Aksi Comi (kiri) dan Is yang menghanyutkan. |
MALAM itu bulan
benar-benar penuh. Angin pun begitu sejuk, seperti sengaja hendak mempersilakan
Payung Teduh bersenandung. Dan, mereka pun
bernyanyi...
Datang dari
mimpi semalam...
Bulan bundar bermandikan sejuta cahaya...
Di langit yang merah, ranum seperti anggur.....
(Lagu: Angin Pujaan Hujan)
Bulan bundar bermandikan sejuta cahaya...
Di langit yang merah, ranum seperti anggur.....
(Lagu: Angin Pujaan Hujan)
BELAKANGAN, saya
memang tengah gandrung Payung Teduh. Lagu-lagu mereka nyaris setiap malam saya
putar di kantor lewat channel You Tube. Waktunya
pun nyaris seragam, sekitar pukul sembilan hingga sebelas malam, sebelum David
Coverdale atau mendiang Ronnie James Dio berteriak-teriak lewat speaker aktif
Simbadda komputer di meja saya.
Tapi, malam itu, saya mendapat kejutan khusus karena bisa
menikmati aksi Payung Teduh secara live. Waktunya pun kurang lebih sama, jam sembilan malam.
Minggu (5/7), Payung Teduh memang didaulat tampil jadi headliner hari kedua di panggung Jak
Cloth Lebaran 2015 di Plaza Tenggara
Gelora Bung Karno (GBK). Rezeki nomplok. Sebab, stage yang cuma satu-satunya
itu, hanya berjarak tak lebih dari 200 meter dari kantor saya di area Komplek
GBK. Tak membuang kesempatan, menenteng kamera, saya pun meluncur ke “TKP”.
COMI....cool |
Namun, menjangkau lokasi, ternyata tak semudah yang saya
bayangkan, karena saya harus memutar untuk bisa masuk ke arena lewat pintu
gerbang utama. Untung ada Ismanto, bagian umum di kantor kami yang terkenal cekatan. Membonceng motor pria langsing ini, tak sampai lima menit, saya sudah sampai di gate utama.
Tapi, ah, lagi-lagi cobaan, karena dari
gerbang menuju panggung, saya harus melewati jubelan pengunjung Jak Cloth. Luar
biasa memang. Seingat saya, beberapa kali diadakan acara ini, selalu penuh
sesak dengan pengunjung. Yang jelas,
saya pun rela bersusah-payah demi Payung Teduh.
Sampai di bibir panggung, tepat saat kru menyiapkan instrumen.
Dan, tak lama, empat penggawa Payung Teduh pun bermunculan di atas panggung.
Penonton yang berjubel di depan stage
langsung gaduh. Mereka terus merapat ke panggung, hingga yang berada di barisan
depan sampai harus berhimpitan dengan pagar pembatas berwarna hitam. Tapi,
mereka asyik-asyik aja tuh.
Payung Teduh, yang telah merilis dua album: “Payung Teduh” (2010)
dan “Dunia Batas” (2012), sepertinya tahu, penonton sudah sejak sore menunggu
mereka. Maka itu tanpa basa-basi Is, yang mengakan busana serbaputih pun
langsung membuka penampilan mereka dengan lagu “Rahasia”. Ah...suasana pun langsung hening..
Lagu “Untuk Perempuan yang
Sedang Dalam Pelukan” dipilih Is dan kawan-kawan sebagai lagu kedua.
Diawali paduan bass drum Cito dan petikan gitar Is plus kencringan okulele
Ivan, lagu ini langsung sukses memancing koor penonton.
“Tak terasa gelap pun jatuuuhhh.............,” mereka serempak bernyanyi.
“Tak terasa gelap pun jatuuuhhh.............,” mereka serempak bernyanyi.
IS... |
Rapi betul mereka memainkan lagu per lagu. Sound yang keluar,
termasuk vokal Is pun terdengar bening, tapi bertenaga. Dukungan tata cahaya panggung yang lumayan memikat, membuat suasana malam
itu jadi benar-benar teduh.
Tak sampai di situ, Is dan kawan-kawan juga begitu pintar emosi
penonton. Sebab, lagu ketiga yang mereka mainkan juga merupakan hits yang
telah begitu dikenal. Ya, “Angin Pujaan
Hujan” pun kembali memancing koor penonton. Setelah itu, berturut-turut hits-hits
seperti “Berdua Saja”, “Di Ujung Malam”,
“Kucari Kamu”, serta “Resah”,
yang merupakan lagu pertama yang saya kenal dari grup ini, meluncur dari bibir
Is.
Penampilan Is sebagai frontman,
kali ini sebenarnya tak terlalu banyak
berkomunikasi langsung dengan penonton. Tapi kesan dekat dengan penonton begitu
terasa. Bahkan ketika dia bercanda dengan Comi di atas panggung, penonton pun seperti merasa terlibat dan ikut tertawa.
