Thursday, May 9, 2013

Tak Ada yang Seperti Fergie

ALEX FERGUSON (foto: thesun)
MANCHESTER United (MU) adalah Alex Ferguson. Maka, saat Ferguson menyatakan pensiun, apakah MU masih akan mampu mempertahankan nama besarnya? Ya, tentu saja masih. Sebab, MU adalah MU. Tak ada pemain, atau pelatih seperti Ferguson, yang lebih besar daripada klub itu sendiri. Ferguson sendiri yang bilang begitu.

Namun, menyimak petualangan karier Ferguson di MU memang menarik. Sangat, sangat menarik, bahkan. Tambah menarik, karena setelah kurang-lebih 27 tahun pengabdiannya sebagai pelatih-manajer, tiba-tiba saja pria asal Skotlandia itu menyatakan pensiun dan beralih ke belakang meja sebagai direktur klub. Kini, posisinya digantikan David Moyes.

Kurun waktu 27 tahun mungkin memang tidak ada apa-apanya jika dibanding rekor pengabdian Fred Everiss yang mencapai 46 tahun di West Bromwich Albion. Namun, di era sepak bola modern—yang mungkin ditandai dengan bergabungnya Ferguson di MU, November 1986—durasi 27 tahun itu jelas sebuah “rekor”. Bahkan, mungkin saat ini orang sudah lupa siapa pelatih yang digantikan Fergie—panggilan Ferguson.

Di museum MU sendiri, nama Ferguson tercatat sebagai pelatih terlama yang menangani klub rival sekota Manchester City itu. Ferguson mematahkan rekor pelatih legendaris mereka sebelumnya, Matt Busby, 24 tahun, 1945-1969.

Dan, bagian yang paling menarik tentu saja saat kita mencermati bagaimana Ferguson membangun MU sejak pertama kali menginjakkan kaki di Old Trafford.  Bagaimana Ferguson mengubah MU menjadi sebuah klub “raksasa” yang begitu disegani di Inggris dan Eropa.

MU saat juara Liga Champions 1998/99 (foto:guradianlv)
Memang, Ferguson baru bisa membawa MU juara Liga Primer di musim ketujuhnya, 1992/93, didahului dengan gelar Piala FA dua tahun sebelumnya. Tapi, itu adalah gelar pertama MU setelah 26 tahun! Usai terakhir mereka jadi kampiun di era Sir Matt.

Artinya, ketika itu, Ferguson telah kembali sukses mengangkat mental juara MU, yang sempat jadi keropos usai ditinggal Sir Matt. Tak heran, setelah itu, muncullah “generasi baru” MU yang kemudian merajai sepak bola Inggris, dengan Ferguson sebagai konduktornya.

Hingga pensiun, Ferguson suskes membawa MU memenangkan total 38 gelar! Termasuk 13 dari total 20 gelar Liga Primer dan dua dari tiga gelar Liga Champions yang pernah dimenangkan MU. Rasanya memang sulit mencari orang seperti Ferguson, bahkan, mungkin memang tak ada.

Hebatnya, Ferguson tak hanya membangun MU dengan rekrutan-rekrutannya, sepeti Eric Cantona, Steve Bruce, Roy Keane, atau Paul Ince. Lebih dari itu, Ferguson membuat suporter bangga karena berhasil mengorbitkan pemain-pemain junior mereka. Maka itu, dikenallah “Class ‘92” atau “Fergie Babes”. Sebut saja Gary dan Phil Neville, Nicky Butt, Paul Scholes, Ryan Giggs, hingga David Beckham

Pemain-pemain ini pulalah yang menjadi tulang punggung MU saat meraih prestasi terbaiknya, treble winners di musim 1998/99. Ketika itu, MU memenangkan tiga gelar sekaligus: Liga Primer, Piala FA, dan Liga Champions.

Namun, Ferguson memang bukan sosok yang biasa saja. Tindak-tanduknya juga tak jarang kontroversial. Bukan rahasia lagi jika dia kerap perang kata-kata dengan  pelatih Arsenal, Arsene Wenger. Ferguson juga seperti mendapat musuh baru, saat Jose Mourinho menangani Chelsea di periode 2004-07.

Sementara di hadapan pemainnya, pria bergelar “Sir” ini juga kadang bisa menjadi “macan”.  Dan, menariknya, biasanya pemain yang sempat bermasalah dengan Ferguson, tak lama kemudian pergi meninggalkan Manchester United.

