Thursday, December 12, 2013

Acoustic Rock, Tesla Juaranya

TERKINI - Inilah formasi terkini Tesla. Dari kiri ke kanan:
Dave Rude (gitar), Troy Luccketta (drum),Jeff Keith (vokal), Brian Wheat (bass),
dan Frank Hannon (gitar)-noisecreep
NAMA mereka memang tak setenar Bon Jovi atau Guns N’ Roses. Penampilan mereka juga tak seglamor KISS, Motley Crue, atau Poison. Padahal, Tesla juga hidup di era itu. Era saat bendera glam rock berkibar begitu kencang, di awal hingga pertengahan tahun 1990-an.

Namun, Tesla yang ketika itu digawangi Jeff Keith (vokal), Tommy Skeoch dan Frank Hannon (gitar), Brian Wheat (bass), serta Troy Luccketta (drum), tetap mampu meninggalkan jejaknya. Album mereka di tahun 1990, “Five Man Acoustical Jam”, begitu fenomenal.

Tak hanya laris di pasaran, album full akustik yang direkam dari pertunjukan mereka di Trocadero Theater, Philadelpia, Amerika Serikat (AS) ini juga meraih penghargaan multi-platinum. Sementara bagi Tesla, yang didirikan tahun 1982, ini merupakan album paling laku dalam sejarah bermusik mereka.

Lagu-lagu di album ini, yang diambil dari album-album Tesla sebelumnya macam “Love Song”, “Paradise” ataupun “The Way It Is” kembali jadi hits. Grup asal Sacramento, Kalifornia, Amerika Serikat (AS) ini juga dianggap berhasil menghidupkan lagi “nyawa” lagu-lagu rock lawas, seperti “Sign” milik Five Man Electrical Band, “Mother’s Little Helper” (The Rolling Stones), “Lodi” (CCR), serta “We Can Work It Out” (The Beatles) lewat komposisi-komposisi akustik yang brilian.

Album yang dirilis Geffen Records ini pun jadi perbincangan pengamat musik, ketika itu. Mereka rata-rata memuji “keberanian” Tesla merekam secara live pertunjukan akustik mereka dalam satu album.



Ya, merilis album dalam bentuk live akustik full memang merupakan terobosan baru saat itu. Betul, banyak band-band rock pendahulu mereka yang telah memasukkan unsur akustik dalam lagu-lagu mereka, atau menggelar pertunjukan-pertunjukan akustik.

Sebut saja “Stairway to Heaven” milik Led Zeppelin tahun 1970-an. Atau lagu “Wanted Dead or Live” yang dirilis Bon Jovidi tahun 1986 dalam album “Slippery When Wet”. Namun, merilis satu album dalam bentuk rekaman live full akustik, baru Tesla yang melakukannya, ketika itu.

Tak hanya itu, kemampuan Hannon dan kawan-kawan mengaransemen ulang lagu-lagu lawas dalam bentuk akustik full pun mendapat acungan jempol. Tanpa menghilangkan napas blues dan rock, Tesla membuat lagu-lagu yang ada di album “Five Man Accoustical Jam” ini tetap terdengar “fresh”, easy listening, sehingga kita tak perlu mengernyitkan dahi. Tak heran, sebutan sebagai “jagonya acoustic rock” pun melekat kepada mereka.

Tesla memang sangat menyatu saat membawa musik akustik mereka. Karakter vokal Keith unik begitu pas berpadu dengan suara-suara cempreng dan clean gitaran Hannon dan Skeoch. Vokal Keith yang sengau dan powerfull memang salah satu keunggulan Tesla.

UNIK - Vokal Jeff Keit yang unik
jadi salah satu kekuatan Tesla-therangeplace
Range vokal Keith memang tak terlalu lebar, apalagi jika dibandingkan dengan Sebastian Bach, misalnya. Namun, Ketih tetap mampu menjangkau nada-nada tinggi dan justru saat itulah semakin terdengar kekhasan vokal pria kelahiran Arkansas, AS, 12 Oktober 1958 ini. Tak percaya? Coba dengar lagu “Paradise” atau “Getting Better”.

Sementara di setiap lagu, terlihat betul kematangan duet gitaris Hannon dan Skeoch menguasai senar-senar gitar bolong. Tak melulu memainkan teknik-teknik gitar klasik, sound yang keluar dari gitar Hannon dan Skeoch juga terdengar lebih nge-blue, meski tetap nyawa rock begitu terasa. Coba dengar lagu intro “Love Song” di mana teknik sweep picking dan shred bisa menghasilkan suara yang begitu cling.


Inspirasi MTV

Selain itu, atmosfer “live” di setiap lagu dalam album ini juga terasa lebih mengena. Suasana di dalam Trocadero Theater, yang menjadi arena konser jadi begitu cair. Tesla dan para penontonnya tedengar begitu akrab lantaran Keith sangat hebat berkomunikasi, berdialog dengan penggemar mereka.

Tak heran, album ini juga disebut-sebut menjadi inspirasi MTV untuk membuat album serupa untuk band atau penyanyi yang tampil di acara MTV Unplugged, yang mereka tayangkan sejak pertengahan tahun 1980-an. Sebut saja Bruce Springsteen, Eric Clapton, Bob Bylan, sampai Nirvana yang legendaris itu.

Yang menarik, Tesla sendiri mengaku awalnya tak berniat merilis album ini. Konser full akustik ini memang mereka lakukan secara spontan untuk menghilangkan kejenuhan di sela-sela tur konser mereka.

“Ketika itu, kami sedang tur bersama Motley Crue dan mendapat dua hari off,” Keith bercerita kepada noisecreep. “Jadi, kami memutuskan menggelar pertunjukan solo dan mencoba beberapa materi termasuk cover version band lain secara akustik.”

Untungnya, Tesla sangat serius mempersiapkan “konser dadakan” ini. Mereka membawa truk dengan perlengkapan rekaman 24 trek untuk meng-capture pertunjukan mereka secara audio-visual.

