Thursday, December 8, 2011

Mengenang Randy Rhoads

Randy Rhoads (foto:pixxgood)
“LIFE Fast Die Young” begitulah jalan hidup Randy Rhoads, gitars rock yang terkenal di awal tahun 1980-an. Jika masih hidup, dua hari lalu, tanggal 6 Desember, dia akan tepat berusia 55 tahun. Sayang, sebuah kecelakaan pesawat terbang di Leesburg, Florida, Amerika Serikat (AS), 19 Maret 1982, telah merenggut tak hanya nyawa Rhoads pada usia 25 tahun, melainkan juga karier gemilangnya sebagai gitaris rock fenomenal.

Kisah Rhoads memang tak setragis Ritchie Valens yang juga meninggal lantaran kecelakaan pesawat terbang pada usai 17 tahun setelah menjulang bersama “La Bamba”-nya. Perjalanan Rhoads juga tak mengharu-biru layaknya Kurt Cobain, yang tewas bunuh diri, setelah menggemparkan dunia dengan grunge yang diusungnya bersama Nirvana. Rhoads mungkin juga tak setenar Jimi Hendrix,  pionir gitaris blues rock dunia.

Namun, menyebut nama Rhoads sudah cukup untuk mengingatkan orang betapa di masa lalu, nama pria bernama lengkap Randall William Rhoads ini sempat digadang-gadang sebagai gitaris andal di pelataran musik rock dunia.

Rhoads bahkan pernah disejajarkan dengan gitaris legendaris Eddie Van Halen. Dulu, di era awal 1980-an, gaya gitaran Rhoads memang dianggap telah melebihi zaman dengan skill yang sangat mumpuni. Tak heran, jika orang bicara soal gitaris hebat, nama Rhoads selalu muncul.
Rhoads sudah bermain dengan cepat saat dulu, istilah shredder guitarist, sebutan untuk gitaris yang mengandalkan kecepatan jemari, belum dikenal orang. Dulu, dia juga sudah mengutamakan sound yang jernih, saat gitaris-gitaris lain masih mengandalkan suara-suara distorsi yang garang.

Gaya permainan Rhoads memang berbeda dengan gitaris-gitaris metal ketika itu. Dalam hal sound dan teknik, dia banyak memasukkan unsur klasik, fusion, jazz, dan hard rock modern.
Mungkin ini memang soal bakat, atau gift yang diberikan Yang Kuasa kepada Rhoads.  Sebab, sejak usia belasan, dia sudah dikenal sebagai “raja gitar”. Pada usia 16 tahun, dia mendirikan Quiet Riot bersama mendiang Kevin DuBrow, sang vokalis.

Randy Rhoads (kedua dari kiri) bersama Quiet Riot (foto:themetalden)
Band yang juga didirikan bersama Kelly Garni (bass) dan Drew Forsyth (drum) ini dibinanya hingga sukses mendapat kontrak rekaman dari perusahaan major label, sesuatu  yang terbilang sulit, pada masa itu. Betul, ketika itu, dua album Quiet Riot dan Quiet Riot II pada tahun 1977 dan 1978, memang hanya beredar di Jepang.

Namun, setidaknya, upaya Rhoads memperkenalkan Quiet Riot kepada khalayak rock ketika itu, telah membuka jalan grup asal Los Angeles, AS, itu untuk terus menjulang. Buktinya, pada tahun 1983, grup ini benar-benar mendapatkan sinarnya saat merilis album Mental Health pada tahun 1983. Sayang, ketika itu Rhoads sudah tak lagi bersama Quiet Riot.

Ya, sebelumnya, pada tahun 1979, Rhoads memang mutuskan untuk ikut audisi sebagai salah satu personel band yang akan dibentuk Ozzy Osbourne. Keputusan ini agak ganjil sebenarnya, mengingat Quiet Riot  saat itu sudah mulai punya nama lantaran sering dibooking Van Halen sebagai band pembuka tur mereka.

Namun, nama besar Ozzy yang sempat melegenda bersama Black Sabbath tampaknya membuat membuat Rhoads tergiur. Selain itu, Rhoads beralasan, di  Quiet Riot, kemampuan bergitarnya tak berkembang, sehingga dia pun rela bersusah-payah mencari gitaris pengganti dirinya, Greg Leon untuk Quiet Riot.

Hebatnya, Ozzy langsung kepincut dan mengajaknya membentuk band The Blizzard of Ozz. Padahal, saat audisi, Rhoads, yang kelahiran Santa Monica, Kalifornia ini hanya memainkan beberapa rift dengan gitar Gibson Les Paul andalannya.

“Sepertinya tak banyak orang tahu akan bakat Rhoads,” ujar Ozzy kepada majalahGuitar Player, lima bulan setelah kecelakaan yang menewaskan Rhoads, seperti dikutip ultimateclassicrock. “Padahal, dia tak hanya seorang gitaris rock n roll yang hebat. Randy Rhoads adalah seorang fenomena.”

