STEVEN GERRARD (foto:fullfifa) |
BRENDAN Rodgers tiba-tiba saja
menjadi penggemar fanatik Steven Gerrard. Saking fanatiknya, Rodgers, pelatih
Liverpool itu, mengklaim dirinya tak akan bisa melatih “The Reds”—julukan Liverpool— tanpa kehadiran Gerrard.
Rodgers
memang merasakan betul betapa klub asal Merseyside yang dilatihnya itu sangat
tergantung kepada sosok “Stevie G”. Bahkan, di usianya yang telah mendekati 33 tahun, Gerrard kata Rodgers,
masih memiliki stamina yang super-fit!
“Dengan kondisi seperti itu, Gerrard masih
bisa bermain selama yang dia suka. Mungkin lima atau enam tahun lagi,” ujar
Rodgers, yang sebelumnya melatih Swansea City. “Lihatlah Ryan Giggs (40 tahun)
atau Javier Zanetti (39 tahun) yang masih disebut-sebut sebagai pemain terbaik
di Eropa. Gerrard bisa seperti mereka.”
Kalimat-kalimat
sejuk Rodgers tentu bukan sekadar pujian bagi Gerrard, pemain yang telah 15
tahun membela Liverpool, sejak dari tim junior. Ada ketulusan, kejujuran dari hati
Rodgers yang paling dalam, yang mengakui betapa kemilau sosok Gerrard.
Performa
Gerrard musim ini memang luar biasa. Sebagai kapten—menggantikan Sami Hyypia
sejak 2003—kontribusi Gerrard juga sangat kental bagi Liverpool. Sebagai gelandang, Gerrard juga cukup tajam dengan
mencetak sepuluh gol plus sembilan assist.
Terakhir, dia mencetak gol penentu kemenangan 2-1 Liverpool atas Aston Villa,
akhir pekan lalu.
Nama
Gerrard, musim ini memang sempat seperti tak berkerlapan. Dia kalah menyala dibanding terangnya sinar pemain-pemain seperti
Robin Van Persie, Sergio Aguero, Michu, ataupun Gareth Bale. Bahkan, rekan
seklub Gerrard, Luis Suarez lebih sering dibicarakan lewat kontroversi dan gol-golnya.
Suarez saat ini masih menjadi pencetak gol terbanyak dengan 22 gol.
Sementara publik sepak bola “Negeri Pangeran Charles” juga lebih sering membicarakan persaingan dua Manchester: MU dan City, ketimbang klub Gerrard, yang
sudah pertengahan musim kehilangan kesempatan meraih gelar Liga Primer.
Tak Pernah Tenggelam
Namun,
sesungguhnya, Gerrard tak pernah tenggelam. Statistik pun tak berbohong. Di
Liga Primer, pria asli Liverpool itu tak sekalipun kehilangan menit bermain.
Gerrard tampil di seluruh 32 laga “The
Reds” dengan catatan menit bermain mencapai 2.880, sama dengan bek Aston
Villa, Matthew Lowton.
Gerrard
ibarat “the unsung hero” bagi
Liverpool. Tak terlalu mencolok, namun sangat terasa keberadaannya. Di lapangan, dia bisa bermain sebagai second striker, bek kanan, sayap kanan, centre mildfielder, atau holding mildfielder, posisi idealnya
saat ini. Gerrard juga tak pernah
keberatan “memanggul air”, melakukan pekerjaan “kotor” menjadi benteng pertama bagi serangan lawan. Apalagi
menghunjam gawang lawan lewat tendangan-tendangan kerasnya.
JUARA CHAMPIONS - Steven Gerrard saat membawa Liverpool juara Liga Champions 2004/05 (foto:thisisanfield) |
Dulu, di
masa kepelatihan Rafael Benitez—yang disebut-sebut sebagai musim terbaik
Liverpool di era modern, karena sukses jadi kampiun Liga Champions 2004/05—Gerrard
sering bermain sebagai second striker.
Dia bermain lebih dekat ke gawang lawan.
Maka itu,
pada 2008/09, dia bisa mencetak 16 gol dalam semusim Liga Primer, terbanyak
sepanjang kariernya. Ketika itu dia main sangat nyaman di belakang Fernando
Torres, karena Liverpool ketika itu memiliki Xabi Alonso yang berperan sebagai
“pengangkut air”.
Tapi, musim ini, Gerrard justru lebih sering memainkan
peran Alonso itu. Memang, oleh Rodgers, Gerrard tetap diberi kebebasan
berkreasi, termasuk eksekutor bola-bola mati. Namun, kerap kali, tanggung jawab
untuk menghentikan serangan lawan, untuk pertama kalinya, justru lebih banyak
diemban Gerrard. Tapi, hebatnya, Gerrard toh masih bisa mencetak sepuluh gol.
Bagi Liverpool, Gerrard memang anutan. Dan, dia tahu
betul itu. Apalagi, dengan “status”-nya sebagai scouser, alias orang asli
Liverpool. Maka itu, loyalitas dan pengabdian di lapangan menjadi nomor satu
bagi suami Alex Curran ini.
Memang, jika dibanding Paolo Maldini yang pernah 24 tahun
membela AC Milan, lima belas tahun milik Gerrard di Liverpool belumlah apa-apa.
Namun, selama bisa, Gerrard selalu
berusaha memberikan yang terbaik bagi Liverpool.
Dua gelar Piala FA, tiga Piala Liga, dua trofi Community
Shield, satu gelar Liga Champions, dan satu Piala UEFA plus dua gelar Piala
Super Eropa yang telah disumbangkan Gerrard, memang belum cukup untuk “The Reds”.
Gerrard tahu apa yang sangat didamba Liverpudlian. Sebuah
trofi yang terakhir kali mereka menangkan di musim 1989/90 untuk ke-18 kalinya,
saat Gerrard masih berusia sepuluh tahun. Trofi yang kini berganti nama, dari
The Football League menjadi Premier League alias Liga Primer. Pasti,
Gerrard sangat terpacu untuk
mewujudkannya. Namun, tentu, tidak musim ini. *