Monday, April 20, 2015

Ketika “Gitaran Sore” Menghajar Bekasi


GAHAR - Zi Factor tampil gahar dengan nomor-nomor andalannya.
(foto: Edu Krisnadefa)
SORE-sore asyiknya memang gitaran. Tapi, pake gitar kopong? Ah...kurang seru bro.. Yang paling seru, nonton gitaris-gitaris andal unjuk gigi dengan dukungan sound system yang megah. Apalagi jika ada bonus penampilan super dari band kelas kakap, sekelas Edane dengan Eet Sjahranie-nya dan Zi Factor.

Maka itu, saya pun tak sudi melewatkan saat Majalah Gitar Plus menggelar hajatan fenomenal mereka, “Gitaran Sore” yang menghadirkan dua band legendaris di atas, di Bekasi. Sabtu (18/4) bersama beberapa kawan, saya pun jadi saksi ketika “Gitaran Sore” menghajar altar rock di Mal Summarecon.

Sejak siang, saya sudah bersiap. Sambil menunggu kedatangan rekan Muhammad Taufik, bos toko kaos metal Metal Hammer, iseng-iseng saya mengulik-ulik lagu-lagu lawas Edane dengan gitar bass kesayangan.. ah ...ternyata masih susah...ha, ha, ha.....

Sekitar pukul 15.15 WIB, Taufik datang dengan baju basah kuyup. Maklum, dari Tebet, di tengah hujan, dia datang mengendarai sepeda motor tanpa mengenakan jaket dan jas hujan. Wahh.... benar-benar rock n roll ini orang he, he, he....

Setelah menghangatkan badan dengan bajigur dan kretek, kami langsung cap sus menuju lokasi .O iya ada yang istimewa kali ini, karena saya mengajak putra saya, Fadhil. Hitung-hitung memberinya pengalaman sebuah konser musik rock.

Sampai di lokasi, kami bergabung dengan  rekan-rekan dari grup Facebook “Rock Hits”, yang sudah menanti. Ada mbak Nenny Mike, Cnoe Herlambang, dan Mas Denny Harsono bersama sang istri, Mbak Sisie Yura. Ardian, gitaris yang punya band Shinning Wave juga datang bersama istri tercinta dan dua putrinya.  

“Rock Hits” adalah grup turunan dari grup “Brur n Zus”, yang digagas Nicko Krisna. Nah, buat yang merasa darah dan napasnya berbau rock n roll bisa gabung di sini https://www.facebook.com/groups/thisisrockhits/.

Saya tak sempat menyaksikan beberapa performer di awal-awal konser, karena asyik ngobrol dengan rekan-rekan di atas. Namun, saya merasakan suasana panggung mulai panas, saat Faisal, gitaris Miracle, band yang kerap memainkan lagu-lagu Dream Theater, dipanggil ke atas panggung oleh host Hendry Halim. Hendry ini adalah pendiri GitarisINA, sebuah komunitas gitaris berbasis Twitter.

FAISAL, gitaris progresif
Tampil nyentrik, mengenakan celana dan jaket jins biru muda serta penutup kepala, Faisal menggebrak dengan permainan gitar ala progressive rock. Diiringi musik munis one, pria jangkung itu sempat memukau audiens dengan nada-nada melodius yang keluar dari gitar Ibanez-nya.

Usai Faisal, giliran Aam Achmad tampil tak kalah nyentrik. Mengenakan baju lurik khas Yogyakarta, dia tampak begitu menikmati setiap nada dari tali-tali senar gitarnya. Usai penampilan Aam, acara sempat break Azan Magrib.

Baru selepas Magrib, suasana semakin panas. Penunjung pun meluber memenuhi arena. Tak hanya mengelilingi panggung, mereka pun memenuhi balkon-balkon dari lantai satu mal. Luar biasa! Salut buat rocker Bekasi. Kebanyakan dari mereka datang dengan atribut Edane Freaks, fans militan Edane.

Hendry membuka sesi kedua dengan penampilan ciamik. Aksi gitaris berkulit putih ini juga sempat menghipnotis massa saat mengajak personel band naik ke panggung dan memainkan instrumental “Indonesia Pusaka”..Kereeennnnn..