Memang, bersama Ozzy, nama Rhoads mulai dikenal sebagai gitaris rock andal. Teknik-teknik gitarnya yang modern, banyak menginspirasi gitaris-gitaris rock yang muncul kemudian. Bahkan, Rhoads juga disebut-sebut sebagai pelopor aliran neo-classic metal yang belakangan dipopulerkan gitaris asal Swedia, Yngwie Malmsteen.

Diary of a Madman, yang merupakan album kedua The Blizzard of Ozz. disebut-sebut sebagai salah satu mahakarya Rhoads bersama Ozzy. Sebab, di album ini, Rhoads benar-benar mengeksplorasi kehilaiannya menjentikkan jari di dawai-dawai gitar.

Dalam lagu “S.A.T.O”, Rhoads memainkan teknik arpeggios yang lebih dikenal dengan istilah sweep picking, yaitu menjetik not dalam sebuah chord, secara bergantian dengan cepat, dengan begitu sempurna. Sementara “You Can’t Kill Rock ‘n’ Roll”, kuat sekali pengaruh klasik dalam petikan Rhoads dengan gitar akustik. Sebelum dia kolaborasi lewat sound yang sangar khas heavy metal.

Randy Rhoads disebut-sebut sebagai gitaris
kesayangan Ozzy Osbourne (foto:pixshark)
Pada lagu “Flying High Again”, Rhoads menunjukkan kecepatan jari jemarinya lewat solo yang luar biasa di akhir lagu.
Namun begitu, aksi-aksi gahar Rhoads sebenarnya telah dikenal di album pertama The Blizzard of Ozz. Sebut saja, gitarannya pada lagu “Crazy Train”, dan “Mr Crowley” yang tetap fenomenal hingga saat ini.

November lalu, nama Rhoads juga masuk dalam daftar 100 gitaris rock terbaik yang dirilis majalah musik terkenal, Rolling Stones. Nama Rhoads tercantum di posisi ke-36 dalam daftar yang dipuncaki gitaris blues rock Jimi Hendrix itu.

Tak heran, meski tak mengeluarkan album solo, penggemar Rhoads lumayan banyak hingga saat ini. Wajar juga, jika kepergiannya yang mendadak, ketika itu, begitu menguncang banyak orang, termasuk Ozzy.

Dalam autobiografinya “I Am Ozzy”, rocker yang kini berusia 63 tahun itu, menyebut sangat shock mendengar kematian Rhoads. “Ketika itu, saya sempat mengatakan kepada istri saya, Sharon, bahwa saya tak mau lagi jadi musisi rock,” ujar Ozzy.

Hingga saat ini, setiap tanggal 6 Desember, setiap tahunnya, para penggemar Rhoads berkumpul untuk mengenang sang maestro di pemakaman Mountain View, San Bernardino, Kalifornia, tempat Rhoads dimakamkan, dekat makam kakeknya. Rhoads memang tak akan terlupakan.

sumber: wikipedia, youtube, roadrunnerrecords, ultimateclassickrock, rrclub

Diskografi
Bersama Quiet Riot
  • Quiet Riot (1977)
  • Quiet Riot II (1978)
Bersama Ozzy
  • Blizzard of Ozz (1980)
  • Diary of a Madman (1981)



Saturday, December 3, 2011

Senandung Romantis dan Penuh Makna ala Rick Price

Rick Price (foto: thejohndenverstory)
RICK Price, sosok ini begitu dikenal namanya di era 1990-an, termasuk di negeri tercinta ini. Agustus 1992, tepatnya, dengan rambut gondrong ala rocker, pria asal Australia ini menyapa lewat lagu “Heaven Knows”. Dia bersenandung…..

She’s always on my mind…
From the time I wake up,
Till I close my eyes.
She’s everywhere I go
She’s all I know…..

Sungguh romantis, so touching, kata orang bule.
Reaksi publik ketika itu pun luar biasa. Dengan karakter vokal khas, yang kuat dengan cengkok folk dan blues, penyanyi asal Australia ini berhasil menghiptonis pendengarnya. Alhasil, lagu “Heaven Knows”, yang terdapat dalam album dengan judul sama ini pun benar-benar menjulangkan namanya.

Karakter yang terbangun dalam lagu “Heaven Knows” memang luar biasa. Hanya dengan berbekal piano akustik, Rick Price mampu membangun nuansa kasmaran,keedanan, dan tentu saja romantis yang luar biasa di hadapan pendengarnya.

Bayangkan, Anda mendengarkan lagu ini bersama orang terkasih, di malam yang khusyu, ditemani cahaya lilin di atas meja, yang dihiasi rangkaian bunga mawar. Sementara di luar, hujan rintik-rintik  menorehkan embun  di kaca jendela rumah Anda.