Beberapa waktu kemudian, dalam sebuah wawancara di radio, Tesla memainkan demo lagu “Sign” hasil rekaman mereka di Trocadero Theater. Pihak produser pun terpincut dan kemudian merilisnya dalam bentuk album full.

Setelah album ini, nama Tesla kian menjulang. Album “Pshycotic Supper” yang dirilis tahun 1991 dan memunculkan hits “Edison’s Medicine” dan “Song and Emotion” juga mendapat platinum. Begitu juga dengan “Bust a Nut” yang dirilis 1994, mendapat sertifikasi gold.

PENGGANTI SKEOCH - Dave Rude menggantikan
Tommy Skeoch di  rhythm guitar sejak 2006-allacces
Hebatnya, meski masuk dalam gerbang glam rock di era tersebut, Tesla tak terpancing untuk berglamor ria dalam hal atribut panggung. Pakaian mereka di panggung sangat sederhana. Mereka pun dikenal sebagai band rock yang identik dengan blue jeans, t-shirt, dan kemeja lengan panjang. “Kami lebih mengutamakan musik daripada  fisik,” ujar Keith. “Musik kami keluar dari hati.”

Sayang, seiring dengan semakin tergilasnya glam rock, hard rock, heavy metal oleh serbuan alternative rock, nama Tesla pun mulai redup. Mereka memang sempat merilis beberapa album di akhir 1990-an hingga 2000-an, termasuk album live dan cover version. Namun, sulit bagi mereka untuk kembali menjangkau para penggemar seperti di masa keemasan.

“Forever More” yang dirilis tahun 2008 menjadi album studio terakhir mereka. Di album ini, Tesla sudah diperkuat gitaris Dave Rude yang menggantikan Skeoch sejak 2006.

Kembali ke Akar

“Back to the roots” alias “kembali ke akar” begitulah tema yang diusung Tesla saat merilis album “Twisted Wires and The Acoustic Sessions…” di tahun 2011. Seperti juga “Five Man Acoustical Jam”, sesuai judulnya, semua lagu di album ini dibawakan secara akustik. Bedanya, jika album “Five Man Acoustical Jam” direkam secara live di Trocadero Teather, “Twisted Wires….” direkam di studio.

Materinya pun, 80 persen merupakan lagu-lagu lama Tesla plus beberapa cover version dari band-band rock terkemuka. Namun, Tesla menambahkan dua lagu baru “2nd Streed” dan “Better off Without You”.

Menarikya, tak satupun lagu yang ada di album “Five Man Acoustical Jam”, dimainkan di album “Twisted Wires….” ini. Hal menarik lainnya, ada enam lagu “Into the Now”, “Hang Tough”, “Edison’s Medicine”, “Shine Away”, “I Love You”, dan “Song and Emotion” yang masih menampilkan Skeoch sebagai rhythm guitar.

Enam lagu tersebut memang direkam enam tahun sebelum album ini dirilis di studio milik sang bassist, Brian Wheat. Seperti diketahui, Skeoch secara resmi keluar pada tahun 2006 lantaran tak mampu menghentikan kecanduannya terhadap minuman keras dan narkoba.

Di album ini, Tesla kembali lagi mempertontonkan kepiawaian mereka mentransformasi sound-sound gahar electric gitar mereka menjadi nada-nada yang lebih halus dan enak didengar. Namun, tentu, tanpa menghilang “nyawa” rock dan blues yang tetap melekat pada lagu-lagu mereka.

Banyak band, atau musisi rock tak terlalu berani mengubah banyak lagu-lagu mereka saat memainkannya secara akustik, apalagi dalam proses rekam ulang. Namun, Tesla justru jagonya dalam hal ini.

Dengar saja lagu “Edison’s Medicine” yang di versi aslinya begitu galak memamerkan lengkingan gitaran Hannon. Di album “Twisted Wires…” , lagu ini tetap terdengar garang, meski seratus persen sound dan gaya gitarannya berbeda.

Atau lagu “Hang Tough” yang tiba-tiba berubah menjadi lagu balada. Padahal, versi aslinya, lagu yang terdapat di album kedua, “The Great Radio Controversy” ini asli rock n roll dan full beat!

Sementara di lagu “What You give” dan “Shine Away”, terasa betul nyawa yang diberikan petikan gitar Hannon. Tentu saja lagi-lagi, nyawa lagu jadi semakin terasa lantaran vocal sengau Keith.

Hebat memang, di usia yang telah mencapai 53 tahun, suara Keith nyaris tak berubah. Identik dengan vokalnya saat masih berusia 32 tahun, ketika merilis album “Five Man Acoustical Jam”.

Kepiawaian Tesla meracik lagu rock ballad juga mereka perlihatkan di dua lagu baru di album ini. “2nd Street” dan “Better off Without You”. Dengar pula petikan gitar melodi Hannon di dua lagu ini. Wuihhhh…..



Namun, dari total 12 track, lagu “I Love You” yang benar-benar membuat saya merinding. Lagu yang merupakan daur ulang milik Climax Blues Band yang ngetop di awal tahun 1981, dimainkan begitu penuh penghayatan oleh Keith dan kawan-kawan.

Jika Anda sempat mendengarkan versi aslinya, jelas sekali akan terasa perbedaannya. Tentu, ini berkaitan dengan taste para musisinya dan juga tren musik yang berlaku. Awalnya saya juga menyangka ini merupakan lagu milik Tesla sendiri.

Namun, sungguh, mendengar lagu “I Love You” di album “Twisted Wires…” ini benar-benar membawa kita ke alam kasmaran yang paling dalam. Tak hanya vokal Keith yang membuat lagu ini sedikit terdengar gloomy dan syahdu. Nuansa yang dibangun instrumen akustik yang dimainkan Hannon dan kawan-kawan juga benar-benar menghanyutkan. Belum lagi jika Anda dengarkan secara jeli syair yang dibuat Derek Holt, pemain bass Climax Blues Band.