David Beckham, sempat jadi "anak emas" Ferguson
(foto:pinterest)
Beckham, misalnya. Sejak pernikahannya dengan penyanyi Victoria Adams tahun 1999, hubungannya dengan Ferguson memburuk. Padahal, sebelumnya, dia adalah “anak emas” Ferguson.

Yang paling terkenal adalah insiden tendangan sepatu Ferguson yang melukai pelipis Beckham di ruang ganti, usai MU kalah dari Arsenal di ajang Piala FA. Setelah itu, berturut-turut Jaap Stam, Ruud Van Nistelrooy, termasuk sang kapten Roy Keane, seperti mengikut jejak Beckham. Bermasalah dengan Ferguson, kemudian hengkang.

Namun begitu, “noda-noda” kecil itu toh sama sekali tak mengurangi wangi kinerja Ferguson. Bahkan, Beckham pun masih menyanjungnya sebagai ayah. Sementara oleh beberapa koleganya sesama pelatih, pria kelahiran Glasgow, Skotlandia, 31 Desember 1941 ini juga dikenal sebagai sosok yang ramah dan bersahabat. Ferguson kerap mengajak pelatih tim lawan MU minum wine usai pertandingan. Hmm.. rasanya memang tak ada yang seperti Fergie…. *



Era Baru MU Dimulai

YA, era baru Manchester United (MU) segera dimulai. Mundurnya Alex Ferguson dari kursi kepelatihan dipastikan akan membuat “Tim Setan Merah” menata ulang perjalanan mereka di Inggris atau Eropa.

Itu lantaran selama ini, MU begitu identik dengan Ferguson. Jelas identik, lantaran Ferguson-lah yang selama ini menjadi pelatih klub yang didirikan pada tahun 1878 itu dalam 27 tahun belakangan. Situasi yang tentu saja tak akan mudah bagi pelatih baru.

Tak cuma beban, lantaran sejauh ini, Ferguson menjadi pelatih tersukses di Inggris dengan torehan 38 trofinya. Sang pelatih baru juga harus bisa menciptakan “iklim baru”. Bahkan, bukan tak mungkin justru dia, sang pelatih baru yang harus beradaptasi dengan “iklim” yang selama ini telah dibentuk Fergie, panggilan Ferguson.

Inilah sesungguhnya perjuangan berat yang harus dilalui “Tim Setan Merah”. Keluar dari bayang-bayang Ferguson, dan melangkah dengan sang pelatih baru.

Untung, Ferguson meninggalkan “warisan” yang cukup, sehingga bisa dijadikan modal bagu MU untuk mengarungi petualangan baru. Skuat juara yang telah dibentuk Ferguson, jelas akan jadi modal bagus, bagi MU, meski tak lagi didampingi Ferguson.

Selain itu, karakter dan mental klub yang selama ini dibangun Ferguson tentu akan terus melekat, meski sang pelatih tak lagi bersama pasukan “Setan Merah”. Bayangkan, Ferguson berhasil membuat MU dari bukan tim apa-apa menjadi tim yang sangat disegani, bahkan di Eropa sekali pun.

Tentu saja berbeda membandingkan mental dan karakter pemain MU dengan klub lain di Liga Primer. Dan, di situlah, lagi-lagi Ferguson telah membuat klub yang bermarkas di Stadion Old Trafford ini berbeda.

Namun, MU rasanya tak perlu khawatir, karena Ferguson sebenarnya tak akan “pergi jauh”. Sebab, pria berusia 71 tahun itu dikabarkan telah menerima tawaran menjadi salah satu direktur klub pemegang rekor gelar Liga Primer (20 kali) itu.

Artinya, Ferguson masih akan mudah untuk terus memantau perkembangan MU dari dekat. Bukan tak mungkin memberikan saran di awal-awal pascalengsernya dia dari kursi kepelatihan.

Tapi, percayalah, klub sebesar MU pasti akan bisa melewati masa-masa transisi ini. Siapa pun pelatih yang akhirnya ditunjuk manajemen untuk menggantikan Ferguson, MU tetap akan berdiri tegak sebagai salah satu klub terbesar, di dunia.