Tak hanya di Indonesia sebenarnya. Di negara-negara tetangga kita, serta Eropa dan Amerika Serikat, lagu “Heaven Knows” ini juga Berjaya. Sementara di kampung halaman Rick Price, ketika itu, lagu ini dinobatkan sebagai Lagu Terbaik Tahun Ini, versi ARIA, asosiasi perusahaan rekaman Australia.

Debut album Rick Price yang membuat namanya menjulang
 (foto: trendfabrik)
Kejutan Rick Price tak hanya sampai di situ. Lewat album yang sama, dia juga melepas single “Not A Day Goes By”, yang lumayan sukses di pasaran. Lagu ini juga sempat nangkring di beberapa tangga lagu bergengsi dunia.

Dengan sosok yang cool, rambut panjang, wajah good looking, Rick Price memang seperti dengan mudah mendapat simpati, terutama dari kaum hawa. Apalagi, vokalnya juga tidak bisa dibilang biasa saja, didukung dengan lagu-lagu yang memang berkualitas.

Tapi, apakah hanya di situ kekuatan Rick Price? Menurut saya, kekuatan utama Rick Price adalah dalam hal penulisan lagu. Ya, sebelum merilis album debutnya itu, di Australia, Rick Price sendiri sudah dikenal sebagai song writer andal, terutama dalam pemilihan tema yang penuh makna.

Tema cinta, tentu maksud saya. Sosok kelahiran Brisbane, Australia, 6 Juli 1960 ini memang paling jago dalam melahirkan lagu-lagu romantis dengan lirik yang menyentuh. Di album ini saja, selain“Heaven Knows”, Rick Price juga melahirkan lagu “Not A Day Goes By” dan “Forever Me and You”, yang dijamin membuat penggemar wanitaklepek-klepek.

Belum lagi di lagu-lagudi album lainnya, Sepeti “If You Were My Baby”, “Where Are You Now”, “Nothing Can’t Stop Us Now”, “We Got Each Other”, atau“Only Reminds Me of You”.

Namun, tentu, Rick Price tak hanya ahli dalam membuat lagu-lagu cinta. Banyak juga lagu-lagunya yang bercerita tentang cinta secara universal, tidak hanya soal wanita dan pria. Di album Heaven Knows, misalnya, terdapat lagu “A House of Divided” yang bertutur tentang sulitnya menahan ego dua insan.

Sementara dalam lagu “Bridge Building Man”, di album keduanya, Tambourine Mountain tahun 1995, Rick Price berusaha menyampaikan pesan betapa penting menjalin hubungan yang harmonis, dalam sebuah keluarga.

Namun, ada satu lagu dari Rick Price yang sangat berkesan bagi saya, yaitu “You’re Never Alone”. Saya selalu merinding saat mendengar lagu ini, persis seperti yang saya rasakan setiap mendengar lagu-lagu Iwan Fals ataupun The Beatles.

Lagu “You’are Never Alone”, bercerita tentang kasih sayang seorang ayah tak pernah mati kepada anak laki-lakinya. Sang ayah, dalam kondisi apapun, akan selalu ada untuk sang putra. Rick Price sendiri menciptakan lagu ini, khusus untuk putranya.

Dulu, mendengar lagu ini, semasa kuliah, , saya kerap merasa bersalah lantaran sering membuat ayahku saya kecewa. Saat ini, mendengar lagu ini, saya jadi membayangkan hubungan saya nantinya dengan putra saya, Fadhil.

Itulah Rick Price, musisi kreatif yang selalu mampu memberikan karya-karya yang menginspirasi pendengarnya. Andaikan musisi kita bisa seperti itu, membuat lagumellow namun tak terkesan cengeng, sambil menyelipkan pesan-pesan sosial, akan sangat beruntung sekali pencinta musik di negeri ini.

Rick Price sendiri, tahun ini telah merilis album kedelapannya, dengan judul The Water’s Edge, Salah satu tembang yang jadi andalan adalah “Shape of My Heart”.Lagunya asyik, begitu juga denga klipnya. Dengan kaus oblong putih plus bretel, Rick Price menenteng gitar akustik, bernanyi, dengan latar belakangan pemandangan yang indah.