AAM, enjoy the show
Zi Factor Bikin “Pecah”
Tapi, memang harus diakui, acara baru benar-benar “pecah” saat Zi Factor naik panggung. Tampil dengan formasi kakak-beradik: Ezra dan Edy Simanjutak pada gitar, Omen (drum), Tyo (vokal) plus additional bassist, Dogger, mereka langsung menggebrak dengan “Concerous”.

 Asyik sekali menyaksikan duet gitaris shredder kakak beradik ini saling berbagi part. Kadang mereka bahkan berbarengan memainkan melodi dengan nada yang berbeda. Teriakan parau Tyo juga membuat musik Zi Factor yang diklaim beraliran modern metal tribal core ini jadi semakin gahar.

Setelah memainkan lagu kedua, “Jebak”, band yang didirikan tahun 2002 itu kembali menggeber dengan “Eclipse” sebuah nomor andalan yang diambil dari album Kill Paradigm, tahun 2007.

Ini lagu full speed bro...intronya asikk, sangat membius. Di lagu ini, om Ezra yang dominan pada lead gitar. Dan, doi seperti tak mau memberi celah pada setiap barnya, langsung disambarnya dengan lengkingan melodi. Kecepatan jemarinya luar biasa.
Edaann...tak salah jika Majalah Gitar Plus mendaulat pria kelahiran Honolulu, Hawaii ini sebagai pengasuh kolom “Jalan menuju Shred”. Rubrik ini sudah hampir lima tahun diasuhnya.

EZRA-EDY ZI FACTOR,
twin shred guitarist!
Zi Factor menutup gigs mereka malam itu dengan sebuah nomor instrumental. Duet Simanjuntak bersaudara kembali memamerkan teknik tinggi yang mereka miliki dengan dukungan raungan distorsi. Irisan gitar serta kecepatan tangan keduanya ,bersahut-sahutan bak petir yang saling menyambar.

Usai Zi Factor turun panggung, berturut-turut dua  gitaris keren tampil. Adityawarman Balum yang baru merilis album “Realization of Illusion” tampil tepat usai Zi Factor. Dengan gayanya yang cool, Balum, seperti menghiptonis audiens, dengan nomor-nomor instumentalnya yang cathcy namun berkarakter. Tiga nomor dimainkan gitaris juga merupakan endorser Cort ini, termasuk nomor andalan “Sun Rise”.

Pesan Andry
Andry “Frenzy” Muhammad tampil setelah Balum. Seperti Balum  mantan gitaris Power Slaves dan Boomerang ini tampil cool dengan balutan kaus lengan panjang dan celana hitam. Nuansa blues terasa betul dari setiap nada yang dimainkan Andry.

Di tengah show, gitaris Mahadewa ini sempat berpesan kepada para gitaris pemula. Kata dia, jika ingin jadi gitaris profesional yang penting adalah niat. Sebab, dengan  niat yang kuat, kita jadi tak akan merasa terbebani untuk terus berlatih dan berlatih, yang memang merupakan kewajiban bagi setiap gitaris. Setuju om!

HENDRY HALIM, menghipnotis
Dan, akhirnya yang ditunggu-tunggu pun tiba. Sekitar pukul 21.00 WIB, panggung diserahkan kepada Edane. Sudah cukup larut memang, karena saya membawa Fadhil, yang tampaknya sudah mulai bosan.

Dilala, gitar Hendra Zamzami tandem Eet, juga sempat bermasalah, lantaran suaranya tak juga keluar. Kru Edane pun membutuhkan waktu cukup lama untuk mengatasinya. Alhasil, sekitar pukul 21.30 WIB, Edane baru membuka penampilannya, lewat nomor instrumental, “Opus #13” yang diambil dari album perdana mereka, The Beast.

Sayang, saya tak bisa menyaksikan performa band yang saya gandrungi sejak SMA ini hingga selesai. Ya, pertimbangan malam yang makin larut membuat saya harus mengalah, melupakan kesenangan demi putra tersayang.

Menurut Denny dan istri, usai “Opus #13”, Edane, yang malam itu tampil lengkap dengan Fajar Satritama (drum), Ervin (vokal), dan Daeng Oktav (bass), langsung memuntahkan hits-hits andalan mereka, macam “Pancaroba”, “Kau Pikir Kau Segalanya”, serta “Rock in 82”. “Edane benar-benar edaaannn brooo,” kata Denny.

