Thursday, May 9, 2013

Era Baru MU Dimulai

YA, era baru Manchester United (MU) segera dimulai. Mundurnya Alex Ferguson dari kursi kepelatihan dipastikan akan membuat “Tim Setan Merah” menata ulang perjalanan mereka di Inggris atau Eropa.

Itu lantaran selama ini, MU begitu identik dengan Ferguson. Jelas identik, lantaran Ferguson-lah yang selama ini menjadi pelatih klub yang didirikan pada tahun 1878 itu dalam 27 tahun belakangan. Situasi yang tentu saja tak akan mudah bagi pelatih baru.

Tak cuma beban, lantaran sejauh ini, Ferguson menjadi pelatih tersukses di Inggris dengan torehan 38 trofinya. Sang pelatih baru juga harus bisa menciptakan “iklim baru”. Bahkan, bukan tak mungkin justru dia, sang pelatih baru yang harus beradaptasi dengan “iklim” yang selama ini telah dibentuk Fergie, panggilan Ferguson.

Inilah sesungguhnya perjuangan berat yang harus dilalui “Tim Setan Merah”. Keluar dari bayang-bayang Ferguson, dan melangkah dengan sang pelatih baru.

Untung, Ferguson meninggalkan “warisan” yang cukup, sehingga bisa dijadikan modal bagu MU untuk mengarungi petualangan baru. Skuat juara yang telah dibentuk Ferguson, jelas akan jadi modal bagus, bagi MU, meski tak lagi didampingi Ferguson.

Selain itu, karakter dan mental klub yang selama ini dibangun Ferguson tentu akan terus melekat, meski sang pelatih tak lagi bersama pasukan “Setan Merah”. Bayangkan, Ferguson berhasil membuat MU dari bukan tim apa-apa menjadi tim yang sangat disegani, bahkan di Eropa sekali pun.

Tentu saja berbeda membandingkan mental dan karakter pemain MU dengan klub lain di Liga Primer. Dan, di situlah, lagi-lagi Ferguson telah membuat klub yang bermarkas di Stadion Old Trafford ini berbeda.

Namun, MU rasanya tak perlu khawatir, karena Ferguson sebenarnya tak akan “pergi jauh”. Sebab, pria berusia 71 tahun itu dikabarkan telah menerima tawaran menjadi salah satu direktur klub pemegang rekor gelar Liga Primer (20 kali) itu.

Artinya, Ferguson masih akan mudah untuk terus memantau perkembangan MU dari dekat. Bukan tak mungkin memberikan saran di awal-awal pascalengsernya dia dari kursi kepelatihan.

Tapi, percayalah, klub sebesar MU pasti akan bisa melewati masa-masa transisi ini. Siapa pun pelatih yang akhirnya ditunjuk manajemen untuk menggantikan Ferguson, MU tetap akan berdiri tegak sebagai salah satu klub terbesar, di dunia.


Mungkin, mereka memang butuh waktu untuk mempertahankan, atau meningkatkan pamor mereka yang telah lama dirintis Ferguson. Tapi, bukan tak mungkin, kekuatan MU tak terganggu, lantaran karakter pemain dan klub telah terbentuk sedemikian rupa di era Ferguson. So…

Friday, May 3, 2013

Juve Memang Meyakinkan

JIKA tak ada aral melintang, Juventus akan memastikan scudetto ke-29 mereka, pekan ini. Ya, di pekan ke-35, mereka hanya membutuhkan hasil imbang saat menjamu Napoli di Juventus Stadium untuk memastikan diri sebagai kampiun Seri A 2012/13.

Sebab, dengan begitu, nilai Juventus akan menjadi 81, berselisih 12 dengan Napoli yang berada di posisi kedua. Memang, dengan sisa tiga pertandingan, Napoli masih bisa menyamakan nilai tersebut. Namun, Juventus tetap jadi juara lantaran mereka unggul head to head dari Napoli.

Dari dua pertamuan musim ini, Juventus menang 2-0 saat menjamu tim asuhan Walter Mazzarri itu di Juventus Stadium. Sementara, saat tandang ke San Paolo, kedua tim bermain imbang 1-1.

Tapi, kalau pun kalah dari Palermo, di pekan ini, Juventus rasanya hanya menunggu di tiga pekan terakhir untuk memastikan diri meraih scudetto back to back mereka. Dan, hal itu—jika kalah dari Palermo—rasanya tak akan membuat cacat torehan Juventus sepanjang musim ini.

