DIEGO MARADONA (foto: metro.co.uk) |
MARET tahun lalu,
Diego Maradona, yang saat itu masih berstatus “pengangguran” dengan lantang
mengecam FIFA. Maradona, kapten Argentina, saat menjuarai Piala Dunia 1986 itu,
menyerang FIFA yang ketika itu baru mengeluarkan wacana untuk melarang
negara-negara Amerika Latin menggunakan stadion kandang mereka, yang terletak
lebih dari 2.500 meter di atas permukaan laut.
Tak hanya mengecam, Maradona juga menyempatkan diri
menggelar kampanye menentang wacana FIFA itu yang dimotori presidennya, Sepp
Blatter. Tanggal 17 Maret 2007, dia tampil dalam laga amal di Stadion Hernando
Silas, La Paz, Bolivia, yang berketinggian 3.600 meter di atas permukaan laut,
bersama presiden negeri tersebut, Evo Morales, sebagai bentuk penentangannya
terhadap FIFA.
“Kita semua punya hak untuk bermain di tempat kita
dilahirkan. Tak ada yang bisa melarang itu, termasuk Tuhan, apalagi Blatter!”
ujar Maradona, agak arogan, ketika itu.
Kini, setahun berselang, Maradona seperti termakan
pernyatannya sendiri. Rabu (1/4) di stadion tempat dia sempat bersenda gurau
dengan Presiden Morales, Maradona, yang sejak November 2008, menjadi pelatih
Argentina, merasakan betapa ketinggian La Paz benar-benar mematikan. Pasukannya
pun tak berdaya dihantam Bolivia 1-6. “Setiap gol Bolivia seperti tikaman di
jantung saya,” ujarnya, setelah pertandingan.
Untung, Maradona tahu diri. Dengan berbagai alasan,
dia menolak menyalahkan faktor ketinggian La Paz sebagai penyebab kekalahan
pasukannya. Dia mungkin malu, jika mengingat betapa ngototnya dia membela
Bolivia untuk tetap bisa menggunakan Stadion Hernado Siles. Maradona mungkin
juga tak ingin orang meledeknya, “Senjata Makan Maradona”, plesetan dari
pepatah “Senjata Makan Tuan”.
Padahal, semua orang tahu, di laga tersebut, “Tim
Tango” begitu kesulitan mengembangkan permainan. Kaki-kaki Carlos Tevez dan
kawan-kawan seperti begitu berat mengikuti irama permainan yang dikembangkan
Erwin Sanchez, pelatih Bolivia.
“Mustahil sepertinya bermain di La Paz. Kami sulit
sekali bernapas,” ujar Lionel Messi, andalan lini depan Argentina. “Sementara,
mereka, para pemain Bolivia, berlari begitu cepat. Kami tak mampu mengejar
mereka.”
Maradona sendiri sebenarnya bisa belajar dari para
pendahulunya. Jose Pekerman, pelatih yang terakhir kali membawa Argentina
menang di La Paz, misalnya, melakukan persiapan adaptasi lebih dari seminggu
untuk bisa mengalahkan Bolivia 2-1 tahun 2001.
Bahkan, di tahun 1973, pelatih Omar Sivori sampai
harus membawa pemain Argentina berlatih selama sebulan di sebuah kawasan
Argentina, di sekitar Pegunungan Andes, untuk beradaptasi dengan ketinggian,
sebelum bisa mengalahkan Bolivia 1-0 di La Paz.
Oksigen Tipis
Ketinggian tempat pertandingan memang amat berpengaruh
lantaran tipisnya oksigen. Bahkan, menurut Bonnie Hamre, penulis yang kerap
menjelajah Benua Latin, faktor ketinggian bisa menyebabkan berbagai macam
gejala fisik yang membahayakan.
Seperti pusing yang luar biasa, perasaan ingin muntah,
kelelahan yang sangat, hingga insomnia. Gejala-gejala ini disebut sebagai altitude
sickness, dan biasa menyerang di daerah dengan ketinggian 2.424 meter di
atas permukaan laut.
Kekalahan di La Paz, jelas menjadi pelajaran yang
berharga bagi Maradona. Setidaknya, dia kini sudah punya bekal cukup ketika
harus membawa pasukannya kembali tampil di dataran tinggi, saat ditantang
Ekuador di Quito, yang berketinggian 2.850 meter di atas permukaan laut, 9 Juni
mendatang.*
*tulisan ini dibuat setelah Argentina dikalahkan
Bolivia di La Paz, 1 April 2009
+Dipublikasikan di Harian TopSkor Edisi 3 April 2009
No comments:
Post a Comment