ANDY FRENZY, pesan moral
“Gitaran Sore” sendiri ditutup dengan aksi jam session Edane dengan para pendukung acara seperti Ezra, Andry, dan Hendry. Yang jelas, meski tak menyaksikan hingga akhir acara, banyak sekali cerita dan pengalaman saya dapatkan.

Selain menambah wawasan, usai konser ini saya juga mendapatkan kesan bahwa mereka, para rockstar, teryata adalah sosok-sosok yang ramah dan rendah hati. Sebab, di sela-sela acara, saya juga sempat ngobrol dengan beberapa dari mereka, seperti Balum dan Hendry.

Bahkan, Ezra, yang punya jam terbang selangit begitu hangat menyambut saya. Dia makin antusias saat saya menyampaikan salam abang ipar, Budi, yang tinggal di Kuala Lumpur, Malaysia. Keduanya memang kawan lama.

Sedikit info, acara “Gitaran Sore” ini sendiri memang sudah seperti menjadi trade mark untuk Majalah Gitar Plus. Sejak pertama kali digelar Agustus 2011, program ini sudah lebih dari 50 kali dipentaskan di sekitar 45 kota di Indonesia. Nah, buat yang tidak sempat menyaksikan acara ini secara live, bisa tune in di www.gitaransore.com. Sukses selalu buat “Gitaran Sore”.... Keep rock n roll alive!

Bekasi, 20 April 2015
Edu Krisnadefa

@edukrisnadefa

The One and only, EET SJAHRANIE (kanan)
BALUM, super cool guitarist
rock star and rock star wanna be :)
With FADHIL!


The gang of Rock Hits

The next Megadeth hahahaha

Wednesday, April 1, 2015

God Bless Nyaris Membuatku Menangis

MENGENTAK - God Bless, dari kiri ke kanan: Donny Fattah (bass), Abadi Soesman (kibor),
Ahmad Albar (vokal), Ian Antono (gitar), dan Fajar Satritama (drum) sukses mengentak La Piazza.
 (foto: Edu Krisnadefa)
JUMAT malam itu, 27 Maret 2015, terasa begitu istimewa bagiku. Bersama empat rekan aku menghabiskan malam menyaksikan konser God Bless di Dock 88, La Piazza, Kelapa Gading. Bagaimana tidak istimewa? God Bless gitu loh…. Band legendaris yang telah hidup di negeri ini lebih dari 40 tahun! Band rock lokal yang paling memengaruhi masa-masa remajaku selain Grass Rock.

Masih terekam betul dalam benak ini. Sekitar tahun 1988, pertama kali aku menyaksikan God Bless lewat layar kaca, di acara Aneka Ria di TVRI. “Kehidupan”, itulah lagu pertama mereka yang kukenal. Lagu yang kemudian menjadi salah satu hits album di Semut Hitam, album God Bless yang disebut-sebut paling sukses secara penjualan.

Lagu “Kehidupan” ini juga yang kemudian mengantarkanku semakin intens berkenalan dengan musik God Bless, selain lagu-lagu Iwan Fals serta glam rock ala Gun’s N Roses, Skid Row, Poison dan kawan-kawan.

God Bless sendiri tampil sekitar pukul 21.00 WIB, setelah sebelumnya panggung jadi milik The Specialist, home band Dock 88. Cukup menghibur juga penampilan band dengan dua vokalis ini.

Ahmad Albar dan Ian Antono
Membawakan lagu-lagu rock hits di era 1970-an hingga 1990-an, The Specialist mampu mengangkat hype audiens dengan nomor-nomor kencang seperti “Still of The Night” dari Whitesnake, “Highway to Hell” (AC/DC), “You Give Love a Bad Name” (Bon Jovi) dan lainnya. Sang vokalis juga sempat memukau audiens dengan vokal ciamiknya saat membawakan lagu Steel Heart, “She’s Gone”.

Namun, massa begitu saja lupa akan penampilan keren mereka begitu God Bless naik panggung. Ukuran panggung sendiri tak terlalu besar. Mungkin sekitar 20×10 meter. Namun, itu justru membuat artist dan penonton jadi nyaris tak berjarak, intim.