Ya, sepanjang musim ini, Juventus memang tampil sangat meyakinkan. Konsisten permainan di lapangan, sejalan dengan hasil gemilang yang mereka torehkan. Memang, dari 34 pertandingan, mereka sempat kalah empat kali dan imbang lima kali. Namun, total 25 kemenangan yang mereka bukukan bisa dijadikan bukti betapa superior tim asuhan Antonio Conte ini.

Seperti musim lalu, musim ini, langkah Juventus tak bisa diimbangi tim-tim besar lainnya, seperti AC Milan, Internazionale, AS Roma, SS Lazio, Fiorentina, atau bahkan Napoli, yang belakangan mulai keteteran.

Sentuhan tangan dingin Conte, meski sempat terkena skors tak boleh menemani Claudio Marchisio begitu digdaya di hadapan lawan-lawan mereka. Tak salah jika menyebut, Juventus tengah memasuki era jaya mereka, setelah musim lalu mereka juga tampil gemilang di Seri A.

Ini tentu bisa jadi modal bagus bagi “I Bianconeri” untuk terus mengembangkan prestasi mereka, terutama di Eropa. Ya, tentu para tifosi sudah amat rindu tim kesayangannya ini bisa kembali Berjaya di Eropa, seperti terakhir kali mereka lakukan pada tahun 1996 saat memenangkan Liga Champions usai di final mengalahkan Ajax Amsterdam.

Ya, musim depan, rasanya tak berlebihan jika Juventus sudah mulai harus menetapkan target berjaya di Liga Champions. Capaian musim ini, di mana mereka mampu menembus perempat final, bisa dijadikan tolok ukur untuk mendapat prestasi lebih baik lagi, musim depan.


Ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi manajemen Juventus, terutama untuk mempertahankan skuat yang ada, plus penambahan satu dua pemain yang dirasa perlu. Tentu, mereka juga harus memastikan pelatih Conte tetap bertahan. Sebab,kabarnya sudah begitu banyak klub elite Eropa yang mengincar pelatih bermata biru itu.*

Thursday, April 18, 2013

Pangeran Sesungguhnya

FRANCESCO TOTTI (foto:ciaonews)
FRANCESCO Totti ibarat candu bagi suporter AS Roma. Kehadirannya di lapangan, selalu membuat “Romanisti”—julukan untuk suporter Roma—semakin kencang berteriak, menari, bernyanyi mendukung klub dengan julukan “I Giallorossi” ini.

Kini, “sang candu” telah berusia lebih dari 20 tahun sejak pertama kali melakukan debut di laga lawan Brescia di bawah arahan pelatih Vujadin Boskov. Namun, kecintaan tifosi kepada sosok berusia 36 tahun ini tak pernah pupus.

Totti, suami artis cantik Italia, Ilary Blasi ini tetap dipuja. “Il Principe” alias “Sang Pangeran”, begitu dia dipanggil, seperti juga  Giuseppe Giannini, legenda Roma di era 1980 dan 1990-an. Tapi, media Italia juga kerap menjulukinya “Il Bimbo d’Oro” atau “Si Bocah Emas”, “Er Pupone”, “Il Gladiatore”, bahkan “Il Re di Roma” alias “Raja Roma”.

Seperti juga Giannini, yang sukses mengantarkan Roma jadi kampiun Seri A 1982/83, Totti pernah membawa Roma jadi yang terbaik di Italia, musim 2000/01 saat dilatih Fabio Capello. Plus tentu saja gelar-gelar lainnya, seperti Piala Italia (2006/07, 2007/08), Piala Super Italia (2001, 2007).  Bahkan, lebih hebat dari Giannini, Totti pernah enam kali membawa “I Giallorossi” menutup musim sebagai runner-up, terakhir musim 2009/10.

Musim ini, Totti juga berpeluang membawa Roma meraih gelar Piala Italia kesepuluh mereka. Pasalnya, Rabu (17/4) atau Kamis dini hari WIB, Roma sukses menyingkirkan Internazional di semifinal kedua dengan skor 3-2. Sebelumnya, di laga pertama Roma juga menang 2-1. Di final nanti, Roma akan berhadapan dengan rival sekota mereka, SS Lazio.

Dari torehan pribadi, Totti juga lebih gemilang dibanding Giannini. Totti, misalnya, pernah lima kali dinobatkan sebagai Pemain Terbaik Italia. Sementara di musim 2006/07, Totti menyabet gelar Capocannoniere alias pencetak gol terbanyak sebagai bukti ketajamannya dengan torehan 26 gol.

