MARIO BALOTELLI (foto:liverpoolecho) |
Namun, tiba-tiba Mario Balotelli menghampirinya dan
meminta Prandelli menjadikan dirinya sebagai algojo pertama. Prandelli setuju.
Dia pun mencatat nama Balotelli, bersama Riccardo Montilivo, Andrea Pirlo,
Antonio Nocerino, dan Alessandro Diamanti secara berurutan
sebagai
algojo penalti “Gli Azzurri”.
Hebatnya, Balotelli sukses menjalankan misinya. Dengan
dingin dia menaklukkan kiper Inggris, Joe Hart, yang juga rekan seklubnya
ketika itu, di Manchester City.
Italia menang 4-2 karena Pirlo, Nocerino, dan Diamanti
juga sukses merobek gawang Inggris. Hanya Montolivo yang gagal. Sepakan kaki
kanannya melebar ke sisi kanan tiang gawang Inggris. Sementara dua penendang
Inggris: Ashley Young dan
Ashley Cole, gagal mencetak gol.
Usai laga, dalam jumpa pers yang juga dihadiri penulis,
yang ketika itu sedang dalam tugas liputan, Prandelli menyatakan kekagumannya
terhadap Balotelli. “Ketika seorang pemain ingin menjadi algojo pertama dalam
sebuah drama adu penalti, berarti pemain tersebut punya karakter yang luar biasa,”
ujar Prandelli.
Italia sendiri, ketika itu, sukses melaju hingga ke
final, sebelum dikalahkan Spanyol 0-4. Dan, usai laga puncak itu, Balotelli
menangis sejadinya di lapangan. Airmata Balotelli terus menetes hingga momen
pembagian medali.
Bukan hal lumrah melihat Balotelli, yang selama ini
dikenal sebagai bad boy, menangis. Saat
itu, dia
memang merasa sangat kecewa. Balotelli merasa kalah, jadi pecundang. Padahal,
dia tak pernah mau kalah, apalagi jadi pencundang. Balotelli selalu ingin jadi
yang terbaik. Tak peduli di antara kawan atau lawan.
***
Kamis, 19 Februari 2014. Balotelli, kini
24 tahun, resah di bangku cadangan Liverpool, saat klubnya itu menjamu Besiktas
di laga pertama 32 besar Liga Europa di Stadion Anfield. Dia terlihat gemas,
karena rekan-rekannya di lapangan kesulitan membongkar pertahanan lawan.
Akhirnya waktu untuk Balotelli datang. Di menit ke-63,
pelatih Brendan Rodgers memintanya turun menggantikan Phillipe Coutinho. Tapi,
ternyata Balotelli juga tak bisa berbuat banyak dalam open play. Hingga
datanglah momen itu.
Di menit ke-84, wasit memberi hadiah penalti kepada Liverpool,
usai Jordon Ibe dijatuhkan di “area terlarang”. Jordan Henderson, kapten yang menggantikan
Steven Gerrard yang cedera, bersiap mengeksekusinya, seperti instruksi pelatih
Rodgers sebelum laga. Bola pun telah berada di tangannya.
Namun, tiba-tiba saja Balotelli merebut bola dari tangan
Henderson, “memutuskan” dirinya yang akan mengambil penalti tersebut. Sempat
terjadi adu argumen, karena Henderson merasa itu “hak”-nya. Daniel Sturridge
datang membela Henderson. Namun, Balotelli tak peduli.
Untung, sepakan kaki kanannya berhasil menggetarkan
gawang Besiktas. Balotelli pun jadi “pahlawan”. Ini ketiga kalinya, dia ikut
berkontribusi atas kemenangan Liverpool dalam sepekan terakhir. Sebelumnya,
Balotelli jadi penentu kemenangan lewat golnya saat “The Reds” menekuk Tottenham
Hotspur 3-2. Begitu juga akhir pekan lalu, saat Liverpool menang 1-0 atas
Crystal Palace, lewat tendangan bebasnya, Balotelli jadi penyedia assist
untuk gol yang dicetak Adam Lallana.
Balotelli menangis saat pengalungan medali Euro 2012 (foto: telegraph) |
Dikecam dan Dipuji
Namun, masalah tak berhenti di situ. Gerrard, yang
berlaku sebagai komentator laga tersebut di stasiun televisi ITV, mengecam perilaku
buruk Balotelli. “Dia tak punya rasa hormat kepada tim dan kapten,” ujar pemain
yang musim depan akan bermain di Liga Amerika Serikat itu.