Tiket yang dijual dengan harga minimal Rp 100 ribu untuk konser dengan tajuk “A Night of Legend” ini sendiri sold out alias ludes, des. Sehingga begitu banyak pengunjung yang harus rela menonton dari luar arena, termasuk teman-teman dari God Bless Community (GBC), kelompok fan militan God Bless. Namun, lantaran konsep arena yang setengah terbuka, mereka masih bisa menikmati jalannya konser dari luar, meski dengan sudut pandang yang tak ideal.

Alhasil, penonton yang berada di dalam dan luar venue pun sama banyak jumlahnya. Mungkin jika ditotalnya mencapai seribu orang, atau mungkin lebih.
Aku dan kawan-kawan beruntung karena bisa menyaksikannya dari dalam dengan bantuan teman dari GBC. Aku pun berkesempatan dan leluasa mengambil gambar, bahkan sampai ke bibir panggung.

Tapi, terus terang, agak sulit membagi konsentrasi, antara mengambil gambar dan menikmati show. Apalagi lagu-lagu yang dimainkan, semuanya sangat, sangat familiar dengan telinga ini.

Bakar Adrenalin
Tampil dengan formasi Ahmad Albar (vokal), Ian Antono (gitar), Donny Fattah (bass), Abadi Soesman (keyboard) dan addiotional drummer, Fajar Satritama, total, God Bless memainkan 16 lagu malam itu.

Mereka membuka konser dengan lagu “Bla, Bla, Bla” yang diambil dari album Semut Hitam. Lagu ini kontan langsung membakar adrenalin penonton.

Ahmad Albar
Terasa betul aura yang begitu kuat dari Ahmad Albar yang mampu memainkan emosi penonton. Begitu juga saat dia mebawakan lagu kedua, “Diskriminasi” (album Apa Kabar?), ketiga, “Menjilat Matahari” (Raksasa) dan seterusnya.

Wajar pula jika massa di dalam arena yang awalnya hanya duduk di depan meja—mungkin konsep awalnya demikian—lama-lama ikut merangsek ke depan panggung. Suasana pun jadi mirip konser rock “sungguhan”. Bahkan ada beberapa penonton naik ke atas meja, benar-benar bikin merinding!

Ini masih didukung dengan aksi-aksi panggung para personel God Bless juga sangat atraktif. Albar, di usianya yang telah mencapai 68 tahun, bahkan masih sempat berlari-lari di panggung saat lagu “Bis Kota”. Dia juga sangat komukatif dengan penonton.

“Udah capek belum????” begitu dia berteriak kepada penonton, di tengah-tengah konser. Massa pun serempak menjawab “beluuummmm..” “Bagus!!! Gue juga belum capek,” dia menimpali. Ah, Ahmad Albar…. Doi memang rocker sejati!

Selain Albar, penampilan Donny Fattah, sang bassist, di sisi kanan panggung juga sangat energik. Menggunakan bass senar lima, dia begitu atraktif dengan gayanya yang nyentrik. Hasilnya, kamera otomatisku jadi kesulitan menangkap aksi-aksinya. Om Dons…. you’re my bass hero.

Ian Antono
Ian Antono, seperti biasa sangat kalem di panggung. Namun, di setiap interlude lagu, jari-jarinya berubah menjadi garang, super garang bahkan. Termasuk saat memainkan part-part milik Eet Sjahranie di lagu “Serigala Jalanan”. Wow….Ian Antono berubah jadi shred guitarist. Di album apa Kabar? (1997), lagu ini memang dimainkan dengan format double lead: Eet dan Ian Antono.

Abadi Soesman juga tak kalah unjuk kebolehan. Terutama pada lagu “Anak Adam” yang berdurasi lebih dari 11 menit. Terasa betul kematangan keyboardist yang juga pernah lama bersama Guruh Gispy dan Bharata Band ini dalam menggerayangi tuts-tuts keyboard.

Abadi Soesman yang baru kembali bergabung pada tahun 2002, memang tak asing dengan lagu “Anak Adam”. Sebab, dialah yang memainkan lagu tersebut di album Cermin, tahun 1980. Bahkan di album ini dia juga sempat menyumbang lagu ciptaannya, “Insan Sesat”, yang kemudian dijadikan nama band oleh teman-teman GBC yang dikomandani sang presiden, Asriat Ginting.