Februari lalu, Rick Price menggelar konser dengan tajuk “An Acoustic Evening with Rick Price“, di Jakarta. Konser ini kabarnya berlangsung sukses dengan menampilkan bintang tamu, penyanyi lokal Enda N Rhesa, serta Andre Hehanusa. Sayang, ketika itu saya harus memilih, menyaksikan Rick Price atau Iron Maiden. Dan, saya memilih Maiden....
sumber: wikipedia, youtube, rickprice.co, kompas
Diskografi
  • Heaven Knows (1992)
  • Tamborine Mountain (1995)
  • Another Place (1999)
  • A Million Miles (2003)
  • 2 Up (With Mitch Grainger) (2007)
  • Revisited (2008)
  • The Water’s Edge (2011)


Thursday, November 17, 2011

Lita Ford, Ratu Rock N’ Roll Tulen


LITA FORD/foto:fanar.tv
NAMANYA memang tak setenar Joan Jett ataupun Suzi Quatro. Apalagi jika dibandingkan dengan ratu blues rock, mendiang Janis Joplin. Namun, kiprah Lita Ford sebagai vokalis sekaligus gitaris rock cewek papan atas, rasanya tetap tak bisa dianggap remeh.

Ya, Lita memang bisa dibilang telah memberi warna tersendiri dalam khasanah musik rock di era 1980 hingga 1990-an. Dia menjadi salah satu dari sedikit metal queen yang menjulang namanya, ketika itu. Bahkan, berkat jasa Lita juga, band-band rock cewek seperti Warlock, Vixen, ataupun Bangles mulai mendapat tempat di kalangan pencinta rock.

Vokal Lita yang khas rock n roll, gitarannya yang yahud, serta aksi panggungnya yang atraktif membuat wanita kelahiran London, Inggris, 18 September 1958 ini disebut-sebut sebagai salah satu ratu rock n roll tulen di eranya. Apalagi, itu masih didukung dengan paras cantik dan sosoknya nan sensual.

Tak heran, lagu-lagu Lita ketika itu pun banyak menjadi hits, seperti “Gotta Let Go”, “Kiss Me Deadly”, “Falling In and Out of Love”, serta“Close My Eyes Forever”, di mana dia berduet dengan rocker legendaris, Ozzy Osbourne.

Di Blok M, ketika itu, poster-poster bergambar Lita pun begitu banyak dijanjakan, bersanding dengan poster-poster Bon Jovi, Poison, Guns n’ Roses, atau Skid Row. Seingat saya, pose favorit Lita adalah saat dia bergaya dengan gitar warna pink-nya.

Wajar, memang jika Lita cepat dikenal. Sebab, saat pertama kali mengeluarkan album solo,Out of Blood pada tahun 1983, Lita bukanlah “anak kemaren sore”. Sebelumnya, bersama Joan Jett, dia sempat mengibarkan band The Runaways, yang juga digawangi Sandy West (drum) dan Cherrie Currie (kibor).

The Runaways sempat Berjaya dengan lagu-lagu mereka seperti “Cherry Bomb”, “Queens of Noise” atau “Death End Justice”. Namun, lantaran perbedaan pandangan bermusik, Lita bersama Sandy West memilih berpisah dengan Joan Jett dan Cherrie. Konon, pangkal permasalahannya, Joan Jett memaksakan agar musik The Runaways lebih ke arah punk rock. Sementara Lita dan Sandy West ngotot mempertahankan musik The Runaways yang kental dengan warna hard rock.

Sejarah mencatat, album Out of Blood memang tak terlalu sukses di pasaran. Begitu juga album kedua Lita, Dancin’ on The Edge di tahun 1984, walau sempat melahirkan hits “Gotta Let Go”. Nama Lita, sebagai solois baru benar-benar menjulang saat merilis album ketiga, dengan titel Lita di tahun 1988. Album ini juga mengukuhkan Lita sebagai rock n roll babe paling panas.

Di album inilah, lagu-lagu seperti “Close My Eyes Forever”,  “Kiss Me Deadly”, “Back to the Cave”, ataupun “Falling In and Out of Love” mendapat tempat di hati pencinta rock. Lagu “Close My Eyes Forever”, bahkan sempat menduduki puncak tangga lagu Billboard Hot 100. Sementara lagu “Kiss Me Deadly” menduduki posisi ke-76 dalam daftar lagu rock terbaik sepanjang masa yang dirilis stasiun televisi khusus musik, VH1.

Seperti juga di dua album awalnya, di album ini, Lita menggitari sendiri total sembilan lagu yang ada. Bedanya, album ini memang benar-benar digarap serius, baik dari aransemen, materi lagu, serta sisi manajemen, di mana Lita dimanajeri langsung oleh Sharon, istri Ozzy Osbourne.

Selain Ozzy yang tampil di lagu “Close My Eyes Forever”, dari sisi musik, Lita menggamit dua personel band pengiring Pat Benatar: Don Nossov dan Myron Grombacher pada bass dan drum. Sementara pemain bass Motley Crue, Nikki Sixx, didaulat membuat lagu “Falling In and Out Love” yang menjadi hits. Lita juga melibatkan komposer rock, Mike Chapman, sebagai penulis lagu “Back to The Cave”. Sekedar catatan, Champman pernah sukses besar bersama Suzi Quatro.