Mungkin itu karena aura bawaan musik yang mereka bawakan. Kami, para penonton, jadi seperti sedang
nongkrong gitaran, bernyanyi bersama dengan Payung Teduh. Nyaris seperti tidak
ada jarak sama sekali. Maka itu, Is pun merasa tak perlu menyebut judul-judul lagu yang bawakan, karena
penonton sudah hapal semua...waduhh..
Performance ciamik Payung Teduh sendiri, malam itu ditutup dengan
“signatured song” mereka: “ Menuju Senja”. Diawali alunan trompet
yang dimainkan Ivan, lagu ini bercerita
tentang seorang yang nyaris tak kuasa menahan rindu yang tak terlampiaskan.
Aiihhhh.....
Memang, asik betul musik Payung Teduh ini. Entah jenis musik apa
yang mereka mainkan. Pop-folk? Entahlah… Yang jelas
musik mereka begitu asyik, santai, intim, dan menghanyutkan. Seperti keroncong
yang dibalut jazz... atau jazz yang
dimainkan dengan langgam keroncong?
Secara lagu dan melodi, rasanya mereka memang tetap bermain di
jalur pop. Namun, ya itu tadi. Nuansa jazz dan keroncong tetap sangat kental
karena kocokan okulele milik Ivan dan cabikan Comi pada bass betotnya.
Tata cahaya ikut membuat penampilan mereka kian teduh. |
Satu yang pasti, mendengar musik Payung Teduh
seperti ada nuansa yang membawa kita ke masa tempo doele, mungkin era 1950 hingga 1960-an. Ditambah lagi dengan lirik-lirik yang puitis namun tak
mesti cengeng atau melankolis. Romantis? Bisa jadi begitu....
Simak saja lirik lagu “Untuk
Perempuan yang Sedang Dalam Pelukan” yang dibuat oleh Is:
Tak terasa gelap pun jatuh...
Diujung malam menuju pagi yang dingin...
Hanya ada sedikit bintang malam ini...
Mungkin karena kau sedang cantik-cantiknya....
Atau lirik
“Cerita tentang Gunung dan Lautan”
yang kebetulan tak dibawakan, malam itu.
Aku pernah berjalan diatas laut...
Tak ada tanah...
Tak ada batu...
Air selalu merayu...
Menggodaku masuk ke dalam pelukannya....
Penonton berjubel demi menyaksikan Payung Teduh. |
Syeddaafff kann?
Yang jelas, keberanian Payung Teduh untuk tampil membawa musik khas mereka, patut diacungi jempol. Berbeda, namun memberi kesan. Benar-benar membuat teduh pendengarnya.
Yang jelas, keberanian Payung Teduh untuk tampil membawa musik khas mereka, patut diacungi jempol. Berbeda, namun memberi kesan. Benar-benar membuat teduh pendengarnya.
Sekadar
Hobi?
Seperti ditulis di blog mereka, Payung Teduh terbentuk pada
akhir tahun 2007, dengan formasi awal Is dan Comi.
Kedua sahabat ini awalnya adalah pemusik teater Pagupon yang kerap nongkrong
bersama di kantin Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Setelah itu baru
Cito dan Ivan bergabung pada 2008 dan 2010.
Yang menarik, meski musik mereka saat ini mulai menghasilkan dan
digandrungi banyak orang, Is dan kawan-kawan tampak lebih menomor satukan
pekerjaan mereka masing-masing. Seperti dilansir Info Musikita BBC Indonesia, musik bagi mereka tetap merupakan
hobi. Jadwal show juga kebanyakan
mereka batasi hanya di akhir minggu.
IVAN (kiri/gitalele) dan CITO (drum) |
Saat ini, hampir semua penggawa Payung Teduh memang menyandang profesi
masing-masing. Is, misalnya, masih serius berkarier sebagai guru musik, teater,
bahkan tari. Begitu juga dengan Comi yang tercatat sebagai dosen Bahasa Inggris di Universitas Bina Nusantara.
Sementara Cito, juga masih
serius mendalami pekerjaannya sebagai desainer grafis. Hanya Ivan, yang sedikit
lebih bebas karena hanya tengah menyelesaikan kuliah.
Namun begitu, bukan berarti
mereka setengah hati saat mengerjakan karya-karya mereka. Sadar, bahwa ada
tanggung jawab melekat dalam hasil karya-karya mereka, Is dan kawan-kawan tetap
sangat serius dalam bermusik.
Dua album ciamik yang telah
mereka hasilkan dan penampilan yang selalu kinclong di setiap performance, rasanya telah menjadi bukti
betapa mereka memang tidak setengah-setengah saat mengenakan baju musisi.
Saat ini, Payung Teduh sendiri kabarnya
tengah mengerjakan album ketiga yang rencananya akan mereka rilis Desember
mendatang. Bagaimana musik mereka nanti? Itu juga yang membuat saya penasaran.
@edukrisnadefa
No comments:
Post a Comment