip Daily Mail. “Namun,
tetap ada cinta di antara mereka. Bowie dan Bolan memiliki banyak kesamaan.
Mereka bisa jadi saudara kandung.”
Tak
salah kata Altham. Sebab, setelah meninggalnya Bolan, Bowie begitu peduli dan
banyak membantu putra Bolan, Rolan, dan jandanya, Gloria, terutama dari segi
finansial. Bahkan, Bowie disebut-sebut bapak angkat Rolan.
Maklum,
hingga saat ini, Bowie masih masuk dalam kategori musisi terkaya dunia. Bahkan,
situs bonrich.com memperkirakan kekayaan Bowie saat ini mencapai 215 juta dolar
AS atau sekitar Rp 2,5 triliun. Sementara, usai kematian Bolan, Gloria jatuh
bangkrut.
“Kedermawanan
David Bowie membantu saya dan ibu untuk menyambung hidup,” ujar Rolan, yang
kini bergelar sarjana seni rupa dan kini tinggal di Kalifornia, Amerika
Serikat. Rolan menyebut, Bowie kerap meneleponnya dan mengatakan jangan pernah
ragu meminta bantuan kepadanya. “Jika ada yang bisa saya lakukan, saya pasti
akan membantu,” ujar Rolan menirukan ucapan Bowie. Ya, “Friends will always be
friends” kata Queen.
Sumber:
biography, daily mail, firstpost, BBC Documentary, “Marc Bolan: The Final
Word”, you tube, wikipedia, bornrich
Diskografi
Marc Bolan
Bersama
Tyrannosaurus Rex
*
My People Were Fair and Had Sky in Their Hair… But Now They’re Content to Wear
Stars on Their Brows (1968)
*
Prophets, Seers & Sages: The Angels of the Ages (1968)
*
Unicorn (1969)
* A
Beard of Stars (1970)
Bersama
T. Rex
·
T. Rex (1970)
·
Electric Warrior (1971)
·
The Slider (1972)
·
Tanx (1973)
·
Zinc Alloy and the Hidden Riders of Tomorrow (1974)