Namun, banyak juga yang memuji keberanian Balotelli.
Termasuk Henderson sendiri. “Balotelli punya kepercayaan diri yang tinggi dalam
menendang penalti karena dia memang ahlinya,” ujar Henderson.
Memang, dibutuhkan kepercayaan diri yang tinggi untuk
mengajukan diri sebagai seorang algojo penalti.
Sebab, risikonya sangat tinggi. Bayangkan, jika tendangan Balotelli itu bisa
diantisipasi kiper Besiktas, atau melambung ke atas gawang.
Tapi, tentu Balotelli punya alasan tersendiri mengapa
begitu pecaya diri. Sepanjang karier, dia hanya dua kali gagal mencetak gol
dari tendangan penalty dari total 29 kesempatan, termasuk lawan Besiktas.
Lagi pula, kejadian seperti ini, bukan pertama dia
lakukan. Saat masih membela Internazionale, Balotteli juga sempat bersitegang
dengan Samuel Eto’o lantaran ingin menyerobot tendangan penalti yang jadi
“jatah” Eto’o. Namun, upaya Balotelli digagalkan kapten Inter, ketika itu,
Javier Zanetti.
Soal “kelancangan” Balotelli menyerobot kewenangan Henderson, sebenarnya tak lepas dari karakter pemain yang
mengawali karier di Lumezzane ini. Itu juga karena kariernya sejauh ini memang
tak pernah stabil, sama seperti kehidupan pribadinya. Bukan tak mungkin,
keduanya saling memengaruhi.
Kehidupan Keras
Maklum, kehidupan yang keras, yang dia alami sejak kecil
ikut membentuknya menjadi pribadi indifferent, selalu merasa terasing,
bahkan di negaranya sendiri. Maklum, berdarah Ghana, Balotelli, yang memiliki
nama kecil, Barwuah, sudah merantau ke Italia sejak usia 2 tahun.
Atau mungkin lebih tepatnya “diasingkan”. Itu karena
orangtuanya, Thomas dan Rose Barwuah hidup serbakekurangan. Balotelli pun
dititipkan kepada keluarga Italia, Francesco dan Silvia Balotelli.
Lalu, saat menginjak remaja, dan mendapat kewarganegaraan
Italia pada usia 18 tahun, tahun 2008, ketidak seimbangan Balotelli makin
terlihat. Apalagi, ketika itu namanya mulai dikenal sebagai pemain bola top
Italia.
Sisi lain Balotelli (foto:manchesterevening) |
Dia bahkan sempat menuding
orangtua kandungnya sengaja membuangnya. Balotelli juga kerap terlibat hal-hal
yang bersifat kontroversial, bahkan kriminal. Termasuk masuk penjara, karena
tingkah laku ugal-ugalannya.
Kehidupan asmara Balotelli juga tak karuan. Tak terhitung
sudah gadis yang dipacarinya, sehingga dia mendapat putri dari mantan model
panas Italia, Raffaela Fico. Belakangan, hubungan cintanya dengan Fanny
Neguesha juga kandas.
Banyak yang menyebut, kehidupan keras dan cenderung liar
inilah yang membuat Balotelli makin lekat dengan sebutan “bad boy”,
termasuk di lapangan hijau. Namun, dia luar itu, Balotelli selalu berusaha
memberikan yang terbaik di lapangan.
Kelakuannya, yang sembarangan itu tidak dia buat-buat
untuk mencari sensasi ataupun kontroversi. Tapi, mungkin juga tidak dia lakukan
secara sadar. Sebab, seperti kata Joe Hart, yang sempat akrab dengan Balotelli
di City, rekannya itu melakukan apa yang ingin dilakukan. Tak peduli, benar
atau salah di mata orang.
Sebab, pasti, apa yang dianggap baik oleh Balotelli,
belum tentu benar menurut orang kebanyakan. Seperti Carl Schurz, seorang
revolusioner Jerman di abad ke-18, yang selalu menyebut “My country, right
or wrong..” (“Benar atau salah, ini negara saya”), Balotelli mungkin juga
selalu berpendirian…”It’s me…Balotelli, right
or wrong”.*
Tulisan ini dimuat di
Harian TopSkor edisi Sabtu-Minggu 21-22 Februari 2015