LITA FORD/foto:istimewa
Selain bermain gitar dengan sepenuh jiwa, di album ini Lita juga benar-benar mengeksplorasi kualitas vokalnya. Mungkin Lita tak mau kalah saing dengan Joan Jett yang telah terlebih dahulu menjulang dengan “I Love Rock n Roll”-nya yang begitu melegenda. Hasilnya, sepanjang album, Lita berhasil mengeluarkan olah vokal yang benar-benar prima, selain tentu, jentikan gitarnya yang khas.

Di lagu “Back to The Cave”, Lita bernyanyi dengan vokal khas rocker, dengan suara serak-serak basah. Begitu juga di lagu “Fatal Passion”, dan “Bluebarry”. Sementara di lagu “Under The Gun”dan “Broken Dreams”, vokal Lita terdengar mellow,lantaran bernyanyi sepenuh hati, meski tak juga terkesan cengeng.

Lagu “Close My Eyes Forever” bisa dibilang sebagai masterpiece Lita,setidaknya di album ini. Dengan karakter vokal yang kuat, Lita mampu mengimbangi suara khas Ozzy, sehingga lahirnya sebuah lagu slow rock ballad khas lantaran perpaduan vokal apik keduanya.
Terutama pada bridge, saat Lita berteriak, “….And when we sleep, would you shelter me …. In your warm and darkened grave?…... wuihhhh.

Sahut-sahutan antara vokal Lita dan Ozzy pada reffrein juga menjadi keindahan tersendiri di lagu ini, selain melodi gitar Lita yang begitu menyayat pada saat interlude. Lita juga bisa bernyanyi ala rocker cewek yang kenes, di lagu “Kiss Me Deadly” dan “Falling In and Out Love”.
Setelah album Lita, cewek berambut pirang ini masih sempat berjaya di era 1990-an dengan melempar tiga album selanjutnya: Stiletto (1990), Dangerous Curves (1991), dan Black (1995) yang melahirkan hits-hits semodel “Only Women Bleed”, “Shot of Poison”, dan “Black”. Setelah itu, Lita praktis vakum dari  ingar-bingar pestas rock dunia, setelah sebelumnya menikahi Jim Gillette, vokalis band heavy metal Nitro di tahun 1994.

Baru, pada tahun 2009,  Lita kembali turun gunung dengan melempar albumWicked Wonderland. Yang menarik, di album ini, sang suami turut menyumbang suara.  Hebatnya juga, musik Lita di album ini jauh lebih lebih metal. Tak heran, salah satu lagu di album ini, “Betrayal” didaulat sebagai salah satu theme song di game Brutal Legend untuk versi Xbox 360 danPlaystation 3.

Hingga saat ini, Lita juga masih rajin menggelar tur keliling Amerika Serikat. September lalu dia bahkan sempat menggandeng Skid Row untuk main di sejumlah tempat di Texas. Tahun ini, Lita yang bersama Jim dikaruniai dua putra: James dan Rocco juga sempat tampil di acara realty showRock ‘n’ Roll Fantasy Camp, yang tayang di VH1.


Long Live Lita, Long Live Rock n Roll!!
Diskografi
Bersama The Runaways
1976    The Runaways
1977    Queens of Noise
1977    Waitin’ for the Night
1978    And Now… The Runaways

Solo
1983    Out for Blood
1984    Dancin’ on the Edge
1988    Lita
1990    Stiletto
1991     Dangerous Curves
1995    Black
2009   Wicked Wonderland
sumber: Wikipedia, Youtube,metalmaidens,nolifetilmetal,litafordonline


Friday, November 11, 2011

Richie Sambora, Maestro Gitar nan Flamboyan

RICHIE SAMBORA/foto:ultimateclassicrock
RICHIE Sambora memang bukan gitaris shredder yang mengandalkan kecepatan tangan, layaknya Yngwie Malmsteen, Nuno Betencourt, Paul Gilbert ataupun Jon Petrucci. Di panggung, Sambora juga tak seatraktif Angus Young ataupun Eddie Van Halen.

Sambora lebih suka bermain “aman”, tak berlebihan. Namun, permainannya fokus hingga mampu menghiptonis penonton. Tapi, justru di situlah kelebihan gitaris Bon Jovi ini. Dengan gaya yang cool, permainan yang bersih, gitaran Sambora menjadi ruh di hampir semua lagu Bon Jovi.

Gaya Sambora memang berbeda dibanding gitaris-gitaris glam rock yang di masa jayanya yang terkesan urakan, glamor, dan ekspresif. Sambora sosok yang flamboyan, dandy, dalam penampilan maupun permainan. Wajar, banyak penggemar, apalagi groupies, yang tergila-gila kepada pria kelahiran New Jersey, 11 Juli 1959 ini.