Percayalah, setelah mendengar lagu ini, Anda akan merasa bertambah cinta kepada pasangan Anda. :)

Note:
Saat ini, Tesla tengah dalam penggaparan album mereka yang rencananya dirilis tahun 2014.

Sumber: noisecreep, loudwire, wikipedia, youtube, berbagai sumber


29 November 2013 | 14:25
Kompasiana

Wednesday, December 11, 2013

GN’R dan RHCP Masuk Rock N Roll of Fame


INI cerita tentang dua band favorit saya semasa SMA: Guns N’ Roses (GN’R) dan Red Hot Chilli Peppers (RHCP). Tentu saja berita baik yang ingin saya ceritakan. Ya, keduanya baru saja “resmi” menjadi band-band legenda rock n roll lantaran nama mereka telah masuk dalam The Rock and Roll Hall of Fame and Museum yang berlokasi di Lake Erie, Cleveland, Ohio, Amerika Serikat.

GN’R dan RHCP dilantik (inducteed) masuk Rock n Roll of Fame perayaan tahunan Rock and Roll Hall of Fame yang ke-27, yang digelar Pulic Hall, Claveland, Sabtu (14/4) lalu. Seperti layaknya proses-proses “pelantikan” terhadulu, keduanya pun didaulat tampil membawakan lagu-lagu hits mereka. Hebatnya, nyaris semua personel asli GN’R tampil di acara ini. Sebut Steven Adler, Mat Sorum (drum), Duff McKagan (bass), dan Slash serta Gilby Clarke (gitar).

Hanya, sang front man, Axl Rose, dan gitaris Izzy Stradlin, yang absen. Sejak awal, Axl itu memang menolak hadir. Dia bahkan mengaku tak suka namanya dimasukkan dalam list Rock N Roll of Fame bersama rekan-rekan seperjuangannya itu.

Alhasil, dalam konser pelantikan itu, posisi Axl digantikan Myles Kennedy, yang juga merupakan vokalis Altar Bridge. Maka melantunlah sejumlah hits GN’R, semodel “Sweet Child O Mine” ataupun “Paradise City”. Berbeda dengan GN’R, RHCP hadir dengan “kekuatan penuh”.

Anthony Kiedis (vocal), Flea (bass), Chad Smith (drum) serta gitaris baru mereka, Josh Klinghoffer, tampil amat menghibur dengan nomor-nomor tenar seperti “By The Way”, “Higher Ground”, ataupun “Give It Away”. Dua eks drummer RHCP, Jack Irons, dan Cliff Martinez juga hadir di acara ini. GN’R “dilantik” oleh vokalis Green Day, Billie Joe Amstrong, yang juga membuka penampilan mereka.

Sedangkan RHCP “dilantik” oleh komedian Chris Rock, yang juga merupakan sahabat dan penggemar berat band asal Los Angeles itu. “Apetite for Desctruction (album pertama GN’R) adalah debut album terbaik dalam sejarah rock n roll,” ujar Billie Joe, induction speech-nya, seperti dikutip mtv.ca. Billie Joe juga membela Axl yang mendapat cemooh dari penggemar GN’R yang hadir. “Stop! Axl Rose ada front man terbaik yang pernah ada,” dia menegaskan.

Sementara Kiedis, dalam sambutannya mendedikasikan penghargaan ini kepada mendiang gitaris Hilel Slovak, salah satu pendiri RCHP yang tewas lantaran overdosis heroin di tahun 1988. “Saat ini, dia pasti tengah tersenyum di alam sana,” ujar Kiedis. GN’R dan RCHP rasanya memang pantas didaulat sebagai legenda. Kiprah mereka selama ini di pelataran musik dunia telah begitu menginspirasi. Karya-karya yang mereka sumbang untuk mewarnai musik dunia bukanlah musik-musik kacangan. Tak heran, musik mereka, lagu mereka, syair mereka, tak lekang dimakan zaman. GN’R memang telah lama dianggap “mati”. Namun, lagu-lagu mereka tetap abadi hingga sekarang. 

Sementara RHCP membuktikan, usia yang terus bertambah justru membuat mereka semakin solid. Penggemar mereka pun kian bertambah dari waktu ke waktu yang menjadikan grup yang terakhir merilis album I’m With You di tahun 2011 itu dikenal oleh lintas generasi. Kini, total, RHCP telah merilis 10 album studio.

Anugerah Rock n roll of Fame ini sendiri memang sengaja diadakan sebagai penghormatan kepada musisi-musisi-utamanya rock n roll-atas sumbangsih mereka terhadap perkembangan musik dunia. Penghargaan ini digelar oleh Yayasan The Rock and Roll Hall of Fame pertama kali pada tahun 1983. 

 Namun, tentu, tak semua musisi rock bisa masuk museum rock n roll ini. Kriteria utamanya adalah sang musisi atau grup sudah malang melintang minimal 25 tahun sejak pertama kali merilis album pertama mereka. Para nomine juga harus mampu menunjukkan bahwa mereka mampu memberikan pengaruh yang signifikan dalam sejarah musik rock.

Saat ini, ada empat kategori yang berhak menerima penghargaan dari Rock n Roll of Fame: performers, early influences, non-performers, dan sidemen. Performers adalah individual atau grup yang merupakan aktor panggung, seperti musisi atau band. Sedangkan non-performers, adalah orang-rang yang berada di balik layar namun berperan besar dalam memajukan musik rock, seperti penulis lagu, produser, atau wartawan. 

Early influences adalah musisi veteran yang dianggap memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan musik rock sekarang. Sementara sidemen adalah penghargaan khusus yang diberikan oleh komite khusus Rock n Roll of Fame Museum, atas jasa-jasa “khusus” mereka.