Di album Cermin itu, Abadi Soesman masuk menggantikan Jockie Surjoprajogo, yang sempat hengkang usai album pertama God Bless, tahun 1975. Jockie sendiri kembali pada album Semut Hitam, sebelumnya akhirnya kembali meninggalkan God Bless, usai album Raksasa (1989). Kali ini bersama drummer Teddy Sunjaya.

Uniknya keduanya kembali pada tahun 1997, bersama Ian Antono, yang ditandai dengan dirilisnya album Apa Kabar? Baru, setelah album ini Jockie dan Teddy benar-benar keluar.

Dan, ketika itu, lagi-lagi Abadi Soesman kembali datang menyelamatkan God Bless, mengisi tempat yang ditinggalkan Jockie. Sementara tempat Teddy sempat digantikan oleh Yaya Moektio, sebelum Fajar masuk pada sebagai additional. Mantan drummer Krakatau, Gilang Ramadhan juga sempat duduk di belakang set drum God Bless.

Performa Fajar sendiri luar biasa, malam ini. Drummer Edane ini membuat lagu-lagu God Bless jadi lebih bertenaga. Dua jempol untuk om Fajar.

Donny Fattah (kiri) dan Abadi Soesman
Super Puas
Yang jelas, kami semua, penonton, bisa pulang dengan puas. Aku sendiri sempat nyaris menangis saat God Bless membawa dua lagu dari album solo Ahmad Albar dan bersama Duo Kribo, secara berturut-turut, “Syair Kehidupan” dan “Panggung Sandiwara”. Saat ikut  bernyanyi di dua lagu tersebut, seperti ada airmata menetes di pipi ini.

Bukan apa-apa dua lagu tersebut, yang dirilis tahun 1980 dan 1978, mengingatkanku akan masa remajaku lantaran kembali ngetop di tahun 1990-an dengan berbagai cover versionnya.
Termasuk almarhumah ibuku, yang memang sangat menyukai dua lagu ini. Sering beliau bersandung dua lagu ini saat aku memainkannya dengan gitar..ahhh.  Tapi, begitu sadar di sebelahku ada Mas Agus Widodo, seorang kawan dari GBC, Aku jadi malu sendiri..he, he, he…

Penulis (ketiga dari kanan) bersama Presiden GBC, Asriat Ginting
(berkaca mata hitam) dan rekan-rekan.
Well, mungkin terlalu panjang jika terus kulanjutkan cerita tentang God Bless ini dan kenangan-kenanganku. Yang jelas, salut untuk penampilan God Bless yang luarrrrr biasa ini. Dengan usia yang rata-rata di atas 64 tahun—Ahmad  Albar bahkan telah medekati 70 tahun—stamina personel God Bless masih benar-benar oke untuk bermain konstan selama sekitar dua jam.

Terima kasih teman-teman dari Rock Hits: Muhammad Taufik, Joe Tobing, dan kakak-beradik Rudolph dan Simon, yang telah menemaniku menikmati malam yang luar biasa ini. Kebersamaan kami malam itu pun juga ditutup dengan menyantap bubur ayam..ha,ha, ha….

Thanks juga Asriat Ginting dan Nugroho (Smen New Grow) serta teman-teman dari GBC yang ikut membuat malam Sabtuku menjadi luar biasa indah. GBC ini memang luar biasa. Militan, cadas, dan kompak!

Untuk pahlawan-pahlawanku di God Bless, terus berkarya, long livedan keep rock n roll dudeess...Dudes? Udah di atas 60 tahunan bro.. ha, ha, ha….

Bekasi, 29 Maret, 03.40 WIB
Edu Krisnadefa

Set List God Bless di Dock 88, La Piazza

1. Bla bla bla
2. Diskriminasi
3. Menjilat Matahari
4. Rumah kita
5. Emosi
6. Srigala Jalanan
7. Anak Adam
8. Bara Timur
9. Syair kehidupan
10. Panggung Sandiwara
11. Asasi
12. Kehidupan
13. Bis Kota
14. Semut hitam
15. Ogut Suping
16. Trauma

Sunday, February 22, 2015

"Balotelli, Right or Wrong"


MARIO BALOTELLI (foto:liverpoolecho)
SABTU, 24 Juni 2012, Stadion Olympic, Kiev, di Ukraina, bergemuruh usai laga perempat final Piala Eropa 2012, Italia lawan Inggris yang berakhir imbang 0-0, setelah melalui 120 menit. Di pinggir lapangan, pelatih Italia saat itu, Cesare Prandelli, mengumpulkan pemainnya untuk menentukan siapa saja algojo dalam drama adu penalti. 
 