Mungkin, mereka memang butuh waktu untuk mempertahankan, atau meningkatkan pamor mereka yang telah lama dirintis Ferguson. Tapi, bukan tak mungkin, kekuatan MU tak terganggu, lantaran karakter pemain dan klub telah terbentuk sedemikian rupa di era Ferguson. So…

Friday, May 3, 2013

Juve Memang Meyakinkan

JIKA tak ada aral melintang, Juventus akan memastikan scudetto ke-29 mereka, pekan ini. Ya, di pekan ke-35, mereka hanya membutuhkan hasil imbang saat menjamu Napoli di Juventus Stadium untuk memastikan diri sebagai kampiun Seri A 2012/13.

Sebab, dengan begitu, nilai Juventus akan menjadi 81, berselisih 12 dengan Napoli yang berada di posisi kedua. Memang, dengan sisa tiga pertandingan, Napoli masih bisa menyamakan nilai tersebut. Namun, Juventus tetap jadi juara lantaran mereka unggul head to head dari Napoli.

Dari dua pertamuan musim ini, Juventus menang 2-0 saat menjamu tim asuhan Walter Mazzarri itu di Juventus Stadium. Sementara, saat tandang ke San Paolo, kedua tim bermain imbang 1-1.

Tapi, kalau pun kalah dari Palermo, di pekan ini, Juventus rasanya hanya menunggu di tiga pekan terakhir untuk memastikan diri meraih scudetto back to back mereka. Dan, hal itu—jika kalah dari Palermo—rasanya tak akan membuat cacat torehan Juventus sepanjang musim ini.

Ya, sepanjang musim ini, Juventus memang tampil sangat meyakinkan. Konsisten permainan di lapangan, sejalan dengan hasil gemilang yang mereka torehkan. Memang, dari 34 pertandingan, mereka sempat kalah empat kali dan imbang lima kali. Namun, total 25 kemenangan yang mereka bukukan bisa dijadikan bukti betapa superior tim asuhan Antonio Conte ini.

Seperti musim lalu, musim ini, langkah Juventus tak bisa diimbangi tim-tim besar lainnya, seperti AC Milan, Internazionale, AS Roma, SS Lazio, Fiorentina, atau bahkan Napoli, yang belakangan mulai keteteran.

Sentuhan tangan dingin Conte, meski sempat terkena skors tak boleh menemani Claudio Marchisio begitu digdaya di hadapan lawan-lawan mereka. Tak salah jika menyebut, Juventus tengah memasuki era jaya mereka, setelah musim lalu mereka juga tampil gemilang di Seri A.

Ini tentu bisa jadi modal bagus bagi “I Bianconeri” untuk terus mengembangkan prestasi mereka, terutama di Eropa. Ya, tentu para tifosi sudah amat rindu tim kesayangannya ini bisa kembali Berjaya di Eropa, seperti terakhir kali mereka lakukan pada tahun 1996 saat memenangkan Liga Champions usai di final mengalahkan Ajax Amsterdam.

Ya, musim depan, rasanya tak berlebihan jika Juventus sudah mulai harus menetapkan target berjaya di Liga Champions. Capaian musim ini, di mana mereka mampu menembus perempat final, bisa dijadikan tolok ukur untuk mendapat prestasi lebih baik lagi, musim depan.


Ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi manajemen Juventus, terutama untuk mempertahankan skuat yang ada, plus penambahan satu dua pemain yang dirasa perlu. Tentu, mereka juga harus memastikan pelatih Conte tetap bertahan. Sebab,kabarnya sudah begitu banyak klub elite Eropa yang mengincar pelatih bermata biru itu.*

Thursday, April 18, 2013

Pangeran Sesungguhnya

FRANCESCO TOTTI (foto:ciaonews)
FRANCESCO Totti ibarat candu bagi suporter AS Roma. Kehadirannya di lapangan, selalu membuat “Romanisti”—julukan untuk suporter Roma—semakin kencang berteriak, menari, bernyanyi mendukung klub dengan julukan “I Giallorossi” ini.

Kini, “sang candu” telah berusia lebih dari 20 tahun sejak pertama kali melakukan debut di laga lawan Brescia di bawah arahan pelatih Vujadin Boskov. Namun, kecintaan tifosi kepada sosok berusia 36 tahun ini tak pernah pupus.

Totti, suami artis cantik Italia, Ilary Blasi ini tetap dipuja. “Il Principe” alias “Sang Pangeran”, begitu dia dipanggil, seperti juga  Giuseppe Giannini, legenda Roma di era 1980 dan 1990-an. Tapi, media Italia juga kerap menjulukinya “Il Bimbo d’Oro” atau “Si Bocah Emas”, “Er Pupone”, “Il Gladiatore”, bahkan “Il Re di Roma” alias “Raja Roma”.