Teknisnya, komite nominasi akan sosok-sosok sebagai nominasi di setiap tahunnya. Setelah itu, list nama-nama nomime tersebut diserahkan kepada sebuah lembaga khusus yang terdiri dari 500 orang yang dinamakan “rock experts”. Mereka akan melakukan voting, untuk menentukan siap-siapa saja yang berhak “dilantik” masuk Rock n Roll of Fame.

Tahun ini, selain GN’R dan RHCP, juga ada 10 musisi/band lagi yang “dilantik”. Dua di antaranya, Bestie Boys dan mantan band Rod Stewart, The Small Faces/Faces. Sayang Rod Stewart sendiri tak bisa tampil di malam gala, lantaran didera influenza.

“Saya sangat kecewa harus melewatkan acara ini,” ujar rocker yang kini berusia 64 tahun itu. Stewart sendiri, sebelumnya telah mendapat penghargaan serupa sebagai solo artist, pada tahun 1994.

sumber: http://music-mix.ew.com, mtv.ca,nytimes,greenbaypressgazette, wikipedia, youtube

Para Penerima Penghargaan Performers: Guns N’ Roses, Red Hot Chili Peppers, Donovan, Laura Nyro, The Small, Faces/Faces, Beastie Boys, The Crickets, The Famous Flames, The Midnighters, The Comets, The Blue Caps, The Miracles Early Influence: Freddie King Sidemen: Don Kirshner, Cosimo Matassa, Tom Dowd, Glyn Johns


17 April 2012 | 10:32
Kompasiana

Wednesday, November 20, 2013

Marc Bolan, Manis Getir Sang Raja Glam Rock

MARC BOLAN (foto: uncut)
TAK salah jika banyak orang menyebut David Bowie sebagai pioner glam rock dari daratan Inggris. Namun, dari “Negeri Pangeran Charles” itu, sebenarnya ada satu nama lagi yang rasanya pantas disematkan sebagai bapak glam rock. Dialah Marc Bolan!

Bersama grup yang dibentuknya, T-Rex, Bolan sempat merajai musik Inggris dengan gaya bermusiknya yang nyentrik. Tak hanya gaya bermusik, gaya dia berpakaian, dandanan, serta aksi panggungnya juga selalu mengundang perhatian.

Lagu-lagu mereka, seperti “Ride a White Swan”, “Jeepster”, “Get It On”, “Solid Gold Easy Action”, “Children of the Revolution”, “Hot Love”, “Telegram Sam”, “20th Century Boy”, “Debora”, atau “Teenage Dream”, bergantian merajai tangga-tangga lagu di Inggris Raya pada periode awal hingga pertengan 1970-an.

Didukung dengan wajah rupawan dan gaya flam boyan, Bolan juga dengan mudah memincut hati remaja-remaja putri. “Demam Bolan” dan T-Rex pun melanda. Tak salah jika salah, jika pria yang terlahir dengan nama Mark Feld ini pun didaulat sebagai “Raja Glam Rock” sesungguhnya.

Sayang, popularitas yang menjulang bikin Bolan terlena. Pergaulan bebas dan narkotika sempat membuat Bolan kehilangan fokus. Hingga tibalah hari nahas itu. Bolan yang lahir di London, 30 September 1947 tewas dalam kecelakaan mobil yang mengenaskan dua minggu sebelum hari ulang tahunnya yang ke-30 di sekitar Queens Ride, Barnes, Barat Daya London. “Live fast die young”, kata orang.

Mobil yang dikendarai Gloria Jones, kekasih Bolan (sebelumnya Bolan sudah menikah dengan Rachel June) menabrak pohon Ara yang berada di sisi pagar pembatas jalan sepulang mereka dari minum-minum di sebuah restoran. Pada tragedi yang terjadi pukul empat pagi itu, Gloria selamat. Gloria, yang ketika itu telah memiliki putra dari Bolan, bernama Rolan, hanya mengalami patah tangan dan rahang.

Musik Inggris pun berduka. Saat pemakaman, sejumlah musisi ternama hadir. Gitaris blues legendaris Les Paul, Rod Stewart, Eric Clapton, serta Bowie yang merupakan sahabat sekaligus rival Bolan, datang memberikan penghormatan terakhir.

Namun, hingga kini, nama Bolan tetap dikenang. Pada 30 September 2007, atau hari ulang tahun ke-60 Bolan, dibuatlah tugu peringatan di sekitar tempat kecelakaan. Tugu ini kemudian dinamakan “Bolan’s Rock Shrine”.


Menjulang Bersama T.Rex
T-REX: Bolan (kanan) dan Steve P Took (foto: pinterest)
Sejak kanak-kanak, Bolan memang sudah mendapat “nyawa” rock n roll lantaran gandrung mendengar musik-musik dari Bob Dylan, Chuck Barry, Gene Vincent, atau Donovan. Naluri bermusiknya makin tumbuh saat pada usia sembilan tahun dibelikan gitar oleh orangtuanya.

Bolan pun mulai fokus bermusik dan meninggalkan sekolah pada usia 14 tahun. Menariknya, dia sempat merambah karier sebagai model di usia 17-an meski akhirnya dia tinggalkan. Belakangan, pengalamannya menjadi model, ikut membentuknya menjadi pribadi yang flamboyan, dan sangat berperan menunjang penampilannya sebagai rock star pujaan.

Pada tahun 1967, saat bergabung dengan band John Children, Bolan menanggalkan nama belakang keluarganya, “Feld” dan memproklamirkan “Bolan” sebagai “surename”-nya.

Sayang, meski sempat sukses di berbagai konser, John Children tak pernah mampu menjual album. Hingga akhirnya band ini bubar, dan Bolan membentuk Tyrannosaurs Rex bersama drummer John Children, Steve Peregrin Took akhir tahn 1960-an.