Namun, tiba-tiba Mario Balotelli menghampirinya dan meminta Prandelli menjadikan dirinya sebagai algojo pertama. Prandelli setuju. Dia pun mencatat nama Balotelli, bersama Riccardo Montilivo, Andrea Pirlo, Antonio Nocerino, dan Alessandro Diamanti secara berurutan sebagai algojo penaltiGli Azzurri”.  Hebatnya, Balotelli sukses menjalankan misinya. Dengan dingin dia menaklukkan kiper Inggris, Joe Hart, yang juga rekan seklubnya ketika itu, di Manchester City.

Italia menang 4-2 karena Pirlo, Nocerino, dan Diamanti juga sukses merobek gawang Inggris. Hanya Montolivo yang gagal. Sepakan kaki kanannya melebar ke sisi kanan tiang gawang Inggris. Sementara dua penendang Inggris: Ashley Young dan Ashley Cole, gagal mencetak gol.

Usai laga, dalam jumpa pers yang juga dihadiri penulis, yang ketika itu sedang dalam tugas liputan, Prandelli menyatakan kekagumannya terhadap Balotelli. “Ketika seorang pemain ingin menjadi algojo pertama dalam sebuah drama adu penalti, berarti pemain tersebut punya karakter yang luar biasa,” ujar Prandelli.

Italia sendiri, ketika itu, sukses melaju hingga ke final, sebelum dikalahkan Spanyol 0-4. Dan, usai laga puncak itu, Balotelli menangis sejadinya di lapangan. Airmata Balotelli terus menetes hingga momen pembagian medali.

Bukan hal lumrah melihat Balotelli, yang selama ini dikenal sebagai bad boy, menangis. Saat itu, dia memang merasa sangat kecewa. Balotelli merasa kalah, jadi pecundang. Padahal, dia tak pernah mau kalah, apalagi jadi pencundang. Balotelli selalu ingin jadi yang terbaik. Tak peduli di antara kawan atau lawan.
***
Kamis, 19 Februari 2014. Balotelli, kini 24 tahun, resah di bangku cadangan Liverpool, saat klubnya itu menjamu Besiktas di laga pertama 32 besar Liga Europa di Stadion Anfield. Dia terlihat gemas, karena rekan-rekannya di lapangan kesulitan membongkar pertahanan lawan.

Akhirnya waktu untuk Balotelli datang. Di menit ke-63, pelatih Brendan Rodgers memintanya turun menggantikan Phillipe Coutinho. Tapi, ternyata Balotelli juga tak bisa berbuat banyak dalam open play. Hingga datanglah momen itu.

Di menit ke-84, wasit memberi hadiah penalti kepada Liverpool, usai Jordon Ibe dijatuhkan di “area terlarang”. Jordan Henderson, kapten yang menggantikan Steven Gerrard yang cedera, bersiap mengeksekusinya, seperti instruksi pelatih Rodgers sebelum laga. Bola pun telah berada di tangannya.

Namun, tiba-tiba saja Balotelli merebut bola dari tangan Henderson, “memutuskan” dirinya yang akan mengambil penalti tersebut. Sempat terjadi adu argumen, karena Henderson merasa itu “hak”-nya. Daniel Sturridge datang membela Henderson. Namun, Balotelli tak peduli.

Untung, sepakan kaki kanannya berhasil menggetarkan gawang Besiktas. Balotelli pun jadi “pahlawan”. Ini ketiga kalinya, dia ikut berkontribusi atas kemenangan Liverpool dalam sepekan terakhir. Sebelumnya, Balotelli jadi penentu kemenangan lewat golnya saat “The Reds” menekuk Tottenham Hotspur 3-2. Begitu juga akhir pekan lalu, saat Liverpool menang 1-0 atas Crystal Palace, lewat tendangan bebasnya, Balotelli jadi penyedia assist untuk gol yang dicetak Adam Lallana.

Balotelli menangis saat pengalungan medali Euro 2012 (foto: telegraph)
Dikecam dan Dipuji
Namun, masalah tak berhenti di situ. Gerrard, yang berlaku sebagai komentator laga tersebut di stasiun televisi ITV, mengecam perilaku buruk Balotelli. “Dia tak punya rasa hormat kepada tim dan kapten,” ujar pemain yang musim depan akan bermain di Liga Amerika Serikat itu.