Namun, yang paling fenomenal tentu saja “gelar” Totti sebagai pencetak gol terbanyak sepanjang masa di Seri A yang masih aktif, dengan 227 gol dari total 528 penampilan.

Wajar, memang, jika Totti amat dicintai tifosi Roma. Bukan soal gelar dan kepiawaiannya menggocek bola saja sebenarnya. Tapi, lebih kepada loyalitas seorang Totti. Padahal, jika mau, dia bisa saja bergabung dengan klub-klub “raksasa” Eropa, saat kariernya benar-benar menjulang beberapa musim lalu.

Tapi, Totti selalu bergeming setiap ada tawaran
datang. Termasuk tawaran dari klub kaya Spanyol, Real Madrid, enam tahun lalu. Bagi Totti, memang hanya ada satu klub: Roma!

Maka itu, meski saat ini, ketika kontrak terakhirnya yang kadaluwarsa musim panas nanti belum juga diperpanjang, Totti tak tampak gamang. Sebab, bagi Totti dan Roma, perpanjangan kontrak hanyalah formalitas.  “Saya ingin menutup karier di klub ini,” ujar Totti, suatu ketika.

Totti memang tak ingin seperti Giannini yang menutup karier di Novara, usai hengkang dari Roma. Totti ingin seperti Paolo Maldini (AC Milan) yang hanya membela satu klub sepanjang kariernya, sejak junior.

Totti memang identik dengan  Roma. Dia lahir dan tumbuh sebagai Romanista. Dan, di laga lawan Brescia, 28 Maret 1993, saat Totti berusia 16 tahun, seperti merupakan penahbisan dirinya sebagai Romanista yang sesungguhnya.

No Totti, No Party
Di lapangan, Totti juga tak hanya unjuk kemampuan teknik, melainkan juga merupakan motivator ulung bagi rekan-rekannya, terutama pemain muda. Singkat kata, semua pemain Roma tenang, jika ada Totti di lapangan. Hingga muncul istilah, “No Totti, no party”.

Totti yang lahir pada 27 September 1976 juga idaman para pelatih, termasuk Zdenek Zeman yang pernah dua periode (1997-99 dan 2012-13) menangani Roma. Dulu, di periode pertama melatih Roma, Zeman kerap ditanya wartawan tentang penilaiannya terhadap pemain Italia. Dan, saat diminta menyebutkan tiga pemain terbaik Italia versinya, Zeman selalu menjawab, “Totti…Totti…Totti!” Ya, bagi Zeman, memang tak ada pemain (Italia) sebaik Totti.

Di mata tifosi, Totti juga sosok anutan. Ayah Cristian dan Chanel ini selalu menjaga perasaan tifosi, termasuk juga menjaga imejnya sebagai anutan. Lihat saja kehidupan rumah tangganya dengan Ilary. HIngga saat ini, tak sekalipun ada berita miring tentang mereka berdua.

Di luar lapangan, Totti juga punya rasa empati yang sangat tinggi. Sering dia memberikan motivasi kepada tifosi yang kurang beruntung. Bahkan, belum lama ini, Totti secara terang-terangan menyebut  legenda Italia, Silvio Piola sebagai salah satu idolanya. Padahal, semua orang tahu, Piola adalah mantan bintang Lazio, musuh bebuyutan Roma.

Totti bahkan memberikan kostum Roma yang sudah ditanda tanganinya kepada cucu Piola yang datang mengunjunginya saat Roma menggelar latihan di Novara, sebelum semifinal Piala Italia lawan Inter.

Ya....Totti memang superstar. Bagi tifosi Roma, dia jauh lebih lebih hebat daripada seorang rockstar, bahkan politikus sekalipun. Karena, Totti adalah pangeran! Ya.. dialah Pangeran Roma yang sesungguhnya.*

Friday, April 12, 2013

Jerman atau Spanyol?

YA, mungkin itulah pertanyaan yang langsung tersembul di benak kita usai bola-bola undian menuntaskan drawing semifinal Liga Champions 2012/13 yang digelar di Nyon, Swiss, tadi malam. Maksudnya, apakah laga final di Stadion Wembley, London, Inggris, 25 Mei nanti akan menggelar laga dua finalis asal Jerman, atau Spanyol?

Ya, kemungkinan itu memang sangat besar. Ya, pasalnya, alih-laih menggelar all-German semifinal atau all-Spanish semifinal, hasil undian justru “memisahkan” dua klub Spanyol dan Jerman.