Duo Tyrannosaurs Rex ini menarik, karena Bolan hanya memainkan gitar akustik. Sedangkan Peregrin “bersenjatakan” perkusi atau bongo drum. Sementara musik yang mereka mainkan amat terpengaruh dengan gaya psychedelic rock. Maka, jadilah “psychedelic folk-rock acoustic”, begitulah aliran Tyrannosaurs Rex.

Namun, sulit dimungkiri, nama Bolan baru benar-benar menjulang saat memendekkannya nama bandnya, menjadi T.Rex dan merilis single “Ride a White Swan” di awal tahun 1970-an. Lagu ini sempat bertengger di posisi puncak tangga-tangga lagu Inggris Raya ketika itu.

Setelah itu, full album pun dirilis bertitel “T.Rex” dengan bantuan produser Tony Visconti, yang juga ikut memainkan piano. Bolan kemudian menambah jumlah personel bandnya dengan mendatangkan Steve Currie pada bass dan Bill Legend pada drum. Sebelumnya, Mickey Finn telah didatangkan menggantikan Peregrin pada perkusi. Bolan sendiri, akhirnya kembali memainkan gitar listrik.

Formasi inilah yang kemudian berhasil menaklukkan peta musik Inggris. Album “The Slider” yang dirilis pada tahun 1972, bisa dibilang merupakan langkah terbesar T.Rex. Dengan lagu “Metal Guru” dan “Telegram Sam” T.Rex pun makin terkenal. Setahun sebelumnya, T. Rex juga sempat lewat “Jeepster” dan “Get It On” di album “Electric Warriors”. Bahkan, lagu “Get It On” sendiri sempat sukses menembus pasar Amerika Serikat.

Lagu-lagu T.Rex rata-rata bertempo riang dengan lirik-lirik yang sederhana. Bolan juga jarang sekali memasukkan melodi gitar yang ruwet, khas gitaris-gitaris rock. Sebaliknya, dalam-dalam lagu-lagu T.Rex, instrumen gitar yang dimainkan Bolan seperti tak lebih dari rhythm section. Namun, tetap memberi nyawa tersendiri pada laga tersebut.

Dengar saja lagu “20th Century Boy” atau “Children of Revolution” yang merupakan lagu wajib mereka. Bahkan, di lagu “Get It On”, Bolan nyaris tak memasukkan melodi pada interlude.

Tapi, justru karena kesederhanaannya ini lagu-lagu T.Rex jadi amat digemari karena sangat easy listening dan membangkitkan semangat. Banyak yang bilang Bolan selalu mampu memberikan “ruh” di setiap lagunya.

Fashionable
MARC BOLAN (foto: fanpop)
Dalam hitungan tahun, hidup Bolan pun berubah. Publik musik Inggris mulai mendaulatnya sebagai ikon baru rock n roll Inggris setelah Elvis Presley dan The Beatles. Bolan pun jadi memiliki kesempatan yang begitu besar untuk memengaruhi gaya hidup remaja Inggris dengan gaya glam rock-nya, yang kemudian menjadi ciri khasnya.

Dalam setiap aksi panggungnya, Bolan mulai menggunakan atribut-atribut yang nyeleneh. Topi ala tukang sulap, serta atasan yang berkilau kerap dikenakannya. Tak lupa Bolan juga mengalungkan “ular-ularan” dari bulu (feather boa) di lehernya dan mengenakan maskara.

Di lain kesempatan, dia mengenakan jaket kulit dengan glitter yang amat menyilaukan mata. Sementara rambut gondrong kritingnya amat kontras dengan bentuk wajahnya yang imut.
Tapi, itulah superstar. Apapun yang dilakukan, dikenakan terasa pantas di mata penggemarnya. Gaya berpakaian Bolan pun sempat jadi tren di kalangan anak muda Inggris. “Right or wrong, it’s my superstar,” mungkin begitu kata mereka.

Menurut, kakak kandung Bolan, Harry Feld, sang adik memang sudah sejak remaja terobsesi terhadap fashion. Terutama setelah membaca buku karangan “The Incredible Beau Brummell”. Karakter utama dalam buku karangan Samuel Tenenbaum itu memang digambarkan sebagai sosok yang dandy dan fashionable.

Sementara, seorang fashion designer terkenal di Inggris, Zandra Rhodes, menyebut Bolan memiliki taste yang sangat kuat dalam hal penampilan. “Bolan merupakan pioner glam rock dengan caranya berdandan, berpakaian. Dia tak malu berdandan ala wanita,” ujar Zandra dalam sebuah program dokumenter BBC, “Mark Bolan: The Final Word”. “Ketika itu, gayanya berpakaian Bolan sangat revolusioner.”

Dan, terbukti, belakangan, gaya berpakaian dan atribut Bolan di panggung, menjadi contoh musisi-musisi glam rock di era selanjutnya. Sebuat saja Quiet Riot, Twisted Sister, Ratt, bahkan hingga Motley Crue. Tentu saja dengan sejumlah inovasi mengikuti zamannya.

Di luar itu, Bolan adalah sosok yang bersahaja, nyentrik, pribagi yang hangat, dan musisi yang genius. Dia adalah figur yang bisa menularkan aura positif terhadap rekan-rekannya. Wajar, meski terkesan otoriter, Bolan tetap disukai rekan-rekan sejawatnya, di kalangan musisi Inggris tempo itu.

Ratu rock n roll Suzi Quatro, yang berperan sebagai narator dalam program BBC di atas, menyebut, Bolan adalah sosok yang persistens dan ambisius. Seorang yang mampu mewujudkan mimpinya dari remaja pinggiran kota menjadi rock star.
Bowie, Sahabat-Rival

Hal lain yang sangat menarik dari karier musik dan hidup Bolan adalah hubungannya dengan Bowie. Di satu sisi, dua sosok ini bersahabat sangat kental. Namun, di panggung musik, mereka amat bersaing, meski keduanya sempat merekam lagu bersama “The Prettiest Stars”, single Bowie di tahun 1970.