Namun, ya itu tadi, sound-sound yang keluar dari gitarnya, tetap segar dan selalu mampu memainkan emosi pendengarnya. Dengarlah lagu “You Give Love a Bad Name” yang terdapat dalam album Bon Jovi, Slippery When Wet di tahun 1986, di mana dia main begitu gahar. Begitu juga di lagu “Run Away” (Bon Jovi/1984) atau“Bad Madicine” (New Jersey/1988), di mana dia begitu fasih memainkan handle gitar Kramer atau Fender Stratocaster-nya.

Sementara di lagu-lagu balada dan slow rock seperti “Bed of Roses” (Keep The Faith/1992), “Always” (Crossroads/1994), ataupun “I’ll Be There For You” (New Jersey/1988) Sambora bermain begitu menyayat, penuh perasaaan.

Dengan gitar akustik di tangan, Sambora dikenal meiliki masterpiece dalam lagu“Wanted Dead or Live”di album Slippery When Wet. Di lagu ini, Sambora dengan hebat menghadirkan suasana cow boy lewat petikan gitarnya.

Di Bon Jovi, Sambora mungkin memang selalu berada di belakang Jon Bon Jovi, sang front man sekaligus pendiri grup asal New Jersey ini. Namun, kontribusi Sambora untuk Bon Jovi sebenarnya tak bisa dianggap remeh.

Sambora bersama Bon Jovi/foto:dailystar
Sejak bergabung pada 1984 menggantikan Dave Snake Sabo, yang kemudian bergabung dengan Skid Row, Sambora selalu terlibat dalam pembuatan lagu-lagu Bon Jovi. Termasuk hit-hit everlasting mereka, semodel  “You Give Love a Bad Name”, “Wanted Dead or Live”, Never Say Good bye, “Bad Medicine”, “Lay Your Hands on Me”, “I’ll Be There For You”, “Keep The Faith”, ataupun “This ain’t A Love Song“. 
Bersama Jovi, dalam lebih-kurang 25 tahun kariernya, Sambora telah menjual lebih dari 120 juta kopi album ke seluruh dunia!

Sambora juga dikenal sebagai gitaris  yang piawai melarihkan nada-nada “aneh” namun tetap harmonis. Wajar, lantaran sebleum bermain gitar, dia terlebih dahulu akrab dengan alat-alat musik lainnya seperti okulele, mandolin, sitar, bahkan saksofon.

Sambora sendiri sudah sejak usai belasan mengenal gitar. Sebelum bergabung dengan Bon Jovi, dia sempat mendirikan beberapa grup, sebut saja Mercy, Duke Williams & The Extremes, The Message, The Next, Hook. Dia juga sempat mengikuti audisi untuk bergabung dengan KISS dan Poison.

Sambora sendiri pernah mengaku banyak mendapat pengaruh dari gataris-gitaris blues semacam Eric Clapton, Stevie Ray Vaguhan, Jimi Hendrix, ataupun Johnny Winter. Wajar, jika permainan Sambora sangat kental dengan sentuhan-sentuhan blues. Meski dia harus berkompromi dengan musik Bon Jovi yang lebih condong ke pop rock, ketimbang blues rock.

Akar bluesnya baru benar-benar dipertontonkan Sambora saat merilis album solo berujudulStranger in This Townpada tahun 1991. Bahkan, di album ini dia menciptakan lagu khusus untuk para penggemar blues berjudul “Mr. Bluesman“ dengan menggandeng Eric Clapton.

Album solo Sambora ini dia rilis saat Bon Jovi vakum. Jon Bon Jovi sendiri, sebelumnya sempat merilis album solo Blaze of Glory - Young Guns II, di tahun 1990. Album Stranger in This Town ini sendiri cukup sukses di pasaran dan melahirkan hits semacam “Ballad of Youth”, “Fathertime” dan lagu favorit saya, “The Answer”.

Meski bersolo kareir, sambora tetap setiap kepada Bon Jovi. Dia tak mau proyek solonya mengganggu konsentrasinya dengan Bon Jovi. Buktinya, Sambora baru sempat mengeluarkan album solo keduanya pada tahun 1998, dengan judulUndiscovered Soul.

Di album ini, lagu-lagu seperti “In It For Love”, “Undiscovered Soul” dan “Made in America” juga cukup mendapat tempat di hati penggemarnya. Sambora  juga sempat berkolaborasi dengan beberapa musisi. Salah satunya dengan Pink, lewat lagu “Misery” di album Missundaztood, tahun 2001, yang juga melibatkan vokalis Aerosmith, Steven Tyler.

Pada tahun 1987, oleh Kramer, Sambora bahkan pernah gitar khusus (signature)dengan nama Kramer RS Signature Model. Sambora sendiri memang dikenal penggila gitar. Selain Kramer, yang digunakan di awal-awal kemunculan, Sambora belakangan juga identik dengan Fender Stratocaster. Dia juga sempat menggunakan Jackson, Charvel, atau Gibson Les Paul.