Wakil utama Spanyol, Real Madrid, juara Liga Champions sembilan kali akan menghadapi Borussia Dortmund. Sementara  rekan senegara Madrid, Barcelona, yang musim lalu juga sukses menembus semifinal, ditantang klub Jerman lainnya, Bayern Muenchen. Laga pertama akan digelar pada 23 dan 24 April. Sementara leg kedua dimainkan 30 April dan 1 Mei.

Jika begitu, kita tentu bisa berharap “el clasico” antara Madrid vs Barcelona yang kerap terjadi di La Liga atau Piala Raja bakal jadi menu utama di Wembley nanti. Begitu juga dengan “der klassikier”, sebutan untuk duel Muenchen lawan Dortmund di Jerman. Sama seperti Madrid vs Barcelona, laga Muenchen vs Dortmund juga punya predikat “klasik”.

Dan, jika terjadi, ini merupakan keempat kalinya, final Liga Champions mempertemukan dua tim dari satu negara. Sebelumnya pernah terjadi pada  tahun 2000 saat Madrid mengalahkan Vaelncia, 2003 saat AC Milan mengalahkan Juventus, dan serta 2008 ketika Manchester United menekuk Chelsea.

Dari segi kualitas, tentu saja dua laga ini tak perlu diragukan lagi. Kita semua kerap jadi saksi betapa serunya pertandingan saat Barcelona berhadapan dengan Madrid. Atau Muenchen berhadapan dengan Dortmund.

Namun, dengan alasan “keadilan” banyak juga yang berharap laga final nanti bisa memunculkan masing-masing wakil dari dua negara ini. Artinya, satu tim dari Jerman, satu lagi dari Spanyol.

Tentu, wajar-wajar saja harapan seperti itu mencuat. All-German final, all-Spanish final, Jerman vs Spanyol, apa pun, di final nanti tentu akan menjadi sebuah tontotan yang menarik, seperti sebagaimana biasanya laga final Liga Champions.

Yang patut digaris bawahi adalah mencuatnya kembali kekuatan Jerman. Kita tentu tidak kaget jika Barcelona atau Madrid kembali muncul di partai puncak. Tapi, dengan hadirnya dua tim Jerman sekaligus di empat besar ajang yang nota bene merupakan paling elite antarklub Eropa, tentu menjadi sebuah catatan tersendiri.

Muenchen sendiri, terakhir kali jadi juara di ajang ini pada 2000/01. Itu keempat kalinya bagi mereka. Sementara Dortmund baru sekali jadi juara, musim 1996/97.


Hanya memang, kiprah “Die Borussen” belakangan ini harus diakui sangat menarik perhatian. Kiprah sang pelatih Juergen Klopp dan pasukannya bahkan telah menyita perhatian dunia. Dua gelar Bundesliga secara berturut-turut menjadi bukti bahwa mereka memang pantas masuk dalam jajaran elite Eropa.*

Tuesday, March 12, 2013

“The Unsung Gerrard”

STEVEN GERRARD (foto:fullfifa)
BRENDAN Rodgers tiba-tiba saja menjadi penggemar fanatik Steven Gerrard. Saking fanatiknya, Rodgers, pelatih Liverpool itu, mengklaim dirinya tak akan bisa melatih “The Reds”—julukan Liverpool— tanpa kehadiran Gerrard.

Rodgers memang merasakan betul betapa klub asal Merseyside yang dilatihnya itu sangat tergantung kepada sosok Stevie G. Bahkan, di usianya yang telah mendekati 33 tahun, Gerrard kata Rodgers, masih memiliki stamina yang super-fit!

 “Dengan kondisi seperti itu, Gerrard masih bisa bermain selama yang dia suka. Mungkin lima atau enam tahun lagi,” ujar Rodgers, yang sebelumnya melatih Swansea City. “Lihatlah Ryan Giggs (40 tahun) atau Javier Zanetti (39 tahun) yang masih disebut-sebut sebagai pemain terbaik di Eropa. Gerrard bisa seperti mereka.”

Kalimat-kalimat sejuk Rodgers tentu bukan sekadar pujian bagi Gerrard, pemain yang telah 15 tahun membela Liverpool, sejak dari tim junior. Ada ketulusan, kejujuran dari hati Rodgers yang paling dalam, yang mengakui betapa kemilau sosok Gerrard.