Seperti juga Giannini, yang sukses mengantarkan Roma jadi kampiun Seri A 1982/83, Totti pernah membawa Roma jadi yang terbaik di Italia, musim 2000/01 saat dilatih Fabio Capello. Plus tentu saja gelar-gelar lainnya, seperti Piala Italia (2006/07, 2007/08), Piala Super Italia (2001, 2007).  Bahkan, lebih hebat dari Giannini, Totti pernah enam kali membawa “I Giallorossi” menutup musim sebagai runner-up, terakhir musim 2009/10.

Musim ini, Totti juga berpeluang membawa Roma meraih gelar Piala Italia kesepuluh mereka. Pasalnya, Rabu (17/4) atau Kamis dini hari WIB, Roma sukses menyingkirkan Internazional di semifinal kedua dengan skor 3-2. Sebelumnya, di laga pertama Roma juga menang 2-1. Di final nanti, Roma akan berhadapan dengan rival sekota mereka, SS Lazio.

Dari torehan pribadi, Totti juga lebih gemilang dibanding Giannini. Totti, misalnya, pernah lima kali dinobatkan sebagai Pemain Terbaik Italia. Sementara di musim 2006/07, Totti menyabet gelar Capocannoniere alias pencetak gol terbanyak sebagai bukti ketajamannya dengan torehan 26 gol.

Namun, yang paling fenomenal tentu saja “gelar” Totti sebagai pencetak gol terbanyak sepanjang masa di Seri A yang masih aktif, dengan 227 gol dari total 528 penampilan.

Wajar, memang, jika Totti amat dicintai tifosi Roma. Bukan soal gelar dan kepiawaiannya menggocek bola saja sebenarnya. Tapi, lebih kepada loyalitas seorang Totti. Padahal, jika mau, dia bisa saja bergabung dengan klub-klub “raksasa” Eropa, saat kariernya benar-benar menjulang beberapa musim lalu.

Tapi, Totti selalu bergeming setiap ada tawaran
datang. Termasuk tawaran dari klub kaya Spanyol, Real Madrid, enam tahun lalu. Bagi Totti, memang hanya ada satu klub: Roma!

Maka itu, meski saat ini, ketika kontrak terakhirnya yang kadaluwarsa musim panas nanti belum juga diperpanjang, Totti tak tampak gamang. Sebab, bagi Totti dan Roma, perpanjangan kontrak hanyalah formalitas.  “Saya ingin menutup karier di klub ini,” ujar Totti, suatu ketika.

Totti memang tak ingin seperti Giannini yang menutup karier di Novara, usai hengkang dari Roma. Totti ingin seperti Paolo Maldini (AC Milan) yang hanya membela satu klub sepanjang kariernya, sejak junior.

Totti memang identik dengan  Roma. Dia lahir dan tumbuh sebagai Romanista. Dan, di laga lawan Brescia, 28 Maret 1993, saat Totti berusia 16 tahun, seperti merupakan penahbisan dirinya sebagai Romanista yang sesungguhnya.

No Totti, No Party
Di lapangan, Totti juga tak hanya unjuk kemampuan teknik, melainkan juga merupakan motivator ulung bagi rekan-rekannya, terutama pemain muda. Singkat kata, semua pemain Roma tenang, jika ada Totti di lapangan. Hingga muncul istilah, “No Totti, no party”.

Totti yang lahir pada 27 September 1976 juga idaman para pelatih, termasuk Zdenek Zeman yang pernah dua periode (1997-99 dan 2012-13) menangani Roma. Dulu, di periode pertama melatih Roma, Zeman kerap ditanya wartawan tentang penilaiannya terhadap pemain Italia. Dan, saat diminta menyebutkan tiga pemain terbaik Italia versinya, Zeman selalu menjawab, “Totti…Totti…Totti!” Ya, bagi Zeman, memang tak ada pemain (Italia) sebaik Totti.

Di mata tifosi, Totti juga sosok anutan. Ayah Cristian dan Chanel ini selalu menjaga perasaan tifosi, termasuk juga menjaga imejnya sebagai anutan. Lihat saja kehidupan rumah tangganya dengan Ilary. HIngga saat ini, tak sekalipun ada berita miring tentang mereka berdua.