Yang menarik, di luar kehebatnnya menjetik dawai-dawai gitar, Sambora juga punya keahlian lain, memikat wanita-wanita cantik selebritas Hollywood. Tak kurang aktris senior Cher, penyanyi Alicia Keys, serta model  cantik Yasmin Mitri dan Loulou Lego, pernah menjalin hubungan asmara dengan Sambora.

Sambora saat masih bersama Heather Lockear
/foto:dailymail
Sementara dari hasil pernikahannya dengan aktris Heather Locklear, Sambora memiliki seorang putri bernama Ava Elizabeth, yang kini berusia 14 tahun, dan mulai menggeluti dunia model.
Sambora sendiri bercerai dengan Locklear pada tahun 2006. Dan, saat ini dikabarkan kembali berhubungan dengan aktris mantan istri Charlie Sheen, Denise Richards. Fakta ini tentu saja semakin mengkukuhkan predikat Sambora sebagai “Don Juan”.

Ketergantungan Alkohol
Namun, di luar kehidupannya glamornya yang selalu dipuja penggemar, serta kisah asmaranya yang berbagai selebritas cantik, Sambora juga sempat mengalami masa-masa sulit dalam hidupnya, yang membuatnya sempat depresi dan ketergantungan terhadap alkohol.

Pada tahun 2007, dia sempat menjalani rehabilitasi selama satu bulan lantaran alcohol addict akut. Perceraiannya dengan Locklear dan meninggalnya sang ayah, Adam, lantaran kanker dalam rentang waktu sembilan hari, memang sempat membuat dia guncang.

April lalu, dia sempat harus masuk klinik rehabilitasi Cirque Lodge di Utah, lantaran masalah yang sama. Padahal, ketika itu, Bon Jovi tengah bersiap mengadakan tur Eropa.
Alhasil, gitaris asal Kanada, Philip Eric Xenidis, didaulat untuk sementara menggantikan Sambora, sementara sang gitaris flamboyan  itu menjalani rehab.  Sambora baru bisa bergabung dengan rekan-rekannya saat Bon Jovi main di Kroasia, Juni 2011.

Untungnya, Sambora memiliki rekan-rekannya yang sangat toleran di Bon Jovi. Alih-alih menjauhinya, Jon, David Bryan (kibor) dan Tico Torres (drum) justru terus mendukung agar Sambora benar-benar pulih.

Kesediaan Jon dan kawan-kawan menerima kembali Sambora adalah bukti kesetiakawanan mereka. “Dukungan kami untuk Richie adalah absolut. Dia harus sembuh,” demikian pernyataan Jon. “Dia adalah bagian dari Bon Jovi. Dan, sampai kapan pun akan tetap seperti itu.”

Sambora sendiri mengaku seperti terlahir kembali setelah menjalani rehab di Utah. Terlebih, saat ini, saat ini dia didampingi Denise, wanita cantik yang mau menerimanya apa adanya. “Saya merasa fantastis,” ujar Sambora. “Saya tak menyesal pernah terjerembab oleh alkohol, mungkin itu sudah bagian hidup saya. Sekerang, yang terpenting, bagaimana saya tak lagi berhubungan dengan alkohol.”

Long Live Sambora!


Diskografi Sambora
Album Solo
* 1991   Stranger in This Town
* 1998   Undiscovered Soul
Bersama Bon Jovi
* 1984   Bon Jovi
* 1985   7800° Fahrenheit
* 1986   Slippery When Wet
* 1988   New Jersey
* 1992   Keep the Faith
Crossroads
* 1995   These Days
*  2000  Crush
*  2002  Bounce
* 2005   Have a Nice Day
* 2007   Lost Highway
* 2009   The Circle

sumber: wikipedia, youtube, contactmusic, dailymail, people, http://weloverichiesambora.blogspot.com, musicianguide

Friday, August 12, 2011

In Memoriam: Jani Lane, Sang Rocker Flamboyan

JANI LANE ( foto: metalshockfinland)
MUSIK rock kembali berduka. Salah satu jagoan glam metal, Jani Lane, ditemukan tewas di sebuah hotel di kawasan Woodland Hills, Los Angeles, Amerika Serikat, Kamis (11/8). Jani meninggal di usia 47 tahun. Menurut berita tersebut, hingga saat ini masih diselidiki penyebab kematian vokalis sekaligus pentolan grup Warrant ini.

Warrant, ya Warrant. Band ini, dengan Jani tentunya, pernah begitu melekat di hati dan kepala saya. Maklum, masa-masa berjayanya grup yang awalnya juga digawangi Joey Allen (gitar), Erik Turner (gitar), Jerry Dixon (bass), dan Steven Sweet (drum) ini sama persis dengan masa-masa indah saya di SMA.