Performa Gerrard musim ini memang luar biasa. Sebagai kapten—menggantikan Sami Hyypia sejak 2003—kontribusi Gerrard juga sangat kental bagi Liverpool. Sebagai gelandang, Gerrard juga cukup tajam dengan mencetak sepuluh gol plus sembilan assist. Terakhir, dia mencetak gol penentu kemenangan 2-1 Liverpool atas Aston Villa, akhir pekan lalu.

Nama Gerrard, musim ini memang sempat seperti tak berkerlapan. Dia kalah menyala dibanding terangnya sinar pemain-pemain seperti Robin Van Persie, Sergio Aguero, Michu, ataupun Gareth Bale. Bahkan, rekan seklub Gerrard, Luis Suarez lebih sering dibicarakan lewat kontroversi dan gol-golnya. Suarez saat ini masih menjadi pencetak gol terbanyak dengan 22 gol.

Sementara publik sepak bola “Negeri Pangeran Charles” juga lebih sering membicarakan persaingan dua Manchester: MU dan City, ketimbang klub Gerrard, yang sudah pertengahan musim kehilangan kesempatan meraih gelar Liga Primer.

Tak Pernah Tenggelam
Namun, sesungguhnya, Gerrard tak pernah tenggelam. Statistik pun tak berbohong. Di Liga Primer, pria asli Liverpool itu tak sekalipun kehilangan menit bermain. Gerrard tampil di seluruh 32 laga “The Reds” dengan catatan menit bermain mencapai 2.880, sama dengan bek Aston Villa, Matthew Lowton.

Gerrard ibarat “the unsung hero” bagi Liverpool. Tak terlalu mencolok, namun sangat terasa keberadaannya. Di lapangan, dia bisa bermain sebagai second striker, bek kanan, sayap kanan, centre mildfielder, atau holding mildfielder, posisi idealnya saat ini. Gerrard juga tak pernah keberatan “memanggul air”, melakukan pekerjaan “kotor”  menjadi benteng pertama bagi serangan lawan. Apalagi menghunjam gawang lawan lewat tendangan-tendangan kerasnya.

JUARA CHAMPIONS - Steven Gerrard saat membawa Liverpool
juara Liga Champions 2004/05 (foto:thisisanfield)
Dulu, di masa kepelatihan Rafael Benitez—yang disebut-sebut sebagai musim terbaik Liverpool di era modern, karena sukses jadi kampiun Liga Champions 2004/05—Gerrard sering bermain sebagai second striker. Dia bermain lebih dekat ke gawang lawan.

Maka itu, pada 2008/09, dia bisa mencetak 16 gol dalam semusim Liga Primer, terbanyak sepanjang kariernya. Ketika itu dia main sangat nyaman di belakang Fernando Torres, karena Liverpool ketika itu memiliki Xabi Alonso yang berperan sebagai “pengangkut air”.

Tapi, musim ini, Gerrard justru lebih sering memainkan peran Alonso itu. Memang, oleh Rodgers, Gerrard tetap diberi kebebasan berkreasi, termasuk eksekutor bola-bola mati. Namun, kerap kali, tanggung jawab untuk menghentikan serangan lawan, untuk pertama kalinya, justru lebih banyak diemban Gerrard. Tapi, hebatnya, Gerrard toh masih bisa mencetak sepuluh gol.

Bagi Liverpool, Gerrard memang anutan. Dan, dia tahu betul itu. Apalagi, dengan “status”-nya sebagai scouser, alias orang asli Liverpool. Maka itu, loyalitas dan pengabdian di lapangan menjadi nomor satu bagi suami Alex Curran ini.

Memang, jika dibanding Paolo Maldini yang pernah 24 tahun membela AC Milan, lima belas tahun milik Gerrard di Liverpool belumlah apa-apa.  Namun, selama bisa, Gerrard selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi Liverpool.

Dua gelar Piala FA, tiga Piala Liga, dua trofi Community Shield, satu gelar Liga Champions, dan satu Piala UEFA plus dua gelar Piala Super Eropa yang telah disumbangkan Gerrard, memang belum cukup untuk “The Reds”.


Gerrard tahu apa yang sangat didamba Liverpudlian. Sebuah trofi yang terakhir kali mereka menangkan di musim 1989/90 untuk ke-18 kalinya, saat Gerrard masih berusia sepuluh tahun. Trofi yang kini berganti nama, dari The Football League menjadi Premier League alias Liga Primer. Pasti, Gerrard  sangat terpacu untuk mewujudkannya. Namun, tentu, tidak musim ini. *