Namun, banyak juga yang memuji keberanian Balotelli. Termasuk Henderson sendiri. “Balotelli punya kepercayaan diri yang tinggi dalam menendang penalti karena dia memang ahlinya,” ujar Henderson.
 
Memang, dibutuhkan kepercayaan diri yang tinggi untuk mengajukan diri sebagai seorang algojo penalti. Sebab, risikonya sangat tinggi. Bayangkan, jika tendangan Balotelli itu bisa diantisipasi kiper Besiktas, atau melambung ke atas gawang.

Tapi, tentu Balotelli punya alasan tersendiri mengapa begitu pecaya diri. Sepanjang karier, dia hanya dua kali gagal mencetak gol dari tendangan penalty dari total 29 kesempatan, termasuk lawan Besiktas.

Lagi pula, kejadian seperti ini, bukan pertama dia lakukan. Saat masih membela Internazionale, Balotteli juga sempat bersitegang dengan Samuel Eto’o lantaran ingin menyerobot tendangan penalti yang jadi “jatah” Eto’o. Namun, upaya Balotelli digagalkan kapten Inter, ketika itu, Javier Zanetti. 

Soal “kelancangan” Balotelli menyerobot kewenangan Henderson, sebenarnya tak lepas dari karakter pemain yang mengawali karier di Lumezzane ini. Itu juga karena kariernya sejauh ini memang tak pernah stabil, sama seperti kehidupan pribadinya. Bukan tak mungkin, keduanya saling memengaruhi.

Kehidupan Keras
Maklum, kehidupan yang keras, yang dia alami sejak kecil ikut membentuknya menjadi pribadi indifferent, selalu merasa terasing, bahkan di negaranya sendiri. Maklum, berdarah Ghana, Balotelli, yang memiliki nama kecil, Barwuah, sudah merantau ke Italia sejak usia 2 tahun.

Atau mungkin lebih tepatnya “diasingkan”. Itu karena orangtuanya, Thomas dan Rose Barwuah hidup serbakekurangan. Balotelli pun dititipkan kepada keluarga Italia, Francesco dan Silvia Balotelli.

Lalu, saat menginjak remaja, dan mendapat kewarganegaraan Italia pada usia 18 tahun, tahun 2008, ketidak seimbangan Balotelli makin terlihat. Apalagi, ketika itu namanya mulai dikenal sebagai pemain bola top Italia.

Sisi lain Balotelli (foto:manchesterevening)
Dia bahkan sempat menuding orangtua kandungnya sengaja membuangnya. Balotelli juga kerap terlibat hal-hal yang bersifat kontroversial, bahkan kriminal. Termasuk masuk penjara, karena tingkah laku ugal-ugalannya.

Kehidupan asmara Balotelli juga tak karuan. Tak terhitung sudah gadis yang dipacarinya, sehingga dia mendapat putri dari mantan model panas Italia, Raffaela Fico. Belakangan, hubungan cintanya dengan Fanny Neguesha juga kandas.

Banyak yang menyebut, kehidupan keras dan cenderung liar inilah yang membuat Balotelli makin lekat dengan sebutan “bad boy”, termasuk di lapangan hijau. Namun, dia luar itu, Balotelli selalu berusaha memberikan yang terbaik di lapangan.

Kelakuannya, yang sembarangan itu tidak dia buat-buat untuk mencari sensasi ataupun kontroversi. Tapi, mungkin juga tidak dia lakukan secara sadar. Sebab, seperti kata Joe Hart, yang sempat akrab dengan Balotelli di City, rekannya itu melakukan apa yang ingin dilakukan. Tak peduli, benar atau salah di mata orang.

Sebab, pasti, apa yang dianggap baik oleh Balotelli, belum tentu benar menurut orang kebanyakan. Seperti Carl Schurz, seorang revolusioner Jerman di abad ke-18, yang selalu menyebut “My country, right or wrong..” (“Benar atau salah, ini negara saya”), Balotelli mungkin juga selalu berpendirian…”It’s meBalotelli, right or wrong”.*

Tulisan ini dimuat di Harian TopSkor edisi Sabtu-Minggu 21-22 Februari 2015