Sulit disangkal, melejitnya Warrant ketika itu berkat andil Lane. Dengan gayanya yang flamboyan, vokalnya yang melengking manis, Jani berhasil menempatkan Warrant sejajar dengan grup hair metal lainnya ketika itu. Semodel Skid Row, Bon Jovi, Winger, Cinderrella, Poison, dan lainnya. Dan, yang paling penting, nyaris semua lagu Warrant, terutama hits-hits mereka adalah karya pria kelahiran Ohio, Amerika Serikat, 1 Februari 1964 ini.

Lewat gaya dan vokal Jani, lagu-lagu balada Warrant, model “Sometimes She Cries”, “Heaven”, “Blind Faith”, ataupun “I Saw Red”, sukses merajai tangga-tangga lagu rock dunia. Sementara lagu-lagu yang mengentak, layaknya “Cherry Pie”,  “Uncle Tom’s Cabin”, ataupun “Bed of Roses”, kerap jadi lagu wajib di setiap gelaran pensi di SMA-SMA. Bersama band SMA, saya juga pernah membawakan lagu “Sometime She Cries”, yang membuat vokalis kami mendapat bunga dari cewek yang ditaksirnya.

Ya, Jani memang pernah membuat Warrant melejit setinggi langit. Gayanya, yang flamboyan itu juga selalu membuat para groupies  tergila-gila. Dulu, di dinding kamar saya, poster Warrant salah satu yang terbanyak, selain Guns N Roses, dan Iron Maiden.

Nama Warrant sendiri langsung menjulang saat merilis album perdana,Dirty Rotten Filthy Stinking Rich, pada tahun 1989. Dari album ini, lagu  “Sometime She Cries” dan “Heaven”langsung mendulang perhatian luas. Lagu “Heaven“, bahkan sempat menduduki puncak tangga lagu Rolling Stone, nomor dua Billboard Hot 100, dan nomor tiga Mainstream Rock Tracks chart

Warrant makin berkibar usai merilis album kedua, Cherry Pie pada tahun 1990, yang melambungkan lagu “Cherry Pie” sendiri, “I Saw Red”, serta “Bilnd Faith”. Di album ini, lagu “Uncle Tom’S Cabin” dan “Bed of Roses” juga sempat merajai tangga-tangga lagu dunia.

Sayang, seperti band-band glam rock lainnya, pamor Warrant berangsur pudar, usai Nirvana menggebrak dengan grunge-nya.Kemudian muncul Pearl Jam dengan Seattle Sound-nya. Lalu ada Soundgarden, Jane’s Addiction, Rage Against The Machine, Off Spring,  begitu seterusnya, yang membuat nama Warrant makin tenggelam.

Namun, mereka tak pernah berhenti berkarier. Bahkan, bulan Mei lalu, mereka baru merilis album Rockaholic. Namun, Jani sendiri telah hengkang pada tahun 2004. Setelah sempat mengeluarkan album solo Back Down to One, pada 2002.

Jani kemudian membentuk grup bernama Saints of the Underground dan merilis album Love the Sin, Hate the Sinner pada tahun 2008. Sebelumnya, dia juga sempat berkolaborasi dengan beberapa musisi, salah satunya Dave Navarro, mantan gitaris Red Hot Chilli Peppers dan pentolan Jane’s Addiction.

Sayang, setelah itu, tak diketahui lagi kiprah Jani. Dia hidup bersama dengan dua anaknya, hasil pernikahan dengan Bobbie Brown, yang tak lain tak bukan merupakan model klip Warrant di lagu “Cherry Pie”. Belakangan, Jani juga sempat dikabarkan menderita ketergantungan alkolhol, dan sempat keluar masuk pusat rehabilitasi.

Namun begitu, kematiannya toh tetap mengagetkan. Ucapan bela sungkawa pun datang dari kolega-kolega musiknya. Tak kurang dari eks gitaris GNR, Slash, Bret Michaels (Poison), Nikki Sixx (Motley Crue) mengaku merasa kehilangan dengan meninggalnya Jani.

Sebastian Bach, eks vokalis Skid Row di Twitter-nya menyebut, kematian Jani sebagai sebuah hal yang tragis. Sementara rocker gaek, Alice Cooper, di Facebook fanpage-nya menulis, “Doa kami semua untuk saudaraku, Jani Lane.”

Rest In Peace Jani Lane.


sumber: dailymail, mne, ontheredcarpe, wikipedia, youtube
Diskografi Jani Lane
Bersama Warrant
1989 Dirty Rotten Filthy Stinking Rich
1990 Cherry Pie
1992 Dog Eat Dog
1995 Ultraphobic
1996 Belly to Belly
1997 Warrant Live 86-97
1999 Greatest & Latest (New versions)
2001 Under the Influence
Solo
2002 Back Down to One
Bersama Saints of the Underground
2008 Love the Sin, Hate the Sinner