SOHIB - Bolan (kanan) bersama David Bowie (foto: daily mail)
Bowie masih bernama David Jones, pemuda asal Bromley berusia 18 tahun saat bertemu Bolan di sebuat kantor pemandu bakat di London di pertengahan tahn 1960-an. Ketika itu, Bolan alias Mark Feld, bahkan belum genap 17 tahun.

Keduanya sering berdiskusi soal musik, mengembangkan gaya dan karakter musiknya masing-masing. Mencoba hal-hal baru demi membuat sesuatu yang berbeda. Sebuah kafe bernama La Gioconda di Soho, London Timur, menjadi tempat nongkrong Bowie dan Bolan muda setiap akhir pekan.

Persahabatan keduanya berlanjut hingga mereka meriah bintang menjadi superstar. Persahabatan yang berubah menjadi persaingan dalam menunjukkan pamor dan nama besar keduanya di kancah musik rock Inggris.

Puncaknya adalah di awal tahun 1970-an, saat nama keduanya sama-sama menjulang di area glam rock Inggris. Memang, sangat mudah melihat persaingan keduanya, semudah melihat lagu-lagu mereka yang berkejaran di tangga-tangga lagu Inggris ketika itu.

Di tahun 1972, misalnya. Tiga lagu Bowie, “Starman”, “John I’m Only Dancing”, dan “The Jean Genie” berada di posisi ke-10, 12, 2 tangga-tangga lagu top di Inggris. Sedangkan Bolan menempatkan dua lagu T.Rex, “”Telegram Sam” dan “Metal Guru” sebagai pemuncak di tangga lagu lainnya. Begitu juga dengan “Children Of The Revolution” dan “Solid Gold Easy Action” yang berada di posisi kedua.

Setahun berikutnya, malah lebih menarik. Lagu Bowie, “Live on Mars” dan “Sorrow” serta lagu T. Rex, “20th Century Boy” sama-sama berada di posisi ketiga. Perang pun dimulai. Persaingan makin panas, lantaran Bolan sempat keki mendapati Tony Visconti, yang sebelumnya memanajeri dia, mulai berpaling dan lebih memprioritaskan Bowie.

“Jelas ada rivalitas di antara mereka,” ujar Keith Altham, yang pada tahun 1970-an bertindak sebagai humas Bowie dan Bolan, seperti dikutip Daily Mail. “Namun, tetap ada cinta di antara mereka. Bowie dan Bolan memiliki banyak kesamaan. Mereka bisa jadi saudara kandung.”

Tak salah kata Altham. Sebab, setelah meninggalnya Bolan, Bowie begitu peduli dan banyak membantu putra Bolan, Rolan, dan jandanya, Gloria, terutama dari segi finansial. Bahkan, Bowie disebut-sebut bapak angkat Rolan.

Maklum, hingga saat ini, Bowie masih masuk dalam kategori musisi terkaya dunia. Bahkan, situs bonrich.com memperkirakan kekayaan Bowie saat ini mencapai 215 juta dolar AS atau sekitar Rp 2,5 triliun. Sementara, usai kematian Bolan, Gloria jatuh bangkrut.

“Kedermawanan David Bowie membantu saya dan ibu untuk menyambung hidup,” ujar Rolan, yang kini bergelar sarjana seni rupa dan kini tinggal di Kalifornia, Amerika Serikat. Rolan menyebut, Bowie kerap meneleponnya dan mengatakan jangan pernah ragu meminta bantuan kepadanya. “Jika ada yang bisa saya lakukan, saya pasti akan membantu,” ujar Rolan menirukan ucapan Bowie. Ya, “Friends will always be friends” kata Queen.

Sumber: biography, daily mail, firstpost, BBC Documentary, “Marc Bolan: The Final Word”, you tube, wikipedia, bornrich




Diskografi Marc Bolan
Bersama Tyrannosaurus Rex
* My People Were Fair and Had Sky in Their Hair… But Now They’re Content to Wear Stars on Their Brows (1968)
* Prophets, Seers & Sages: The Angels of the Ages (1968)
* Unicorn (1969)
* A Beard of Stars (1970)
Bersama T. Rex
· T. Rex (1970)
· Electric Warrior (1971)
· The Slider (1972)
· Tanx (1973)
· Zinc Alloy and the Hidden Riders of Tomorrow (1974)
· Bolan’s Zip Gun (1975)
· Futuristic Dragon (1976)
· Dandy in the Underworld (1977)

Sunday, September 22, 2013

Saat Rooney Jatuh Cinta Lagi

WAYNE ROONEY (foto: mid-day)
YA, sebut saja Rooney sedang jatuh cinta lagi. Tapi, bukan, bukan kepada wanita lain, tentu saja. Karena Wayne Mark Rooney, nama lengkap Rooney, telah memiliki wanita spesial, Coleen Mary McLoughlin, sang istri yang telah memberinya dua putra nan lucu: Kai dan Klay.

Rooney jatuh cinta lagi kepada sepak bola, kepada Manchester United (MU), klub Liga Primer Inggris, yang dibelanya sejak 2004 usai pindah dari Everton. Maka itu, Rooney, 27 tahun, kini bisa merasakan lagi rasa “kasmaran” yang luar biasa saat merobek gawang lawan, seperti ketika mencetak dua gol kemenangan 4-2 MU atas Bayer Leverkusen di ajang Liga Champions, Selasa (17/9).

Sensasinya pun dia rasakan lebih. Sebab, empat hari sebelumnya, Rooney ikut menyumbang satu gol untuk kemenangan 2-0 MU atas Crystal Palace di Liga Primer. “Rooney is back”? Tampaknya begitu.

Usai periode tak mengenakkan sejak musim panas lalu, Rooney sepertinya memang telah menemukan kembali keasyikkan menjadi superstar di lapangan hijau. Lihat saja bagaimana aksinya lawan Leverkusen. Dia bahkan tak tampak sungkan bertandem dengan Robin Van Persie, yang disebut-sebut sempat membuat sinarnya tenggelam, musim lalu.