Di luar lapangan, Totti juga punya rasa empati yang sangat tinggi. Sering dia memberikan motivasi kepada tifosi yang kurang beruntung. Bahkan, belum lama ini, Totti secara terang-terangan menyebut  legenda Italia, Silvio Piola sebagai salah satu idolanya. Padahal, semua orang tahu, Piola adalah mantan bintang Lazio, musuh bebuyutan Roma.

Totti bahkan memberikan kostum Roma yang sudah ditanda tanganinya kepada cucu Piola yang datang mengunjunginya saat Roma menggelar latihan di Novara, sebelum semifinal Piala Italia lawan Inter.

Ya....Totti memang superstar. Bagi tifosi Roma, dia jauh lebih lebih hebat daripada seorang rockstar, bahkan politikus sekalipun. Karena, Totti adalah pangeran! Ya.. dialah Pangeran Roma yang sesungguhnya.*

Friday, April 12, 2013

Jerman atau Spanyol?

YA, mungkin itulah pertanyaan yang langsung tersembul di benak kita usai bola-bola undian menuntaskan drawing semifinal Liga Champions 2012/13 yang digelar di Nyon, Swiss, tadi malam. Maksudnya, apakah laga final di Stadion Wembley, London, Inggris, 25 Mei nanti akan menggelar laga dua finalis asal Jerman, atau Spanyol?

Ya, kemungkinan itu memang sangat besar. Ya, pasalnya, alih-laih menggelar all-German semifinal atau all-Spanish semifinal, hasil undian justru “memisahkan” dua klub Spanyol dan Jerman.

Wakil utama Spanyol, Real Madrid, juara Liga Champions sembilan kali akan menghadapi Borussia Dortmund. Sementara  rekan senegara Madrid, Barcelona, yang musim lalu juga sukses menembus semifinal, ditantang klub Jerman lainnya, Bayern Muenchen. Laga pertama akan digelar pada 23 dan 24 April. Sementara leg kedua dimainkan 30 April dan 1 Mei.

Jika begitu, kita tentu bisa berharap “el clasico” antara Madrid vs Barcelona yang kerap terjadi di La Liga atau Piala Raja bakal jadi menu utama di Wembley nanti. Begitu juga dengan “der klassikier”, sebutan untuk duel Muenchen lawan Dortmund di Jerman. Sama seperti Madrid vs Barcelona, laga Muenchen vs Dortmund juga punya predikat “klasik”.

Dan, jika terjadi, ini merupakan keempat kalinya, final Liga Champions mempertemukan dua tim dari satu negara. Sebelumnya pernah terjadi pada  tahun 2000 saat Madrid mengalahkan Vaelncia, 2003 saat AC Milan mengalahkan Juventus, dan serta 2008 ketika Manchester United menekuk Chelsea.

Dari segi kualitas, tentu saja dua laga ini tak perlu diragukan lagi. Kita semua kerap jadi saksi betapa serunya pertandingan saat Barcelona berhadapan dengan Madrid. Atau Muenchen berhadapan dengan Dortmund.

Namun, dengan alasan “keadilan” banyak juga yang berharap laga final nanti bisa memunculkan masing-masing wakil dari dua negara ini. Artinya, satu tim dari Jerman, satu lagi dari Spanyol.

Tentu, wajar-wajar saja harapan seperti itu mencuat. All-German final, all-Spanish final, Jerman vs Spanyol, apa pun, di final nanti tentu akan menjadi sebuah tontotan yang menarik, seperti sebagaimana biasanya laga final Liga Champions.

Yang patut digaris bawahi adalah mencuatnya kembali kekuatan Jerman. Kita tentu tidak kaget jika Barcelona atau Madrid kembali muncul di partai puncak. Tapi, dengan hadirnya dua tim Jerman sekaligus di empat besar ajang yang nota bene merupakan paling elite antarklub Eropa, tentu menjadi sebuah catatan tersendiri.

Muenchen sendiri, terakhir kali jadi juara di ajang ini pada 2000/01. Itu keempat kalinya bagi mereka. Sementara Dortmund baru sekali jadi juara, musim 1996/97.


Hanya memang, kiprah “Die Borussen” belakangan ini harus diakui sangat menarik perhatian. Kiprah sang pelatih Juergen Klopp dan pasukannya bahkan telah menyita perhatian dunia. Dua gelar Bundesliga secara berturut-turut menjadi bukti bahwa mereka memang pantas masuk dalam jajaran elite Eropa.*