Padahal, di awal musim 2013/14 ini, Rooney sempat membuat MU resah. Spekulasi bertebaran di mana-mana, menyebut pemain bertubuh gempal ini ingin hengkang. Chelsea dan Arsenal, dua klub yang paling berambisi merekrutnya.
Sang pemain memang tak pernah membenarkan isu tersebut. Namun, dari tindak-tanduknya, Rooney seperti mengisyaratkan itu. Dia disebut sangat kecewa lantaran sepanjang 2012/13 hanya jadi pilihan kedua pelatih Alex Ferguson, setelah tibanya Van Persie dari Arsenal.
Spekulasi makin kuat karena yang datang menggantikan Ferguson adalah David Moyes, yang punya riwayat buruk dengan Rooney. Moyes adalah orang yang disebut-sebut menendang Rooney dari Everton ke MU.
Tapi, ya itu tadi. Rooney kini sepertinya telah melupakan lukanya. Maka itu, dia sangat marah saat seorang wartawan menanyakan komitmen ke depannya bersama MU. “Saya hanya fokus kepada sepak bola. Saya senang bisa mencetak gol lagi,” ujar Rooney, tegas.

Damai dengan Moyes
Ya, sepertinya, kini memang tak ada lagi keraguan Rooney untuk melanjutkan karier di Old Trafford, markas MU. Tak masalah baginya, kembali berada di bawah asuhan Moyes, orang yang juga memberinya pertandingan debut di Liga Primer bersama Everton, tahun 2002. Bahkan, Rooney terang-terangan memuji gaya melatih Moyes di MU, yang disebutnya lebih lebih intens dan membuatnya semakin terpacu memberikan yang terbaik.

Padahal, pada 2006 lalu, Rooney sempat menyebut Moyes tak punya alasan jelas melepasnya ke MU, yang akhirnya berujung pada tuntutan hukum yang dilayangkan Moyes.

Tapi, itulah jika orang sedang jatuh cinta. Kotoran kucing pun bisa serasa cokelat, kata mendiang penyanyi Gombloh dalam lagunya “Lepen”. Rooney pun kini tak lagi sungkan berdekatan dengan Moyes, mendengarkan instruksinya, bahkan menjalankan perintah pelatih asal Skotlandia itu.

Bisa jadi, Rooney tengah “make up” dan kembali mencoba meraih simpati suporter MU, yang mungkin sempat kesal dengan tingkahnya sepanjang musim panas lalu. Tentu hal ini sah-sah saja.
Sebab, seorang bintang, superstar, tentu bukan orang suci. Ada kalanya dia membuat pemujanya keceewa, bahkan marah. Tapi, selalu ada cara untuk  kembali meraih simpati para pemuja.

Dan, dalam hal ini, Rooney tahu betul caranya, yaitu dengan mencetak gol sebanyak-banyaknya. Seperti dua musim lalu dan musim 2009/10 saat dia mencetak total 34 gol di semua ajang, jumlah gol terbanyaknya dalam semusim.  Bukan seperti musim lalu, saat total dia hanya mencetak 16 gol. Tidak ada apa-apanya dibanding torehan Van Persie yang mencapai 30 gol.

Menuju Legenda
Gol memang selalu penting bagi Rooney. Sebab, dengan itulah dia bisa hidup, bersinar. Siapa pun mahfum, seorang penyerang bukanlah apa-apa tanpa gol. Begitu juga Rooney.

Setiap gol dari kaki dan kepalanya jadi begitu berharga, sebagai bukti cintanya kepada sepak bola, kepada MU. Dan, tanpa disadarinya, Rooney sendiri sebenarnya tengah merintis jalan untuk menjadi legenda di Old Trafford. Ya, seperti Bobby Charlton, Dennis Law, atau Jack Rowley yang terkenal itu.

Paling tidak, gol Rooney telah berbicara. Setelah lebih dari sembilan musim membela “Setan Merah”, Rooney telah mengoleksi 200 gol dari total 406 pertandingan di semua ajang. Kini, Rooney berada di tempat keempat sebagai pencetak gol terbanyak MU di bawah tiga nama di atas.

Lima puluh gol lagi-mungkin bisa dicetak Rooney dalam dua musim ke depan-nama pria kelahiran Liverpool, Inggris, 24 Oktober 1985 ini akan resmi tercatat sebagai pencetak gol terbanyak MU sepanjang masa, melewati Sir Bobby!
Nah, jika telah terbentang kesempatan mewah seperti ini, apakah Rooney masih berpikir untuk hengkang pada bursa transfer Januari mendatang? Rasanya tidak.

*tulisan ini dimuat di Harian TopSkor edisi Sabtu-Minggu, 21-22 September

Monday, September 9, 2013

Cinta yang Tak Pernah Berakhir

RICADO KAKA (foto: favim)
“CINTA yang tak pernah berakhir….” Bukan, itu bukan sepenggal syair lagu milik Fatur yang sempat happening di tahun 1997-an. Melainkan  ungkapan penuh hasratMilanisti-tifosi AC Milan- saat menyambut kembalinya Ricardo Kaka, Senin, 2 September lalu. Ya, Kaka datang kembali untuk membela “I Rossoneri”, klub yang sempat diperkuatnya periode 2003-09, sebelum bergabung dengan klub Spanyol, Real Madrid, sejak 2009.

“Certi amori non finiscono mai” alias “ada cinta yang tak pernah berakhir” kata tifosiMilan. Kalimat itu mereka tuliskan di atas sebuah kue tart, lengkap dengan foto Kaka mengenakan seragam Milan, saat menyambut pemain asal Brasil itu di depan sekretariat Milan di Via Turatti 3. Mereka, Milanisti dan juga Fatur, berdendang soal cinta. Cinta yang tak mengenal lelah untuk selalu mencintai, cinta sejati. Mungkin juga yang paling hakiki.

Hanya bedanya, jika Fatur, mantan vokalis grup Java Jive itu agak skeptis dalam lagunya yang berjudul “Selalu untuk Selamanya” itu-lantaran masih meragukan cinta sang kekasih-Milanisti telah berani menjanjikan cinta sejati mereka kepada Kaka.

Bagi mereka, Milanisti, Kaka memang tetap sama. Sosok yang sempat sukses membawa Milan meraih kejayaan dengan memenangkan lima gelar bergengsi: Serie A 2003/04, Piala Super Italia, 2004, Liga Champions 2006/07, Piala Super Eropa 2007, dan Piala Dunia Klub 2007.

Kaka pun tak mau melewatkan momen penting ini. Dari balkon sekretariat Milan, dia menyempatkan diri menyapa pengagumnya. Mengibarkan kostum merah-hitam khas Milan, kemudian memakainya. “Aksi” Kaka pun mendapat aplaus meriahMilanisti.

Tak heran, Senin itu, Kaka seperti bernostalgia, mengenang tahun 2003 lalu, saat pertama kali diboyong “I Rossoneri” dari klub Brasil, Sao Paulo. “Saya seperti pulang ke rumah,” ujar pemain kelahiran Brasilia, Brasil, 22 April 1982 itu saat diwawancara La Gazzetta dello Sport.

Kaka memang boleh dibilang jadi salah satu primadona mercato musim panas ini, terutama di detik-detik terakhir. Bukan karena harganya, lantaran rekor itu menjadi milik Gareth Bale yang diboyong Madrid seharga 100 juta euro (sekitar Rp 1,4 triliun) dari Tottenham Hotspur. Melainkan karena pilihan Kaka untuk kembali ke Milan, setelah empat musim yang tak menyenangkan di Madrid.

Tapi, Kaka tak datang membawa luka dari Madrid. Kekecewaan yang dia rasakan karena seperti tak dibutuhkan di skuat “Los Galacticos” begitu saja sirna lantaran mendapat sambutan yang wah dari pendukungnya. Dan, sebagai bonusnya, Kaka mendapatkan kembali nomor punggung “22″. Nomor yang dulu dikenakannya selama membela Milan.

Itu tentu saja bisa jadi modal bagus bagi Kaka untuk kembali mengais kejayaan kariernya. Masa suram di Madrid, di mana dia lebih banyak menjadi cadangan-hanya tampil di 120 laga dalam empat musim, plus 29 gol-akan disulapnya kembali jadi kemilau, demi hasrat kembali membela Brasil di Piala Dunia 2014. Dan, tentu juga hasrat untuk membayar rasa cinta tifosi.  Sebab, di Milan tidak ada Jose Mourinho, tiada juga Cristiano Ronaldo.

Keuntungan Milan
Sementara bagi Milan, secara ekonomis saja sudah untung. Pasalnya, Kaka datang dengan cuma-cuma alias gratis. Bandingkan dengan harga hampir 70 juta euro yang harus dikeluarkan Madrid saat menjemput sang pemain dari Milan, tahun 2009. Sudah begitu, Kaka pun rela gajinya, yang 9 juta euro per musim di Madrid, dipangkas hingga 4 juta euro.

Sementara, dari sisi teknis, Milan tentu saja masih berharap tuah Kaka kembali ampuh. Kaka, kini memang telah berusia 31 tahun. Namun, soal skill dan pengalaman, pemain yang sukses mengantar Brasil juara dunia 2002 dan Piala Konfederasi 2005 dan 2009 ini tak perlu diragukan lagi.
Posisi trequartista alias penyerang lubang pun telah disiapkan pelatih Massimiliano Allegri untuknya. Posisi yang begitu dirindukan Kaka semasa mengenakan seragam Madrid.

Allegri juga bisa saja memodifikasi skema pasukannya menjadi 4-3-1-2 atau 4-3-2-1 demi mengakomodasi kehadiran Kaka yang juga bisa bermain sebagai playmakeratau fantasista.
Sebagai catatan, dengan dua skema ini pula, di bawah asuhan Carlo Ancelotti, pelatih Madrid-yang “merekomendasikannya” kembali ke Milan-Kaka mendapatkan musim terbaiknya bersama “I Rossoneri”, 2006/07, saat membawa “I Rossoneri”memenangkan Liga Champions, Piala Super Eropa, dan Piala Dunia Klub. Kaka sendiri di akhir musim,meraih penghargaan Ballon d’Or, Pemain Terbaik Eropa.

Di dua skema ini pula, Kaka menemukan masa kejayaan sepanjang kariernya. Dua musim setelah itu, Kaka juga berturut-turut menjadi pencetak gol terbanyak Milan dengan torehan 15 dan 16 gol di musim 2007/08 dan 2009. Torehan golnya melewati catatan penyerang-penyerang Milan ketika itu, seperti Alexandre Pato, Filippo Inzaghi, Alberto Gilardino, ataupun Ronaldinho sekalipun.

Tapi, yang paling penting, tentu saja motivasi yang dibawa Kaka ke Milan. Dia sendiri menyebut, Milan telah mengembalikan hasratnya untuk kembali menjadi yang terbaik di lapangan. Sebab, sebenarnya, Kaka sendiri juga sudah kadung jatuh cinta setengah mati kepada Milan.

Proses transfernya ke Madrid, di tahun 2009 itu, adalah kecelakaan, lantaran alasan ekonomis. “Sulit bagi kami menolak uang 70  juta euro dari Madrid, sementara kondisi finansial kami sedang buruk,” demikian diungkap Wakil Presiden Milan, Adriano Galliani, beberapa pekan setelah melepas Kaka ke Madrid.


Jadi, Kaka memang punya modal yang sangat kuat untuk membalas cinta tifosi. Cinta yang tak pernah berakhir….
Tulisan ini dimuat di Harian TopSkor edisi Sabtu-Minggu, 7-8 September 2013